
3. Hari Pertama Jadi Marbot
Gadis muda berjilbab itu mendekat ke arah Ustadz Yahya. Lalu menyerahkan sebuah keresek putih berisi bungkusan nasi.
"Ini, Ayah," ucapnya.
Ayah? Jadi itu anaknya?
3. Hari Pertama Jadi Marbot
Gadis muda berjilbab itu mendekat ke arah Ustadz Yahya. Lalu menyerahkan sebuah keresek putih berisi bungkusan nasi.
"Ini, Ayah," ucapnya.
Ayah? Jadi itu anaknya?
Aku bisa melihatnya dari dalam sini tapi dia tak melihatku dari luar, terhalang separuh pintu dan posisiku yang tak menghadap ke arah datangnya.
Ustadz Yahya kemudian menyerahkan bungkusan itu padaku. Lalu berpamitan pergi. Setelah sekali lagi mengingatkan, untukku, mengerjakan pekerjaan di masjid besar ini. Dan aku mengangguk dengan sikap seorang marbot.
Aku memilih duduk di depan pintu menyantap makan siang yang sangat berbeda ini. Tanpa alat makan lengkap apalagi pilihan menu-menu mewah seperti biasa. Bahkan, tanpa tidak ada walau sendok.
Aku membuka bungkusan dan menemukan nasi dengan sayuran berupa daun--entah Dau apa ini--yang direbus ditambah sambal dan telur rebus dan seiris tempe goreng serta kerupuk. Menu apa ini? Aku tidak pernah melihat menu seperti ini. Maksudku, sesederhana ini. Tapi mengapa rasanya aku sangat tertarik mencoba?
Tentu saja aku makan dengan tangan, tanpa sendok garpu seperti biasa.
Aku mengunyah. Makanan pertamaku sebagai marbot masjid. Rasanya... em, enak. Ya, sungguh ini enak. Apalagi sambalnya. Cepat sekali aku menghabiskan sebungkus nasi itu.
Selanjutnya aku segera beranjak menuju tempat diletakkannya alat-alat kebersihan yang tadi ditunjukkan Ustadz Yahya.
Memulai pekerjaanku di tempat ini. Kumulai dengan menyapu seluruh masjid, dalam dan luar, juga di lantai dua. Ini pukul dua siang. Masjid ini cukup sepi ternyata di jam-jam begini. Atau kebetulan saja? Entahlah, aku kan nyaris tidak pernah ke masjid selama ini.
Setelah menyapu seisi masjid, aku terduduk dengan tubuh banjir keringat. Oh, Tuhan. Ternyata ini sangat melelahkan.
Lalu melawan lelah, aku kembali bangkit, mengepel lantai seperti yang seminggu belakangan kupelajari dengan privat bersama OB pilihan Handi.
Dan tahukah, ternyata mengepel jauh lebih melelahkan.
Hampir menyerah ketika kuingat lagi kata-kataku pada Handi, kalau aku akan menyelesaikan semua ini hingga satu bulan ke depan. Pantang bagiku melanggar apa yang pernah terucap, bahkan meski hanya terucap dari bibirku sendiri tanpa ada orang lain yang mendengar. Kata orang, aku ambisius. Hm, mungkin benar.
Aku mengelap keringat di kening dengan lengan dan melanjutkan mengepel lantai satu sampai selesai.
Baru saja aku akan mengangkat ember berisi air kotor bekas mengepel, ketika dua anak kecil tiba-tiba masuk dari arah depan. Berlari-larian dan menendang ember berisi air kotor itu. Membuat banjir lantai yang sudah kubersihkan.
Lalu keduanya terpeleset di lantai keramik. Tak lama, muncul dua orang wanita dewasa dari luar yang langsung menyambar kedua bocah yang terbanting di atas lantai. Disusul suara pintu mobil dibanting dari arah luar dan menyusul seorang lelaki dewasa dari sana. Juga menuju pada dua bocah yang menangis kencang sekali itu. Benar-benar membuat pekak telinga. Dan melecut emosiku hingga ke ujung kepala. Bagaimana mungkin mereka membiarkan dia anak kecil itu masuk dan menendang ember pel serta mengotori lantai yang sudah kubersihkan?
Ingin kumaki detik ini juga, agar mereka menjaga anak-anak dari bertindak ceroboh seperti tadi.
Tapi belum ada satu kalimat pun keluar dari bibirku, lelaki dewasa itu menyambar bagian depan kaos yang kugunakan.
"Hey, kalau ngepel yang benar. Sampai banjir begini, gimana anak saya nggak jatuh?! Bisa tanggungjawab kamu kalau sampai anak-anak saya geger otak?!"
What?
"Laporin aja, Pa sama pengurus masjidnya. Jadi tukang bersih-bersih kok nggak bener banget!" Sengit wanita yang berdiri di sampingnya. Memicingkan mata penuh permusuhan ke arahku.
Hey, nyaris aku hilang kendali. Balik membentak-bentak mereka yang tak becus menjaga anak. Dan merusuhkan pekerjaanku. Aku sudah mengepel lantai ini sejak tadi, melelahkan sekali, dan justru dikotori kembali oleh kedua bocah itu.
Atau, aku perlu mencari tahu dimana tempat kerjanya dan memberikan pelajaran pada lelaki lancang ini?
Emosiku terbakar. Nyaris saja aku melupakan statusku yang sedang menyamar ketika datang Ustadz Yahya dan dua orang lelaki muda yang segera melerai. Maksudku, menenangkan kemarahan orang-orang ini.
"Ada apa ini?"
"Oh. Anda pengurus masjid ini?" Tanya wanita itu dengan ekspresi sombong sekali.
Ustadz Yahya mengangguk.
"Tolong dipecat marbot ini! Kerjanya nggak becus! Masa ngepel lantai sampai banjir begini. Anak-anak saya jatuh jadinya. Keterlaluan!"
Aku meremas tangan. Seumur hidup, tidak pernah aku dihina seperti ini, sedikitpun tidak pernah. Aku selalu hidup dalam penghormatan semua orang. Untung logikaku cepat terbangun, mengingatkan, status penyamaranku sekarang.
"Mohon bersabar, Bu, Pak. Dan tolong jangan pakai emosi. Kita bicarakan baik-baik. Ingat, ini di masjid, tempat ibadah. Tidak layak mengucapkan kata-kata yang tidak baik," ucap Ustadz Yahya dengan santun dan tegas.
Dan sukses membuat bungkam mereka.
"Bagaimana kejadiannya? Apa betul yang disampaikan Ibu ini, Kang Fadi?" Kali ini Ustadz Yahya beralih menatapku.
Aku menarik nafas, berusaha meredakan emosi. Lalu kembali menyempurnakan peranku.
"Tidak benar, Ustadz. Tadi saya baru selesai mengepel, lalu dua anak ini masuk, berlari-lari dan menabrak ember bekas pel saya dan terjatuh. Seharusnya saya yang marah," ucapku dengan nada dan logat seorang Kang Fadi, kasta marbot masjid.
"Apa?! Heh kamu! Marbot belagu! Berani kamu mau marahi kami?! Nggak tahu lagi ngomong sama siapa?!"
"Jangan pakek alasan malah nyalahin anak saya kamu!"
Lagi-lagi aku dibenatak. Oleh pria dan dan wanita dewasa itu. Maka nyaris kulayangkan tinju. Urgh! Rasanya tidak tahan lagi. Dihina seperti ini.
Untung Ustadz Yahya cepat mengambil tindakan dan meminta orang-orang tak tahu diri itu keluar.
"Kok malah kami yang diusir sih, Ustadz? Kami cuma mau numpang ngadem di sini. Dari perjalanan jauh." Protes wanita itu lagi.
"Maaf, Bu, Pak. Kami tidak berniat mengusir. Dan tidak ada hak mengusir. Ini rumah ibadah, terbuka untuk semua orang. Tapi jika Bapak Ibu membuat keributan, maka kewajiban kami mengamankan. Jadi mohon tenang. Tadi Kang Fadi sudah menjelaskan. Atau ditanya ke anak-anak ibu sendiri. Bagaimana, Nak? Benar kalian yang menumpahkan air di ember pel tadi?"
Dan kedua anak yang masih menangis itu saling melirik, lalu mengangguk.
Huh.
Tapi tetap saja, orangtuanya tak mau percaya. Atau sebab terlanjur malu. Lalu mereka malah pergi. Sembari mencebik ke arahku.
"Dasar marbot tompelan! Jelek aja belagu!"
Waw, aku dihina? Seorang Tuan Alfadi Edibagaskara?
Oke, well. Ini pengalaman dan hari pertamaku menjadi marbot masjid.
Di satu sisi, ada emosi yang tersulut tentu saja. Tapi di sisi lainnya, apa mestinya aku puas sebab penyamaran ku nyaris sempurna dan membuat orang-orang percaya? Apalagi tompel-tompel ini.
"Maaf, kadang ada orang yang datang atau bahkan jamaah yang seperti itu memang. Silakan diteruskan ya, Kang," ucap Ustadz Yahya sambil memberikan kode tangan yang ditangkupkan di depan dada.
Mengulang ngepel lagi? Yang benar saja. Ya Tuhan.
Ini sangat menyebalkan. Apa begini melelahkan kehidupan tanpa kekuasaan dan uang? Apa aku perlu bertahan di sini?
Sepertinya keputusan ini harus kufikirkan ulang. Meski aku tak pernah menjilat ludah sendiri. Namun kali ini, aku seperti ragu sekali. Demi merasakan rasa lelah di sekujur tubuh ini. Belum lagi harus menyentuh kain pel yang menjijikan ini setiap hari. Mungkin aku memang sudah mengambil keputusan gila seminggu yang lalu.
Lalu saat aku berpaling ke arah pintu, niatku urung seketika. Saat melihat kehadiran seseorang di sana. Dari arah pintu yang terbuka.
--
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
