
Handi mempersiapkan segala rencana dengan baik. Dia memang selalu bisa diandalkan. Bahkan dia juga menyediakan waktu untuk aku mempersiapkan diri, bekal menghadapi pekerjaan baruku, menyediakan kelas privat menyapu, mengepel, mengelap kaca, dan berbagai hal terkait lainnya. Yah, aku tidak mungkin bisa mengerjakan semua itu tanpa diajari seperti ini.
2. Marbot Bertompel
Handi mempersiapkan segala rencana dengan baik. Dia memang selalu bisa diandalkan. Bahkan dia juga menyediakan waktu untuk aku mempersiapkan diri, bekal menghadapi pekerjaan baruku, menyediakan kelas privat menyapu, mengepel, mengelap kaca, dan berbagai hal terkait lainnya. Yah, aku tidak mungkin bisa mengerjakan semua itu tanpa diajari seperti ini.
Kufikir pekerjaan kasar seperti ini mudah saja dikerjakan, tapi ternyata juga membutuhkan keterampilan. Ya ini sulit.
"Pengurus masjid tidak ada yang tahu tentang identitas Anda, Tuan Alfa. Seperti permintaan Anda, Saya merahasiakan semuanya. Jadi semua ini memang harus Anda kuasai." Handi menunduk hormat demi melihatku yang sepertinya nyaris menyerah mempelajari teknik melakukan semua ini.
Yah, dia benar. Bahkan bukan tidak mungkin aku akan mendapatkan sangsi di tempat kerja baruku nanti jika tak becus bekerja.
Em, hey, seorang Alfadi Edibagaskara, CEO muda yang kaya raya sejak dalam kandungan ini sedang berupaya menjadi seorang marbot masjid? Apa aku gila?
Yeah, justru aku sedang berupaya keluar dari titik jenuh agar tidak gila.
Dan tentu saja, privat itu kulakukan diam-diam, di sebuah ruangan tertutup yang memang sudah disiapkan Handi.
Hari ini, bersama Handi aku sudah tiba di masjid dan kota tujuan.
"Jadi Akang ingin menjadi marbot di masjid ini selama Ramadhan?" Tanya pria yang dikenalkan padaku sebagai ketua pengurus Masjid Almira Tiga ini, Ustadz Yahya.
Em, Masjid Almira Tiga? Kenapa ada 'tiga' nya? Entahlah. Mungkin nanti aku akan mendapatkan jawabannya seiring waktu.
Ustadz Yahya nampak mengamati penampilanku. Baiklah, semoga penampilanku ini cukup meyakinkan. Kaos oblong tanpa merk, celana kain yang juga tak bermerk, ditambah kopiah rajut yang miring, menempel di kepala, menutupi sebagian rambutku yang legam dan sengaja kubuat sedikit acak-acakan. Serta tak ketinggalan, sandal jepit all size, meski terasa pas-pasan saja di kakiku.
Lagi-lagi Handi yang membantuku mempersiapkan semua ini.
Aku menurunkan bahu yang terbiasa ditegakkan ini, serta menundukkan pandangan yang selalu lurus ke depan atau dengan dagu yang sedikit terangkat. Kali ini, aku berupaya untuk menundukkan kepala. Agar semakin sempurna dan rencanaku bisa berjalan seperti harapan semula.
"Benar, Ustadz," jawabku. Setelah terbatuk sedikit dan mengatur suara, demi mengeluarkan nada bicara penuh harapan, bukan cara menjawab penuh bentakan seperti yang selama ini selalu kulakukan.
Ustadz berwajah teduh itu manggut-manggut. Tersenyum ke arahku. Sangat nampak, ia terbiasa menghormati orang lain tanpa memandang kasta dan sebagainya.
"Sudah pernah jadi marbot masjid sebelumnya? Maksud saya, bisa ngepel, bersih-bersih begitu?"
Kali ini pertanyaannya terlihat ragu.
Kenapa bertanya begitu? Apa sikap dan penampilanku ini masih meragukan? Uh, kacau. Sebenarnya aku belum terlalu lihai melakukan pekerjaan itu, meski sudah menjalani privat menyapu dan mengepel dengan OB perusahaan kepercayaanku untuk mengajari melakukan hal-hal itu.
Yah, bukan salah OB itu sepenuhnya, mungkin, sebab tak maksimal mengajarkan. Lebih banyak gugup dan ketakutan tiap kali aku bertanya pendapatnya tentang caraku melakukan hal-hal itu. Dia selalu menjawab, "Iy-iya, benar, Tuan."
Selalu benar, jawabannya. Aku tahu, dia tak pernah berani menyalahkanku, meski itu dalam rangka 'belajar', yang sedang kulakukan.
"Bisa," jawabku singkat. Belum mengangkat pandangan.
"Baik, saya percaya. Maaf, Kang. Hanya memastikan." Ia tiba-tiba sudah menepuk bahuku akrab.
"Sebenarnya, pas sekali memang sebab Mang Bilal, marbot masjid ini sedang ijin pulang kampung, selama Ramadhan ini. Jadi memang sedang kosong," jelasnya dengan senyum renyah.
Ya, tentu saja marbot lama itu sudah pergi, Handi juga sudah mengatur kepergiannya, agar aku bisa menggantikan posisinya, di sini. Ini semua bagian dari rencana.
"Nanti insya Allah selalu ada jatah sahur dan berbuka puasa. Tenang saja, insya Allah untuk makan dijamin," ucap pria paruh baya itu sambil mengangguk ke arahku.
Aku ikut mengangguk.
"Di sini tempat penyimpanan alat-alat kebersihan untuk membersihkan masjid ya, Kang. Sapu, alat pel, ember, dan lain-lain. Tugas Kang Fadi jadi memastikan Masjid Almira Tiga ini selalu dalam keadaan bersih dan rapi ya. Selain itu juga mengecek speaker masjid, microfon, juga memutar murottal di waktu-waktu jelang sholat." Ustadz Yahya menjelaskan tugas-tugas yang mesti kukerjakan mulai hari ini juga.
Yeah, selamat datang kehidupan baru.
Handi pamit tak lama setelah aku diantar ke dalam sepetak kamar sederhana yang berdempetan dengan masjid ini.
"Jika Anda butuh bantuan atau tidak tahan di sini, segera telepon saya, Tuan," bisiknya.
"Tidak. Aku akan bisa menyelesaikan semuanya dengan baik," sahutku sambil memindai sekeliling kamar yang akan kutempati satu bulan ke depan.
Ini ruangan yang... sangat sempit. Bahkan lebih sempit dari ukuran toilet atau kamar mandi kamarku.
Handi pergi. Dan tertinggal aku sendiri di kamar ini. Melepaskan masker wajah yang sedari awal kedatangan terus kukenakan. Lalu bercermin, menatap dua tompel besar tempelan di kedua pipiku serta satu tompel lebih kecil di daerah dagu. Tentu saja ini tompel mahal yang terlihat sangat natural, seperti asli, memenuhi kedua pipiku. Hey, penyamaran macam apa ini?
Aku mengangkat bahuku sendiri. Anggaplah aku hanya sedang berjaga-jaga dalam penyamaran. Sebab bukan tidak mungkin, ada jamaah yang tak sengaja datang ke masjid ini lalu mengenaliku. Aku harus maksimal menyamarkan diri.
Ya, aku harus terlihat sangat berbeda. Aku sekarang sedang menjadi Kang Fadi--si marbot masjid, bukan Tuan Alfa--sang CEO ternama.
Aku kembali berkaca. Melihat wajah tampanku yang terlihat sangat berbeda dengan tompel-tompel dan belahan rambut culun seperti ini. Nampak... mengenaskan.
Belum selesai aku menertawakan rupaku sekarang, pintu kamar diketuk. Aku segera beranjak, membuka pintu.
Ustadz Yahya lagi yang datang. Dan cukup terkejut melihat rupaku tanpa masker wajah seperti tadi. Dengan tompel-tompel yang memenuhi wajahku ini. Ya, pasti terlihat sangat nyata.
Namun cepat ia mengurai ekspresi keterkejutannya dengan mengucapkan salam.
"Kang, bisa membersihkan masjid mulai hari ini ya? Sore juga tidak apa-apa. Kalau masih mau istirahat, silakan istirahat dulu. Soalnya malam insya Allah sudah dipakai tarawih. Saya mau pamit pulang dulu," ucapnya tenang.
"Baik, sebentar lagi saya bersih-bersih," jawabku. Berusaha agar terdengar sealami mungkin.
"Oh ya, sebentar. Ananda, sini. Mana makan siang untuk Kang Fadi tadi?" Ustadz Yahya berpaling, memanggil seseorang.
Ananda?
Lalu mendekat seorang gadis berjilbab coklat, menyerahkan sebungkus makanan pada Ustadz Yahya.
"Ini, Ayah."
Seorang gadis muda.
----Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
