
1. Jenuh Jadi Orang Kaya
Pernahkah kalian merasakan berada di titik terjenuh kehidupan? Ketika semua yang sangat biasa menjadi seakan hilang rasa?
Aku, sungguh jenuh. Dengan semua ini. Kehidupan yang terlalu monoton dan keberuntungan yang terus berpihak.
Aku bosan melihat uang dan menikmati kekayaan. Ah, tidak, bukan hanya bosan. Aku sungguh jenuh. Parahnya, beberapa waktu belakangan, aku sungguh merasakan sakit kepala tak tertahankan hingga mual dan muntah tiap melihat tumpukan uang dan perhiasan. Semua yang mengelilingiku sejak dalam kandungan.
1. Jenuh Jadi Orang Kaya
Pernahkah kalian merasakan berada di titik terjenuh kehidupan? Ketika semua yang sangat biasa menjadi seakan hilang rasa?
Aku, sungguh jenuh. Dengan semua ini. Kehidupan yang terlalu monoton dan keberuntungan yang terus berpihak.
Aku bosan melihat uang dan menikmati kekayaan. Ah, tidak, bukan hanya bosan. Aku sungguh jenuh. Parahnya, beberapa waktu belakangan, aku sungguh merasakan sakit kepala tak tertahankan hingga mual dan muntah tiap melihat tumpukan uang dan perhiasan. Semua yang mengelilingiku sejak dalam kandungan.
Yes, aku dilahirkan dari keluarga konglomerat, kaya raya tujuh turunan. Kehidupan yang terlalu berkecukupan dan digelimangi kemewahan.
Aku jenuh. Dan ingin segera pergi jauh. Atau menjalani kehidupan lain yang bisa membuatku sembuh, dari mual melihat uang.
Dokter keluarga kudatangkan untuk mengobatiku. Tapi semua mengangkat tangan. Bingung dengan penyakitku atau sengaja menutupi?
"Em, tidak ada penyakit medis yang serius. Saya rasa semua normal. Sepertinya anda hanya terlalu banyak fikiran dan stress menghadapi pekerjaan, tuan muda," jelas dokter terakhir yang memeriksaku. "Mungkin anda bisa mengagendakan untuk refreshing, berlibur ke luar negeri, menikmati suasana pantai atau...." Dokter wanita yang kutaksir berusia empat puluhan dan menjadi dokter pribadi Mamiku itu menggantung kalimatnya.
"Atau apa?" Aku memicingkan mata yang terasa kian berat. Sembari memijat tengkuk yang terasa sakit.
"Atau Anda membutuhkan suasana baru," sambungnya. Terdengar hati-hati.
Aku masih memicingkan mata.
"Yah, dalam beberapa kasus... em, menikah bisa menjadi salah satu solusi." Ia mengangkat bahu dengan sungkan melihat ke arahku. Setelah melirik kepada Mami.
Baik, aku tahu ada 'persekongkolan' di sini. Antara dokter itu dengan Mami. Yeah.
Ini memuakkan. Entah bagaimana Mami dan Papi bisa bertahan hidup dalam kehidupan menjemukan ini hingga setengah abad. Lalu memaksaku untuk juga bertahan. Ouh. Huft. Aku tidak bisa.
Dan tidak ada satupun yang percaya, aku jemu, jenuh, justru dengan kekayaan ini. Bukan karena stress biasa.
Dan apa yang dikatakan oleh dokter yang aku yakin sudah disetting oleh Mami tadi? Solusinya dengan menikah? Tidak masuk akal bukan? Solusi menghilangkan kejenuhan dan stress dengan menikah? Aku tidak sebodoh dan sepolos itu. Aku sangat mengerti, menikah hanya akan meningkatkan kadar stress lebih besar. Sudah banyak buktinya.
Ini sungguh, hanya akal-akalan Mami agar aku mau dijodohkan, dengan juga putri-putri bangsawan, yang sekasta dan setara dengan keluarga ini. Lagi-lagi, untuk kian menumpuk pundi harta.
Aku semakin mual membayangkannya.
"Hoek!" Ups. Aku muntah. Yah, tak bisa lagi kutahan.
Aku sungguh jenuh. Kenapa tidak ada yang mau mengerti?
Dokter itu, aku yakin ia tahu apa yang kualami, hanya saja uang Mami pasti membuatnya bungkam untuk mengungkapkan. Huh. Lagi-lagi karena uang. Membuatku kembali mual.
---
"Stress anda sudah sampai di titik cukup parah sepertinya, Tuan." Handi, asisten pribadiku menatapku khawatir. Menyodorkan sebotol minyak kayu putih ke atas meja kerjaku.
Aku memijit pelipis. Lalu menutup kasar sekoper uang yang baru dibawa oleh klienku, beberapa menit lalu.
"Ya."
"Apa anda tidak ingin berobat dulu?" Handi kembali menawarkan.
Aku hanya mengangkat bahu. Berobat? Percuma saja berobat jika dokter-dokter keluarga itu nyatanya berada di bawah persekongkolan dengan Mami dan Papi. Malah memberikan solusi tak masuk akal. Refreshing ke luar negeri atau yang lebih gila, menikah--dengan putri bangsawan yang mereka tawarkan. Sungguh tidak ada pengertian akan kejenuhanku ini.
"Apakah ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Handi belum beranjak dari ruanganku. Bertanya serius.
Tidak biasanya dia banyak bertanya seperti ini. Yah, mungkin kondisiku sudah terlihat sangat memprihatikan sekarang. Hingga memancingnya untuk lebih berani menelisik hidupku lebih dalam.
Handi, ya, dia adalah orang kepercayaanku. Mungkinkah dia bisa membantuku?
"Maksud saya, em... stress apa sebenarnya yang Tuan alami? Pekerjaan? Saya rasa semua proyek berjalan sangat lancar. Tender-tender perusahaan terus mengalami kenaikan--"
"Ya, itu! Itu sebabnya!"
Handi terdiam. Seperti berusaha keras mencerna maksudku.
"Maaf, saya tidak mengerti, Tuan," ucapnya sambil menunduk hormat.
Aku kembali membuka koper berisi penuh uang ratusan ribu. Lalu mendorongnya keras dari atas meja hingga tumpukan uang bernilai total satu milyar itu berhamburan di lantai.
"Aku muak melihat uang! Aku jenuh dengan semua kekayaan ini! Kau mengerti?!" Aku memejamkan mata sambil menghempaskan kepala ke sandaran kursi kebesaran.
Handi terdiam beberapa saat. Lalu kudengar kemudian ia kembali membuka suara.
"Ya. Saya mengerti, Tuan. Kalau begitu, ijinkan Saya memberikan solusi."
Aku membuka mata. Tajam menatapnya.
"Apa?" Antara ragu dan terpancing ingin tahu.
"Anda butuh mencoba hidup yang baru, Tuan."
Entah kenapa, yang kembali terlintas di kepalaku atas kalimat ambigu Handi adalah hal yang sama dengan sesuatu yang terus disodorkan Mami, menikah.
Ternyata Handi sama saja.
"Orangtua saya kebetulan donatur bagi pembangunan sebuah masjid, Tuan. Jadi sedikit banyak mengetahui soal perkembangan tempat ibadah itu." Ia berucap tenang. Tapi seakan penuh keyakinan.
Aku belum mengerti, apa maksudnya?
"Jika Anda mau, saya bisa merekomendasikan Tuan untuk menjadi marbot masjid itu selama bulan Ramadhan yang sebentar lagi tiba, Tuan," ucapnya hati-hati.
Aku tersentak.
"Apa?!"
"Ya. Saya rasa Anda butuh suasana dan pengalaman hidup yang tak biasa. Keluar dari semua zona ini. Merasakan nasib hidup dalam kasta manusia awam. Anda bisa tinggal di masjid itu pada sepetak kamar sederhana yang disediakan. Melakukan pekerjaan kasar dengan bayaran seikhlasnya dan hidup dalam kesederhanaan. Jika Anda memang benar-benar jenuh dengan kehidupan Anda sendiri." Handi memberanikan diri menatapku sekilas, lalu menunduk tak lama kemudian. "Em, saya mohon maaf jika saran ini terdengar lancang, Tuan," sambungnya.
Bekerja kasar dengan bayaran seikhlasnya dan tinggal di sepetak kamar sederhana?
Aku belum menjawab apapun tapi bisa kurasakan suatu kehangatan yang menenangkan mulai menjalari tengkuk hingga kepala dan dada. Ah, apa ini? Aku merasa hembusan ketenangan seperti tertiup ke dalam diri ini begitu saja, hanya demi mendengar gambaran kehidupan yang disebutkan Handi tadi.
"Ah, ya. Maaf jika saya sangat lancang, Tuan. Mungkin saya terlalu banyak berimajinasi." Ia tersenyum sungkan demi mendapatimu yang hanya terdiam. "Jika Anda ingin berlibur, saya akan segera siapkan tiket, hotel, serta keperluan liburan Anda dan--"
"Oh tidak. Aku menerima tawaran pertamamu," potongku cepat.
Ia melebarkan mata, memastikan kesungguhan perkataanku.
"Aku ingin menjadi marbot masjid seperti yang kau tawarkan. Mengerti?"
"Oh, ya. Baik, Tuan."
"Bagus. Urus semuanya. Jangan lupa, rahasiakan semua identitasku, di sana. Dan handle perusahaan selama aku pergi mengasingkan diri. Rahasiakan hal ini dari siapapun. Termasuk keluargaku." Aku mengetuk ujung meja.
"Baik, Tuan." Handi mengangguk faham. Dengan raut teramat lega.
Aku menunjuk ke arah pintu, suatu kode, bahwa aku sudah selesai bicara dengannya.
Sekali lagi ia mengangguk hormat, lalu meninggalkan ruanganku. Dengan membawa senyuman yang tak biasa.
Sementara di meja ini, aku mengambil kalender lipat di atas meja. Selama bulan Ramadhan tahun ini? Itu artinya, satu minggu lagi.
Baiklah. Aku akan menjalani kehidupan baru. Ini menantang dan menyembuhkan mual serta sakit kepalaku, bahkan hanya dengan membayangkannya. Semoga saja kenyataan sebaik bayanganku ini juga.
Ya, kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Aku hanya sedang berupaya keluar dari titik jenuh ini.
---
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
