
"Oh, ehm... Nggak apa-apa," sahutku akhirnya.
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum simpul.
9. Makin Suka
"Oh, ehm... Nggak apa-apa," sahutku akhirnya.
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Masuk ke dalam bersama anak-anak muridnya yang baru tiba.
Haduh, ternyata dia memang ramah dan sederhana. Hampir aku yang salah menilainya.
Aku meneruskan menyapu. Sambil mencuri pandang ke dalam lewat jendela kaca, ke arahnya yang sedang mengajar anak-anak mengaji satu-satu.
Adinda.
---
Setelah hari itu, hari-hari menjadi marbot masih melelahkan tapi sekaligus jadi menyenangkan.
Di masjid ini, pagi-pagi dia selalu datang walau cuma sebentar. Rapi-rapi di tempat sholat perempuan atau menukar mukena kotor dengan yang sudah dicuci dan menyusun di lemari khusus wanita. Rajin banget rupanya.
Sore dia datang lagi, buat ngajar ngaji, tiap habis jualan kue. Herannya, di malam tarawih waktu banyak jama'ah berdatangan, dia malah nggak ada.
Sebelum maghrib dia sudah meninggalkan masjid, pulang. Setelah membantuku menata bukaan puasa untuk jamaah yang berbuka di masjid. Kayaknya dia sudah terbiasa melakukan itu. Malah aku yang jadi diajarinnya. Maksudku, aku otodidak saja, ngikutin apa yang dia lakukan. Walau inginnya diajarkan, kalau perlu privat. Tapi habis ngajar ngaji, dia selalu nampak buru-buru. Aku juga pasti sudah sibuk mengerjakan dan disuruh ini itu di jam-jam segitu. Jam sibuk marbot. Huft.
Tapi siang-siang, di jam-jam dia jualan kue, aku selalu punya alasan untuk keluar. Ke toko di simpang jalan. Cuma sekedar buat lihat, seorang gadis lagi panas-panasan ngabisin dagangan kue dari beberapa nampan yang ia susun di keranjang sepedanya.
Pemandangan yang bikin hati bergetar. Antara senang lihat ketulusan dan kerja kerasnya, tetap berusaha di tengah lelahnya puasa, sama nggak tega juga menyaksikan usaha dia sampai segitunya.
Diam-diam, aku bayar orang untuk borong dagangan kue-kuenya tiap hari. Supaya dia nggak perlu lama-lama jualan kepanasan kayak gitu. Kasihan.
Lalu saat ia berkemas dengan senyum terkembang, bersemi juga perasaanku dari seberang jalan yang nggak nampak olehnya dari seberang.
Jujur, aku kasihan dan kefikiran. Kok tega Ustadz Yahya begitu ke anaknya? Apa dia dipaksa cari uang? Padahal Ustadz Yahya nggak kelihatan orang yang susah-susah amat kok. Setidaknya, selalu naik kendaraan motor mengkilat tiap ke masjid. Kenapa anaknya sampai jualan begitu?
Lalu saat malam, selepas memeriksa laporan perusahaan yang dikirimkan Handi via email, sebelum tidur aku selalu kembali kefikiran, dia. Lalu membayangkan besok bakal gimana.
Beberapa kali aku ngintip, sebagian uang hasil jualan, dia masukin ke kotak amal masjid waktu nggak ada orang yang lihat. Dan itu dalam nominal cukup besar. Padahal aku tahu hasil jualannya nggak gede-gede banget. Dermawan banget ternyata.
Makin hari, makin kagum aja. Sama gadis rajin, pekerja keras, sholeha dan santun kayak dia. Apalagi, justru cuma dia gadis di sini yang memandangku nggak beda. Meski aku tompelan dan lagi nyamar jadi marbot masjid aja. Sikapnya nggak beda ke siapa aja. Sama-sama hormat.
Ehm, dia... sudah punya pacar belum ya? Untuk pertanyaan ini, aku penasaran luar biasa. Tapi gimana cari tahunya?
---
Aku juga masih belajar ngaji dan malah tambah giat sekarang. Meski tiap hari harus memperbaharui niat dengan mengingat kata-kata guru ngajiku ini. "Karena apapun niatnya, capeknya sama. Yang beda hanya tujuannya, rasanya, dan pahalanya."
Kalau difikir, benar juga. Kalau capeknya sama kenapa harus salah niatnya?
Dan lagi, aku teringat terus, soal niat dan tujuan. Harus bisa membedakan dan menempatkan. Mana tujuan, mana kendaraan, dan mana teman di perjalanan. Tujuan adalah Allah. Kendaraan adalah dunia dan harta serta kemampuan yang dipunya, sedangkan teman seperjalanan adalah Adinda. Eh, maksudku, kelak seorang pendamping hidupku nantinya.
Kemajuan dalam pembelajaran iqro' menuju Al Qur'an ku cukup lancar. Tentu saja aku belajar dengan cepat. Atau memang Allah yang memudahkan. Seperti kata Ustadz Yahya juga, jika seorang hamba menuju pada Allah dengan cara berjalan, maka Allah menyambutnya dengan berlari. Apa iya? Tapi kok terasa makin benar semua yang diucapnya.
Pekerjaan ini, perlahan menjadi tak seberat di awal. Sebab aku makin beradaptasi dan kayak ringan sendiri, ngajalanin semua ini. Nggak sekedar menjalani terapi, aku bahkan merasa kayak nemuin hidupku yang baru di sini. Bebas banget. Aku bisa ketiduran siang sambil telentang gitu aja di lantai. Tanpa harus jaga imej dan kehormatan keluarga.
Aku bebas makan nasi bungkusan yang dibagiin dari orang-orang tiap sahur dan berbuka. Tanpa aturan ketat harus makan dengan siapa dengan dan untuk kepentingan bisnis apa-apa. Semuanya suka-suka.
Sejujurnya, aku baru nemuin kehidupan sebebas ini. Tenang bahkan walau tanpa uang.
Oh ya, uang. Siang tadi aku diberi amplopan, oleh Ustadz Yahya. Katanya gaji mingguan. Iya, marbot di masjid ini ternyata digaji mingguan. Langsung oleh pendiri masjid ini. Baik banget, siapa sih? Aku jadi penasaran. Jarang-jarang kan nemuin pendiri masjid juga sangat perhatian sama marbot masjidnya. Walau belum pernah jumpa. Aku kan cuma menggantikan marbot masjid asli untuk sementara.
----
"Awas!" Aku menangkap sepeda besi yang oleng ke kanan. Menahan dengan lenganku.
Nyaris saja, sepeda itu terjatuh bersama seluruh kue yang bersusunan di sepenuh keranjang dan sebagian terikat di boncengan belakang. Banyak banget bawa kue-kuenya.
"Astaghfirullah!" Ia berseru kaget. Melepaskan pegangan pada sebelah pelipisnya.
Adinda.
Gadis itu nampak pucat.
"Sakit?" Tanyaku setelah membenarkan posisi berdirinya sepeda.
Dia meraih kembali sepeda yang memang tak dinaikinya sejak tadi, digeret dari samping gitu aja. Ya, sangat beresiko menaiki sepeda dengan bawaan sebanyak ini memang.
Dia menggeleng.
"Makasih banyak, Kang." Tersenyum tipis. Lalu berusaha mengambil alih sepeda sepenuhnya.
"Nggak puasa?" Pertanyaan keduaku. Masih menahan sepeda.
Dia mengernyit.
"Puasa," jawabnya heran. Atau mungkin tersinggung.
"Bukannya kalau puasa nggak boleh bohong?"
"Hah?"
Aku menarik sepedanya ke depan. Membuat dia harus mengikuti. Diiringi ia yang berusaha mengambil alih sepedanya yang kubawa.
"Bohong apa?" Dia masih bertanya heran.
Aku menoleh. Merasakan desir hangat yang lebih dari sekedar kasihan. Bukan iba. Aku nggak tega dan... makin suka. Suka? Iya, beneran suka. Nggak tahu kenapa. Banyak banget alasannya. Aku justru nggak punya alasan untuk nggak menyukainya.
"Lagi sakit kan?"
"Oh...." Dia kayak baru nyadar, maksud ucapanku.
Mau menggeleng lagi atau kembali menjawab 'enggak' tapi urung saat aku menoleh dan menatap lekat ke arahnya. Gadis ini, benar-benar berkharisma.
Dia menunduk. Antara malu atau entah. Nampak gugup. Sepertinya dia nggak biasa ngobrol sama cowok. Kelihatan lucu.
"Cuma sedikit pusing," jawabnya sambil berhenti dan menahan sepedanya. "Makasih, Kang. Maaf, sepedanya."
"Saya aja yang bawakan," ucapku tetap terus berjalan. Tak mengindahkan tangannya yang ingin mengambil alih.
"Nggak usah, Kang. Nggak enak--"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. Dan belum sempat aku bertanya, nggak enak sama siapa?
Yang terjadi selanjutnya, seperti menjawab semuanya.
"Dinda!" Aku dan dia menoleh bersamaan ke sumber suara dan klakson yang sesaat lalu dibunyikan dari belakang.
Sebuah mobil putih berhenti, diiringi dengan keluarnya sesosok pria yang langsung menghampiri lalu mengambil alih kue-kue ini, seluruhnya. Memasukkan ke dalam mobilnya. Mungkin sebentar lagi sepedanya juga dimasukkan ke dalam mobil dan Adinda pun akan masuk bersamanya.
Ustadz Khalid. Ustadz muda tampan, imam tarawih masjid itu.
Aku menelan saliva bersama dinding hati yang terluka. Melepaskan pegangan pada stang sepeda.
Ustadz muda itu sempat menyapaku dan kutanggapi sekedarnya. Lalu aku mundur dengan tahu diri. Membawa patah hati.
Jadi maksudnya, nggak enak sama Ustadz Khalid? Mereka punya hubungan? Ya, tentu saja.
Aku sudah melangkah menjauh, tak tahu apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Bukan urusanku. Dan lagi, Adinda bahkan tak menolak pertolongan Ustadz Khalid. Meski semua kue itu diangkat ke dalam mobilnya. Padahal tadi ia menolak kubantu. Jadi begitu?
Aku yakin, bukan karena 'mobilnya' tapi karena siapa yang membantunya. Sebab aku tahu, dia bukan gadis materialistis, entahlah. Ustadz Khalid yang jelas-jelas pandai mengaji dan sholeh itu, tampan dan banyak hafalan Al-Qur'an pula. Sedangkan aku, masih belajar iqro, lagi jadi marbot dan tompelan gini pula. Kok jadi jauh banget gini sih saingannya?
Gini ya rasanya, saat nyadar bahkan walau seluruh kekayaan tujuh turunan kuperlihatkan sama gadis model kayak dia, nggak akan berarti apa-apa kalau sholeh yang justru jadi patokannya. Beda levelnya.
Aku melangkah galau. Dengan pikiran kacau. Hingga kudengar mesin mobil menjauh di belakang. Dia sudah pergi. Nggak enak gini sih rasanya. Satu kalinya suka sama perempuan, keduluan sama yang banyak modal sholeh luar dalam.
"Kang, makasih tadi dibantu."
Suara itu, suaranya. Kufikir ia sudah naik di mobil Ustadz Khalid. Aku menghentikan langkah. Menoleh ke arah sepeda yang berhenti persis di belakangku.
Adinda. Menyodorkan sebungkus kue ke arahku.
"Nih buat buka puasa. Maaf ya, Kang, sisa ini kuenya. Lainnya pesenan semua."
Hatiku yang terluka, sembuh seketika. Dan merasakan getaran yang menyala saat menyambut plastik kue dari tangannya.
"Assalamualaikum." Dia kembali menaiki sepedanya, melewatiku.
"Wa'alaikumsalam...." Senyumku terkembang, mengamati punggungnya sampai menghilang di ujung jalan, lalu terdiam lama mengamati bungkusan kue yang ia berikan.
Jadi tadi kue pesanan? Pesanan Ustadz Khalid?
Ah, aku salah sangka. Maaf ya, Adinda.
---
10. Jadikan Aku anakmu, Ustadz
Sayangnya, setelah hari itu, Ustadz Khalid semakin sering datang ke masjid ini. Padahal di hari-hari sebelumnya, ia hanya datang di waktu tarawih. Sebab tugasnya hanya menjadi imam tarawih. Di waktu lain, entahlah, sepertinya ia memiliki jadwal padat menjadi imam dimana-mana. Dan lagi, sepertinya tempat tinggalnya cukup jauh, tidak di daerah sini. Sebab selalu datang menggunakan mobil.
Kenapa sayangnya? Sebab ia datang di jam-jam Adinda mengajar. Membesarkan lagi kecurigaan kalau mereka ada hubungan.
Aku bisa menangkap itu, bagaimana lelaki dengan wajah paduan timur tengah itu saat melihat ke arah Adinda. Beda aja. Pandangan seseorang yang menyimpan 'sesuatu', sepertiku. Walau tentu aja ia tidak memandang berlama-lama, dia pasti cukup tahu batasan sebagai seorang imam, dan seorang lelaki saat memandang perempuan.
Atau dari caranya memanggil Adinda.
"Dinda, gimana perkembangan anak-anak ngajinya?"
Pertanyaaan yang memanaskan hatiku.
Aku meremas gagang sapu di tangan sambil bergerak mendekat untuk melancarkan 'gangguan'.
Tidak suka. Jelas aku tidak suka ia mendekati Adinda. Maka seringkali, aku mengganggu. Berlalu-lalang dengan alasan mengepel atau menyapu di tengah ia yang sedang bicara atau memanggil Adinda. Biar terganggu! Tahu rasa, ini area kekuasaanku, sebagai marbot masjid ini. Huh.
Caraku norak sekali? Tidak. Tentu saja aku melakukannya dengan cara yang elegant. Dan sukses membuatnya tidak nyaman. Lalu memutuskan pergi tak lama kemudian.
Lagian, kenapa harus Adinda sih? Eh, kenapa aku setidak terima ini? Mungkin aku... cemburu. Aneh ya.
Gadis itu mengangguk sopan saat aku menoleh seperginya lelaki itu. Entah faham 'maksudku' atau tidak. Lalu meneruskan mengajar ngaji anak-anak.
Anak-anak selalu nampak ceria dan senang diajarkan mengaji lalu diceritakan kisah-kisah nabi olehnya.
Aku memperhatikan itu, semua aktivitasnya. Duh, jadi pengen diajarin ngaji juga Kakanda, sama Adinda. Aku tersenyum lebar. Duh, bakal digeplak Ustadz Yahya kali, kan ustadz jenggotan itu guru ngajiku.
Heran, adem banget lihatnya. Nggak pernah-pernah nih ngerasa setertarik ini. Sesuka ini. Dan semendebarkan ini.
Dia beda aja. Sangat sederhana, sopan, rajin, cekatan, dan nampak sholeha. Nggak caper kayak kebanyakan gadis yang pernah kukenal. Dan lagi, sekalipun aku nggak pernah lihat dia pegang handphone. Langka banget kan jaman sekarang.
Aku juga sedang istirahat dengan gawai buat ngejalanin therapi pribadiku, istirahat dari kemewahan yang bikin aku merasa pusing dan mual yang makin menyiksa itu. Baru terpaksa harus buka email dan chatting dengan Handi di malam hari, ngontrol perusahaan. Setelah selesai semua tugas dan pekerjaan seputar urusan masjid ini. Aku pakai handphone baru, nomor baru, yang tahu cuma Handi. Aku benar-benar sedang berpuasa dari semua orang di dunia nyataku.
Ya, itu aku. Memang sedang puasa dari semua fasilitas bahkan handphone dengan segala aktivitas menjeratnya. Tapi dia? Bukannya handphone adalah perpanjangan alat indra yang dimiliki dan digantungi semua orang?
Atau mungkin dia sengaja nggak bawa handphone ke masjid? Biar fokus ngajar. Ya, bisa jadi. Sesederhana itu mungkin alasannya. Dan buat aku, itu ngagumin.
---
"Apa kabar, Ayah?"
Aku menoleh. Mendengar suara yang belakangan kerap kudengar saat sedang bicara, di luar suara dan bacaan saat sedang menjadi imam tarawih, Ustadz Khalid.
Lagi-lagi, dia datang sore-sore. Alasannya sama kayak kemarin-kemarin, nemuin pengurus masjid entah untuk urusan apa. Bahkan sampai maghrib dan isya lebih sering di sini sekarang. Buka puasa juga di sini. Menyantap takjil yang kusiapkan. Jadi, sedikit kuusilin. Bagian dia, kuenya kukasih dikit banget aja. Supaya jera buka puasa di sini. Itu namanya strategi.
Katanya sedang ada urusan dengan DKM. Hem, jangan-jangan cuma alasan buat nemuin Adinda. Nantang banget. Eh, nantang siapa? Ya, aku tertantang maksudku.
Dan baru kali ini posisiku begitu dekat dengannya saat ia sedang menghampiri pengurus masjid, Ustadz Yahya.
Ayah? Dia memanggil Ustadz Yahya dengan ayah juga?
Mereka jelas bukan saudara. Kata Ustadz Yahya, Ustadz Khalid itu anak dari sahabatnya.
Oh, jadi dia ngambil langkah sejauh itu udah? Manggil-manggil 'ayah' ke ayahnya Adinda? Tuh kan, nggak salah aku curiga. Dia pasti nyimpan rasa dan niat tertentu ke Adinda.
Nggak cuma panas, terbakar rasanya hati aku sekarang. Lalu terbenam dalam arang yang berubah jadi puing mematikan. Waktu lihat Ustadz Yahya tersenyum lebar menyambutnya.
"Baik. Alhamdulillah baik," jawab lelaki paruh baya yang mulai nampak banyak ubannya itu, menyalami dan memeluk 'sainganku'. "Gimana kabar Umi? Katanya kemarin opname ya? Maaf belum sempat besuk."
Lalu mereka mengobrol akrab. Bahas keluarga.
Kayak terhempas. Serasa dada teremas-remas. Selama ini, aku selalu mendapatkan semuanya. Apapun yang kuinginkan dalam artian materi dan kekayaan. Kecuali kebebasan dan perasaan.
Kali ini, keterkurungan dan kegagalan ini kembali kurasakan. Aku memang tak pernah beruntung perihal perasaan. Kebebasanku amat dibatasi dalam pergaulan, oleh orangtuaku. Lalu perasaan pada wanita tak pernah juga bisa benar-benar kurasakan.
Dan kemudian, saat ini, saat labuhan rasaku sedang mekar pada satu orang, satu nama yang bikin aku selalu mikirin dia, gadis yang tiba-tiba aja bikin aku suka, aku harus kembali berhadapan dengan keterkurungan. Dalam keadaan dan penyamaran ini.
Sainganku nggak imbang. Dia imam, terhormat dan kenal dekat dengan orangtuanya. Sedangkan aku sedang berperan jadi marbot, miskin, dan aku bohong sejak awal, bilang sudah nggak punya keluarga--cuma buat menyempurnakan penyamaran. Biar diterima jadi marbot di sini tanpa ditanya lebih jauh soal keluarha. Handi yang memulai alasan dan kebohongan itu waktu pertama kali memperkenalkanku.
Aku juga nggak sesholeh Ustadz Khalid. Ngaji juga baru belajar. Udah gitu, tompelan.
Logis. Aku mengajak hatiku berdamai dengan berfikir logis. Kalau aku di posisi seorang ayah, seperti Ustadz Yahya, jelas aku lebih memilih lelaki yang jelas seperti Ustadz Khalid. Ilmunya jelas. Pekerjaan dan latar belakangnya jelas. Dibanding seorang marbot yang bergantung hidup pun di masjid ini aja.
Gimana ini? Remuk rasanya hati.
---
Sampai malam, susah banget terpejam. Kefikiran perasaan. Kefikiran Adinda dan Ustadz Khalid yang sejujurnya, serasi sekali dari sudut pandang manapun dilihatnya. Sama-sama anak ustadz. Sama-sama sholeh dan sholeha. Justru nggak serasi kalau sama aku.
Tapi kenapa timbul perasaan setidakrela ini? Hati yang terluka dan logika lelakiku yang ingin memilikinya.
Ah ya, ternyata aku sesuka itu dengan Adinda. Dan sakitnya sebesar ini. Kenapa aku ngerasain sakit hati sehebat gini? Sebab cemburu. Karena bukan ambisi ini namanya. Diam-diam aku pengen banget berjalan di belantara kehidupan masa depan sama dia. Diam-diam, tiap lihat dia, yang kubayangkan adalah hari-hariku yang ditemani sama dia meski selama ini belum pernah ngobrol lama.
Sekilas-sekilas sapa, atau obrolan singkatku sama dia, itu sudah cukup menggunungkan perasaan ini untuk menuntut balasan perasaan darinya.
Dia, gadis impianku yang ternyata ada di tempat ini. Semua yang kusuka, ada pada dirinya. Adinda.
Baru ketemu beberapa waktu belakangan padahal. Tapi segini besar aku merasa dia sebagai belahan jiwa yang menghidupkan nyala semangatku yang hampir hilang. Bahkan mematahkan ketidakinginanku soal pernikahan. Satu hal yang paling kuhindati seumur hidup. Menikah bagiku hanya menambah tumpukan masalah. Tapi demi melihatnya, kulihat menikah adalah satu mimpi yang indah.
Semudah itu ternyata perasaan berubah. Hanya oleh setitik rasa yang hadir tanpa permisi dan tumbuh begitu aja.
Kembali memejamkan mata dan yang terbayang tatapan mata sendunya yang bercahaya di antara lentik bulu mata dan sederhana penampilannya.
Aku menelan saliva sambil merasakan buncah hancur di dada. Bukan titik jenuh seperti awal mula kepergian dari duniaku yang sebenarnya. Sekarang aku sedang merasakan goresan tajam perasaan.
Mungkin Tuhan sedang ngasih aku teguran. Ngasih tahu, kalau bukan kejenuhan yang paling menyakitkan, tapi patah hati.
Aku bisa bertahan dan melarikan diri dari rasa bosan dan kejenuhan pada kekayaan dengan menyamar kayak gini. Jadi marbot. Hal yang gila demi sembuh dari mual dan sakit kepala.
Sakitku perlahan hilang. Jenuhku redam. Kebebasan bahkan tanpa gelimangan uang dan kekayaan bikin aku jauh lebih tenang.
Tapi Tuhan justru ngasih aku perasaan yang terlabuh gitu aja, ke gadis sederhana yang bahkan baru kujumpa. Kemudian terhempas semuanya, detik ini.
Ini sakit. Ternyata patah hati itu sungguh sakit. Aku baru benar-benar tahu rasanya. Lebih sakit dari sekedar jenuh yang kualami sebelum-sebelumnya. Bukan hanya mual dan sakit kepala. Hati yang patah bikin aku merasa sakit seluruhnya. Jiwa raga. Nggak ada celah logikanya.
Aku meremas rambut. Mengamati mataku yang memerah. Menyadari, mungkin Tuhan tengah menegurku. Atas ketidakbersyukuranku dengan kehidupan.
Semua kekayaan yang kumiliki, aku malah bosan. Jadi dikasih patah hati kayak gini. Biar aku ngerti, betapa aku nggak tahu diri. Begitukah?
Malam ini, akhirnya aku memutuskan untuk berkemas. Esok, aku harus pergi. Pulang. Aku sudah membandingkan rasanya. Jenuh dan patah hati. Aku jauh lebih bisa menanggung kejenuhan. Dibanding patah hati. Jauh banget perbandingan rasanya ternyata. Sakitnya lebih nggak terperi, terlukanya.
Ya, untuk apa bertahan kalau ke depan yang akan kulihat Ustadz Khalid dan Adinda yang kian dekat? Di tengah restu orangtua mereka. Lalu apa kabar dengan hatiku yang mengagumi gadis itu diam-diam? Keinginan memperjuangkan tapi terhalang kenyataan. Belum lagi dengan kenyataan kalau ia bukan gadis bangsawan. Bukan gadis impian keluargaku yang gila dengan uang dan kehormatan. Rumit sekali. Saat alam pun rasanya tidak merestui.
Gini yah ternyata, sakitnya jadi pemuda yang kehilangan separuh kesempatan memperjuangkan wanitanya. Kayak nggak ada harapan buat ngelanjutin kehidupan.
Kali ini, di fase kehidupan ini, aku ternyata harus tahu diri.
Aku memutuskan pergi. Esok aku akan mengakhiri semua ini. Daripada bertahan dalam patah hati. Lalu semakin besar rasanya saat melihat mereka bersama bahagia, nanti.
---
"Ananda, sini."
Aku menoleh saat mendengar suara Ustadz Yahya memanggil seseorang. Tepat saat aku ingin berpamitan, pergi dari sini. Mengakhiri semuanya.
Ananda katanya? Apa dia sedang memanggil Adinda? Tepat sekali. Mungkin aku akan melihatnya untuk terakhir kali.
Ada detak tak biasa yang menyapa. Walau sekedar mendengar namanya. Meski aku sudah tahu kenyataan harus menjauh darinya.
Jam 11 pagi. Ini jam belajar mengajiku. Masjid sedang sepi. Ada Adinda datang bersama Ustadz Yahya? Sungguh tepat sekali.
Aku menyipitkan mata, menatap ke sosok yang beranjak menemui pengurus masjid sekaligus guru mengajiku itu di ujung lorong. Muncul di sana seorang gadis berkulit eksotis dengan langkah ragu.
Bukan Adinda.
"Ya, ayah? Emh...." Dia melangkah mendekat. Nampak gugup dengan bola mata bulat yang mengerjap-ngerjap.
Ayah? Anaknya juga? Terlihat sangat berbeda dengan Adinda. Tidak seperti saudara.
Lalu Ustadz Yahya masih memperhatikan ke ujung lorong, lebih tepatnya ke sebalik dinding di ujung lorong. Aku juga mengikuti arah pandangnya. Terlihat seseorang menyembunyikan diri di sana. Ya, kentara sedang 'bersembunyi'.
"Sama siapa?"
"Sendiri."
Ustadz Yahya menggeleng-geleng.
"Bohong."
"Itu...."
"Pacaran di masjid lagi?! Sedang bulan puasa pun. Panggil ke sini!"
Apa? Pacaran di masjid? Ya, beberapa kali aku memergoki sejoli ABG berdua-duaan di pojok-pojok masjid. Bahkan di jam sholat tarawih. Hebat sekali bukan? Itu menjadi tugas tambahan untukku juga dari Ustadz Yahya, menegur, membubarkan mereka. Bisa-bisanya, masjid dijadiin tempat janji ketemuan.
"Kadang ada yang nakal, ngaku sudah nikah. Perhatikan aja tampangnya, Kang. Kalau masih tampang ABG labil, atau tampang pemuda-pemudi, mintain buku nikahnya. Udah sering begitu. Mereka ijin ke orangtua mau sholat jama'ah ke masjid, di masjid malah janji ketemuan, berduaan di pojokan. Apalagi Kang Fadi orang baru, mereka pasti tahu Akang belum hafal wajah-wajah mereka. Tugas kita buat membersihkan tempat ibadah dari hal-hal begini." Pesan Ustadz Yahya kemarin lusa. Dengan raut kesal yang membuncah usai memergoki sejoli berduaan di pojok pagar. Di jam jeda antara Maghrib ke Isya.
Ustadz Yahya melangkah ke ujung lorong dan memergoki seorang ABG laki-laki yang sedang bersembunyi di sana. Bener tuh pacaran. Sementara gadis eksotis tadi kabur lewat pagar samping, melewatiku begitu saja. Sengaja tidak kutahan. Anaknya Ustadz Yahya kan? Biar sajalah nanti jadi urusan Ustadz di rumah mereka.
Selanjutnya, tahulah, kesangaran lelaki itu keluar. ABG lelaki itu diceramahi habis-habisan.
Setelah itu, Ustadz Yahya kembali ke arahku. Dan bertanya padaku, keberadaan gadis eksotis yang tadi.
Kujawab seadanya. Dan aku yang diceramahi sekarang.
"Kenapa dibiarkan pergi gitu aja, Kang? Aduh, Kang Fadi mestinya lebih tegas. Itu Rahel, anaknya Pak Sumitra. Bandel sekali. Sudah sering ketangkap basah pacaran di masjid. Kalau sholat tarawih bukannya sholat malah janji ketemuan. Tiap diadukan ke orangtuanya, orangtuanya malah nggak percaya. Tadi saya niat langsung telpon orangtuanya biar mergokin di sini. Malah dibiarin kabur." Ustadz Yahya mengusap wajah kesal.
Sementara aku terdiam dalam kesadaran yang terlambat datang, aku baru saja membuat kesalahan. Membiarkan tersangka pergi begitu saja. Terbawa suasana, sejenak aku bahkan seperti lupa, niatan awal untuk berpamitan. Nggak tepat sikonnya.
"Yah gini lah, ngurusin masjid harus panjang sabarnya. Kadang kalau kita tegur anak yang nyata salah begitu, ngasih peringatan buat nggak boleh lagi datang ke masjid kalau tujuannya cuma buat janjian dan pacaran, malah orangtuanya ada yang nggak percaya. Nggak terima. Nuduh balik kita nggak ngebolehin anak mereka sholat ke masjid. Padahal kelakuannya begitu. Astaghfirullah." Ustadz Yahya mengusap dada.
"Begitulah ya, Kang. Anak-anak itu selain anugerah, mereka juga sebenarnya adalah ujian buat orangtuanya. Amanah." Suara Ustadz Yahya melemah. Sudah lebih normal. Ya, aku tahu, sosok ini tak pernah lama marah dan kesalnya.
Ia menghirup udara, sambil membantuku menggelar sajadah yang tadi kujemur di teras.
"Kadang, di tengah hampir putus asa saya berdoa untuk diberi keturunan, teringat-ingat kelakuan anak-anak jaman sekarang. Di masjid aja berani pacaran, apalagi di luar. Di depan banyak orang aja berani pegang-pegangan tangan, gimana kalau di tempat yang nggak kelihatan? Ujian jaman. Zina makin terang-terangan." Ia menggeleng-geleng.
Dan saat ini, aku baru mengerti. 'Ayah' itu panggilan khas Ustadz Yahya, dari hampir semua remaja di sini. Juga Ustadz Khalid dan Adinda.
Dia bukan ayah dari Adinda. Dan Ustadz Khalid tidak sedang memanggilnya ayah sebagai panggilan sebagai calon mertua.
Ah, kenapa ini, ada yang membuat hatiku lega luar biasa.
"Nah, kalau ananda yang itu, beda sekali. Dari dulu. Nggak pernah buat ulah. Jangankan bohong soal pacaran, bahkan dia selalu menjaga hubungan untuk nggak pernah pacaran ngikutin teman-teman seusianya. Anaknya baik, sholehah, sederhana, dan berbakti sekali dengan orangtuanya. Walau keadaan sulit terus nguji hidupnya." Ustadz Yahya berucap sambil menoleh ke gerbang depan. Dengan wajah bersinar. Membicarakan seseorang yang datang dari sana.
Aku menoleh ke arah yang dilihatnya. Nampak jelas di sana, Adinda. Masuk ke halaman masjid dengan menggunakan sepedanya.
Hatiku berbunga. Tak berkedip melihatnya.
"Ananda Dinda. Sholehah sekali anak itu. Kalau saja saya punya anak laki-laki, akan saya jodohkan dengan gadis itu." Ustadz Yahya tersenyum.
"Jadikan aku anakmu, Ustadz," ucapku dengan mantap.
---
Bersambung
Hay, selamat membaca dan berpetualang dalam cerita romansa religi ini yah! ๐
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
