
Aldo Amagatta, seorang cucu konglomerat yang sombong dan angkuh tingkat dewa, terpaksa menikahi seorang gadis desa sebagai permintaan tak terbantah sang Opa.
Miranda, gadis cerdas bercadar asal desa yang sholihah dan rendah hatinya luar biasa. Tapi menyimpan banyak kejutan dalam kepribadian tersembunyinya.
Raja sombong dan putri rendah hati.
Selama perjanjian pernikahan, sebab kesombongannya, Aldo Amagatta melarang sang istri untuk membuka cadar di hadapannya.
Kisah seru, tegang, baper, lucu, dan kaya...
#Batal_Cerai
"Berapa usiamu?" Kutatap lekat gadis berkerudung abu-abu yang baru masuk dari arah pintu. Pintu apartemenku.
Ia langsung terdiam di tempat. Menatapku sekejap lalu menunduk ke posisi kakinya berpijak. Gemataran. Ketakutan? Atau apa? Dasar gadis desa!
Bah! Aku paling tidak suka dengan model perempuan seperti ini. Terlalu lugu. Tidak menantang apalagi menarik untuk dijadikan pasangan. Apa? Pasangan?
"Sem... sembilan belas, em...."
"Panggil aku Om! Atau tuan!" Tegasku dengan suara yang kubuat mengerikan. "Aku sepuluh tahun lebih tua darimu. Kau lebih cocok jadi putriku. Paham?!" Aku melempar puntung rokok yang baru selesai kusesap ke arah kakinya yang hanya beralas kaus kaki warna coklat. Ya, coklat. Dipadukan dengan jilbab dan pakaian longgar panjang abu-abu. Begitu terlihat suram.
Dimana letak menariknya perempuan seperti ini? Cantik? Tidak, em tidak tahu. Karena dia menggunakan penutup muka yang hanya memperlihatkan matanya. Jadi, dia pasti tidak mungkin cantik. Makanya wajahnya ditutupi. Seperti itu kan memang? Setiap orang akan menonjolkan apa yang menarik darinya dan menutupi kekurangannya. Jadi kalau dia menggunakan penutup muka begini, maka kupastikan, dia pasti menutupi wajah jeleknya. Jelas saja, dia gadis desa. Wajahnya pasti tak menarik, penuh noda dan jerawat dimana-mana. Benar-benar bukan levelku. Seksi? Tidak. Pintar? Jelas tidak. Menggoda? Apalagi itu.
Kesialan seumur hidup aku harus menikahinya kemudian nanti akan menjadi duda darinya juga. Ya, pernikahan ini hanya sementara, sampai Opa menutup mata selama-lamanya. Semoga tak lama lagi, huh. Bayangkan, Opa yang sekarat lalu aku yang harus ditumbalkan, menikahi gadis desa. Gadis desa dari kampung halaman Oma, dulu. Seperti orang mengidam saja kan? Sudah sekarat banyak permintaan. Harus dituruti pula. Iya kalau hanya meminta makanan atau apalah. Ini malah meminta aku menikah. Hey, me-ni-kah!
Ah sudahlah, nanti juga kuceraikan setelah urusan dengan Opa selesai. Walau ini sungguh mengesalkan. Lebih untung kalau nanti aku menduda dari seorang perempuan cantik, seksi, terkenal, dan dambaan para pria seseantaro jagat raya. Atau minimal, bunga desa lah. Setidaknya, ada yang bisa kubanggakan dari status duda itu, duda dari siapa dan bekas siapa. Kalau darinya ini? Aih, malu saja mengakuinya.
Ia mengangguk takut-takut. Benar-benar membuatku mual.
"Masuk kamarmu! Di sana!" Aku menunjuk kamar tepat di sebelah kamar utama, di sisi kamarku. Hanya ada tiga kamar di apartemen ini. Satu, kamar utama, kamarku. Dua, kamar kosong di sebelah kamarku. Tiga, kamar pembantu. Ada pembantuku yang tidur di sana. Atau, bagaimana kalau kuminta dia tidur dengan pembantuku saja? Ide bagus. Agar semakin faham kastanya. Dan hukuman karena menerima perjodohan dengan lelaki yang terlalu sempurna untuknya ini.
"Hey...." Aku berbalik dan ingin mengubah instruksi, agar ia tidur di kamar pembantu. Tapi terlambat. Pintu kamarnya sudah tertutup rapat.
Aku memicingkan mata. Lalu membuang nafas kasar. Biarkan sajalah. Daripada nanti dia keluar lagi dan aku harus kembali melihat dia dengan penampilan yang membuatku ingin muntah rasanya.
Kubuka laptop di ruang tamu dan mulai mengurus pekerjaanku. Mengamati pergerakan saham yang mulai kacau beberapa minggu belakangan. Hanya aku yang bisa menyelesaikan semua ini. Cucu Opa yang lain, mana bisa. Karena aku yang paling cerdas di antara mereka semua.
.
.
.
Satu minggu yang lalu.
"Kamu harus menikah dengan gadis dari desa Oma." Suara Mami membuatku segera menginjak rem mobil mewah yang sedang kukendarai.
"Kenapa?" Tanyaku terkejut.
"Itu perintah. Tak bisa dibantah. Opa ingin salah satu cucunya menikah dari gadis yang sama dengan kampung halaman Oma." Mami bersuara resah tapi seperti tak bisa membantah dari seberang telepon sana.
"Dari desa?" Aku meyakinkan pendengaranku.
"Ya, dari desa. Kamu masih beruntung bisa memilih. Bukan Opa yang langsung menunjuk siapa. Pokoknya siapa saja yang kira-kira kamu suka. Yang penting dari desa itu. Sebutkan namanya, kita segera lamar dia."
"Untung apanya? Aku tidak mau!" Bantahku dengan suara menekan.
"Tidak bisa. Ini permintaan Opa, Sayang." Suara Mami melemah. Membujukku.
"Salah satu cucunya kan? Alfin saja. Alex. Atau Angga. Kenapa harus aku?" Kusebutkan nama-nama saudaraku yang seluruhnya laki-laki. Ya, aku empat bersaudara. Laki-laki semua. Alfin dan Alex itu bahkan kakakku. Usianya lebih tua dariku. Angga juga hanya terpaut usia dua tahun di bawahku. Kami semua belum menikah. Kenapa aku yang ditunjuk?
"Tidak bisa, Sayang. Alfin dan Angga sudah punya tunangan. Alex juga sudah punya gandengan. Tinggal kamu yang jomblo--"
"Siapa bilang? Banyak yang antri untuk kukencani--"
"Tapi tidak ada yang kamu seriusi kan?"
"Itu karena aku terlalu pemilih. Apalagi soal pendamping hidup. Mami tahu kan aku ini terlalu oke untuk perempuan biasa. Tampan, kaya, mapan, pintar. Apa yang kurang dariku? I'm perfect. Bahkan dibanding Alfin, Alex, atau Angga, ya kan? Makanya aku tak bisa memilih kekasih sembarangan seperti mereka. Harus selevel!" Kataku dengan PD sekali. PD? Ya, jelas saja PD. Semua yang kukatakan memang benar.
"Tapi hanya kamu yang belum punya pacar--"
"Aku bisa mengajak jadian salah satu model tercantik di negeri ini detik ini juga dan mengubah status jombloku sekarang." Aku berkelit untuk terkahir kali. Dari perintah gila ini.
"Terlambat. Opa sudah memutuskan. Kamu harus menikah dengan salah satu gadis dari desa itu. Keberuntungan yang tersisa hanya kamu bisa memilih dengan siapa gadis desa yang akan kamu nikahi."
"Mami, dengar aku. Tidak! Tidak ada gadis desa yang selevel denganku. Seperti langit dan bumi. Aku tidak sudi! Ini soal masa depan!"
"Tidak ada bantahan, Aldo. Opa sudah memutuskan. Dan tak ada yang bisa membantah. Sekalipun Mami. Maaf. Mami hanya menyampaikan. Kamu tahu konsekwensi membantah perintah Opa. Apalagi ini permintaan."
Lalu sambungan telepon itu terputus. Seiring dengan aku yang segera memukul kemudi kencang-kencang.
Menikahi gadis desa? Gadis kampungan?
Sial.
.
.
MEMILIH GADIS DESA
Na'asnya, tidak ada pilihan lain ketika Opa sudah memutuskan sesuatu. Tidak ada bantahan atas perintah dan tidak ada negosiasi atas apa yang dia ingini.
Ancamannya selalu, dikeluarkan dari keluarga Amagatta.
Digepak dari keluarga konglomerat ini? Mau dikemanakan mukaku? Dan dinasabkan kemana garis keturunanku?
Tapi permintaan ini benar-benar gila bukan? Menikah. Bayangkan. Itu salah satu hal terpenting dalam kehidupan. Apalagi untuk tipeku yang sangat memilih-milih pasangan. Makanya tak mudah mengumbar kemesraan apalagi sekedar pesona murahan pada para wanita yang memujaku dengan sekali kedipan mata. Sekedar mendengar nama Aldo Amagatta. Tergelepar tak berdaya mereka. Karena pesona dan kekayaan yang tak ada habisnya.
Maka permintaan Opa ini, benar-benar nasib buruk, buatku.
Kulajukan mobilku membelah perkebunan teh menuju desa yang ditunjukkan Opa. Sendirian. Mencari gadis desa yang akan segera dilamar keluarga Amagatta, calon wanita yang akan kunikahi. Sekali lagi Mami menegaskan 'seolah' keberuntungan, aku boleh memilih gadis desa terbaik yang akan kunikahi.
Hey, keberuntungan apaan? Tetap saja ini namanya nasib sial. Tahu begini, pekan lalu lebih baik kuterima saja Diva, artis seksi papan atas yang menembakku duluan itu. Bahkan bisa dibilang, sampai mengemis-ngemis cintaku. Tanpa harus pikir panjang pasal pendidikannya yang hanya lulusan dalam negeri dan tak masuk level kriteriaku. Padahal itu jauh lebih baik daripada hal ini. Gadis desa. Jangan-jangan bahkan tak bisa baca tulis. Oh, Tuhan.
Sepanjang jalan yang belum teraspal sepenuhnya ini, kupelankan mobil Alphard tipe terbaru yang kukendarai. Melirik kiri dan kanan dimana gadis-gadis desa banyak berlalu-lalang. Memanggul sayuran, sebagian malah menggembala kambing, lainnya memegang ijuk sambil menyapu pekarangan. Benar-benar tidak ada yang menarik. Nampak usang dan tak berpendidikan.
Mereka semua terlihat polos dan kusam. Satu dua yang nampak berdandan, malah menor. Benar-benar kampungan. Bagaimana mungkin aku akan menikahi salah satu dari mereka?
Kata Mami, Oma dulu berasal dari desa ini. Dinikahi Opa yang juga berasal dari kota. Mereka saling jatuh cinta lalu saling setia sampai tua. Hingga Oma meninggal dunia lima tahun lalu. Saat itu, Oma menjadi bunga desa yang digilai pemuda-pemuda kota.
Tapi itu lima puluh tahun yang lalu. Ya, bayangkan, lima puluh tahun yang lalu! Mungkin Oma masih mewarisi garis keturunan kerajaan yang tertinggal di desa, jadi cantik dan terpandang juga. Lah, kalau sekarang? Sudah habis semua. Mana ada yang selevel Oma lagi.
Lihatlah, betapa tak masuk akalnya permintaan Opaku ini bukan? Di dalam kesekaratannya malah terkenang masa muda dan memintaku untuk menikahi gadis desa dari desa sama dengan Oma seperti ini. Padahal seluruh keluarga Oma pun sudah tidak ada lagi yang tinggal di desa ini. Uh, sial tujuh turunan.
Kuhentikan mobil di depan rumah kepala desa. Anak-anak buahku sudah membuat janji bertemu, memberitakan, Tuan Aldo Amagatta siang ini akan datang bertamu.
Aku membuka pintu mobil dan melangkah dengan langkah jenjang dan pandangan lurus ke depan sambil memasang kacamata hitam. Begitu, gaya orang kaya sepertiku.
Menemui kepala desa, menyampaikan maksudku segera. Opa sedang menungguku menyampaikan berita bahagia. Berita bahagia? Ini bala bencana!
"Gadis terbaik yang ada di desa ini. Terbaik dari semua sisi." Kuberikan perintah pada kepala desa sambil menyodorkan uang dua ratus juta ke hadapannya.
Membuat matanya tak berkedip hingga beberapa detik lamanya.
"Saya tunggu tiga puluh menit dari sekarang. Ingat, gadis desa terbaik!"
Lelaki bertubuh gemuk itu mengangguk. Paham yang kuminta, apalagi saat kusebutkan nama Opa dan marga keluarga yang kubawa. Membuatnya bergetaran dan kutangkap dari pancaran matanya, ada ketulusan yang akan ia persembahkan.
Bukan karena uang, tapi karena ingin memberikan yang terbaik bagi Opa. Dan bagiku.
Opa memang menyumbang begitu besar bagi kemajuan desa ini. Dari pembangunan jalan hingga penerangan dan pengairan. Mereka, warga desa ini, berhutang budi banyak pada Opa. Maka sewajarnya, memberikan gadis terbaik desa saat kuminta. Begitu bukan?
Aku duduk dengan santai sambil menaikkan sebelah kakiku di atas paha. Memandang ke hamparan persawahan. Saat melintas seorang gadis dengan lekuk tubuh yang... em, menarik. Ya, seksi.
Saat sadar sedang kulihat, ia semakin berjalan gemulai, seperti malu-malu tapi mau. Sengaja menarik perhatian.
Menyodorkan minuman. Cukup manis walau tidak bisa disebut sangat manis. Tapi mendingan daripada gadis desa lain yang kulihat sepanjang jalan. Aku yakin, di sini, dia pasti kembang desa. Rebutan pemuda hingga desa tetangga.
Aku memicingkan mata menatap belahan dadanya yang terbuka. Lumayan. Lumayan menggoda. Setidaknya, walaupun nantinya pasti akan kuceraikan juga setelah Opa meninggal dunia, bisa kupakai untuk memuaskan mata dan menghangatkan di atas ranjang.
Ia tersenyum menggoda dan aku masih memandang datar saja. Walau ada hasrat yang mulai memacu demi melihat lekuk tubuhnya.
Dia masuk setelah kudiamkan saja dan tak menunjukkan ketertarikan padanya. Yah, tidak terlalu tertarik memang. Di kota, banyak yang lebih seksi darinya bahkan rela menantiku sekian purnama. Dan kutolak semua. Apalagi dia. Hanya modal tubuh saja, tapi isi kepalanya pasti norak. Walau sekali lagi, lumayan. Setidaknya secara fisik tidak memalukan dan cukup menggoda.
Tak berapa lama, kepala desa kembali dengan wajah berbinar-binar, menyampaikan, sudah menyiapkan gadis desa terbaik yang akan 'diserahkan' padaku, untuk kunikahi. Meyakinkan berkali-kali, ini gadis desa terbaik yang ada di sini. Disetujui orangtuanya sebagai balas jasa atas semua kebaikan Opa.
Aku mengangguk saja. Aku tahu, pasti gadis seksi tadi yang dimaksudnya. Yah, lumayanlah.
Kuminta langsung mempersiapkan diri. Meminta ia diantarkan ke alamat rumah sakit tempat Opa dirawat malam nanti, untuk dilihat kemudian dilamar di sana.
Mana kutahu, saat tiba, dan sudah kusampaikan pada Opa gadis desa pilihanku segera tiba, ternyata aku salah menduga. Bukan gadis seksi dan manis tadi tapi seorang gadis berpakaian tertutup sekali. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seperti ninja. Wajahnya pun ditutup sehelai kain kecil. Hanya menyisakan mata yang terlihat mengerjap beberapa kali. Tertutup kain, cadar namanya. Oh, Tuhan.
Sudahlah gadis desa, begini aneh pula!
.
.
.
Bersambung
Hay hay, terimakasih sudah mampir di novel ini π
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
