Batal Cerai Bab 9-10

131
32
Deskripsi

Aku menggapai jam di atas nakas, menyipitkan mata yang masih mengantuk. Sepertinya aku tidur terlalu larut. Memikirkan... iris mata coklat dan bulu mata lentik?

Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga (Aldo Amagatta) 

# Batal_Cerai
# Bab 9-10

---

Aku menggapai jam di atas nakas, menyipitkan mata yang masih mengantuk. Sepertinya aku tidur terlalu larut. Memikirkan... iris mata coklat dan bulu mata lentik?

Pukul 7 pagi. Membuatku segera terlonjak. Jam segini harusnya aku sudah bersiap. Lalu tepat waktu sampai di kantor. Aku selalu disiplin.

Tapi saat kuraih handphone, mengirim pesan pada Liva, sekretarisku, untuk mengirimkan jadwal meeting hari ini, balasan yang kuterima mengejutkan. Meeting dan pekerjaanku dihandle oleh Alex. Atas perintah Opa.

Argh. Kulempar handphone ke atas springbed setelah meminta Liva untuk terus melaporkan perkembangan dan masalah apapun di kantor. Aku sangat tidak tenang meninggalkan pekerjaan seperti ini. Apalagi, Alex yang menggantikan.

Tiga hari, Opa memberikan waktu untuk 'bersenang-senang' setelah menikah. Bahkan menawarkan tiket bulan madu yang tentu saja segera kutolak. Opa tidak tahu, jangankan berbulan madu, melihat wajah Miranda saja aku tak pernah.

Ah ya, Miranda. Si mata coklat itu sudah membuatku bangun kesiangan.

Jangan-jangan dia kesiangan juga karena terus memikirkan ketampanan dan kesempurnaanku ini. Ya, bisa saja kan?

Padahal harusnya, dia menggantikan pekerjaan Bi Hali. Menjadi pembantu di apartemen ini.

Segera aku bangkit. Menyiapkan amunisi untuk 'marah-marah' pada dia yang sudah mengacaukan hidupku. Berani masuk ke hidupku dengan semua keterbatasannya sebagai gadis desa.

Dia harus faham posisi dan tugasnya, mengurus apartemen ini. Mencuci, mengepel, dan seluruh pekerjaan rumah tangga lainnya. Ralat maksudku pekerjaan pembantu. Enak saja mau berpangku tangan di rumah ini. Aku paling tidak suka dengan pemalas. Apalagi pemalasnya tidak menarik sepertinya.

Kubuka handle pintu kamar dan segera melangkah keluar. Ingin memberikan instruksi yang pasti akan membuat gadis desa itu ketakutan dan amat tertekan. Mulai dari bagaimana cara mengepel lantai yang kuinginkan, cara menata rumah, dan seterusnya. Aku sangat perfeksionis. Pasti sulit baginya untuk mengimbangi. Pembantu-pembantuku saja, banyak yang menyerah dan undur diri karena tak tahan oleh sifat perfeksionisku.

Tapi saat kubuka pintu kamar, penciumanku langsung diserbu oleh wangi segar di segala penjuru. Lantai mengkilat dan semua sudut ruangan yang nampak rapi.

Aku mengangkat alis, menikmati kesegaran pagi ini. Dari... pengharum lantai yang terasa kesat ini. Juga bunga-bunga hidup yang terendam bunga di empat sudut meja.

"Kamarnya, mau dipel juga nggak?"

Tiba-tiba gadis itu berdiri di sampingku, memegangi ember berisi sabun lantai dan alat pel di sebelah tangannya yang lain.

Aku terkejut. Dan langsung memalingkan muka. Khawatir dia benar-benar menggunakan ilmu ghoib yang membiusku lewat matanya itu.

Amunisi 'marah-marahku' langsung melebur begitu saja. Belum saja kuperintahkan, dia sudah berinisiatif sendiri.

Hari ini dia menggunakan pakaian dan cadar warna merah muda. Terlihat lebih fresh walau tetap saja seperti memakai kain karung. Longgar dan bukan tipeku banget lah.

Aku mendorong pintu kamar, memberikannya akses masuk. Tentu saja, aku membutuhkannya untuk membereskan kamarku.

Lalu kutinggalkan dia menuju kamar tamu tanpa menjawab. Mengecek pekerjaan lewat laptopku. Biar dia mengerjakan pekerjaannya.

Duduk di kursi santai sambil memangku laptopku, ia datang membawakan minuman dan makanan yang baru dikeluarkannya dari sebuah kotak.

"Ini pesan, delivery order dari restaurant yang kemarin kakak pesan makanan juga. Mii nggak buat sendiri kok. Jadi ini aman, tenang aja. Bayarnya langsung potongan dari debit kakak."

Ia menyusun makanan dan minuman di atas mejaku.

Sigap. Dan sangat cekatan. Cepat sekali dia beradaptasi dan memenuhi kebutuhanku. Menyiapkan sarapan tanpa kuminta bahkan mencari tahu sendiri restaurant favoritku sampai detail metode pembayarannya.

Aku lagi-lagi tak menjawab. Bahkan untuk sekedar mengucapkan terimakasih. Aku tak terbiasa. Kecuali kepada orang-orang penting yang level kastanya jauh di atasku. Baru pantas. Kalau pada orang sepertinya, tak lah. Rasanya, itu menjatuhkan harga diriku. Lagipula, ini kan memang tugasnya. Untuk apa aku mengucapkan terimakasih?

Dia beranjak melakukan entah apa. Sementara aku terus menatap layar sambil menikmati sarapanku.

Satu jam berlalu, aku kembali ke kamar. Menemukan kamarku yang langsung menguarkan wangi segar ketika kubuka. Lantainya nampak mengkilat dan ranjang, meja, kursi sudah tertata rapi. Spreinya juga sudah diganti dengan yang baru. Dan, apa itu di sudut ranjangku? Aku menyipitkan mata melihat ke arah itu dan mendekati. Berdiri meraihnya. Pakaian gantiku? Dia juga menyiapkannya?

Aku mengangkat alis. Terasa... mengesankan.

Tapi, ya buat apa kufikirkan? Ini kan memang pekerjaan pembantu.

Lagipula, memang aku belum mandi.

Segera aku masuk ke kamar mandi yang juga sepertinya baru selesai dipel, bersih dan wangi. Menyelesaikan agenda membersihkan diriku dengan tenang. Mengambil handuk yang rupanya masih baru dan digantungnya di atas kapstok kamar mandi.

Lantas keluar dengan rambut basah. Segar sekali. Mengenakan pakaian yang sudah disiapkannya.

Baguslah kalau dia cepat faham dan sangat inisiatif seperti ini. Walau aku jadi sulit mencari alasan untuk memarah-marahinya.

Aku keluar ke balkon kamarku yang bersebelahan dengan balkon kamarnya. Hanya dipisahkan oleh sedinding kaca riben. Terlihat dari posisiku tapi tak terlihat dari posisinya. Aku yang mendesaign khusus area ini. Agar aku bisa memantau jika ada tamu di apartemenku ini tanpa disadari, minimal lewat balkon kamar ini.

Aku menyandarkan dada pada pagar, sambil memainkan handphoneku, mengecek pergerakan saham. Saat kutoleh, ternyata Miranda juga ada di balkonnya. Duduk bersila menghadap ke arah depan. Sedang menunduk, membaca buku sepertinya. Entah sedang membaca apa.

Aku beralih pada handphoneku lagi. Membalas pesan-pesan kolega bisnis. Mengamati pergerakan saham. Menerima setiap laporan yang dikirimkan Liva. Lalu melihat ke arahnya, yang fokus tak beranjak dari posisi itu, sejak tadi. Mengamati setiap gerakan tangannya membalik-balik lembaran buku. Terlihat serius sekali. Membuatku penasaran, buku apa yang sedang dibacanya? Ah, kenapa aku jadi ingin tahu begini? Tidak penting! Logikaku tiba-tiba menolak.

Aku di balkon ini, sampai siang, sampai ia tak ada lagi di balkonnya, baru aku beranjak juga.

Siang, aku keluar kamar. Lalu menuju dapur untuk memeriksa isi kulkas. Terasa lapar. Mungkin sebentar lagi aku akan memesan makanan. Dan ternyata, di meja makan, sudah tertata makan siangku. Kembali dengan menu dari restaurant favoritku. Lagi-lagi ia sudah memesankan dan menyiapkannya. Lalu, dia dimana?

Aku memakan sajian ini. Menyelesaikan sampai tuntas. Melewati kamarnya yang sedikit terbuka, ternyata dia ada di kamar. Apakah aku perlu memanggilnya? Untuk alasan apa? Harga diriku yang sangat tinggi ini menolak. Atau mengintip saja? Toh pintunya memang tidak rapat tertutupnya. Ini konyol. Tapi... tapi... entahlah, aku, hanya ingin tahu saja apa yang dia lakukan di dalam. Tak apa-apa kan? Demi keamananku. Siapa tahu di dalam ia sedang merakit bom misalnya.

Sembari berlalu, aku melambatkan langkah. Menengok, mengintip dari renggangan pintu. Dia sedang sholat, membelakangi pintu ini. Jadi wajahnya tak terlihat.
.
.
.

Tiga hari ini berlalu baik-baik saja. Tidak sebar-bar yang kufikirkan. Bahkan sangat jauh dari bayanganku. Kukira, akan menghadapi hari-hari na'as yang begitu menderitakanku. Mengacaukan hari-hariku. Berhadapan dengan gadis desa yang aneh, masih berusia sembilan belas tahun, pasti manja, udik, dan berbagai prasangka burukku lainnya.

Ternyata, tidak seburuk itu. Ia tidak sekanak-kanak yang kukira. Dan sangat faham terhadap semua kesepakatan sepihak yang kubuat. Dia benar-benar tidak pernah melepaskan cadar dan seluruh penutup tubuhnya itu di hadapanku. Bahkan semalam, sempat kubuka kamarnya yang tak terkunci saat ia tertidur. Tertidur pun ia masih mengenakan semua itu. Sesuai yang kuperintahkan di awal.

Dia sangat cekatan mengerjakan segalanya. Melayani kebutuhan sehari-hariku, mengurus rumah dan segalanya. Makananku, minumanku, pakaianku. Sampai aku tak memiliki alasan untuk memarahinya. Dia juga tak sedikitpun menggangguku. Tuntas pekerjaan rumah tangga yang ia lakukan, ia segera masuk ke kamarnya. Menutup pintu dan entah melakukan apa saja di dalam kamar. Hanya jika ia sedang di balkon kamarnya baru bisa kutahu apa yang ia kerjakan. Entah membaca buku, mengaji, atau menelepon.

Dia sepertinya sangat faham dengan kesepakatan sepihak yang kubuat. Agar menjaga jarak, hidup masing-masing. Sebagai tetangga kamar saja.

Tepat setelah hari ketiga masa cuti menikahku, aku begitu bersemangat memulai hari ini. Banyak PR yang harus kutuntaskan di perusahaan. Termasuk proyek yang ditangani Alex dan sepertinya mengalami kekacauan. Dia memang tak bisa diandalkan.

Selesai mandi aku segera memakai pakaian kerjaku. Kemeja coklat lengkap dengan dasi dan jas hitam. Miranda sudah menyiapkannya dengan sempurna. Sangat licin dan wangi.

Seperti kemarin-kemarin, ia juga sudah menyiapkan sarapanku. Kufikir jikapun tak terjebak dalam pernikahan terpaksa seperti ini, aku bisa mempekerjakannya sebagai pembantu di apartemen ini. Bahkan di rumah Opa.

Jarang sekali aku begitu puas dengan pekerjaan asisten rumah tangga. Biasanya, aku selalu naik pitam tiap berhadapan dengan pekerja-pekerja rendah seperti mereka. Entah di rumah, di apartemen, di kantor. Selalu, ada saja ulah cacat pekerjaan yang mengundangku untuk murka. Yang ceroboh, yang lamban, yang pelupa, yang tak disiplin, yang sulit menangkap perintah karena keterbatasan wawasan dan faktor lainnya. Membuat urat emosiku selalu terpancing hingga meledak.

Tiga hari ini berlalu dalam hening dan tanpa marah-marahku pada hasil kerjanya. Mau marah, tak ada bahan yang bisa dimarahkan.

Sesaat sebelum aku beranjak dari meja makan, Miranda keluar dari kamarnya dan segera menemuiku. Membawa tas tanggung dan meletakkannya di atas meja. Mau kemana dia? Bisikan halus menyapu penasaranku.

"Kak, mau ijin ya?" Ucapnya dengan nada bertanya sambil membereskan sisa sarapanku.

Aku memainkan handphone seakan tak mendengar. Demi harga diri. Lalu memandangnya ketika ia berbalik menuju wastafel.

Ijin? Untuk apa ijin? Bukankah sudah kubilang kita hidup masing-masing? Jadi tak perlu minta ijin bukan?

Tapi kalau dia mau begitu, ya terserah. Bukan aku yang mau mencampuri dirinya dan urusannya.

Aku mengangkat kepala, menatapnya yang mengenakan pakaian lengkap warna coklat tua hari ini. Pakaian longgar berkain tebal dan jilbab senada yang panjangnya melebihi setengah kakinya sepertinya. Apa nggak panas sih dia menggunakan pakaian segitu tertutup? Apa 'aib' di tubuhnya separah itu sampai begitu dijaga dengan sangat rapat? Kasihan sekali.

Matanya mengerjap. Lagi-lagi, pamer banget sama bulu mata lentiknya itu.

"Hari ini sudah masuk kuliah lagi. Kemarin ijinnya cuma tiga hari. Pulangnya sorean habis ashar ya." Ia menjelaskan tanpa kutanya.

Kuliah? Jadi dia kuliah? Mahasiswi begitu?

Oh, kukira dia anak lulusan SD yang tak melanjutkan pendidikan dan biasa mengurus kebun di sawah.

Kuliah dimana dia? Kalau kuperkirakan, pasti di salah satu kampus swasta yang sangat biasa dengan jurusan agama begitulah.

Ya, terserah dia sih. Aku kembali memainkan handphoneku. Lalu beranjak ingin berangkat.

"Kak." Ia memanggil lagi. Membuatku menahan langkah.

"Boleh nggak?" Tanyanya.

Kenapa bertanya lagi?

"Terserah. Asal jangan numpang mobilku," ucapku sambil berharap. Berharap dia memohon menumpang. Yah, pengen tahu aja, dia kuliah dimana? Kalau bertanya, malas pasti. Tak level bertanya seperti ingin tahu sekali ke orang desa begini.

"Oke. Makasih." Beda denganku. Ia ini mudah sekali mengucapkan terimakasih. Sedikit-sedikit terimakasih. Harga diri yang rendah.

"Kak." Ia memanggil lagi-lagi, menghentikan langkahku. Pasti mau minta antar.

"Apa lagi sih?" Tanyaku sinis. Padahal sedang menunggu dia bilang mau numpang. Biar bisa tahu kampusnya dimana atau minimal punya bahan memarahinya. Belum apa-apa sudah merepotkan, aku bisa bilang begitu jadinya.

"Hati-hati," ucapnya dengan manis. Lalu ia beranjak mendahuluiku. "Assalamualaikum. Pergi duluan, kak."

Asem. Kok aku yang didahului begini sih? Mau naik apa dia? Jalan kaki? Taksi? Angkot? Apa bajai?

Loh, kok aku jadi kepo begini coba?

Maksudku, hanya aku yang boleh jual mahal. Orang lain tak boleh, apalagi dia.

"Miranda!"

Dia berbalik dan kenapa pula kakiku ini menghampirinya? Mestinya kan dia yang kupanggil ke hadapanku. Kakiku nampaknya sedang berkhianat pagi ini. Tanganku juga, membuka dompet dan merogoh ratusan ribu. Menyodorkan padanya.

Anggap saja uang jajan lah. Kasihan kan kalau dia kelaparan di kampus. Nanti aku yang repot juga.

Ia terdiam sesaat. Menatap mataku dengan mata beriris coklatnya itu. Lalu mengerjap dan mengambil sodoran uang yang kuberikan.

"Em, buat ongkos ya? Hm, makasih, kak." Dia bertanya dan menyimpulkan sendiri.

Berpamitan lagi dan mendahuluiku kembali.

Kenapa nggak minta antar aku sih? Rese banget!

.
.

Wanita-wanita cantik, seksi, nan terkenal berlomba-lomba mengantri minta kuantarkan. Bahkan konon, rela membatalkan tiket pesawat sekalipun agar mendapat kesempatan duduk di kursi mobil mewahku. Dan nyaris semuanya, kutolak. Karena tingginya kriteria yang kupatok pada wanita yang layak mendampingiku. Lalu mereka, tanpa malu-malu mengantri lagi untuk mendapatkan kesempatan kedua kali.

Aku dipuja dan sukses membuat penasaran para wanita hingga tergila-gila. Kutanggapi dengan dingin dan pandangan sebelah mata. Tapi namanya juga keturunan konglomerat begini, tampan lagi, mana pernah dicueki.

Apalagi aku memang tipe pemilik harga diri tinggi. Bukan pria gampangan yang mudah gonta-ganti pasangan. Tak seperti Alfin, Alex, dan Angga yang 'murahan' sekali. Sebulan bisa ganti pasangan berkali-kali. Sok tampan, padahal kemana-mana juga tampanan aku jelas. Ini fakta, bukan ngada-ngada! Semua orang mengakuinya. Makanya aku selalu PD tingkat dewa. Aku sombong, memang, tapi yang kusombongkan memang benar.

Tapi pagi ini, gadis aneh itu meruntuhkan semuanya.

Dengan sopan ia berpamitan, lalu melenggang santai meninggalkanku yang tak dimohonnya mengantarkan.

Awas saja, besok-besok pasti dia ngarep juga. Siapa sih yang bisa tahan dengan pesonaku?

.
.
.

Besok-besoknya, ternyata sama saja. Dia berpamitan dan aku masuk ke dalam mobilku, berangkat sendirian. Teguh juga pendiriannya. Lihat saja, tahan sampai kapan?

Hari-hari berlalu dan aku makin terbiasa dengan semua ini. Hidup dengan tenang di apartemen bersama dia yang juga hidup dalam dunianya sendiri, di dalam apartemen yang sama. Tanpa saling mengganggu. Hidup masing-masing.

Dan ia yang membuatku ketergantungan setiap waktu. Setelah mandi, aku memakai pakaian yang sudah ia siapkan. Padahal dengan asisten rumah tangga sebelum-sebelumnya, aku tidak setergantung ini. Begitu juga sarapan dan seluruh kebutuhan pagiku. Bahkan, sepatuku pun sepertinya ia bersihkan setiap hari. Entah kapan ia mengerjakannya. Yang pasti ketika akan kupakai, selalu mengkilat dan wangi.

Aku sibuk dengan kesibukanku, dia juga nampaknya sibuk dengan urusannya.

Pagi hari, aku berangkat ke kantor dan dia berangkat ke kampus. Tapi selalu saja, saat aku pulang, biasanya malam hari, ia sudah ada di rumah. Sudah menyiapkan makan malamku dari makanan yang ia pesankan. Karena aku sudah mengatakan sejak awal, lidahku ini lidah orang kaya. Terbiasa memakan hanya masakan chef-chef profesional, tak bisa memakan makanan desa.

Kuharap ia tersinggung. Segera menyampaikan sakit hati dan aku jadi memiliki alasan untuk balik memarahinya, memintanya agar berkaca dan faham asal serta kastanya. Ternyata tidak, dia santai saja. Menjawab faham. Memesankan makanan untukku dan setiap hari ia memasak untuk dirinya sendiri. Tanpa pernah lagi menawariku.

"Aw!" Karena terlalu fokus berbalas pesan dengan kolega bisnis, aku sampai tak sadar kalau tanganku terjepit pintu. Ah, sial! Sakit sekali. Tangan kiriku. Tadi aku meraba-raba, tak sadar tangan kiriku berada di lipatan pintu, tangan kananku malah menutupnya. Jadi, terjepit.

Aku menahan sakit sambil mengibas-ngibaskan tangan. Membiru di empat ruas jariku. Menyebalkan sekali.

Aku jadi kesulitan memasang dasi. Tidak mudah memasang dasi dengan satu tangan.

Dan tiba-tiba sepasang tangan mengenakan handshock mengambil alih kerja sebelah tanganku. Lalu memasangkan dasi dengan sempurna di leher kemejaku. Merapikannya. Berdiri tepat di depanku.

"Sudah," ucapnya sambil merapikan dasiku terakhir kali. Ia memasangkan jas juga untukku.

Miranda.

Dan sejak hari itu. Dasi kerjakupun selalu dipasangkan olehnya. Setiap pagi. Meski tanganku sudah tak sakit lagi.

Aku menjadi tergantung padanya tapi ia tidak tergantung padaku. Ini menyebalkan sekali. Tapi aku justru menikmati.

Aku masih tak tahu ia kuliah dimana, jurusan apa, dan hal apapun tentangnya. Gelap. Karena sejak awal aku memang tak mengenalnya dan begitu terpaksa memenuhi pernikahan ini.

Bertanya-tanya langsung tentang dirinya aku juga enggan. Harga diri. Itu selalu alasan terkuatku. Lagipula, apa pula pentingnya untukku kan? Hanya untuk hidup bersama tiga bulan saja, untuk apa mencari tahu banyak tentangnya juga?

Tapi, aku semakin sering mengamatinya dari balik kaca riben balkon kamar. Bahkan beberapa kali, sengaja sekali aku menunggu di sana. Entah untuk apa.

"Jadi bagaimana, Pak?" Rekan bisnisku memecahkan lamunanku siang ini.

Memikirkannya, membuatku jadi melamun. Merusak konsentrasi. Jarang sekali aku begini. Aku biasanya selalu fokus, apalagi menyangkut perusahaan.

"Ah ya, coba ditinjau ulang. Beberapa hal yang tadi saya sampaikan silakan direvisi. Serahkan hasilnya ke sekretaris saya maksimal pukul delapan malam. Kalau lewat satu menit saja, kontrak ini saya anggap batal," tegasku sambil berdiri dan merapikan jasku.

Lelaki paruh baya yang kuajak bicara ikut berdiri juga. Menganggukkan kepala hormat. Begini memang, dalam dunia bisnis, penghormatan lebih ditekankan pada kedudukan dan kekuatan, bukan pada beda usia antar lawan bicara.

"Silakan." Aku menunjukkan pintu keluar sebagai isyarat bahwa pertemuan ini sudah selesai, agar ia meninggalkan ruanganku sekarang. Masih ada beberapa pertemuan yang harus kuselesaikan hingga satu jam ke depan.

Ia mengerti dan segera berpamitan.

Setelahnya, aku kembali duduk, Levi menghampiriku dan menunjukkan beberapa berkas dengan tergesa. Lalu aku memeriksa berkas-berkas itu sambil menunggu tamu berikutnya masuk. Bagiku waktu adalah kerja dan kerja adalah uang. Tak boleh ada sedetikpun berlalu dalam kesiaan.

Tamuku berikutnya, seorang CEO perusahaan kosmetik ternama. Dengan penampilan modis dan cukup tertutup masuk ke ruanganku. Ia mengenakan jilbab yang dimasukkan ke dalam kerah baju. Menggunakan pakaian ketat yang menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggoda. Ditambah riasan tebal khas pekerja kantoran. Lipstiknya warna senada dengan kain penutup kepalanya, merah menyala.

Melihatnya dengan mengenakan jilbab seperti itu, semua orang pasti tahu, identitasnya. Bahwa ia seorang muslim.

Banyak memang rekan bisnis dan karyawanku yang berjilbab. Aku tak heran. Mereka menggunakan penutup kepala tanpa kehilangan kesempatan untuk tetap memamerkan bagian-bagian tubuh menariknya. Dada, bokong, pinggang, paha. Semua bisa terlihat dengan jelas meski tertutup pakaian yang tak tembus pandang. Dan tentu saja, wajah yang selalu terpoles make up tebal-tebal.

Beda sekali dengan Miranda. Ia berjilbab tapi tak menggunakan pakaian ketat. Pakaiannya longgar semua. Sangat longgar. Dan itu, menjadi keyakinan besar untukku, bahwa ia memang tak berbodi berarti. Tubuhnya, sudah pasti rata.

Tapi kenapa kupikirkan terus begini?

Huft. Aku mengusap muka saat bayangannya melintas di kepala. Dan terus saja melintas dengan tidak sopan mengganggu setiap pertemuan yang kulakukan.

Sayang yang melintas tidak sopan itu hanya bayangannya, dan hanya ada di fikiran. Kalau sosoknya sungguhan yang melakukan, pasti sudah kutarik dan kumarahi habis-habisan. Lancang.

.
.
.

Sore ini aku ada janji bertemu dengan sahabat lama, Bagas namanya. Sahabatku zaman SMA. Dulu dia salah satu murid beken selainku.

Kabarnya ia sudah menjadi dosen yang sukses di salah satu universitas ternama di negeri ini. Masih di kota yang sama denganku, Bandung. Hanya saja, padatnya kesibukan masing-masing membuat kami jarang sekali bertemu.

Usai melemparkan proposal yang dikerjakan dengan tidak becus ke hadapan manager pemasaran dan membentak seluruh staffnya untuk melakukan revisi, aku melangkah angkuh melewati barisan karyawan yang berdiri menunduk di sepanjang langkah yang kulalui.

"Bos galak pulang sore. Keajaiban," bisik-bisik suara dari ujung koridor yang kulalui.

Keajaiban? Ya, biasanya aku tak pernah pulang lebih awal. Melemburkan diri sendiri hingga malam, paling cepat pukul delapan. Ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan di perusahaan sebesar ini, bagaimana mungkin aku bisa bersantai-santai?

"Laporan masing-masing bagian tetap dikirim ke email saya paling lambat jam tujuh malam! Kerjakan sebaik-baiknya dan jangan ada kesalahan atau kalian tahu akibatnya! Liva," panggilku pada sekretarisku.

"Ya, Pak?" Liva langsung mendekat.

"Catat nama-nama karyawan yang tak menyelesaikan laporan dengan baik hari ini. Dan siapkan surat pemecatannya, letakkan di atas meja ruangan saya, besok saya tinggal tanda tangan," tegasku.

Padahal hanya gertakan, tapi pasti sukses menjaga mereka semua agar tidak bermalas-malasan selama aku pergi. Ya, hanya gertakan, sebab Opa paling tak suka pekerjanya mudah dipecat. Dan itu membuat karyawan kadang berlaku seenaknya.

"Baik, Pak."

Hening. Tak ada yang berani menyahut dan tak ada suara bisik sekecil apapun. Hingga suara pantofelku sampai di ujung pintu, lalu aku masuk ke dalam mobil baru kudengar samar riuh kehidupan bersahut-sahutan di dalam sana. Mereka pasti sangat bahagia dengan kepulangan cepatku hari ini.

Pulang? Ah, tidak pulang. Aku sedang menuju janji pertemuan dengan sahabat lamaku di tempat kerjanya. Rencananya kami akan sama-sama ke reuni yang akan diadakan ikatan alumni SMA malam nanti.

Kuparkirkan mobil mewahku di salah satu sudut parkiran khusus tamu-tamu kehormatan. Aku keluar setelah memastikan penampilanku masih rapi sambil memakai kacamata hitam. Menjajak langkah di area kampus dan langsung menuju ruangan Bagas.

Ia menjadi dekan termuda di salah satu prodi kampus ini. Kabarnya, dia juga belum menikah. Sama sepertiku, dia masih sibuk meniti karir. Bedanya, aku sudah menikah walau dalam semua drama Opa. Tapi Bagas termasuk yang belum tahu. Lebih tepatnya tak kuberitahu bahkan tak kuundang dalam pernikahanku. Ya, semua teman-temanku tak ada yang kuundang memang. Hanya rekanan bisnis Opa yang datang di resepsi dadakan itu.

Ini kampus elite dan ternama di negeri ini. Dulu menjadi salah satu tujuanku juga, walau akhirnya aku masuk di kampus ternama bisnis luar negeri, sesuai petunjuk Opa.

"Hey, mister keren. Apa kabar?" Ia langsung tersenyum manis dan penuh aura persahabatan, menyambutku.

"Baik. Baik. Wah. Apa kabar dosen yang kabarnya jadi rebutan mahasiswi sekampus ini?" Aku mencandainya dengan ikut tersenyum lebar. Mengobrol sebentar, lalu kami kembali menuju parkiran.

Bersepakat menggunakan satu mobil saja ke tempat acara, mobilnya. Mobilku akan dijaga dengan private di sini sampai ia mengantarkanku selesai acara reuni.

"Masih ingat Jojo kan? Kabarnya jadi menantu Sultan Malaysia dia. Tadi sempat chat, datang juga malam ini!" Bagas selalu memberikan informasi soal teman-teman lama yang loss cantact sejak tadi. Ia memang sangat supel dalam bergaul. Ramah, bisa masuk di semua kalangan. Beda denganku yang kaku dan sangat pemilih dalam pergaulan. Dan juga sangat pemilih dalam hal apapun.

"Oh ya? Si Jojo yang playboy dan suka bolos itu?" Aku memastikan.

Lalu mengobrol sambil tertawa-tawa mengenang masa SMA dengan Bagas. Menyenangkan. Sudah lama sekali rasnaya aku tidak mengobrol asyik dan santai seperti ini.

"Al, sebentar ya," ucapnya urung menyalakan mesin mobil setelah melihat seseorang yang melintas dan terlihat olehnya.

Ia lalu segera membuka pintu mobil dan memanggil seseorang di luar sana. Sepertinya, memanggil mahasiswanya.

"Miranda!"

Miranda? Aku langsung menoleh ke arahnya dari kaca depan mobil.

Apakah Miranda yang sama?

Dan mataku langsung melebar saat menemukan seorang gadis berpakaian longgar dengan cadar warna merah hati sedang bicara dengan Bagas.

Miranda? Ya, itu Miranda. Aku masih mengingat, pagi tadi ia menggunakan pakaian itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi sepertinya cukup akrab. Karena Bagas memang selalu pandai mengakrabkan diri dan membuat siapapun nyaman berbincang dengannya.

Jadi dia kuliah di kampus besar, keren, dan elite ini? Bukan di kampus swasta pinggiran seperti yang kusangkakan?

Miranda membuka tas dan memperlihatkan makalah sepertinya. Bagas menyambutnya dengan raut berbinar, mencuri pandang pada bulu mata lentiknya, seperti sedang memuji isi makalah lantas mengacungkan jempol ke hadapan Miranda.

Membuat gadis itu, menunduk hormat. Lantas berpamitan.

Sementara di kursi ini, entah mengapa tanganku mengepal.

Bagas kembali ke mobil dengan wajah berbinar. Tapi jelas kulihat ia terus menatap Miranda yang berlalu akan menyeberang jalan sambil tersenyum-senyum lebar.

Sebagai sesama lelaki, aku tahu, ada sirat ketertarikan di mata itu.

Pada istriku!

"Mahasiswi gua, bro. Pinter, sholeha, istri impian gua banget. Mahasiswi termuda semester ini. Tau nggak bro, tuh anak IP nya selalu cumlaude. Kalau gua taksir, paling lama setahun lagi juga dia sudah lulus S1. Ckck. Harus dikebut nih...." Ia tertawa.

Dikebut apa? Dia menyukai Miranda?

Shit! Apa dia tidak tahu sedang bicara dengan siapa sekarang?

Rasanya ingin sekali kucabik-cabik wajah Bagas agar dia bungkam.

Walaupun aku yakin Miranda tidak cantik, tapi tetap saja aku tak suka jika dia dipuji dan diingini lelaki lain.

.
.
.

Bersambung

Bab selanjutnya sampai TAMAT, ikutin terus ya ๐Ÿ˜Š
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Batal Cerai
Selanjutnya Batal Cerai 11-12
199
96
CATATAN PENTING : Dilarang keras SCREENSHOT dan menyebarluaskan bab premium terkunci novel ini kepada siapapun. Baik di medsos pribadi untuk menaikkan followers atau bahkan untuk diperjualbelikan kembali. Kami tak segan akan memperkarakan secara hukum ttg pelanggaran hak cipta dan pembajakan (tuntutan 2 tahun penjara dan denda 300.000.000 tiga ratus juta rupiah). Terimakasih sudah berkenan dan menghargai hasil karya. Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga (Aldo Amagatta) 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan