
Aku menghentikan langkahnya yang akan masuk ke kamar. Kembali mengingatkan, agar dia tidak lupa.
Matanya mengerjap. Ia berdiri persis di bawah lampu yang menempel di dinding atas pintu. Baru kusadari bulu matanya ternyata panjang dan lentik sekali. Menjadi perpaduan yang sangat indah dengan iris mata coklat bersihnya. Saking bersihnya, sampai aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di matanya. Terbius di mata itu.
"Kak...." Ia memanggilku. Mengejutkan saja.
Dug dug. Jantungku.
# Batal_Cerai
# Bab 8
Aku segera berpaling saat ia membuka cadarnya sebelum sholat. Untung nggak sempat terlihat, wajahnya. Gerakan refleks dan cepatku ini memang tak ada duanya. Tubuh dan jiwaku selalu berkolaborasi dengan baik, cekatan.
Huh, hampir saja. Bukan apa-apa, kalau aku melihat wajahnya yang pasti 'nggak banget' itu, aku tak yakin bisa bertahan di dalam pernikahan sialan ini sampai tiga bulan ke depan, batas waktu kami diijinkan bercerai. Dan jika mundur dari pernikahan ini sekarang, sama artinya dengan mempertaruhkan kehormatan serta mengundang kemurkaan Opa.
"Kamu nggak ngerti? Sudah kubilang jangan pernah buka cadar di depanku!" Aku menekan suara dengan sangsi.
"Oh, kirain tidur. Em, kan mau sholat, ya nggak pakai cadar." Ia menjawab. Mungkin sekarang sedang tak memakai cadarnya, sedang melihat ke arahku sepertinya. Dari suaranya terdengar begitu.
"Ya jangan ngadep sini sholatnya. Balik!" Perintahku yang pegal menghadap ke dinding dengan posisi tak strategis seperti ini.
"Ya, nggak bisa. Orang kiblatnya ke sana. Masa dibalik." Ia menjawab lagi. Jujur dan polos.
Tapi, iya juga sih, mana bisa kiblatnya yang dibalik.
"Kalau sudah selesai, bilang. Pakai cadarnya baru panggil," titahku.
"Iya," jawabnya dengan santai, lembut, dan menyebalkan.
Maka terpaksa, aku yang mengalah. Aku, seorang Aldo, si bos besar ini mengalah dengan gadis desa? Huh, sekali-kali ini saja. Tak akan terulang lagi.
Aku tetap pada posisi memunggunginya yang sholat tepat di samping ranjang. Tanpa sedikitpun niat untuk berbalik apalagi mengintip wajahnya yang tak tertutup itu. Tak tertarik. Sungguh tidak menarik.
Sepuluh menit terjeda, tak ada panggilan darinya. Hanya hening dan hembusan angin yang terdengar. Ampun dah, lama bener sholatnya. Baca surat apa sih dia? Pasti ngeja dengan terbata-bata deh. Menyebalkan.
Saking lamanya, sampai tak sadar aku ketiduran. Terlelap sebab menunggu. Entah berapa lama.
Aku tiba-tiba terbangun tapi tak terkejut. Hanya merasa seperti terbuai ke alam lain. Melayang. Mengambang dalam semilir suara merdu yang menghanyutkan. Terdengar tenang dan menyejukkan. Suara seseorang mengaji. Membaca Al Qur'an. Dengan suara kecil yang kelewat merdu. Merdu banget. Aku tak pernah mendengar suara semerdu itu. Hentakkan nadanya halus. Pelafalannya sempurna, dan alunan nada mengajinya membuat penasaran mendengarkan hingga akhirnya. Pasti marbot masjid dekat sini lagi mutar murottal baru nih. Enak bener suaranya.
Aku terus memejam dan menghayati alunan merdu itu. Pertama kali seumur hidup nih aku suka mendengarkan bacaan Al Qur'an, biasanya, ah boro-boro, aku belum taubat jadi ogah-ogahan dengerin ayat suci gini. Tapi kali ini, entah kenapa, suka banget. Hingga tertidur lagi.
Memimpikan Opa datang dan memarahiku dengan murka karena Miranda mengadu yang bukan-bukan. Memang gadis desa pembawa sial itu.
"Aldo, kamu dikeluarkan dari keluarga Amagatta!"
"Jangan, Opa! Jangan...!"
".... bangun, sholat dulu." Seorang monster bertutup muka tiba-tiba menyelamatkanku.
Aku bangkit dan langsung mengucek mata. Menemukan Miranda yang nyaris saja menyentuh, menggoyang tubuhku. Uh, dipegang sama dia? Bisa gatal-gatal ini badan.
"Huust! Dengar, jangan pernah pegang-pegang dan jangan sampai bersentuhan. Itu juga peraturan dan bagian kesepakatan. Faham?"
Ia hanya mengerjap, entah bagaimana ekspresi wajahnya. Terserahlah, yang penting jangan sampai pegang-pegang aku.
"Ya udah, sholat dulu, Om." Ia menyodorkan sajadah ke sisiku.
Ngatur-ngatur nih ya. Biar nggak kelihatan sholeh gini juga aku masih ingat sholat kali, walau sesekali. Sekali setahun maksdunya. Nggak perlu diingat-ingatkan begitu. Sok ngatur emang. Khas orang kampung.
Aku bangkit berdiri dan mengambil jas serta tasku. Menuju pintu. Bi Hali pasti sudah tak memantau lagi. Jadi aku bebas menuju kamarku sendiri. Bebas dari kamar si gadis aneh ini.
"Nanti malam siap-siap, kita ke rumah Opa. Ingat, jangan ngadu yang enggak-enggak!" Aku berbalik sekali lagi sebelum membuka kuncian pintu dan cepat masuk ke kamarku.
.
.
.
Aku membawa serta Bi Hali dan memintanya membawa seluruh pakaiannya. Berencana 'mengembalikannya' pada Opa. Ia sepertinya ragu tapi mana bisa menolakku sekarang.
"Terus nanti yang beres-beres dan bersih-bersih apartemen Tuan siapa? Nanti kalau Opa minta saya balik lagi gimana, Tuan?" Tanyanya khawatir dan ragu mengangkat tas besar seluruh pakaiannya.
"Nanti saya yang jelasin ke Opa," jawabku dengan datar.
Pintar sekali pembantu ini berakting. Seperti aku tidak tahu saja pekerjaan utamanya, memata-mataiku dan Miranda.
Gadis desa itu juga sudah bersiap. Selalu dengan pakaian khasnya. Baju panjang kelonggaran berkain tebal, kaus kaki, dan tentu saja penutup muka. Apes hidup. Mending ngelihat Bi Hali daripada ngelihat dia.
Sampai di rumah Opa kami langsung disambut dengan godaan khas pengantin baru. Apalagi saudara-saudaraku yang pada pemalas dan tak ada yang bisa diandalkan itu. Tertawa di atas penderitaan dan nasib burukku, keterlaluan memang.
"Loh, kok Bi Hali bawa pakaian balik?" Mami yang bertanya. Diiringi tatapan menyelidik Opa.
"Oh ya, Bi Hali kerja di rumah ini aja. Boleh ya Opa?" Aku memasang tampang manis, akting.
Opa mengernyit.
"Biar aku dan Miranda bisa makin belajar hidup mandiri. Begitu kan Opa?" Aku mengangkat kening. Menunggu reaksinya.
Opa tertawa.
"Oke, oke. Kalian sudah cocok. Ya, begitu. Lebih terasa perjuangan hidup barunya. Saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga hanya berdua. Mumpung belum punya anak. Kamu ternyata bisa romantis juga, Aldo. Opa suka."
Fiuuh, syukurlah Opa percaya. Tak tahu saja, apa rencanaku sebenarnya. Menjadikan Miranda sebagai pengganti Bu Hali. Biar tahu rasa. Membantu mengerjakan pekerjaan rumah? Amit-amit. Bos besar gini, nggak penting banget mengerjakan tetek-bengek pekerjaan rumah tangga.
Aku tersenyum sinis pada ketiga saudaraku yang sepertinya sedang membaca situasi. Intinya, mereka selalu iri padaku yang selalu lebih dipercaya Opa.
Di meja makan kami berkumpul. Miranda duduk di sebelahku.
Sampai makanan tersaji di piring masing-masing, tak ada satupun yang menyentuh makanan. Seperti menunggu sesuatu. Nunggu apa sih? Aku jadi bingung. Urung menyuapkan makanan ke mulutku.
"Miranda, cadarnya nggak dibuka aja? Kita kan keluarga semua. Gimana makannya kalau wajahnya ketutup gitu?" Mami yang bertanya. Dengan nada memerintahkan.
Aduh. Gawat.
"Jangan! Jangan!" Refleksku mencegah, sedikit panik.
"Loh kamu gimana sih, Aldo? Miranda kan mau makan juga." Papi ikut bicara.
"Tapi... tapi dia bisa kok makan tanpa buka cadar." Aku mengelak. Melirik dan memberi kode pada Miranda agar segera makan, dengan cara yang ia lakukan di apartemen, memasukkan makanan ke balik cadarnya, sendok per sendok, tanpa membuka kain penutup wajahnya itu.
"Susah dong kayak gitu. Kamu kenapa sih posesif banget wajah Miranda nggak boleh kita lihat?" Alfin menatapku curiga.
Mulai nggak enak nih auranya kalau salah satu dari tiga anak ini ikut bicara. Biar gimana, mereka otaknya cukup nakal soal beginian. Bisa-bisa ketahuan kalau aku sebenarnya hanya pura-pura menerima pernikahan ini.
"Kenapa? Mau lihat wajah istriku? Jelalatan aja," selorohku dengan tatapan sinis. Macam aku tak tahu saja kelakuannya selama ini, suka gonta-ganti pacar bahkan gonta-ganti tunangan, main-main saja dengan perempuan.
"Jangan-jangan--" Suara Angga memancing.
"Nggak usah ikut-ikutan juga!" Aku memotong. Meletakkan sendok di atas piring hingga menimbulkan suara piring dan sendok beradu.
"Sst. Sudah, apa-apaan sih kalian. Jangan ribut di meja makan." Opa akhirnya buka suara.
"Miranda, silakan makan senyamannya kamu ya?" Opa berbalik bicara lembut pada Miranda. Terlihat sekali, Opa sepertinya snagat menyayangi gadis ini. Entah karena berasal dari kampung halaman yang sama dengan Almarhumah Oma. Atau karena kriteria 'sholeha' yang membuat Opa begitu bahagia.
Membuat semua orang bungkam. Dan Miranda, untungnya dia cepat melaksanakan titahku, makan dalam kondisi wajah tertutup seperti itu. Terlihat santai saja, karena mungkin sudah terbiasa. Sementara aku makan dengan cuek juga. Masakan chef profesional yang disewa khusus oleh Opa untuk bekerja di rumah ini.
Sampai makan malam berakhir dan kami harus pulang. Ya, harus pulang ke apartemen. Tak boleh menginap di sini. Menyebalkan sekali.
Kami pulang dan sebelum meninggalkan pintu, Miranda mencium tangan Opa, Mami, dan Papi, berpamitan.
Ketiga saudara lelakiku yang suka memainkan perempuan itu juga ikut menyodorkan tangan dengan agresif. Dan Miranda tak menyambut satupun uluran tangan mereka. Hanya menangkupkan tangannya di depan dada.
"Kenapa?" Alex mengangkat keningnya.
"Bukan muhrim," jawab Miranda polos.
Dan aku tertawa puas. Haha. Rasakan! Walau aku juga tak mau menyentuh gadis desa ini, tapi aku puas juga melihatnya tak mau disentuh ketiga lelaki itu.
"Om, kuncinya...." Miranda memungut kunci mobilku yang terjatuh di atas karpet permadani. Dan panggilannya, sontak membuat semua orang menoleh padaku.
"Om?" Opa menatapku serius. Seperti, mencurigai lagi.
Aduh, panggilan itu pun jadi masalah. Bisa-bisa Bi Hali kembali dikirim ke apartemen lagi kalau begini.
"Ya, kakak tunggu di mobil," jawabku cepat. Mengambil kunci dari tangan Miranda.
Geli banget ngucap begitu. Huh, demi apa sudah dewasa begini dipanggil kakak sama anak belasan begitu. Parah. Parah.
"Jadi panggilnya kakak atau om?" Tanyanya saat mobil mewahku sudah melaju meninggalkan pekarangan rumah Opa.
Hish. Gadis kecil ini.
"Terserah."
.
.
.
Kami sampai di apartemen pukul sepuluh malam. Hanya berdua.
Ya, fix, mulai malam ini kami hanya akan tinggal berdua di apartemen ini. Daripada aku dimata-matai pembantu. Lebih baik kujadikan dia saja sebagai pembantu.
"Itu kamarmu. Ini kamarku. Ingat perjanjian kita. Kita hidup masing-masing. Makan masing-masing, tidur masing-masing. Menjadi tetangga kamar saja. Hanya sampai tiga bulan ke depan. Jadi jangan pernah kegeeran dan jangan berharap lebih. Paham?"
Aku menghentikan langkahnya yang akan masuk ke kamar. Kembali mengingatkan, agar dia tidak lupa.
Matanya mengerjap. Ia berdiri persis di bawah lampu yang menempel di dinding atas pintu. Baru kusadari bulu matanya ternyata panjang dan lentik sekali. Menjadi perpaduan yang sangat indah dengan iris mata coklat bersihnya. Saking bersihnya, sampai aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di matanya. Terbius di mata itu.
"Kak...." Ia memanggilku. Mengejutkan saja.
Dug dug. Jantungku.
"Tiga bulan lagi itu--"
"Udah nanti aja dibahasnya! Aku cape! Mau tidur!" Aku langsung memotong dan mengelak dengan suara keras karena merasakan ada yang menghangat di pipiku saat ia balas menatap seperti itu.
Aku segera balik badan dan masuk ke kamarku. Menutup pintu lalu memegangi dadaku. Di sini, sebelah kiri. Kok aku deg-degan begini? Nggak mungkin kan aku jatuh cinta sama dia yang hanya bisa terlihat matanya?
Ya, nggak mungkinlah! Bahkan baru sehari tinggal serumah.
Sudah pasti dia jelek, makanya wajahnya ditutupi. Kulit tubuhnya kurapan, panuan. Makanya juga disembunyikan segitu tertutup. Logikaku bertahan mati-matian.
Jadi mana mungkin kan aku suka sama perempuan hanya karena matanya?
Sampai larut malam dan merebah di ranjang, aku hanya berbalik-balik. Susah sekali terpejam. Terbayang-bayang mata coklat berbulu mata lentik yang menatap dengan sorot mata tulus itu. Miranda.
Aduh, aku kenapa sih?
.
.
.
Bersambung
Komen yups biar semangat lanjutin ๐
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
