Batal Cerai 3-4 (Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga)

87
14
Deskripsi

GADIS BERCADAR

Kata orang, gadis bercadar dan berjilbab itu membuat penasaran. Membuat orang jadi membayang-bayangkan, seperti apa wajahnya, rambutnya, dan bahkan bagian tubuh lainnya.

Tapi bagiku tidak.

Tidak ada sedikitpun rasa penasaranku pada gadis itu. Yang sialnya, secara resmi sudah dilamarkan Opa sepuluh menit yang lalu, untukku.

"Datang sendiri ke desa, milih sendiri dan itu pilihannya? Hebat bener ternyata selera Aldo." Suara Alfin menyindirku.

"Untung namanya bukan Tukiyem," ejek Angga saat aku berlalu.

Aku nyaris meninjunya jika tak sadar sedang dipelototi Mami.

Benar-benar nasib buruk.

 

 

Kata orang, gadis bercadar dan berjilbab itu membuat penasaran. Membuat orang jadi membayang-bayangkan, seperti apa wajahnya, rambutnya, dan bahkan bagian tubuh lainnya. 

Tapi bagiku tidak. 

Tidak ada sedikitpun rasa penasaranku pada gadis itu. Yang sialnya, secara resmi sudah dilamarkan Opa sepuluh menit yang lalu, untukku. 

"Datang sendiri ke desa, milih sendiri dan itu pilihannya? Hebat bener ternyata selera Aldo." Suara Alfin menyindirku.

"Untung namanya bukan Tukiyem," ejek Angga saat aku berlalu.

Aku nyaris meninjunya jika tak sadar sedang dipelototi Mami.

Benar-benar nasib buruk. 

Kepala desa itu penyebabnya. Gadis desa terbaik apanya jika seperti ini? Dia menipuku. Awas saja.

Aku membentaknya yang menunggu di mobil, ikut mengantarkan gadis itu. Yang tadi baru kutahu bernama Miranda. Ya, Miranda, namanya saja pasaran sekali bukan? Seperti nama hand body lotion. Kenapa tidak Lifebuoy saja namanya sekalian?!

"Ma-maaf, Tuan. Tapi tadi tuan meminta diberikan gadis desa terbaik. Miranda itu gadis desa kami yang terbaik, Tuan. Dia yang paling pintar karena satu-satunya gadis desa yang kuliah di kota, paling santun, dan paling can--"

"Penipu!" Aku membentaknya sekali lagi. 

"Kalau tuan tidak suka, bisa kami gantikan dengan yang lain."

"Terlambat! Opa sudah melamarnya dan itu akan pantang untuk dibatalkan!"

Ia terdiam dengan wajah pucat. Terlihat merasa amat bersalah tapi juga seperti menyimpan rasa penasaran dan sungkan mempertanyakan.

Sampai sebelum aku berbalik ia beranikan diri menyusul langkahku.

"Apa tuan sudah melihat... wajahnya?" Tanyanya seperti ragu.

Aku menghentikan langkah dan memelototinya.

"Tidak perlu! Tidak berminat!" 

Ya, berminat? Untuk apa aku berminat melihat wajahnya yang sudah pasti tidak menarik? Begini, kujelaskan konsep sederhananya, saat seseorang berjerawat saja, satu jerawat di ujung hidung akan ditutupi habis-habisan dengan segala foundation, dempul, dan sejenisnya agar kekurangan itu tak terlihat bukan? Ya, karena setiap orang pasti akan menutup bagian kekurangannya. Begitu juga saat seseorang memiliki bekas kurap di lengan, cacat kulit, maka pasti bagian itu akan ditutupi dengan pakaian yang melindungi hingga bagian cacat itu tak terlihat. Jadi bisa kubayangkan kalau ia menutup seluruh bagian tubuhnya seperti itu. Dia pasti jelek, mungkin hidungnya sangat pesek, wajahnya penuh jerawat, bibirnya hitam, giginya ompong, begitu juga kulitnya, ah tak bisa kubayangkan. 

Seorang satpam di kantorku bahkan selalu menggunakan topi. Saat apapun. Ketika suatu hari kuminta membuka topinya, ternyata, kepalanya botak. Ya, botak karena cacat. Sebab itu ia selalu menggunakan topi.

Maka melihat wajah gadis bernama Miranda itu, mana mungkin aku berminat. Jangan-jangan aku akan pingsan saking tak sanggup menghadapi kenyataan.

Kuteruskan langkah ke dalam, masuk kembali ke ruangan Opa dirawat. Tempat dimana, gadis ninja itu juga masih menunggu. 

Parah sekali.

Seperti menerima kutukan. Apalagi Opa justru tersenyum senang.

"Ini yang Opa tunggu, cucu Opa menikah dengan gadis desa, berjilbab dan sholeha pula. Sejak lama Opa sudah tawarkan agar kalian mencari pasangan yang berjilbab, menutup aurat, untuk memperbaiki keturunan keluarga kita. Alfin, Alex, Angga, tidak ada yang sanggup memenuhi. Sekarang malah Aldo yang memenuhi harapan Opa. Dari desa Oma, berjilbab dan bercadar juga. Sempurna sekali. Sepertinya Opa akan cepat sembuh."

Aku langsung terbelalak. Apa? Cepat sembuh?!

Kukira Opa sedang sekarat dan akan segera meninggal dunia. Supaya aku bisa cepat bercerai kalaupun terpaksa harus menikahinya. Jadi Opa masih berniat hidup lebih lama? Bagaimana kalau Opa malah berumur lebih panjang? Bagaimana aku bisa cepat menceraikannya?

Aku tahu saudara-saudaraku ini menahan tawa geli di hati mereka. Senang sekali mengejekku. Nasib buruk ini.

"Kalian menikah minggu depan." Opa memejamkan mata dengan raut berbinar. Jelas terlihat jauh lebih sehat dari sebelum kedatangan Miranda. 

Aku terbelalak kembali tapi tak kuasa membantah samasekali. 

Ini benar-benar nasib sial! 

Sebelum ini dilanjutkan, aku harus membuat kesepakatan. Pada Opa. Ya, aku harus menyampaikan persyaratan yang bisa menyelamatkanku ke depan.

Saat semua orang sudah berpamitan, aku masih duduk diam. Di sisi Opa. Hanya kami berdua.

"Ada apa, Aldo?" Opa melirikku dengan pandangan datar seakan menangkap kejanggalan. Ya, aku tahu, Opa sebenarnya tahu aku terpaksa dengan semua ini. Mana mungkin cucunya yang begitu pemilih ini mau ikhlas dijodohkan dengan gadis desa kalau bukan permintaan tak terbantahkannya.

Opa pasti tahu, hanya tetap saja memaksakan. Sungguh seperti wanita hamil yang mengidam. Tak bisa tak dituruti.

"Pertanyaan." Aku menarik nafas. "Permintaan." Kuralat ucapanku segera.

"Apa?"

"Berapa tenggat waktu aku bisa menceraikannya?" Aku langsung pada inti pertanyaan. Sekaligus permintaan. Ya, aku meminta tenggat waktu untuk bisa berpisah darinya jika harus menikahinya.

Opa mengernyitkan kening dengan tatapan tidak suka. 

"Belum menikah pun kamu sudah berfikir untuk bercerai?" Opa menatapku lekat. 

"Setidaknya aku sudah berusaha. Tapi kalau aku tetap tidak suka, apa harus tetap memaksakan bertahan?" Kuberikan pertanyaan rasional karena Opa selalu berfikir dengan logika kritisnya. 

Opa diam sejenak. Seperti mencerna, lalu berfikir.

"Dua tahun."

"Apa? Itu sangat lama, Opa." Aku menggeleng. Mencoba untuk menawar. Walau aku tahu, sulit. Ya, biasanya selalu sulit. Entah kali ini. Semoga Opa melemah dan bisa kutaklukkan. Untuk kali ini saja. Dan aku akan memilih waktu tersingkat dari jalan pernikahan ini. Kalau bisa, satu bulan, satu minggu, atau bahkan satu hari saja. 

"Satu tahun?"

"Bisa dipangkas lagi, Opa?"

"Enam bulan."

"Aku rasa masih terlalu lama. Ini jarak waktu tersingkat. Jadi Opa tak perlu khawatir. Selama aku masih bisa bertahan, aku akan bertahan meski sudah sampai pada batas waktu itu. Ini hanya batas waktu tersingkat. Itu saja."

"Tiga bulan. Tidak ada lagi tawar-menawar. Minimal tiga bulan kalian menikah. Hidup bersama, tinggal bersama, baru boleh mengeluarkan wacana perceraian."

Tiga bulan, itu waktu yang masih sangat lama bukan? Untuk hidup bersama dengan seorang perempuan ninja. Huh, tapi mau bagaimana lagi? 

Kuharap waktu berjalan lambat tapi ternyata justru berjalan begitu cepat. 

Satu minggu itu berlalu singkat dan pernikahan itu harus terlaksana. 

Dengan kebahagiaan Opa, tatapan mengejek semua saudaraku, keprihatinan Mami dan Papi, dan aku yang paling tersiksa dengan semua kenyataan ini. Untung saja, waktu yang singkat tak membuat pesta pernikahan harus dilaksanakan besar-besaran. Meski tetap saja, membuatku harus mereguk rasa malu dari pertanyaan tamu-tamu yang datang. Soal dia, si gadis ninja itu. Mereka yang kebingungan, bagaimana mungkin aku bisa memilih dia menjadi istriku? Padahal aku kan, terkenal paling pemilih dari semua saudaraku.

Dimana-mana, pengantin wanita itu berdandan. Nah, ini bagaimana, jangan-jangan ia bahkan belum mencuci muka. Ya, siapa yang tau kan? Orang wajahnya tertutup begitu. Dasar aneh. Padahal ini hari pernikahan dimana kecantikan mempelai perempuan harusnya jadi perhatian dan tontonan.

Tapi syukurlah. Jangan-jangan kalau penutup wajahnya dibuka, semua orang bisa pingsan. Termasuk aku.

Dia gadis ninja. Dan berita hebohnya, dia sudah sah jadi istriku sekarang.

.
.
.


Setelah akad nikah dan pesta pernikahan, Opa ternyata benar-benar membaik. Sehat seperti sedia kala. Oh, Tuhan. Apakah ini candaan? Apakah Opa hanya membohongiku dengan sakitnya?

"Opa sangat senang dengan pernikahanmu, Aldo. Jadi segera sembuh," ucapnya sambil menepuk pundakku.

Aku mengangkat sudut bibir dengan malas.

Kabar buruk ternyata belum berkahir. Setelah pesta usai dan aku akan memasuki kamarku, aku terkejut sebab terkunci. Coba kubuka dengan kunci pribadiku. Berulangkali. Gagal. Why? Ada masalah dengan pintu atau kunci kamarku ini?

"Kunci kamar itu sudah diganti dengan yang baru. Itu bukan lagi kamarmu. Kamu tidak boleh lagi tinggal di rumah ini, Aldo. Semua cucu Opa yang menikah harus meninggalkan rumah ini. Kalian harus bisa hidup mandiri."

Oh ya? Aku ternganga dengan menggelengkan kepala tak percaya. What? Aku dipaksa menikahi gadis desa dan diusir juga dari rumah mewah nan megah ini?

"Ya, kalian harus memulai hidup baru bersama. Membangun rumah tangga. Proses itu akan lebih cepat terlaksana jika kalian hidup mandiri. Tenang saja, kalian tetap dibantu oleh pembantu. Satu orang pembantu saja okey? Itu cukup." Opa kembali memutuskan semena-mena. 

"Mami dan Papi tetap tinggal di rumah ini padahal mereka sudah menikah." Aku berkelit, membela diri. "Kenapa Opa tak mengusir mereka juga?" Emosiku terpancing. Meski aku tahu, harus kutahan kuat-kuat di hadapan Opa.

"Mamimu itu putri Opa satu-satunya. Tidak ada yang lain. Kalau Mamimu dibawa pergi, Opa kesepian. Beda denganmu. Saudaramu banyak. Dan semua belum menikah. Alfin, Alex, Angga. Lagipula Papimu yang ikut tinggal di rumah ini, bukan sebaliknya Mamimu yang tinggal di rumah orangtua Papimu. Jadi kalau kamu mau, silakan tinggal di rumah orangtua Miranda," seloroh Opa seenaknya.

Apa? Tinggal di rumah mertua? Di desa? Gila! Mana mungkin aku mau.

"Banyak pilihan. Bisa tinggal di rumah orangtua Miranda, di rumah lain, atau apartemen. Jangan dipersulit." Opa kembali bicara seolah bijak sekali dengan pilihan itu.

Bicara yang tak bisa dibantah. Fiuh. Aku tahu, sia-sia membantah dan menawar. Yang ada aku malah semakin menjadi objek ditertawakan oleh para lelaki itu. Saudara-saudaraku yang tak tahu diri dan berjajar di pagar balkon menonton kesialanku.

"Koper pakaianmu dan Miranda sudah diantar ke bawah. Silakan pergi sekarang, Aldo. Kamu dan Miranda bisa bertamu ke sini kapan saja. Asal tidak menginap. Yah, bolehlah sesekali." Opa memberikan instruksi terakhir sambil berjalan menjauh di lantai atas yang luas. Melewati tangga-tangga berlapis beludru mewah.

Dan kemewahan rumah ini harus kutinggalkan sekarang. Sudahlah diusir, diusirnya bersama perempuan aneh itu pula. Aduh. 

Aku menyeret langkah dengan malas. Diiringi Miranda yang mengikuti saja tanpa sepatah katapun bertanya. Dasar pasif. Sepertinya, walau kubuang di jalan pun dia akan diam saja. 

Kututup pintu mobilku sebelum ia masuk. Dan dia hanya memandang dalam diam sampai aku menyalakan mesin dan melajukan mobilku. Sampai, Opa keluar dan... Oh, Tuhan. Aku tahu yang harus kulakukan jika tak ingin mengundang kemurkaan Opa. Kembali. Pergi berdua dengan perempuan aneh itu.

Alfin, Alex, dan Angga tertawa-tawa menontonku di atas balkon. Awas saja mereka.

Aku memundurkan mobil dan membiarkan Miranda masuk. Di kursi sebelah dudukku. Pada mobil mewahku ini. Semoga saja dia tidak udik.

Lalu mobil kembali kulajukan, melesat, melaju menuju apartemen. Tanpa sepatah kata dan sapa pun. Aku hanya diam. Dia juga. Apa yang perlu dibicarakan? Dengan gadis desa sepertinya. Paling hanya lulusan SMA, SMP atau bahkan tak sekolah jangan-jangan. Seberapa wawasannya? Paling hanya seputar sawah, ternak, dan kebun. Pembicaraan yang pasti membosankan. Jadi, lebih baik tiga bulan ini kami saling diam. Ya, hanya tiga bulan, setelah itu aku akan melepaskannya. Menceraikannya lalu hidup bebas dengan kesempurnaan hidup seperti sebelum pernikahan sialan ini.

Mobilku berhenti di sebuah gedung apartemen. Aku keluar lebih dulu, memanggil sekurity untuk menarikkan koper pakaianku. Hanya koper pakaianku, tidak dengan tas besar pakaian perempuan itu. Biarkan dia mengangkat sendiri. Itu hukuman. Kuperingatkan hal itu pada sekurity yang ingin membantunya. Biarkan saja. Supaya dia tau rasa dan cepat-cepat mengadu pada Opa atau orangtuanya kalau ia tak betah jatuh istriku. Ya, meminta pisah lebih dulu. Bahkan sebelum tiga bulan itu berlalu. Jadi aku bisa lebih cepat bebas darinya.

Apartemenku ada di lantai 27. Sangat jauh kan kalau harus mengangkat tas besar itu sendirian? Apalagi tas itu sepertinya cukup berat. Siapa suruh, niat sekali tinggal dan hidup denganku dengan membawa pakaian sebanyak itu. Dia kira aku suka apa menikah dan harus tinggal dengannya begini. 

Kututup segera pintu lift sebelum kakinya ikut melangkah masuk. Lalu kuhentikan langkahnya dengan satu petunjuk tangan.

"Lantai 27 no 297. Naik lewat tangga, jangan pakai lift atau eskalator!" Titahku sebelum pintu lift tertutup.

Kulihat ia sempat mengangkat muka. Matanya mengerjap dan dia... mengangguk.

Apa? Mengangguk? 

Heh, sudah kuduga, dia pasti begitu udik. Terpesona dengan bangunan mewah ini. Lumayan kan, untuk kasta sepertinya, bisa melihat-lihat bangunan semewah ini. Tinggal di salah satu kamarnya pula. 

Tapi lihat saja, apakah dia masih akan sanggup berdiri setelah sampai di pintu apartemenku? Atau malah menyerah di setengah perjalanan dan menangis-nangis menelepon orangtuanya, menggugat cerai? Itu akan jadi berita baik untukku. Batu hari pertama, aku bisa bebas darinya. Kalau dia yang menggugat cerai, mana bisa Opa memaksa. 

Aku tertawa penuh kemenangan saat bel tanda tiba berbunyi. 

Ting. 

Nasib Sulthan ya begini. Hidup serba enak. Mau ke puncak gunung eh puncak gedung juga, tinggal tekan tombol lift, sekejap, sampai. Beda dengan nasib gadis desa. Mau naik ke atas harus menaiki tangga manual. Biar tau rasa. 

Tapi ini, apa ini di lantai 27? Sepertinya bukan. Aku berdiri di muka lift yang baru saja tertutup dan menatap liar ke sekeliling. Mengamati. Ya, ini baru di lantai sepuluh. Kenapa lift berhenti di sini? Padahal tadi hanya isinya hanya aku sendiri.

Aku berbalik dan menekan tombol masuk lift lagi. Tidak bisa. Berpindah ke lift satunya lagi. Sama, tidak bisa. Why? 

Kupanggil sekurity di lantai itu dan langsung menghadapku. Bertanya, soal lift ini. Ada apa?

Lelaki bertubuh tegap yang kutanya mengangguk dengan raut penuh penyesalan. 


"Maaf, tuan. Liftnya gangguan. Makanya langsung terstop di lantai 10 ini," jawabnya mengejutkanku.

"Apa?!"

Ia mengangguk takut-takut, penuh penyesalan dan sekali lagi memohon maaf. 

Oh, sial!

"Kalau begitu tunjukkan, dimana letak eskalator!" Suaraku membentak, naik ke ubun-ubun.

Ini apartemen pribadiku. Kadang aku datang ke tempat ini sekedar untuk rehat sejenak. Tapi selalu naik lift, mana pernah aku mau naik eskalator. Sangat tidak praktis. Tapi mau bagaimana lagi sekarang? Terpaksa kan jadi naik tangga listrik itu.

"Di sana, tuan. Tapi... mohon maaf, tuan. Eskalatornya sedang tidak bisa dipakai juga. Em, saluran listriknya konslet."

"Apa?!"

Ia mengangguk sekali lagi, usai kumarahi. Kembali mengucapkan maaf.

"Aku bisa tuntut pelayanan di apartemen ini!" Ancamku. 

Lelaki itu bergeming dangan pandnagan pasrah. Seakan mengatakan, sehebat apapun aku mengancam sekarang, tetap saja lift dan eskalator sedang rusak. Masih diperbaiki. Entah kapan baru selesai. 

"Beritahukan dengan apa aku bisa sampai di lantai 27 sekarang?" Tanyaku dengan pandangan sinis menuntut jawaban terbaik.

"Satu-satunya cara. Ya, naik tangga manual, tuan." 

Apa?! Oh, sungguh sial. Baru hari pertama saja aku sudah demikian sial. Bagaimana besok-besok?

.
.
.

Bersambung





 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Batal Cerai
Selanjutnya Batal Cerai Bab 5-7 (Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga)
110
25
Batal Cerai Bab 5-717 lantai aku menaiki tangga manual. Shit! Ini pengalaman paling buruk seumur hidup. Bagaimana bisa, aku, seorang keturunan konglomerat, Sultan ini harus bersusah-payah menaiki tangga manual untuk mencapai apartemenku sendiri? Seumur-umur, baru sekarang aku benar-benar bernasib sial sekali begini. Dan sekali-kalinya menaiki tangga sejauh ini.Nafasku ngos-ngosan sampai di depan pintu. Kaki pegal bukan kepalang. Emosi naik ke ubun-ubun dan sabarku yang memang hanya seujung kuku rasanya benar-benar hilang sekarang, terbang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan