BUPH 9-10

4
0
Deskripsi

Bagaimana rasanya patah hati? 

Setelah larut beberapa waktu dalam hawa yang begitu menyentak ini, aku tersadar dan segera mengusap muka. 


 

Apa tadi? Aluna memutuskan hubungan kami? Benarkah? Atau dia hanya mencandaiku? Bukankah esok lusa kami akan menikah? Tidak mungkin kan semua ini dibatalkan begitu saja? Dengan sejuta alasan yang kucipta, kuraih kembali cincin bermata intan yang masih tergeletak di atas meja kayu di depanku. Lalu dengan langkah kaki yang kaku, aku mengejar Aluna, menuju rumahnya. 


 

Tidak. Ini pasti hanya salah paham bukan?  


 

Kemudian langkahku terhenti tepat di depan pintu yang renggang demi mendengar keributan di dalam. 


 

“Aku nggak mau, Ayah! Aku nggak bisa menikah dengan, Mas Yada. Aku nggak cinta!”


 

“Aluna! Apa-apaan kamu?! Yada yang terbaik untuk kamu!”


 

“Aku nggak bisa, Ayah. Aku nggak bisa maksain perasaan. Cukup lima tahun ini aku mengikuti mau Ayah. Aku tetap nggak bisa mencintai Mas Yada. Nggak bisa! Aku hanya akan menikah dengan Daffa!”


 

PLAKK!!


 

Suara tamparan diiringi dengan debaman ke arah pintu. 


 

Aku terhentak. Kali ini benar-benar terasa menusuk. Wanita yang kucintai, tidak mencintaiku dan mendapatkan tamparan dari ayahnya sebab itu, sebab aku. 


 

Lalu sosoknya keluar dari arah pintu. Sempat terdiam sejenak menatap ke arahku yang terpaku membatu. Dengan wajah basah oleh air mata dan sebelah pipi yang memerah nyata dan terluka di sudut bibirnya.


 

Aku juga menatapnya dengan pandangan mata berkaca-kaca. Kami terluka atas dua hal yang berbeda. Aku yang hancur oleh batalnya pernikahan kami. Dan ia yang menentang segalanya sebab tak menginginkan pernikahan ini.


 

Ia melepaskan pandangan lebih dulu, lalu berlari cepat ke arah pagar. Menyongsong seseorang yang ternyata sudah menunggunya. Lelaki muda yang pernah kulihat berpelukan dengannya, bertahun-tahun yang lalu. Daffa.


 

Jadi selama ini, bertahun-tahun aku telah dikhianati. Hanya dijadikan alasan untuk menutupi hubungannya yang tak direstui dengan kekasih hatinya itu. Seperti itukah, Aluna?


 


 

💔


 


 

Cinta seringkali membuat kewarasan hilang dan tindakan begitu tak masuk akal pun begitu mudah dilakukan. Seperti aku yang mencintai Aluna tanpa syarat apa-apa, tanpa pernah menuntut dan mencurigai apa-apa. Seperti juga Aluna yang mencintai lelaki itu hingga bersikeras menentang orangtuanya bahkan membatalkan rencana pernikahan yang sudah di depan mata.


 

Aku sungguh tidak tahu, soal hubungan mereka yang ditentang orangtuanya. Om Lambang pun tidak pernah bilang. Mereka menyembunyikan hubungan sebab tidak direstui, sejak dulu. Dengan memanfaatkanku untuk menutupi hubungan itu. Tanpa memikirkan perasaanku. 


 

Tahukah bagaimana sakitku? Mengapa tidak sedikitpun memikirkan tentang hatiku, Aluna?


 

Ayah dan ibunya menemui orangtuaku keesokan hari sejak kejadian malam itu. Bapak masih hidup. Pembicaraan yang cukup menegangkan. Tidak ada kehangatan seperti yang selama ini kulihat, dalam hubungan bapak dan sahabatnya.


 

Aku turut mengambil peran, menyetujui, pembatalan itu. Bersikap seakan tegar di hadapan mereka semua. Meski Om Lambang meminta maaf dan meyakinkan akan membujuk Aluna. 


 

Aku menggeleng. Sungguh aku tidak akan memaksa. Sesakit apapun rasa ini harus kutanggung sendirian. Bahkan aku dan orangtuaku tak sedikitpun bertanya sebab mereka tidak merestui hubungan Aluna dengan lelaki itu.


 

Keesokan harinya, dengan sikap tegak aku menyelesaikan semua. Membatalkan segala persiapan pernikahan. Bahkan menghubungi satu per satu tamu undangan untuk mengabarkan pembatalan acara. Menghadapi kebingungan dan beruntun pertanyaan semua orang yang penasaran dan kebingungan. Berusaha untuk tetap menjaga nama baik kedua keluarga. 


 

Bukankah aku terlihat sangat kuat, Aluna?


 

Di hadapan semua orang, aku sungguh kuasa menahan remukkan hati. Meski goresan lukanya begitu dalam menyakiti. Hatiku hancur berkeping-keping. Dan perasaanku begitu disergapi bias paling gila sepanjang jarak usia.


 

Aku mengurung diri di kamar setelahnya. Hingga di hari ketiga, bapak melengkapi segala kesedihan ini, pergi untuk selamanya. 


 

Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan keadaan ini, Aluna? Bagaimana aku bisa menata hidupku kembali setelah semua hantaman luka paling tak kusangka?


 

Dua bulan berlalu sejak hari pernikahan yang gagal itu. Aku masih menekuri semua luka ini, sendirian. Berusaha untuk bertahan dalam hati yang patah, sepatah-patahnya. Ditambah dengan kesedihan dari kematian bapak. Dan hari ini, pelengkap luka itu semakin nyata saat kudengar kabar pernikahan Aluna, dengan kekasih hatinya, lelaki muda bernama Daffa itu. Bahkan, aku diundang.


 

Entah bagaimana aku bisa menyambung kembali semua patahan hati ini. Remuk yang begitu menyakiti.


 

Pesta pernikahan Aluna dan Daffa digelar begitu meriah. Aku tahu, lelaki itu memang nyata terlihat berasal dari keluarga kaya raya, jauh dari latar belakang keluargaku.


 

Begitu yang terjadi. Perlahan, semua orang semakin menempatkan diri, memahami dan mempercayai alasan paling bisa diterima dari pembatalan pernikahanku dan Aluna, yang kurangkai hanya untuk tetap melindunginya dari serangan buruk semua orang atasnya. Kusampaikan seakan itu terjadi atas kesepakatan yang juga telah kupertimbangkan matang-matang. Meski kami begitu terlambat memutuskan.


 

Selentingan suara sumbang itu seringkali terdengar begitu menyudutkan. 


 

“Oalah, Yada sama Aluna itu nggak jadi nikah? Padahal sudah sebar undangan.”


 

“Iya, nggak cocok katanya. Heran anak muda sekarang, gampang banget ngambil keputusan. Mau menikah pun nggak dipikir dulu matang-matang, malah bubar jelang hari H. Kayak artis saja.”


 

Tahukah, Aluna, bahkan dalam keterpurukan dan rasa sakit ini pun, aku masih melindungimu. Menanggung sudut pandang salah ini bersama. Ah ya, mungkin benar memang aku juga salah. Salah sebab terlalu tak peka. Salah karena begitu percaya dan sedikitpun tak pernah mencuriga. Begitukah, Aluna?


 

Dua bulan berlalu dan semua orang perlahan melupakan kejadian itu. Segalanya berangsur membaik. Kecuali, perasaanku. 


 

Aku bahkan salah mengira, kukira semua orang juga berprasangka sama, bahwa bapak meninggal akibat shock dengan kejadian batal nikahku. Ternyata tidak, penjelasan medis soal kondisi jantung bapak yang memang lemah ditambah magh akut cukup menjadi alasan yang bisa diterima semua orang. Kecuali, aku. Bukan, bukan itu sebabnya. Bapak meninggal karena tak kuasa menerima kepatahan hatiku. Itu yang benar.


 

Kusimpan semua luka itu sendirian. 


 

Bahkan aku memutuskan untuk menghadiri pernikahan Aluna. Hanya demi menunjukkan kepada semua orang kalau aku baik-baik saja. Meski tak demikian keadaan sebenarnya. 


 

Hari ini aku baru tahu, ternyata sungguh keadaan puncak tersakit dari satu jiwa yang terluka bukanlah saat ingin menunjukkan pada seluruh dunia tentang derita. Tapi justru ketika rasa itu hilang dan berganti keinginan mati-matian menyembunyikan. Bersandiwara dalam senyuman dusta dan keadaan seakan juga baik-baik saja.


 

Ibu tidak berkenan hadir. Meski juga lebih memilih diam, ibu tak sekuat itu meredam perasaan untuk menghadiri pernikahan seseorang yang nyaris menjadi pendamping hidupku, anak semata wayangnya ini. Aku mengerti, ini memang tidak mudah.

Aku memasang helm di kepala, menuju gedung resepsi pernikahan. Melajukan motorku dengan perasaan terhancur yang sungguh tak bisa kulukiskan, remuk redam.


 

Hingga tiba. Megah sekali rupanya. Berkali lipat lebih mewah dari resepsi yang telah kami persiapkan bagi pernikahanku dengan Aluna, dua bulan lalu.


 

Beberapa orang yang mengenaliku saling berbisik melihat ke arahku. 


 

“Itu mantan pengantin wanitanya kan?”


 

“Iya, Yada, yang nggak jadi nikah. Wuih, datang nih.”


 

Kulewati saja orang-orang yang berbisik-bisik. Dengan bahu tegak meski di dada terasa begitu sesak. Dengan senyuman yang sesekali kulemparkan meski di langit perasaan sedang meremas keperihan. Dengan semua kebohongan yang kuperlihatkan walau di hati begitu berat untuk tetap bertahan di pijakan.


 

Ini berat tapi aku pasti bisa. Aku tak boleh terlihat lemah. Oh, ayolah. 


 

Suasana begitu ramai di dalam. Lantai berlapis permadani dan berjuntai hiasan memenuhi semua sudut. Berlalu lalang petugas prasmanan melewatiku, menawarkan aneka makanan yang tersaji di sepanjang meja hidangan. 


 

Aku masih bertahan. Sengaja kumasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana, hanya untuk menutupi getaran yang tercipta di setiap ruas jari-jariku. Memasang raut datar setegar mungkin. Meyakinkan hati, aku bisa melewati ini semua, menutupi hancurnya perasaan pada dunia dan terutama di hadapan Aluna. Pasti bisa. 


 

Dan sesaat ketika pandanganku terangkat ke arah pelaminan, aku segera terpaku diam. Demi menatap sepasang pengantin yang tengah berpegangan tangan sembari menatap berhadapan. 


 

Aluna mengenakan gaun putih panjang dengan mahkota tersemat sempurna di atas kepala. Berdampingan dengan Daffa yang nampak begitu gagah dalam balutan jas warna senada. Serasi sekali. Bukankah seharusnya itu adalah aku?


 

Setetes, air mataku jatuh tiba-tiba. Dalam sesak yang tak lagi bisa kujeda. Ah, ternyata aku tidak sekuat yang kukira, Aluna. Aku sungguh tidak sekuat it⁠⁠⁠⁠u.


 


 

💔💔💔

Untuk beberapa saat aku terpaku dalam bisu. Tak bisa berkedip menatap ke arah pelaminan. Bahkan cairan hangat yang tumpah dari sudut mata sungguh samasekali tak bisa kutahan.


 


 

Memandang pada sepasang manusia yang membuatku seakan tak lagi bernyawa sekarang. Lalu aku tersadar saat suatu benda berat terasa menumbuk kaki beralas sandalku. Disertai tumpahan cairan panas yang terciprat hingga atas paha dan mengalir kembali ke ujung kaki, membuatku terlonjak tiba-tiba.


 


 

Panci berisi kuah sup ternyata yang terjatuh dan tertumpah mengenaiku. Dibawa oleh seorang gadis kecil yang pastilah tak sengaja menabrak. 


 


 

“Om, ma-maaf....” Gadis kecil pembawa panci itu tergagap dalam raut pucat, berdiri mendekatiku.


 


 

Aku masih meringis, memegangi ujung jempol yang terasa sakit sebab dijatuhi panci serta seluruh kaki yang terasa panas dari batas paha. Ah, tidak terlalu panas sebanarnya, hangat saja. Tapi dalam kondisi mengejutkan seperti ini, tentu cukup membuat paparan dengan kulitku berkali lipat rasanya. 


 


 

Suasana di sekitar menjadi gaduh sejenak. Orang-orang melirikku dan gadis kecil pembawa panci tadi. Kami menjadi pusat perhatian sekarang.


 


 

Seorang wanita paruh baya tergopoh menghampiri ke arahku dengan tergesa, segera meminta maaf, sepertinya kepala pelayan dalam acara. Lalu menatap dengan pandangan begitu sangsi pada gadis kecil yang nampak semakin pucat di hadapanku.


 


 

“Ceroboh!” Kepala pelayan itu menekan suara dengan intonasi membentak padanya. Membuat gadis kecil yang kuperkirakan masih duduk di bangku sekolah dasar itu menunduk ketakutan.


 


 

Tak sengaja aku kembali mengangkat kepala dan yang kutemukan justru pandangan mata Aluna sedang melihat ke arahku sekarang. Wajah yang lima tahun ini selalu menemani meski lewat foto, setiap saat, kurindukan setiap waktu. Bagaimana aku bisa menerima dengan seluruh logika bahwa ia kini telah menjadi istri orang lain?


 


 

Ah, aku tidak sanggup. Segera kualihkan pandangan ke sembarang arah. Aku sungguh tidak kuasa bersitatap lagi dengan dirinya. Dalam keadaan seperti ini. Untunglah kondisi tertabrak ini membuatku memiliki alasan untuk menghapus cairan di sudut mata. Sebab panas kuah ini kah? Tentu saja tidak. Tapi sebab panas di dalam hatiku.


 


 

Aku mengalihkan perasaan yang amat menyakitkan ini dengan mengangkat sebelah tangan, malah kuarahkan pada gadis kecil yang berdiri ketakutan menerima bentakkan dari kepala pelayan.


 


 

“Tidak, dia tidak salah sepenuhnya. Saya tadi yang tidak melihat-lihat jalan.” Aku berbicara kepada kepala pelayan, membela gadis kecil itu. Satu pernyataan dusta yang cukup meredakan emosi wanita berwajah tegas ini, pada gadis kecil itu, aku tahu.


 


 

Tentu saja aku berbohong, tadi aku hanya berdiri diam, akulah yang ditabrak, bukan sebaliknya. “Akan saya ganti kerugiannya,” ucapku kemudian. Sekali lagi, ini sungguh tidak murni membantu. Aku hanya sedang mengalihkan perhatian dari Aluna. Menyibukkan diri dalam pembicaraan ini.


 


 

“Oh, tidak. Tidak, tuan. Kami yang minta maaf. Terimakasih tidak memperpanjang masalah ini. Itu sudah sangat membantu.” Wanita paruh baya itu menghembus lega. Lalu melemparkan senyuman sungkan kepada para tamu undangan yang masih memperhatikan. 


 


 

Aku tahu, masalah service dari jasa catering ini akan menjadi masalah besar jika aku yang menjadi korban seperti ini mengajukan keberatan, meski ini adalah murni ketidaksengajaan. Lagipula, bagaimana mungkin mereka mempekerjakan anak kecil di bawah umur seperti ini? Bahkan mereka bisa dituntut atas dasar perlindungan anak.


 


 

Mungkin ini cara Tuhan menyelamatkanku dari kondisi menyesakkan yang rupanya tak akan sanggup kulakukan, menemui Aluna di pelaminan. Tuhan tahu batas kemampuanku. Ternyata, aku tidak sekuat kukira. Ini cara terbaik yang diberikan untuk menyelamatkanku. Bahkan sebab ini bisa menjadi peralihan, alasan atas jatuhnya air mata ini. Sempurna sekali bukan?


 


 

Aku memutuskan untuk segera menuju toilet, urung naik ke pelaminan. Tidak mungkin aku menemui kedua mempelai dalam keadaan basah tertumpah kuah sop berbau kaldu ayam seperti ini. Sungguh kebetulan yang menyelamatkan.


 


 

Dengan langkah cepat dan masih dalam kehancuran hati, kubawa kaki menuju toilet di salah satu sayap gedung acara. Kosong, hanya ada au sendiri. Menatap wajah pias dan amat terlukaku dari kaca panjang yang ada di sana. 


 


 

Basah seperti ini, mengingatkanku dalam keadaan basah kehujanan bersama Aluna, dulu. Suasana romantis yang selalu kurasa begitu manis. Sekarang, pahit sekali. Aku kembali menyapu sudut mata yang berair sembari membersihkan kaki yang basah kuah sup dengan memancurkan air dari keran. Lalu mencengkeram sisi wastafel sembari menahan erangan yang begitu ingin kusuarakan. Mengapa rasanya sesesak ini? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Tahukah, sejak pernyataan Aluna dua bulan lalu, kurasa dunia ini tak lagi berarti. Segalanya terasa hambar dan jiwaku seperti mati. Aluna, mengapa tega sekali?


 


 

Seperti ranting yang kering, lalu patah, seperti itu hatiku sekarang. Seperti dahan yang rapuh, lalu luluh, seperti itu perasaanku. Padahal sebelumnya bersemi subur sekali. Semudah ini semuanya berubah.


 


 

Aku memejam cukup lama, mencoba untuk menetralkan degub di dada, baru keluar dari toilet untuk pulang. Ya, pulang. Hadiah pernikahan untuk mempelai sudah kutitipkan pada kepala pelayan tadi. Aku tak akan kembali ke dalam, dalam keadaan basah seperti ini, dan dalam hati hancur seperti ini juga.


 


 

Langkahku terhenti tepat saat mencapai pintu keluar toilet ini. Melihat pada seseorang yang rupanya menungguku di muka pintu.


 


 

💔💔💔


 

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pura-pura Ta'aruf (1-2)
0
0
Berjumpa lagi dalam novel bergenre romance religi super manis dan baperin karyaku. Yuk baca karya ini juga. Akan dipost sampai tamat di karyakarsa. Kamu bisa pilih ecer atau pilih Paket Hemat dan simple seharga 69.000 saja sampai Tamat. Novel manis dan religius yang super romantis khusus untukmu. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan