
Engga pernah terbayangkan di dalam hidupnya harus berurusan dengan dosen hits yang digandrungi oleh mahasiswi seangaktannya, karena kecerobohannya. Ketenangan dan kedamaiannya lenyap dalam hitungan detik.
"Welcome to the hell, Ca." -Caca-
"Heran sama kelakuan mahasiswa jaman sekarang, engga ada sopan-sopannya sama dosen." -Satria-
***
-Satria
"Je lu pernah merasa bingung sama perasaan lo sendiri gak sih?"
"Sat, perasaan itu bukan untuk dimengerti, tapi dia ada untuk lo terima. Perasaan engga akan bisa diemengerti sama logika."
Perkataan Jeral ada benarnya juga.
Akhir-akhir ini aku engga pernah ngerti dengan apa yang sedang aku rasakan. Beberapa kilas balik momen aku bersama Caca yang membuat aku bingung dengan perasaan ini.
Kenapa aku harus seeffort ini sama Caca?
"Je, gue ngelakuin ini karena kewajiban gue sebagai dosen atau apasih?"
"Kok lu tanya gue? Yang punya perasaan kan lu, kenapa nanya sama gue? Salah sambung."
Pertanyaan yang belakangan ini sering datang menghantui, berujung bikin aku frustasi. Engga tau, bingung menerjemahkan rasa khawatir ini.
Pertama, kenapa aku harus ikut merasa frustasi saat tau Caca ingin menyerah dengan hidupnya. Kedua, kenapa aku merasa sedih saat tau kenyataan kalau ternyata Caca bisa serapuh ini. Ketiga, kejadian yang dialami Caca kemarin entah kenapa berhasil bikin aku kalang kabut.
Aku selalu mencari jawaban, dan jawaban yang ingin aku dengar adalah, "karena lo dosen udah sewajarnya kayak gini."
Tapi kayak ada yang aneh, bukan itu jawabannya.
"Sat, mau gue kasih satu fakta menarik engga?" tanya Jeral.
"Apa?"
"Dulu temen gue ada yang kayak Caca, tapi dosen gue cuman ngasih semangat lewat kata-kata, engga sampai nemenin mahasiswanya nugas bareng. Bisa tarik kesimpulan engga dari fakta yang gue kasih kali ini?"
Gue diam, merenungi kata-kata yang keluar dari mulut Jeral.
"Gue tau lo udah dapet jawabannya, Sat. Cuman lagi denial aja, ye 'kan?" tanya Jeral.
"Tau ah Je, lu jangan bikin gue makin pusing dong."
Lagi asyik merenung, melamun, dan memikirkan kata-katanya Jeral. Panggilan masuk mengacaukan konsentrasi gue.
Wira's calling.
Tumben banget Wira telfon, biasanya dia chat dulu baru yang telfon gue.
"Halo Wir, kenapa?"
"Caca lagi sama Bapak engga?" tanya Wira di sebrang sana, samar gue mendengar nada panik dari suara Wira.
"Engga. Terakhir ketemu dan ngehubungin dia 3 hari yang lalu buat bimbingan. Kenapa, Wir?"
"Caca, engga bisa dihubungi. Terus dia juga engga ada di kosan, kira-kira bapak tau engga biasanya nongkrong di mana selain coffee shop yang biasa kita pake nugas?" tanya Wira berusaha tenang. Kontrol emosi Wira bagus, patut diacungi jempol.
"Okay, gue bantu cari ya, Wir. Selagi nyari, lo coba terus hubungi dia."
Setelah Wira mengiyakan apa yang aku minta, sambungan terputus.
"Kenapa?" tanya Jeral.
"Caca," aku menghela nafas, "dia engga bisa dihubungi seharian ini, dan engga ada di kosannya."
Jeral melirik jam dinding di kamarnya, pukul sembilan. "Ini udah jam 9? Lo mau nyari di mana?" tanya Jeral.
"Gue kayaknya mau nyari ke tempat yang biasa dia datengin pas lagi pengen sendiri."
"Yaudah ayok gue temenin." Jeral merebut kunci mobil yang berada di genggamanku, "gak tenang gue ngebiarin lo nyetir sendiri."
***
"Ada gak?" tanya Jeral.
Aku menggeleng, lesu. Biasanya Caca kalau lagi pengen sendiri paling mengasingkan diri ke coffe shop ini, tapi kali ini aku engga menemukan dia di sudut manampun, yang ada hanya para pekerja yang sedang sibuk membersihkan tempat ini.
"Mau cari kemana lagi, Sat?" tanya Jeral.
Aku menggeleng, bingung. "Engga tau, Wira udah nyari ke mekdi sama coffee shop yang biasa mereka datangi kalau lagi nugas, tapi engga ada. Menurut lo harus nyari kemana, Je?"
Jeral nampak berfikir.
"Gue ternyata belum sepenuhnya memahami dia ya, Je. Lagi kayak gini aja, gue engga tau dia pergi kemana. Padahal gue kira kedekatan kita selama beberapa bulan terakhir udah cukup bikin gue mengenal dia, ternyata baru dasarnya doang."
Jeral menepuk bahu gue, "udah engga usah nyalahin diri sendiri, sekarang kita cari lagi. Lo coba deh hubungi dia, kali aja nyambung."
Selama di perjalanan gue berusaha menghubungi Caca, tapi engga pernah kesambung selalu dialihkan ke operator.
"Mau nyoba ke Shelter, Holy Wings, atau Sober gak?" tanya Jeral, tiba-tiba.
Aku menatap Jeral, terkejut. "Lo pikir dia bakal ada di sana, Je?"
Jeral mengangkat kedua bahunya, "engga tau sih. Tapi 'kan dulu dia pernah nyoba ke sana sekali, ya kali aja dia balik lagi. Who knows."
Aku engga yakin dengan dugaan Jeral. Soalnya selama dia ngedown kemarin, Caca engga pergi ke tempat itu. Yang artinya Caca sama sekali engga tertarik untuk mendatangi tempat itu, dan firasatku kuat banget kalau Caca engga akan ada di sana. Dia mana berani ke tempat itu sendirian, tanpa Wira.
"Yaudah Je, coba aja." Pada akhirnya gue menyetujui ucapan Jeral, saking putus asanya engga tau harus nyari di mana lagi.
***
Sesuai dugaanku, kita engga menemukan Caca di club malam. Hanya Jeral yang pada akhirnya terjebak di sana, bersama wanita-wanita yang ntahlah malah menarik fokus Jeral. Katanya, "Sat tunggu di mobil, gue kelarin bentar." Entah apa yang dia mau kelarin.
Aku kembali masuk ke dalam mobil, mencoba sekali lagi untuk menghubungi nomer Caca. Lagi, panggilan dialihkan.
Astaga Ca, kamu kemana sih? Sekali aja, engga usah bikin khawatir, kan bisa.
Selagi menunggu Jeral menyelesaikan urusannya, aku berusaha stalking media sosialnya Caca yang berujung sia-sia. Dia engga update apapun di Twitter ataupun Instagram.
Wira's calling.
Aku segera mengangkat telfon dari Wira.
"Kenapa Wir? Udah tau Caca dimana?" tanyaku.
"Berita baik, Pak, dia ternyata pulang ke rumahnya, lupa ngabarin."
Aku menghela nafas lega, benar-benar lega karena tidak ada hal aneh yang terjadi dengan Caca, "dia udah kasih kabar lo?"
"Engga. Tadi saya telfon Bundanya Caca, karena udah buntu. Ehh kata Bundanya, dia pulang hari ini, terus anaknya lagi tidur, lupa charger hp kayaknya," jelas Wira di sebrang sana.
Sekali lagi aku menghela nafas lega, "lo pernah main ke rumahnya Caca, Wir?"
"Pernah waktu itu sekali dua kali. Kenapa, Pak?"
"Shareloc ya, Wir, rumahnya dia. Gue belum benar-benar tenang kalau engga mastiin secara langsung."
Aku mendengar Wira cegukan di sebrang sana, "eh? Beneran nih, Pak, mau ke sana?"
"Iya. Emang kenapa?"
"Enggapapa. Yauda saya shareloc ya, Pak."
Panggilan terputus, dan satu pesan masuk dari Wira isinya alamat rumah tinggal Caca.
Jeraldine:
Je, Caca udah ketemu. Gue samperin dia dulu ya, lo pulang naik taksi online aja. Kalau lo sobbers, telfon Ghian aja.
Sebenarnya orang kalau udah mabok, dia engga akan sadar dan kepikiran mau ngapain, jadi aku memutuskan untuk chat Ghian juga.
Ghian:
Yan, si Jeral lagi 'terjebak' lagi di Shelter, gue lagi ada urusan gak bisa nemenin dia. Tolong jemput ya, takutnya dia kenapa-napa.
Walaupun bagi Jeral, terjebak bersama wanita di dalam sana bukan hal baru, tapi tetap saja kalau engga diawasin bahaya.
***
Perasaan bukan untuk dimengerti, dia ada untuk diterima pemilknya.
Aku seperti kehilangan akal sehat dan cara berfikir, padahal itu bukan aku banget. Sebagai dosen jelas aku harus bisa mengontrol diri, jangan sampai kehilangan cara berfikir. Tapi malam ini jam dua subuh, aku engga ngerti kenapa tiba-tiba ada di Bekasi, tepatnya di depan rumah Caca.
Rumah yang terasnya masih terang, tapi di beberapa ruangan sudah mati lampunya. Engga sopan banget kalau aku bertamu jam segini. Kenapa sih, Sat?
Aku menghela nafas, kembali menyalakan mesin mobil dan berbalik arah untuk mencari hotel.
Gue goblok banget, Caca doang emang yang bisa bikin gue jadi impulsif Bandung-Bekasi tanpa mikir panjang.
Sedang sibuk-sibuknya merutuki kebodohan gue, satu telfon masuk.
Ghian's calling.
"Kenapa, Yan?"
"Lo dimana anjir? Gila si Jeral kenapa deh tiba-tiba hangover."
"Lagi ngurus mahasiswi gue yang lagi butuh perhatian lebih."
"Siapa?"
"Caca."
"Yeu, bucin goblok. Sama aja lo kayak gue, sekalinya suka sama cewek langsung jadi bucin tolol."
"Berisik. Terus sekarang Jeral di mana? Dia bilang mau tobat, lo engga ngegap dia di kamar sama cewek 'kan?"
"Kagak. Dia tadi mengenaskan banget di lounge gitu, sambil meracau engga jelas. Terus yauda gue bawa pulang aja ke kosan."
"Bagus deh, ntar kalo bangun gue titip getokin kepalanya dia."
"Tunggu, lo dimana deh?"
"Bekasi."
"What?!"
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, Ghian teriak lebay banget.
"Lebay sumpah."
"Sumpah, Sat. Lo engga ada bedanya sama gue kalau lagi bucin, sama-sama jadi tolol. Kena tulah sendiri 'kan lu?" Aku mendengar suara mengejek dari Ghian.
Aku berdecak sebal, "bacot. Ini bukan bucin, ini namanya gue totalitas banget menjalankan peran sebagai dosen."
Ghian tertawa terbahak-bahak di ujung sana, "anying, selain tolol, otak lu mendadak engga berfungsi. Hahahaha yaudah deh, semoga hidayah secepatnya menghampirimu, kawan."
Apasih maksudnya si Ghian, ngomong engga jelas, udah kayak kumur-kumur.
***
Ingatkan aku supaya besok periksa ke dokter, kayaknya ada yang salah dengan otak aku. Bisa-bisanya jam sepuluh pagi aku sudah berdiri di depan rumahnya Caca. Mau numpang sarapan lo, Sat?
Tapi yaudahlah, udah kepalang basah, sekalian aja menceburkan diri. Kembali ke niat, aku datang ke sini untuk memastikan keadaan Caca baik-baik saja tidak perlu ada yang dilebih-lebihkan, apalagi soal perasaan.
"Mau ketemu siapa, Mas?" tanya seorang pria sepuh, kayaknya Bapaknya Caca, soalnya mukanya kayak copy paste Caca banget.
"Selamat Pagi Om, saya ke sini mau ketemu Caca." Aku menjabat tangannya dengan sedikit membungkukan badan, untuk memberi kesan sopan.
"Caca ada di dalam." Beliau melirik ke dalam rumahnya, "Bun, Caca udah bangun belum?"
"Tadi udah dibangunin abangnya, tapi kayaknya tidur lagi. Kenapa, Yah?" Terdengar teriakan cukup kencang dari dalam.
"Oh, ini ada yang nyari. Masih bujang kayaknya." Beliau melirikku lagi, "pacarnya Caca ya?" tanyanya.
Aku berdehem, kaget tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu, "eh—anu—bukan, Om. Saya dosennya Caca."
Beliau menatapku dari atas sampai bawah secara berulang kali, "gitu ya? Ada perlu apa ya? Apa Caca bikin gara-gara terus dia di drop out? Kok bisa? Perasaan kemarin dia pergi ke Jepang, apa dia ngibul ya." Bapaknya Caca meracau engga jelas.
Aku tersenyum, "ahh engga, Om. Caca anak baik kok di kampus."
"Terus ada perlu apa?"
"Ayah, tamu nya tuh diajak masuk, malah ngobrol di depan pintu masuk." Seseorang yang lebih muda dari Bapaknya Caca datang dari dalam rumah, nah kalau ini pasti Bundanya Caca, ada kemiripan sedikit, mukanya Caca lebih dominan ke Bapaknya.
"Loh ya sebelum mempersilahkan tamu masuk, harus ditanya dulu tujuan dia ke sini apa. Kok main nyuruh masuk aja, aneh kamu, Bun."
Bundanya Caca mengacuhkan ucapan suaminya, dia mengalihkan seluruh atensi kepadaku, "dengan siapa ya?"
Aku tersenyum, menjabat tangan beliau dan membungkukan badan, "Satria, tante. Dosennya, Caca."
"Dosen? Ada apa ya?" tanyanya dengan raut wajah terkejut.
"Oh engga ada apa-apa, Tante. Jadi saya ke sini—"
"Engga ada apa-apa terus ngapain bertamu?" tanya Bapaknya Caca, memotong ucapanku.
Sekarang aku tau darimana gen menyebalkan Caca didapat.
"Ayah, dia belum selesai ngomong. Udah ayah mending masuk ke dalam rumah, kasih makan burungnya."
Tapi Bapaknya Caca engga beranjak dari posisinya, dia masih berdiri, menatapku tajam dengan tatapan penuh menilai. Jadi grogi, berasa mau menghadapi calon mertua aja.
"Jadi kenapa, Nak Satria?"
"Saya dosen pembimbing Caca, terus kemarin temennya ngasih kabar kalau Caca engga bisa dikabari. Jadi saya ke sini buat cek kondisi Caca."
Bundanya Caca terlihat mengerti dan mengangguk-ngangguk paham, "yasudah ayok masuk dulu. Caca nya belum bangun kayaknya."
"Yakin kamu cuman dosen dia?" tanya Bapaknya Caca begitu aku baru mau menginjakkan kaki di ruang tamu kelurga Caca.
"Ayah, ajak ngobrol, jangan macem-macem. Bunda ambilin minum dulu."
"Air putih aja, Bun. Engga usah repot-repot, bukan tamu spesial." Dan perkataan Bapaknya Caca langsung mendapat pelototan dari istrinya.
Hadeuh, sekarang aku benar-benar yakin kalau yang ada di depan aku ini adalah Bapaknya Caca tanpa perlu tes DNA.
"Eh iya Om, saya Dosennya Caca, kenapa memangnya?" tanyaku, berusaha untuk sopan.
"Ahh engga. Cuman saya engga tau aja, ada dosen yang seniat ini ngecek keadaan mahasiswanya, padahalkan biasanya nanya ke temennya aja cukup."
Iya. Kenapa ya? Kenapa gue repot-repot datang ke rumahnya Caca? Ketemu orang tuanya Caca, hanya untuk memastikan keadaan dia baik-baik saja. Padahal semalem Wira bilang kalau Caca baik-baik aja.
***
Pada akhirnya aku memutuskan untuk bermain catur menemani Bapaknya Caca di teras belakang rumah, dengan suara kicauan burung peliharaan beliau. Sudah hampir jam 12 siang dan batang hidungnya Caca belum kelihatan sama sekali.
Dia tidur apa latihan meninggal sih?
"Caca emang gitu, dia kalau pulang ke rumah cuman numpang tidur doang. Bangun kalau engga buat makan ya solat, habis itu tidur lagi. Bisa tidur dari pagi sampe pagi lagi," ucap Om Alex, Bapaknya Caca.
"Bundanya engga pernah berani ngomelin dia, katanya kasian anaknya kalo di kosan bisa engga tidur seharian atau kalau tidur cuman dua jam doang. Anak arsitektur emang gitu ya?" tanyanya.
Aku mengangguk, membagi fokus untuk memindahkan pion-pion catur di depan.
"Jadi menyesal saya ngijinin dia masuk arsitektur. Kuliah kok nyari penyakit, kurang tidur, kerjaannya nugas terus. Padahal saya udah bilang sama Caca, enggapapa lulus 7 tahun juga, abangnya ini yang bayarin." Kemudian dia tertawa, dengan jokes yang dia buat sendiri.
"Sebenarnya kalau bukan akhir semester, jam tidur mereka normal kok."
"Apaan, kemarin saya dapet info katanya Caca sibuk banget ikut conference diajakin dosennya, dipaksa katanya. Padahal udah saya kasih tau, udah dek kamu rebahan aja di kosan. Pakai waktunya buat istirahat."
Aduh berasa disindir secara langsung.
"Kemarin Bundanya dia panik banget, karena hampir sebulan dia engga bisa dihubungi. Saya juga khawatir di sini, karena engga biasanya Caca menghilang tanpa kabar. Terus abangnya dia nelfon teman-temannya, dan saya dapat kabar dari temannya, kabar yang bikin saya dan istri saya merasakan sakit hati yang luar biasa.
Sebagai orang tua, saya berusaha untuk tidak menjadikan anak sebagai investasi. Saya selalu bilang sama Caca untuk melakukan apa yang dia suka dan bikin dia nyaman, saya engga pernah maksa dia buat lulus tepat waktu. Abangnya aja lulus 5 tahun, saya engga masalah." Om Alex menyeruput kopi hitamnya, pandangannya menerawang ke depan.
"Karena menurut saya kesuksesan itu engga ditentukan dengan berapa lama kita kuliah. Betul engga, Pak Dosen?"
Aku mengangguk setuju.
"Asal kita menghargai setiap langkah menuju garis finish, menemukan makna dari setiap langkah. Itu yang menurut saya paling penting, dan langkah setiap orang berbeda ya, saya engga pernah nyuruh Caca menyamakan langkah dengan teman-temannya." Om Alex berdecak sabal, "Saya tau dia pintar, tapi banyak magernya. Terlalu sayang sama kasur melebihi apapun."
Aku bernafas lega, Caca mempunyai keluarga yang cukup pengertian. Aku engga perlu mengkhawatirkan dia.
"Tapi Caca selain mager, dia keras kepala. Dia kalau punya ambisi, kadang suka lupa sama dirinya sendiri. Mungkin ambisi dia kali ini pengen lulus bareng dengan teman-temannya, tapi dia lupa untuk membahagiakan dirinya sendiri, and forget to take care herself." Om Alex mengehela nafas, mungkin ada rasa bersalah yang membelenggunya kali ini.
"Wira kemarin cerita, katanya Caca punya dosen pembimbing yang baik dan pengertian. Itu Bapak Dosen 'kan?" dia melirikku sekilas, "saya mau ucapin terima kasih, karena sudah sabar membimbing dia dan memilih mengerti daripada memaksa. Terima kasih, Pak."
"Ah, sama-sama, Om. Tapi itu bukan sepenuhnya karena saya, tapi Caca emang orangnya hebat aja. Dia mau saya ajak untuk jalan lagi setelah jatuh. Anak Om yang keren, bukan saya. Dan sometime saya engga sesabar itu kok."
Om Alex terkekeh, "anak itu ya, engga ke ayahnya, abangnya, eh ke dosen pembimbing juga tetep menguji kesabaran."
Sedang asyik mengobrol dengan Bapaknya Caca, dari dalam rumah terdengar ribut karena seseorang sedang menuruni tangga sambil mengomel, "Bunda kalau ada tamu buat aku kenapa engga bangunin aku sih, kok malah biarin aku tidur terus?"
"Kamu bukan tidur, tapi pingsan kali. Bunda udah beberapa kali bangunin kamu, sampe capek banget."
"Terus orang yang nyariin aku mana?"
"Di teras lagi ngobrol sama Ayah."
Aku mendengar derap langkah kaki berjalan mendekat.
"LOH?! PAK SATRIA? NGAPAIN KE RUMAH SAYA?!"
***
"Sumpah Bapak random banget tiba-tiba dateng ke rumah, engga ada kerjaan apa?" tanya Caca, dari pertama ketemu dia malah misuh-misuh bukannya menyambut dengan hangat.
"Saya khawatir??"
"Why should you worry?"
"Ya engga tau. Namanya perasaan, engga ada yang tau."
Dia hanya mendengus sebal setelah mendengar jawabanku, kemudian sibuk memilih minuman yang akan dia pesan.
Setelah makan siang di rumahnya, dia buru-buru ngajak aku keluar. Katanya, di rumah engga aman.
Di sebelah mananya engga aman coba, dari jam 10 pagi sampai 12 siang aku diem di rumahnya badanku masih utuh engga ada kehilangan apapun.
"Bapak engga akan ngerti pokoknya." Jawaban yang diberikan setelah aku bertanya berkali-kali.
Yaudahlah, ada beberapa hal di dunia ini yang engga selalu ada jawabannya dan engga semua hal harus aku mengerti juga.
"Sumpah deh, kenapa impuslif banget sih, Pak?" tanya Caca, balik ke topik awal.
Dia menyerahkan menu ke arah waiters setelah menyebutkan pesanan. Satu coffe latte extra ice dan ice americano normal ice.
"Makannya kalau punya hp tuh jangan lupa dicas. Jangan bikin orang sekampung panik."
Dia mendelik sebal, "lebay banget?? Namanya juga orang lupa. Lagian kenapa pada kayak kebakaran jenggot gitu sih."
"Ya panik dong? Kamu tiga hari engga bisa dihubungi kata Wira, terus di kosan engga ada. Saya nyari ke setiap sudut di kota Bandung juga engga nemu."
"Lebay banget sumpah setiap sudut Kota Bandung."
"Saya nyari kamu ke club malam juga."
Dia melotot, "kenapa nyari saya ke sana?"
Aku mengangkat kedua bahuku, "ya siapa tau kamu khilaf lagi."
Dia menggelengkan kepala engga habis pikir, "sumpah. Sebel banget, saya pernah ke tempat itu sekali doang?? Kenapa mikir saya ada di sana sih, saya sadar engga kuat minum alkohol, minum americano aja udah bikin mabok."
Aku terkekeh, "makannya engga usah dateng ke tempat itu lagi."
"Ya engga? Cuman sekali doang, itu pun sama Wira."
"Saya udah bilang ya, tempat itu berbahaya buat anak polos kayak kamu."
"Ya siapa yang mau pergi ke sana sih? Engga."
"Bagus."
"Btw, tadi ngobrol apa aja sama Ayah?"
"Banyak hal."
"Apa?"
"Gausa kepo. Urusan orang dewasa."
Caca memicingkan kedua matanya, "we look like a couple, aren't we? Kayak Bapak lagi berusaha minta restu sama Ayah, terus engga mau ngasih tau karena ternyata engga dapat restu."
Giliran aku yang memicingkan kedua mataku, "tolong kembali menginjak bumi saudara Caca." Aku menyentil keningnya, "baru disamperin mikirnya udah ke restu aja. Aneh."
Caca mendengus sebal, menyereput coffe latte nya dengan emosi, "yauda sih. Bercanda."
Aku terkekeh, "bercanda tapi niatnya serius ya?"
"No. Mending saya serius sama yang mau sama saya aja, Fatthan contohnya."
Aku memcingkan kedua mataku, "kok tiba-tiba Fatthan?"
Dia berdecak sebal, "belum tau ya? Fatthan seminggu yang lalu ngasih tau apa yang dia rasakan sama saya, ternyata selama ini apa yang saya rasakan ke dia engga bertepuk sebelah tangan."
"Senang?"
"Yaiyalah, setelah ditolak sama Bapak, terus ternyata Fatthan suka sama saya, siapa yang engga bahagia?"
"Good, then."
Kemudian hening, kami berdua sibuk menyelami pikiran sendiri. Aku tersesat dalam praduga-praduga yang aku buat sendiri, semakin aku menyelami, semakin jatuh, jauh, dan sesak rasanya.
"Ca."
"Ya?"
"Jangan ngilang lagi ya, kalau mau pulang, bisa kasih kabar. Ke saya, Wira, Anya, atau bahkan Fatthan, I don't mind. Jangan bikin saya panik engga jelas kayak semalam."
***
"Udah balik lo dari Bekasi?" tanya Ghian.
"Kalau belum, wujud yang lo lihat sekarang siapa dong, Yan?" tanyaku balik.
Dia nyengir, kemudian kembali sibuk bermain game bersama Jeral.
Minggu malam kali ini, kita bertiga—gue, Jeral, dan Ghian—memutuskan untuk berkumpul di rumah Jeral. Agenda bucin Ghian biasanya malam minggu dan hari minggu, makannya kita memilih kumpul di minggu malam, walaupun besoknya hari senin.
Kembali kerja, kembali menghadapi realita.
"Gimana si Caca?" tanya Jeral.
"Ya kalau dia kenapa-napa lo engga bisa ngelihat gue setenang ini sekarang, Je."
Jeral hanya mengangguk-ngangguk, fokus dengan playstation di depannya. Lagi tanding bola sama Ghian.
"Sat, jilat ludah sendiri enak engga?" tanya Ghian.
"Apa?"
"Dulu, kalau engga salah ada yang bilang, pacaran sama yang umurnya beda jauh tuh ribet banget. Dan lo males pacaran sama mahasiswa sendiri. Gimana enak jilat ludah sendiri?" tanya Ghian, meperjelas pertanyaan sebelumnya.
Jeral ketawa kencang banget, "gue bagian ngetawain aja, Yan."
"Ya siapa yang jilat ludah sendiri? Kan gue engga pacaran sama Caca."
Ghian berdecak sebal, "denial terus mau sampe kapan sih, Sat?"
"Siapa yang denial?"
"Lo, anjing." Yang ngejawab Jeral, sambil ngegas.
"Sat, gue dosen sama kayak lo. Tapi kayaknya gue engga akan seeffort itu deh sama mahasiswa gue sendiri. Gila sampai disamperin ke Bekasi anying, itu di luar kuasa Dosen."
"Ya emang kenapa? Si Caca kan mahasiswa bimbingan gue, menurut gue ya beda."
"Iya, kalau sama mahasiswa lain pure bimbingan, kalau sama Caca pake hati."
Jeral menjeda permainannya, yang mendapat protes keras dari Ghian. Soalnya Ghian dikit lagi mau cetak goal tapi buru-buru Jeral jeda. "Sat, perlu gue jabarin satu-satu lagi?"
"Je, perlu gue kasih tau lagi apa ketakutan terbesar gue?"
"You're different, Sat."
"Lo harusnya paham Je, karena kita ada di posisi yang sama. Tapi mungkin lo lebih beruntung."
"Ini ada apa sih? Apa yang belum lo ceritain Sat? Ketakutan apa?" tanya Ghian, kayak orang bingung.
"Je jelasin Je." Aku memilih merebahkan diri di kasur, menutup kepala dengan bantal milik Jeral.
Aku sadar betul apa yang aku rasakan ke Caca lebih dari yang seharusnya. Tapi perasaan takut itu lebih besar dan memelukku lebih erat dari apa yang aku rasakan ke Caca. Aku hanya takut, perasaan ini pada akhirnya hanya akan menyakiti Caca.
Cinta? Ahh apasih definisi cinta yang sesungguhnya? Menerima setiap kekurangan dan kelebihan pasangan? Seperti Ibu yang selalu membukakan pintu untuk Bapak, walaupun sudah beberapa kali Bapak menyakiti Ibu. Apakah itu definisi Cinta? Tanpa batas, sampai rasanya engga bisa memutuskan kapan untuk memakai logika dan perasaan.
Kata Ibu, cinta itu pengorbanan. Kalau yang dikorbankan selalu diri sendiri, apa itu namanya cinta? Membunuh logika karena terlalu berpangku sama perasaan.
"Sat."
Panggilan Ghian menarikku kembali ke kenyataan.
"Sebelumnya, I'm sorry to hear that. Gue engga tau apa yang lo rasakan bisa serumit ini."
"It's okay, Yan. Ibu sama Bapak sedang dalam proses sidang perceraian kok."
"Nice. Semoga lancar ya segala urusannya."
"Perasaan gue ke Caca emang udah lebih dari yang seharusnya antara dosen-mahasiswa. Di malam ketika gue menceritakan tentang keluarga gue ke dia, sebagian dinding pertahanan gue runtuh. Lalu, malam setelah Caca memutuskan kembali untuk melangkah, dinding pertahanan gue runtuh seluruhnya. Engga perlu lo kasih tau, gue sadar atas apa yang gue rasakan."
Hening, tidak ada tanggapan dari mereka berdua.
"Gue berusaha denial, selain karena status kita, apa yang dialami keluarga gue bikin gue engga percaya diri untuk menjalin sebuah hubungan. Tapi semakin gue menghindar, perasaan itu malah berkembang. Sekarang, saking sayangnya gue sama dia, gue engga mau nyakitin dia."
"Bagian mana menyakiti saat lo mencintai dia setulus itu, Sat?" tanya Jeral.
"Je, kadang rasa sayang bisa jadi bumerang. Ibu gue sayang banget sama Bokap, setulus itu. Tapi lihat apa yang dia dapat? Pengkhianatan, dan bukannya pergi Ibu malah memilih bertahan dengan alasan cinta." Aku berdecak sebal, "definisi cinta tuh apa? Kenapa rasa sayang engga bisa dijadikan alasan untuk tidak menyakiti?"
"Aduh gue no comment, lo tau sendiri gue kayak gimana, Sat. Tanya Ghian yang sudah menemukan pelabuhannya," jawab Jeral.
Ghian tersenyum simpul, "Sat, setau gue ya cinta bukan semata-mata tentang perasaan tapi melibatkan logika juga. Tuhan ngasih lo logika dan perasaan biar bisa digunakan secara adil, tidak berat sebelah.
Hubungan gue dan Anya memang engga sempurna, dan dalam menjalin hubungan pasti selalu ada masalah. Tapi selama gue menjalin hubungan dengan Anya, selama kita masih merasakan debar yang sama, engga ada yang perlu dikhawatirkan."
Aku mengernyit bingung, Jeral apalagi. Dia yang anti komitmen mana paham masalah beginian. Ngerti 'kan kenapa aku ngeklop banget sama Jeral? Karena sebelum bertemu Caca, pemikiran kita sama. Berlayar lah kemanapun kamu mau, berlabuh hanya membuat kamu terlena.
Tapi nyatanya, jika kita menemukan pelabuhan yang tepat, terlena pun rasanya tidak menjadi masalah.
"Hubungan itu yang menjalin dua pihak, Sat. Yang punya perasaan di sini bukan cuman lo aja, Caca juga. Kalian harus bertemu di tengah-tengah dan saling sepakat. Kalau cuman salah satu doang yang maju, ya mungkin akan berakhir seperti apa yang orang tua lo alami.
Makannya gue tadi bilang, selama gue dan Anya menemukan kenyaman, merasakan debar yang sama, engga ada yang perlu dikhawatirkan. Hubungan itu ya jalani aja, Sat, ke depannya nanti kayak gimana, ya jadikan itu sebagai proses lo tumbuh menjadi dewasa."
Jeral tim nyimak daritadi cuman ngangguk-ngangguk doang.
"Sat, satu yang perlu lo inget. Lo bukan Bapak lo, di dalam tubuh lo emang ada darah bapak lo, tapi itu engga bisa jadi patokan lo bakal melakukan hal yang sama. Buah memang jatuh engga jauh dari pohonnya, tapi 'kan itu udah jatuh, udah engga ada hubungannya lagi, lo bisa menentukan takdir lo sendiri."
Jeral menepuk bahu gue cukup kencang, "kan gue bilang apa! Buah emang engga jatuh jauh dari pohonnya, tapi 'kan itu udah jatuh, engga ada hubungannya lagi. Lagian gue 'kan udah bilang, kalau lo macem-macem kita siap jadi garda terdepan buat nonjok lu."
Aku tersenyum simpul.
"Lo berhak bahagia, Sat. Engga usah denial sama apa yang terjadi dengan kedua orang tua lo, permasalahan mereka lo rekontruksi menjadi energi positif buat lo. Jangan menghindar atau membuang luka yang lo rasakan, tapi coba berjalan beriringan sebagai bentuk proses lo menjadi dewasa dengan permasalahan yang dihadapi oleh orang tua lo."
"Anjir, mantap juga si Ghian. Lo buka jasa konseling lah, Yan. Gue siap jadi pasien lo."
"Cari dulu yang bisa bikin lo bertekuk lutut, Je, baru curhat sama gue."
Jeral berdecak sebal.
Sedangkan aku masih diam, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Ghian.
"Cinta itu kalau diibaratkan kayak nyala api, Sat. Jangan biarkan nyalanya terlalu besar, kalian bisa kebakar. Jangan pula biarkan nyalanya meredup, kalian bisa kehilangan arah. Untuk menjaga api itu agar tetap menyala dengan stabil, kalian harus bekerja sama. Penerimaan dan kesepakatan di antara kalian, akan membuat nyalanya stabil."
"Yan, makasih."
"Gue tau engga mudah memulai ini semua, tapi kalau lo tetap memeluk takut yang lo rasakan, kapan rasa takut itu akan hilang? Cinta engga semenyeramkan itu, Sat."
"I know. Gue cuman ragu, bingung, takut, semuanya kayak campur aduk engga jelas."
"Udah engga usah banyak cingcong, gas aja anjir, keburu kena tikungan tajam dari mahasiswa lo sendiri." Jeral menepuk-nepuk bahuku cukup keras.
Ah, apa iya aku berbeda dari Bapak? Apa iya aku mampu membahagiakan Caca tanpa menyakiti dia sedikitpun.
Tapi perkataan Ghian malam ini menyadarkanku, kalau cinta bekerja karena perasaan dan logika. Dua-duanya harus bekerja. Mungkin Bapak terlalu mengedepankan logika dan Ibu terlalu berpangku pada perasaan, mereka tidak bertemu di tengah seperti yang Ghian bicarakan tadi.
Aku di sini dengan masa depan yang masih sepolos kertas HVS bisa menjadi lebih baik dari hubungan Bapak dan Ibu. Menjadikan permasalahan mereka sebagai pembelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Mungkin permasalahan itu hadir karena Tuhan ingin aku belajar dari apa yang Bapak dan Ibu alami, bukan untuk menakutiku sehingga berfikir tidak berhak untuk bahagia.
Ah, aku tidak menyangka. Orang yang akan menarikku dari jurang gelap ini adalah Caca. Mahasiswa rese yang berani-beraninya ngatain dosen di twitter, padahal tau kalau dosennya main twitter. Dia yang berani mengkritikku tanpa rasa takut, dan dengan berani mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Dia yang kedepannya bahagianya akan selalu aku perjuangkan.
Malam itu, di rumah Jeral. Satria mengakui perasaannya, mulai berdamai dengan masa lalu, dan memutuskan untuk memperjuangkan apa yang ia rasakan. Hatinya kembali menghangat, dia kembali merasakan apa yang beberapa manusia lain rasakan, jatuh cinta.
-Bersambung-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
