Senyum Yang Hilang

0
0
Deskripsi

Rick menemani Wei kembali ke Jakarta. Ini dilakukan untuk memastikan agar Wei kembali pulang setelah menyelesaikan urusan kuliahnya. 

Wei terganggu. Bukan saja karena mereka harus ada dalam 1 kamar, tapi juga karena sifat Rick yang suka ikut campur. Bukan hanya karena Rick menanyakan hal-hal yang sudah lama Wei simpan, tapi juga karena Rick terlibat masalah dengan tetangga kosnya. 

Dia tidak pernah membuat Wei tenang. 

Lila tersenyum lemah menerima teh hangat yang disodorkan Wei. Dia masih gemetar dan tampak lemah. Wei sendiri kasihan melihatnya tapi tidak banyak yang bisa Wei lakukan. Ia hanya bisa duduk disamping gadis itu menunggu Lila bisa merasa lega.

" Terima kasih buat bantuannya ya Wei? Kalau ngga kayak gini aku mungkin ngga akan pernah mau melepas Tono." bisik Lila dengan isakan yang masih tersisa. Air matanya masih terus mengalir, tidak berhenti. Wei bisa merasakan kesesakan dalam hatinya.

" Aku tidak melakukan apa-apa..." bisik Wei getir. Dia memang tidak melakukan apa-apa. Bahkan ia tidak berniat untuk melakukan apa pun. Ia tidak peduli sama sekali.

" Kamu memang tidak melakukan apa-apa tapi setiap ngeliat kamu, aku selalu merasa ingin keluar dari kehidupanku yang sekarang."

"*Aku mau kayak kamu Wei. Aku mau jadi orang yang 'bener', yang ngga bikin malu keluarga, ngga bikin malu Papa dan Mama...Tapi udah terlambat. Aku ngga berharga Wei.."

Lagi-lagi Lila menangis. Isakkannya semakin kuat. Wei ingin memeluknya dan menenangkannya tetapi ia hanya bisa memandang.  Wei tidak bisa karena ada sesuatu di dalam diri Wei yang mengatakan kalau dirinya tidak akan bisa membantu orang lain. Dirinya sendiri saja belum pulih. Kalau dirinya sendiri masih merasa sakit hingga hampir mau gila, bagaimana dia bisa menolong orang lain??

" Kenapa kamu ngga pulang aja?" tanya Wei pelan. Ia takut menyinggung perasaan Lila.

Lila menoleh pada Wei dan tersenyum getir. Ekspresinya mengatakan kalau ia mengikuti saran Wei berarti ia melakukan sesuatu yang bodoh.

" Aku ini lari dari rumah Wei. Hanya untuk Tono aku meninggalkan semuanya. Tapi coba lihat apa yang aku terima ? Kalau aku pulang apa keluarga aku masih mau menerima aku? Aku ngga yakin..."

Wei terdiam memandang Lila yang masih terisak sambil menertawakan kebodohannya.

Terbayang dikepala Wei Ayah yang selalu menerimanya. Apakah kalau ia mengalami apa yang Lila alami ayahnya akan tetap menyambutnya? Atau dia malah akan membuang Wei?

Seandainya ia adalah Lila apa yang akan ia lakukan? Apakah ia akan pulang atau akan tinggal di tempat lain?

Apa yang akan ayahnya pikirkan? Apakah ia akan sedih, tidak peduli atau merasa senang karena putrinya akhirnya pergi dari hidupnya? Apa yang akan ayahnya pikirkan?

" Wei, maaf kalau aku ngeganggu kamu ya? Mungkin sebaiknya aku pergi.." sentuhan tangan Lila di tangan Wei membuat Wei terlonjak dan terbangun dari lamunanya. Ia memandang bingung pada Lila yang tiba-tiba sudah besiap-siap untuk pergi.

" Ja..Jangan pergi Lila!" seru Wei terlalu kencang. Ia merasa takut kalau Lila pergi sendirian. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk Lila lebih dulu.. Walau hanya hal remeh.

" Tapi aku ngga mau ngerepotin kamu Wei.."

" Kamu ngga ngerepotin aku. Duduk sini aja sambil kita nunggu Rick pulang."

Tadi Rick meninggalkan mereka berdua untuk membelikan mereka makan malam. Sudah seharian Lila menangis dan tanpa sadar ternyata waktu sudah menjelang sore. Hampir sejam Rick pergi membeli makan malam. Apa dia kesasar?

" Duduk sini aja dulu. Ngobrol sama aku. Kamu juga belum makan 'kan? Nanti kita makan malam bareng." bujuk Wei memaksa. Akhirnya Lila mengangguk dan kembali duduk di samping Wei. Ia memandang Wei dengan lembut dan penuh rasa terima kasih.

" Ceritakan tentang keluargamu..." bisik Wei lebih pada memohon. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tercekik saat menyebut kata 'keluarga'.

Lila sedikit tertegun mendengar permohonan Wei. Ia bisa merasakan kalau Wei pun mengalami sesuatu yang tidak enak. Sesuatu yang sepertinya dapat membuat gadis itu 'hancur' suatu saat nanti.

" Aku anak pertama dari 2 bersaudara. Papa seorang pegawai negeri dan Mama seorang ibu rumah tangga biasa. Adikku...mungkin sebentar lagi dia akan masuk kuliah. Keluargaku keluarga biasa. Tidak ada yang istimewa.."

" Kapan kamu meninggalkan keluargamu?"

" Dua tahun lalu. Setelah setahun aku pacaran dengan Tono. Papa dan Mama ngga setuju tapi aku bersikeras.Lalu... aku putuskan kabur dari rumah. Papa marah sekali. Aku masih bisa dengar kata-kata Papa waktu aku kabur. Beliau bilang aku bukan anaknya lagi. Dia ngga mau terima aku pulang lagi dan dia ngga mau liat muka aku lagi." Sambil bercerita air mata Lila terus mengalir. Ia mengusapnya berkali-kali berusaha menahannya.

" Aku ngga ngerti Wei..Kenapa aku mau meninggalkan keuargaku hanya demi Tono? Padahal selama ini Papa selalu mengorbankan banyak hal buat aku. Banyak hal Wei. Supaya aku bisa kuliah. Supaya aku bisa hidup layak....Tapi aku ngga menghargai dia. Aku ngga peduli sama perasaannya..." Lila menarik napas dengan susah payah. Setelah tarikan napasnya yang tersendat, Lila tak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Wei bisa melihat wajahnya yang memerah menahan tangis.

" Papa memang suka otoriter...tapi aku tahu Wei..Dia sayang anak-anaknya. Dia peduli...Tapi kenapa aku ninggalin keluargaku? Mama yang selalu dengerin aku..Adikku yang selalu mengidolakan aku... Wei harusnya aku ini masuk neraka...!!!"

Masuk neraka? Kalau Lila masuk neraka lalu aku masuk kemana? Lila mungkin hanya meninggalkan keluarganya.. Lalu aku? Aku membenci ayahku sendiri dan aku tidak bisa mengampuninya sama sekali. Tidak bisa...

Sekali lagi Wei hanya bisa terdiam memandang Lila yang terus menangis. Kata-kata penghiburan yang dulu bisa Wei keluarkan dengan lancar, sekarang lenyap entah kemana.

BRAK!!

" Maaf lama. Ini makan malamnya."

Rick masuk dengan tiba-tiba mengejutkan Wei dan Lila. Tanpa mempedulikan kedua gadis itu Rick meletakkan kantung plastik hitam yang penuh dengan makanan ke atas meja dan menyiapkan piring-piring yang sudah ia bawa dari dapur. Ia terus menundukkan kepalanya sambil menyiapkan makanan. Sikapnya aneh sekali.

Wei berusaha melihat wajahnya dan tertegun saat melihat kening Rick berdarah. Wei langsung mendekatinya dan menarik wajah Rick agar bisa melihat luka itu.

" Kenapa ini?" tanya Wei dan semakin terkejut saat melihat mata Rick yang memar. Dalam hati Wei meringis melihat wajah Rick yang babak belur.

" Tono ya?" tanya Lila dengan nada menyesal. Rick hanya menyeringai dan langsung menepis tangan Wei yang masih memegang wajahnya.

" Ngga kenapa-napa kok. Udah biasa."

" Udah biasa gimana? Lukanya harus dikasih obat!" omel Wei dan bergegas ia mencari kotak P3Knya. Saat menemukannya ia langsung menarik Rick dan menyuruhnya duduk di ranjang sementara ia sendiri duduk di kursi kerjanya.

" Pasti Tono yang balas dendam 'kan? Dia ngga akan pernah tinggal diam..." bisik Lila datar. Sekilas Wei melirik padanya dan melihat ada binar amarah dimatanya. Lila mengatupkan rahangnya dan matanya menerawang entah kemana sementara tangannya sibuk melanjutkan apa yang dilakukan Rick tadi.

" Auu...Wei pelan-pelan!" seru Rick sambil meringis. Sepertinya sakit sekali ya.. Sampai ada sedikit air mata keluar dari sudut mata Rick.

" Maaf." bisik Wei tetapi tersenyum simpul. Sudah lama ia tidak melihat wajah Rick yang meringis kesakitan.

" Dasar. Kamu senang sekali ya melihat aku kayak gini." geramnya. Wei hanya bisa tersenyum lagi dan membiarkan Rick terus mengomel.

" Ayo kita makan.." ajak Lila begitu selesai membereskan makanan. Wei tersenyum padanya dan senyumnya semakin lebar saat menyadari satu hal, dua orang yang sekarang ada dikamarnya sama-sama memiliki memar di wajah mereka.

" Kenapa senyum-senyum?" tanya Rick sambil meraih piring yang disodorkan Lila padanya. Hari ini makan malam mereka adalah nasi goreng gerobak. Rick tidak tahu enak atau tidak yang pasti dia membelinya dengan terburu-buru.

" Semoga saja aku tidak bergabung dengan kalian dan mengoleksi memar di wajahku." ujar Wei sambil tertawa pelan. Senyum yang sangat lebar dan tawa yang geli menghiasi wajahnya yang biasanya murung. Lila ikut tertawa mendengarnya lalu mulai menikmati makan malamnya. Makan malam hari ini adalah makan malam terlezatnya, bukan karena rasanya tetapi karena kebebasan yang ia rasakan.

Wei pun ikut menikmati nasi goreng yang dibeli Rick. Ia masih duduk berhadapan dengan Rick dan tanpa ia sadari cowo itu masih terus menatapnya tanpa bergerak.

Lama Wei tidak menyadarinya dan saat ia menyadarinya ia membalas tatapan Rick. Mereka terdiam beberapa saat, baru kemudian Rick meneruskan makannya berpura-pura tidak melihat apa pun.

" Apa lihat-lihat?" tanyanya galak saat melihat Wei masih terus menatapnya. Wei meringis kesal mendengar nada bicaranya yang galak. Diputarnya posisi duduknya agar tidak menghadap Rick dan melanjutkan makannya dengan hati yang terus mengumpat pada Rick.

Sementara itu Lila hanya tersenyum melihat mereka berdua yang makan sambil saling lirik dan bergumam tidak jelas. Dua orang baik yang telah menolongnya. Lila pasti tidak akan pernah melupakannya.

***

Malam ini lagi-lagi Wei tidak tidur di ranjangnya. Ia biarkan Lila beristirahat dengan nyaman tanpa gangguan di ranjang miliknya. Ia putuskan untuk tidur di lantai lagi dengan menggelar selimut sementara itu Rick memutuskan untuk tidur sambil bersandar ke tembok.

Lila dan Rick sudah tertidur sangat lelap sementara Wei masih membuka matanya lebar-lebar. Ia tidak bisa tidur. Wajah Lila yang menangis masih terngiang-ngiang dikepalanya. Ceritanya tentang keluarganya.

Apakah Wei bisa menghargai ayahnya seperti Lila begitu menghormati papanya? Wei tidak yakin.

Wei bangkit dari tidurnya dan mengambil foto ibunya yang ada di meja belajar. Perlahan ia duduk di kursi komputernya dan memandangi foto itu. Foto ibunya yang sedang tertawa lebar sambil membuat tanda peace dengan kedua tangannya.

" Ibu...Aku kangen ibu..." bisik Wei. Matanya terasa panas, tapi ia menahannya agar air matanya tidak mengalir dan emosinya menjadi tumpah. Ia harus kuat.

Wei terus memeluk foto itu dan ia membawanya ke dalam tidurnya. Dalam tidurnya ia bermimpi tentang ibu.

Ibunya mengajaknya bermain di sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga mawar. Wei bisa bermanja pada ibunya dan tertawa lepas tanpa beban. Melihat ibunya yang ceria, Wei ingin memberikan setangkai mawar. Wei memetik salah satu kuncup mawar dan segera memberikan pada ibunya. Ibu tampak sangat senang sekali tetapi saat ia menerima mawar itu, wajah ibu tiba-tiba berubah menjadi tirus, tatapan matanya kosong dan kulitnya menjadi pucat seperti mayat.

Dengan susah payah Wei terbangun dari tidurnya. Nafasnya memburu dan perasaannya sangat kosong. Wajah itu adalah wajah ibu saat meninggal. Wajah yang tidak bisa Wei lupakan.

" Hukk...Hukkk..." tiba-tiba saja terdengar suara tangis. Wei mendengarnya dengan seksama. Ia bangkit berdiri dan melihat Lila. Ia masih tertidur tapi tubuhnya sedikit berguncang. Wei mendekatinya dan melihat dengan seksama karena lampu kamarnya ia matikan. Oh, ternyata Lila mengigau. Sepertinya kejadian hari ini sangat mengguncangnya.

Perlahan Wei membetulkan selimut Lila dan mengusap wajah gadis itu pelan. Kasihan sekali dia.

Mungkin mimpi buruknya lebih buruk dari pada yang  dialami Wei. Kalau tidak, ia pasti tidak akan menangis seperti itu dalam tidurnya.

Terbangun dari mimpi buruk membuat Wei tidak bisa tidur lagi. Ia duduk bersandar ke ranjang dan hanya bisa memeluk kakinya tanpa memikirkan apa pun. Ia sudah terlalu lelah berpikir.

Wei baru akan memejamkan matanya untuk mencoba tidur kembali saat sekilas ia melihat sosok Rick yang tertidur sambil duduk dan bersandar ke tembok.

Ya ampun, dia tidur tanpa batal dan selimut, omel Wei dalam hati melihat cara tidur Rick yang sekenanya. Wei mengambil selimut dan bantalnya lalu menghampiri Rick. Dibereskannya bantal yang ada ditangannya dan ditariknya Rick agar bisa membaringkan kepalanya. Setelah merasa keadaan Rick sudah cukup nyaman, Wei menyelimuti Rick dengan selimutnya yang lembut dan nyaman.

Keadaan begitu gelap tapi Wei masih bisa melihat wajah Rick yang tidur dengan tenang. Seperti anak kecil. Melihat luka diwajahnya Wei meringis pelan. Pasti sakit sekali.

Pelan-pelan Wei membetulkan selimut Rick agar cowo itu merasa benar-benar nyaman.

Tapi tiba-tiba saja Rick memegang tangannya kuat sekali. Hampir saja Wei memekik panik tapi ia langsung membekap mulutnya sendiri. Diperhatikannya wajah Rick baik-baik, ternyata dia masih tidur terlelap. Pasti dia mengigau.

Wei berusaha melepaskan tangan Rick dengan susah payah tapi pegangannya kuat sekali. Wei takut sekali kalau sampai terjadi apa-apa. Yang lebih Wei takut lagi kalau Rick sampai menganggapnya sebagai guling. Dia bisa tiba-tiba me...

GRAB!!

Baru saja Wei memikirkannya, Rick langsung menariknya dan memeluknya seperti guling. Wajah Rick hanya beberapa senti dari wajah Wei.

Keadaan seperti ini benar-benar membuat Wei kalang kabut. Jantung Wei berdetak tidak karuan. Dia tidak pernah melihat wajah cowo sedekat ini. Apalagi ini Rick. Kalau Oscar mungkin dia tidak akan sepanik ini, jantungnya tidak akan berdebar secepat ini tapi ini Rick dan jantungnya terasa mau copot.

Wei terus berusaha melepaskan pelukan Rick tapi sia-sia. Pelukannya malah semakin kuat dan wajahnya semakin dekat. Akhirnya Wei hanya berusaha menjauhkan wajahnya agar tidak terlalu dekat dengan wajah Rick.

Entah berapa lama posisi Wei dalam keadaan seperti itu. Darahnya seperti mendidih karena malu dan takut. Ia sangat berharap Rick tidak bangun dalam keadaan seperti ini kalau tidak entah mau ditaruh dimana wajah Wei nanti.

Wei terus terjaga dan setelah hampir 1 jam akhirnya Wei merasakan tangan Rick mengendur tapi ada sesuatu yang tidak wajar. Tangan cowo itu turun dan memeluk pinggangnya. Jelas saja Wei bergidik. Dan karena merinding dan geli spontan Wei langsung menyikut Rick dengan keras.

Jduk!!

" Au!"

Sebelum Rick menyadari apa yang terjadi Wei langsung bangkit berdiri dan keluar dari kamar.

Brak!

" AU!!"

Ternyata Wei terlalu bersemangat membuka pintu sampai pintu itu membentur kepala Rick yang ada dibelakangnya. Otomatis Rick mendapatkan dua luka lagi.

Di luar Wei menarik napas dalam-dalam. Masih bisa dirasakannya dengan jelas tangan Rick dipingganngnya. Kalau dia terus membiarkan Rick tidur seperti tadi ia bisa meledak. Sekarang saja jantungnya masih melompat-lompat seperti bola bekel.

" Wei, kamu kenapa sih? Kalau buka pintu jangan pake emosi dong! Liat nih kepala aku benjol." Dumel Rick sambil mengelus-elus kepalanya yang benjol. Tanpa menoleh Wei meminta maaf dengan suara pelan. Ia tidak mau Rick melihat wajahnya yang masih merah padam.

" Wei, kamu ngga tidur? Selimut sama bantal kamu kok ada di aku?" tanya Rick sambil perlahan mendekat. Ia berusaha melihat wajah Wei tapi Wei terus menghindar.

" Aku ngga bisa tidur."

" Ngga bisa tidur? Mau aku kelonin?" tanya Rick dengan nada menggoda. Candaannya itu malah membuat Wei semakin tidak karuan. Wei tidak bisa menjawab. Akhirnya ia hanya bisa berdiri di tempat dan menunggu sesuatu terjadi.

" Wei? Kamu beneran mau aku kelonin? Kok ngga ngejawab?"

Rick terus mendekat dan tak lama kemudian sudah berdiri di depan Wei. Wei menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dan saat Rick mengulurkan tangannya untuk mengangkat wajah Wei, Wei malah menepis tangannya.

" Wei...Kamu kenapa?" tanya Rick lagi. Kali ini ia terdengar sangat cemas.

" Aku ngga kenapa-napa. Kamu tidur aja lagi." ujar Wei berusaha tenang tapi tetap saja ada kegugupan di suaranya.

Rick tidak melanjutkan keingin tahuannya. Beberapa saat ia terus berdiri di depan Wei dan perlahan mengusap kepala Wei pelan.

" Kalau ada apa-apa ngomong ya?" ujarnya pelan dan perlahan ia meninggalkan Wei. tetapi beberapa saat ia merasa ada yang janggal. Ia merasa kalau wangi rambut Wei sama dengan wangi yang tadi ada dalam mimpinya. Mimpi yang indah sekali...Ah mungkin perasaannya saja.

Wei menarik napas lega saat terdengar pintu kamar tertutup. Ia tidak tahu bagaimana ia akan bisa menghadapi Rick dengan jantungnya yang hampir meledak. Ia pasti tidak akan bisa menutupi kegugupannya. Bisa-bisa Rick menertawakannya, hanya karena sebuah pelukan Wei sudah bertingkah seperti akan diapakan saja.

Yah, mungkin Rick tidak akan mengerti. Kalau orang lain yang memeluknya mungkin Wei tidak terlalu khawatir tapi kalau Rick yang memeluknya... Bagaimana pun ia tidak bisa membiarkan Rick menyentuhnya (Yah, walaupun waktu itu pernah tapi itu pun karena Wei merasa sangat sedih dan ia tidak pernah peduli siapa yang ia peluk saat itu)....

***

Sampai esok paginya Wei masih terjaga dan untungnya Rick tidak banyak bertanya tentang kejadian semalam, mengapa ia tidak bisa tidur.

Sampai siang Wei pergi ke kampus dan membereskan skripsinya sementara Rick tetap tinggal di kos. Lila sudah pergi dari pagi. Ia memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan dengan salah satu teman wanitanya yang dulu satu gereja. Ia berjanji pada Wei untuk sering memberikan kabar. Ia sangat berterima kasih pada Wei dan Rick.

Rick yang tinggal di kos memutuskan untuk tidak hanya bermain game atau bengong tidak jelas. Mumpung ada waktu kosong , ia membuat analisa masalah-masalah di perkebunan. Akhir-akhir ini banyak pohon-pohon apel yang berbuah sedikit tidak seperti biasanya. Rick belum memeriksa secara khusus masalah tersebut tetapi ia mencoba mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi.

Seharian Rick sibuk mengetik dan menganalisa. Mencoba berbagai kemungkinan yang terjadi pada tanah di perkebunan apel. Sampai akhirnya Rick lelah dan mulai mengutak-atik isi komputer Wei.

" Foto-fotonya belum liat semua nih."

Rick membuka sebuah folder bertulis 'Foto_koe' dan melihat beberapa folder lagi. Salah satu folder menggelitik hati Rick untuk membukanya. Folder 'WeiLupOSc'.

Ternyata di dalamnya ada beberapa folder lagi. Tiap folder diberi nama sesuai nama tempat dan tanggal.

Foto-foto natal, kemping, wisuda Oscar, jalan-jalan, fotobox, segala macam foto ada di sana. Ekspresi Wei di foto itu tidak banyak berubah tetap dingin dan kaku. Kalau pun tersenyum hanya senyuman simpul yang tidak menunjukkan keceriaan sama sekali. Padahal Oscar sudah tersenyum lebar dengan maksimal (sepertinya..).

" Upik Abu...Ada apa sih dengan kamu?" bisik Rick pelan. Ia benar-benar merindukan Wei yang ceria. Yang tersenyum lebar lebih dari sekedar 3 jari.

Di foto-foto itu pun Rick tidak menemukan Wei yang tampak menunjukkan kemesraan dengan Oscar. Hanya sebatas bergandengan tangan, berangkulan tapi matanya sama sekali tidak menunjukkan kalau ia sangat bahagia berada di dekat Oscar.

Ada apa sebenarnya? tanya Rick dalam hati. Hidup Wei menjadi penuh misteri dimatanya.

Rick menutup folder itu dan membuka-buka folder yang lain. Rick membuka folder yang berisi foto pribadi Wei. Sama seperti yang tadi, foto-foto itu tidak ada yang menunjukkan kebahagiaan di mata Wei.

Senyum terakhir yang Rick lihat terukir diwajah Wei adalah senyuman yang tadi malam. Saat ia menertawakan lukanya dan luka Lila. Sudah lama Rick tidak melihat senyum itu hingga Rick terus terdiam memandangnya.

"Kapan aku akan melihat senyum itu lagi.." Keluh Rick sambil menarik napas dalam.

" Senyum siapa?" Rick langsung menoleh ke pintu dan melihat Oscar berdiri di sana dengan senyum ramahnya tapi senyum itu langsung hilang saat melihat wajah Rick yang lebam.

" Busyet. Kenapa muka kamu Bro?" tanyanya sambil mendekat dan duduk di ranjang.

" Tuh, kerjaan tetangga tunanganmu. Dia ngirain aku nyuri pacarnya, ya jadi kayak gini."

" Ya ampun.."

" Tapi keren juga 'kan? Udah lama aku ngga berantem loh. Nih, udah aku simpen fotonya di hp." Dengan santai Rick memamerkan wajahnya yang bergaya sambil memamerkan wajahnya yang memar. Oscar hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli melihat gaya Rick yang narsis.

" Kok, kamu sudah balik ke Jakarta Bro. Memang Oom Henry udah ngebebasin kamu?"

" Yah, dengan susah payah akhirnya aku bisa lepas. Kerjaan aku memang banyak sih Bro."

" Waduh, belum nikah aja kamu udah kayak begini, gimana nanti kalau udah nikah. Masak si Wei yang judes itu mau kamu tinggal-tinggal."

Oscar tidak menjawab candaan Rick. Ia malah bingung harus menjawab apa. Ada perasaan bersalah karena Rick tidak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.

Mungkin dia pikir kalau Oscar dan Wei masih punya hubungan padahal sekarang Oscar menyetuji pernikahan itu hanya karena merasa bersalah pada Wei. Ia hanya menolong Wei.

" Mmm, kayaknya kalian cepetan pulang deh. Soalnya Oom Henry mulai uring-uringan ngga ada Wei di rumah." jelas Oscar, mengalihkan pembicaraan.

" Tapi skripsi Wei 'kan belum selesai."

" Ngga masalah. Aku bisa kerjain di sana."

Tiba-tiba saja sosok Wei sudah ada di dalam kamar. Tanpa mempedulikan keberadaan Oscar, ia mulai berkemas. Oscar dan Rick hanya bisa saling pandang melihat sikap Wei yang cuek itu.

" Neng, calon suami kamu datang. Kamu ngga nyambut atau nyapa?" tanya Rick dengan penasaran. Wei menoleh dan memandang Oscar. Ia tersenyum sekilas lalu sibuk kembali dengan kegiatan beres-beresnya.

" Gimana sih? Kayaknya kemarin kalian mesra banget. Kenapa sekarang malah dingin banget?"

Oscar hanya bisa tersenyum simpul mendengar gerutuan Rick. Ia mengerti kenapa Wei bersikap dingin. Wei hanya akan memperlihatkan kemesraan dengannya saat berada di depan ayahnya. Sudah pasti untuk meyakinkan beliau bahwa mereka akan benar-benar menikah.

Namun ternyata asumsi Oscar salah. Wei tidak bersikap ramah padanya karena di kamar itu ada Rick. Wei bersikap dingin karena sedang berusaha menutupi kegugupannya akibat peristiwa semalam. Akhirnya sikapnya yang hanya ia tujukan pada Rick malah kecipratan juga pada Oscar. Wei tidak bermaksud sama sekali.

Sekali pun Oscar telah megkhianatinya dan menyakiti perasaanya, Wei tidak terlalu marah padanya. Ia masih menghormati  Oscar dan menyayanginya seperti dulu, yang baru Wei sadari kalau ia mengganggap Oscar hanya sebagai seorang kakak. Yah, meskipun masih ada rasa tidak terima dalam hatinya karena Oscar main belakang.

" Yah, cepet banget kita pulang. Aku aja belum jalan-jalan. Aku belum ke Dufan atau ke mall-mall besar di Jakarta."

" Ngga usah bawel deh. Mau pulang ngga?"

Rick memutar matanya mendengar omelan Wei. Akhirnya dengan enggan ia membereskan barang-barangnya.

" Wei, masalah pernikahan kita..."

" Tenang aja, Sayang. Biar aku yang urus sama Mama. Ok?" ujar Wei memotong kata-kata Oscar. Sebenarnya Wei tidak mau membicarakan pernikahan itu. Ia selalu merasa gerah setiap kali ingat kalau ia sedang merencanakan sebuah pernikahan. Yang saat ini ia rencanakan hanya untuk memberi pelajaran pada ayahnya.

Oscar menggaruk kepalanya bingung harus melakukan apa. Hati nuraninya terus merasa gelisah karena melakukan kebohongan. Tapi mengingat apa yang telah ia lakukan pada Wei, ia pun merasa bersalah. Ia tidak bisa menolak permintaan Wei.

" Wei, kita harus bicara." pinta Oscar sambil menarik Wei keluar kamar agar Rick tidak mendengar pembicaraan mereka.

" Ada apa lagi?" tanya Wei dengan gusar. Melihat gelagat Oscar yang gelisah, ia tahu kalau cowo itu akan menyuruhnya menghentikan rencananya.

" Aku ngga bisa berbohong kayak gini. Gimana nanti kalau kita benar-benar menikah? Gimana kalau nanti terjadi sesuatu yang diluar dugaan?"

Wei menundukkan kepalanya dan memikirkan apa yang dipikirkan Oscar. Benar apa yang dikatakan Oscar tapi tekadnya sudah bulat. Ia tidak akan membatalkan apa yang sudah ia rencanakan.

" Kamu tenang aja. Biar aku yang urus semua. Semuanya pasti akan beres..." ujar Wei berusaha meyakinkan Oscar padahal yang Oscar dengar Wei sendiri sepertinya cewe itu tidak benar-benar yakin.

" Aku tidak mau tahu kalau terjadi apa-apa. Aku tidak bertanggung jawab atas apa pun kalau terjadi sesuatu."

" Iya. Semuanya tanggung jawab aku."

Wei menepuk bahu Oscar pelan. Dengan kesal Oscar menarik napas dalam. Ia tidak menyangka kalau Wei bisa sekejam ini. Ia tidak pernah melihat Wei segetol ini ingin menyakiti seseorang. Semarah itukah dia pada ayahnya?

" Ayo pulang!" seruan Rick yang keras membuat Wei dan Oscar terlonjak. Melihat reaksi kaget kedua orang itu Rick hanya tertawa senang.

" Kenapa kalian? Lagi mesra-mesraan ya? Oscar, semalem aku tidur di kamar Wei lohhh. Kamu ngga curiga neh sama kita?"

Oscar langsung melotot mendengar cerita Rick. Ia menoleh pada Wei yang melotot pada Rick. Wei menoleh padanya dan menggeleng dengan kuat.

" Dia memang tidur di kamar aku tapi kita ngga ngelakuin apa-apa kok!"

" Aduh Wei, baru juga semalem masak kamu langsung nyangkal sih? Semalem 'kan kamu ngeringkuk dipelukan aku." goda Rick semakin membuat wajah Wei memanas dan memerah seperti kepiting rebus. Jangan-jangan semalam saat Rick memeluknya, cowo itu tidak benar-benar tertidur. Dasar cowo tidak sopan!

" Wei, seharusnya kamu ngga melakukan hal yang tidak senonoh seperti itu."

" Aku ngga ngapa-ngapain Oscar! Rick memang meluk aku tapi kita ngga ngapa-ngapain!"

Wei melotot pada Oscar berusaha meyakinkannya tapi cowo itu malah semakin terkejut dan curiga. Wei menoleh pada Rick karena kesal. Rasanya ia ingin membunuh cowo itu.

Wei baru akan mengomel pada Rick tetapi lidahnya langsung kelu melihat ekspresi tidak percaya cowo itu. Ia berusaha mengatakan sesuatu tapi sepertinya ia kehabisan kata-kata.

Jantung Wei langsung berdetak cepat melihat wajah Rick yang seperti itu. Wei mengatakan sesuatu yang seharusnya ia sembunyikan dan ia simpan sendiri.

" Jadi semalam aku benar-benar meluk kamu Wei?" tanya Rick akhirnya. Wajahnya memerah karena malu dan merasa bodoh. Wei hanya bisa meringis kesal, menyesali kebodohannya.

" Jadi kalian beneran tidur bareng?" tanya Oscar berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

" A..Aku ngga sengaja! Aku ngga tahu kalau candaan aku itu beneran. Maaf Wei!" Dengan wajah memelas Rick mengatupkan kedua tangannya dan memohon maaf.

Wei hanya bisa menunduk dan menarik napas dalam. Ia kesal sekali karena merasa telah dibodohi.

" Wei..." panggil Rick dan Oscar bersamaan. Wei menarik napas dalam lagi dan dengn wajah garang ia memandang Rick.

" Ayo pulang!" ujar Wei lebih pada perintah. Ia kembali ke kamarnya dan menyambar kopernya lalu mengunci kamar.

Oscar dan Rick hanya saling pandang dan angkat bahu melihat sikap Wei. Sepertinya dia benar-benar marah.

Mereka bertiga menggunakan taksi untuk sampai stasiun. Tidak berapa lama Wei dan Rick menunggu, kereta yang akan mereka naiki akan segera berangkat. Bergegas Rick naik ke gerbong dan membawa kopernya dan koper Wei. Sementara itu Wei mengucapkan salam perpisahan dengan Oscar.

" Oscar, yang terjadi semalam itu hanya kebetulan dan tidak sengaja. Lagipula Rick hanya memelukku dan tidak lebih dari itu."

" Aku percaya kok. Aku tahu kamu itu perempuan kayak apa. Kamu ngga akan bertindak sembarangan. Udah, naik geh."

Wei tersenyum lega karena Oscar mau percaya padanya. Ia tidak mau Oscar berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana pun setelah ibunya meninggal hanya Oscar orang yang paling ia andalkan. Wei tidak mau kehilangan kepercayaan Oscar padanya.

Sebelum Wei naik ke atas gerbong, Oscar memberikan sebuah kecupan sayang dikening Wei dan memeluknya erat. Ia sangat berharap Wei bisa hidup dengan cara yang lebih baik. Tidak dibayangi amarah dan kepahitan.

Di dalam gerbong Rick hanya bisa menarik napas melihat kedua orang itu. Ia merasa seperti lalat diantara mereka berdua.

Oscar benar-benar cowo hebat. Dia tahu kalau semalam Wei dan dirinya berpelukan tapi tidak ada kemarahan sama sekali dimatanya. Bahkan mereka malah terlihat tambah mesra. Kalau Rick yang jadi Oscar, mungkin dia sudah melakukan sesuatu yang akan menghilangkan nyawa seseorang karena marah. Tapi dia memang bukan Oscar.

Bruk.

Wei meletakkan tasnya pelan di bangku penumpang. Ia melihat keluar dan memandang Oscar dengan lembut. Senyuman kecil merekah dibibirnya walau ada sedikit binar kesedihan tampak dimatanya.

" Mesra banget." goda Rick saat kereta sudah meninggalkan stasiun. Ia berharap Wei menjawab godaannya tapi cewe itu malah hanya meliriknya sekilas dengan sinis lalu mengambil buku bacaannya dan mulai tenggelam dalam dunia kata-kata.

Rick merasa menjadi seperti orang bodoh dibuatnya. Tidak berdaya, tidak bisa melawan. Punya kekuatan apa sih dia?

" Kamu masih marah?" tanya Rick dengan hati-hati. Ia menunggu Wei menjawab tapi Wei tidak bereaksi sama sekali.

" Memangnya semalam aku memeluk kamu kayak apa?" tanya Rick lagi. Kali ini lebih berani. Sekilas Rick melihat Wei melirik tetapi dengan cepat ia kembali sibuk dengan bacaannya.

" Apa aku berbuat macam-macam yang lain? Apa kamu suka?" Sepertinya pertanyaan Rick kali ini kena. Wajah Wei langsung memerah dan tiba-tiba buku yang dipegangnya mendarat di wajah Rick.

Prak!!

" Ada apa sih denganmu? Kamu senang membuat aku kayak gini ya?" ujar Wei penuh amarah. Matanya nanar memandang Rick dan sepertinya ingin menangis.

" Memangnya apa yang aku lakukan?" tanya Rick dengan tenang. Diletakkannya buku yang tadi dilempar Wei ke wajahnya dengan hati-hati.

Wei tidak bisa menjawab kata-kata Rick. Dia terlalu malu untuk menceritakannya. Wei menarik napas dalam dan menggigit bibirnya. Terlihat sekali di wajahnya kalau ia sedang mengganggap dirinya sendiri bodoh.

" Maaf, saya duduk di sini ya?" Seorang Pak Tua menyapa Rick dengan ramah dan bergegas Rick pindah tempat duduk ke sebelah Wei karena ternyata Pak Tua itu bersama istrinya.

Rick tersenyum pada mereka berdua dan kembali memandang Wei yang terus menatap keluar jendela. Ia merasa tidak enak pada Wei tapi ia juga harus tahu apa yang telah dilakukannya agar ia merasa tenang. Ia takut kalau ia telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memeluk. Kalau tidak, tidak mungkin Wei semarah ini.

" Wei.." panggil Rick agar cewe itu menoleh padanya tapi Wei tidak mau menoleh. Akhirnya dengan gemas Rick meraih tangan Wei dan menggenggamnya erat.

Wei tetap tidak mau menoleh tapi tangannya terus berusaha ia lepaskan. Rick tidak mau kalah dan terus menggenggam tangan Wei dengan kuat.

" Wei, ayo cerita. Aku melakukan apa tadi malam?" bisik Rick dengan memaksa.

" Tidak ada." jawab Wei, pelan namun tegas.

" Lalu kenapa kamu semarah ini? Ayo cerita." Paksa Rick lagi. Dengan kesal Wei akhirnya menoleh dan memandangnya tanpa ekspresi.

" Semalam tidak terjadi apa-apa. Jadi ngga usah takut."

" Ya, tapi kalau nanti tiba-tiba kamu hamil gimana?"

JDUK!!

" Wei! Apaan sih!"

Pukulan Wei yang mendadak membuat Rick tidak sempat mengelak. Sekarang hidungnya terasa perih sekali.

Rick menoleh pada dua orang tua yang duduk di depan mereka dan memandang Wei dan Rick dengan wajah terheran-heran. Pelan Rick mengangguk pada mereka sambil tersenyum garing lalu berpaling pada Wei lagi.

Cewe itu sudah siap menghajar Rick lagi tapi Rick langsung mengelak dan menangkap tangan Wei yang melayang.

" Wei, kenapa aku dipukul? Aku 'kan benar. Kalau kamu hamil, aku 'kan harus bertanggung jawab."

Wajah Wei semakin memerah dan terlihat amarahnya semakin memuncak. Rick tidak suka dipukul tapi ia senang sekali melihat ekspresi salah tingkah Wei.

" Jangan bicara lagi!" seru Wei dengan kesal. Ia menghempaskan tangannya dan kembali memandang ke jendela. Ia tampak kesal sekali.

" Terserahlah. Tapi kalau kamu hamil, beneran datang sama aku ya? Aku akan jadi bapak yang baik deh."

BUK!

Kali ini tas Wei yang melayang ke wajah Rick. Saat Rick menyingkirkan tas itu karena menghalangi pandangan dilihatnya Wei menangis.

Rick terdiam. Ia merasa bersalah karena terus menggoda Wei tapi sungguh ia tidak bermaksud menyakitinya.

" Maaf.." bisik Rick sambil menyerahkan tas Wei ke pangkuan cewe itu.

Dua orang tua yang ada dihadapan mereka masih terpaku menonton kejadian tadi dan saat Rick menoleh, mereka tertawa kaku. Dan tak lama kemudian mereka memutuskan untuk pindah.

Rasanya Rick ingin pindah tempat duduk tetapi ia tidak bisa beranjak sama sekali. Akhirya mereka berdua hanya diam sepanjang perjalanan.

Rick berusaha untuk tidur tapi tidak bisa walau ia bisa merasakan kalau Wei sudah tertidur pulas.

Semalaman pasti Wei tidak tidur. Rick ingat semalam ia terbangun karena ada yang menyikut perutnya, tiba-tiba saja ia sudah tidur dengan selimut dan bantal. Lalu di luar Wei hanya berdiri diam terpaku tidak mau memandangnya.

Berarti semalam aku memeluk Wei saat dia mau menyelimutiku. Aku pasti mengigau.

Rick berusaha mengingat semalam ia bermimpi apa dan memang dia bermimpi tentang Wei. Mimpi yang indah tapi tidak akan pernah terjadi.

Rick berpaling pada Wei dan berusaha melihat wajahnya. Dia sudah tertidur pulas.

" Wei, sepertinya semalam aku meluk kamu karena dalam mimpi aku memeluk kamu." bisik Rick pelan agar tidak membangunkannya.

" Kamu tahu aku mimpi apa? Kita berbaring dipantai dan memandangi awan. Kita tertidur di atas pasir dan saat aku bangun ternyata kamu sudah ada di dekat aku. Kamu terus menatapku. Kamu tahu ngga kalau cara kamu mandang aku kayak gitu bikin aku grogi? Setelah itu.....aku menutup mata. Aku tidur lagi sambil meluk kamu. Kamu juga tidur. Tidur dengan tenang. Seperti tidak ada beban dalam hidupmu. Aku senang melihat kamu tidur seperti itu. Tidur seperti bayi. Tenang dan nyaman..."

Sambil menutup mata Rick membayangkan mimpinya semalam. Mimpi yang sangat indah. Ia dan Wei hanya berbaring di atas pasir, tertidur lelap, seperti bayi yang kekenyangan. Tidak ada masalah. Tidak ada yang mereka khawatirkan.

Terus membayangkan mimpinya, perlahan Rick benar-benar hanyut dalam mimpi dan tertidur. Dari lembutnya pasir dan indahnya awan, Rick berpindah ke sebuah padang rumput.

Di tengah-tengah padang rumput berdiri Wei yang mengenakan gaun pengantin. Cantik dan bahagia. Perlahan Rick mendekatinya dan saat Rick akan mengulurkan tangannya Wei malah berlari menjauh. Rick mengejarnya dan terus mengejarnya. Sampai akhirnya mereka berada di tepi jurang.

Di tepi jurang Oscar sudah menanti Wei. Wei menerima uluran tangan Oscar. Beberapa saat mereka saling memandang dan tersenyum lalu mereka menoleh pada Rick. Mereka tersenyum penuh arti dan tak lama kemudian keduanya melompat dari tepi jurang.

Rick melihat semuanya tetapi hanya bisa terdiam. Ia tidak dapat bergerak, ia ingin mengejar Wei tapi tidak bisa. Kakinya seperti dipaku.

Rick! Rick! Tiba-tiba saja ada suara memanggilnya. Rick mencari asal suara tapi tidak ada siapa pun di sana. Lalu ia melihat keatas dan melihat wajah Wei yang memandangnya dengan gusar.

" Rick sudah sampai! Bangun!" panggil Wei. Rick langsung menegakkan duduknya dan memandang Wei yang berdiri dihadapannya. Beberapa saat ia terus memperhatikan Wei dan setelah berapa lama, ia baru merasa yakin kalau Wei baik-baik saja.

" Ada apa?" tanya Wei melihat wajah Rick yang pucat. Ekspresinya menunjukkan kalau ia khawatir. Hati Rick terasa sedikit berbunga. Ternyata ia masih dikhawatirkan.

" Ngga, cuma mimpi buruk."

" Oh. Ya udah. Ayo pulang." Mendengar jawaban Rick, Wei kembali bersikap dingin.

Rick tidak pernah mengerti jalan berpikir Wei. Sulit sekali untuk Rick bisa menebak apa yang ada di hati Wei. Tapi mungkin suatu saat ia akan bisa mengerti isi hati Wei yang sebenarnya. Ya, suatu saat Rick harus memastikan isi hati Wei. Harus.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Boleh Kan Jadi Jomblo Abadi?
0
0
Maunya ga usah nikah. Semua cowo sama di dunia ini. Neta memilih tidak menikah adalah pilihan terbaik, tapi kata-kata Keith mengguncang pendiriannya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan