Laut Violet

0
0
Deskripsi

Sebuah cerita pendek fiksi-fantasi tentang lautan juga tentang kisah persahabatan dua ras makhluk yang berbeda hingga pengorbanan yang menjadi legenda. 

 

Laut Violet by Larashida

Pemuda berjaket kelabu itu segera melepas sepatu sekolah dan kaus kakinya. Membiarkan telapak kaki miliknya menyapa butiran pesisir. Dengan langkah tergesa memandunya bergerak menuju batu karang besar dibibir pantai. Tempat favoritnya untuk menyendiri dan menenangkan diri. 

Hembusan angin pantai ketika ia sudah duduk diatas batu karang membuatnya tenang. Sejenak ia dapat melupakan kekesalannya di sekolah tadi. Sama seperti hari-hari sebelumnya, ia terus saja dirundung karena namanya yang terlalu cantik untuk makhluk berjenis kelamin laki-laki sepertinya. 

Violet Shankara Maulana. Sebuah nama yang indah ketika diucapkan. Namun sering sekali menjadi bahan tertawaan karena menurut mayoritas penghuni sekolahnya, nama itu terlalu feminin. Terutama ketika awal masa orientasi sekolah dahulu, habislah Vio menjadi bahan ejekkan. 

Terkadang Vio juga tak menyukai namanya yang terdengar seperti bunga dan sangat manis. Tapi setiap mengingat namanya, Vio ingat bahwa ibundanya bertaruh nyawa untuk melahirkannya sehingga bisa melihat dunia dan tumbuh menjadi pemuda yang sehat. Ibundanya sangat menyukai bunga violet. 

Dulu Vio sempat bertanya kenapa Bundanya memberi nama Violet dan jawabannya selalu membuat Vio berdoa agar ia bisa menjadi manusia seperti doa Bundanya. 

“Bun, kenapa nama Vio sama kayak bunga sih? Kan Vio laki-laki.” ingatan Vio melayang pada saat ia bertanya pada bundanya.

“Bagus kan? Namanya beda loh, tidak ada yang sama.” Masih segar diingatan Vio wajah penuh senyum Bundanya yang sedang meniriskan pakaian sebelum dijemur. 

“Tapi kayak nama perempuan Bun, Vio jadi diejek terus nih.” adu Vio kecil. Bundanya menggantung pakaian dan mengusap kepalanya. 

“Mereka mengejek karena tak tahu nama Vio itu punya arti yang indah dari nama mereka.” Vio kecil hanya mengernyitkan dahinya tak mengerti dan Bundanya kembali tersenyum. 

“Nama itu doa, Sayang. Ayah Bunda mencari nama untuk Vio supaya Vio besar seperti doa dalam nama Vio. Karena Vio anak pertama, Ayah senang sekali sampai menyiapkan nama Shankara Maulana untuk Vio, artinya pelindung yang membawa rezeki melimpah. Bunda enggak mau kalah dong, makanya bunda kasih nama Violet buat Vio.”

“Jadi Bunda yang kasih nama Violet buat Vio? Kenapa enggak yang lain sih Bun? Bunda kan tahu yang lahir anak laki-laki.” protes Vio dan Bundanya kembali melanjutkan alasannya setelah tertawa sejenak.

“Iya Bunda tahu kok bayi Bunda itu laki-laki. Waktu itu terlintas saja, Bunda suka bunga violet. Ya karena bunganya juga artinya dan itu cocok untuk nama Vio. Jadi Bunda kasih nama Violet, Ayah juga enggak protes karena nama Violet cocok kok dengan nama Shankara Maulana. Makanya nama anak Ayah Bunda yang paling ganteng ini jadi Violet Shankara Maulana. Cantik dan penuh doa, Sayang.” setelah selesai menjelaskan Bundanya kembali mengambil pakaian basah dan meniriskannya lagi.

“Memang bunga punya arti Bun? Bunga kan tetap bunga. Tumbuhan Bun, bukan orang.” masih dengan bibir yang dicebikkan Vio masih tak mengerti alasan Bundanya memberikan nama itu padanya. 

“Justru karena nama bunga, Bunda berharap Vio bisa tumbuh seperti nama bunga itu. Vio tahu arti dari bunga violet enggak?” Tanya Bundanya dan Vio hanya menggeleng. 

“Rendah hati dan kesetiaan.” kata Bundanya sambil tersenyum sehangat matahari. 

“Apa salahnya punya nama cantik ya Bun? Mereka saja yang tak tahu nama Vio banyak doanya. Dari Ayah, dari Bunda juga. Vio kangen Bun, Bunda diatas sana pasti punya kebun bunga yang besar ya sekarang?” Vio mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir karena merindukan Bundanya yang sudah tiada. Disatu sisi dia kesal jika terus diejek soal namanya, namun disatu sisi dia begitu sayang dengan nama pemberian ibundanya ini. 

DUAR

Lamunan Vio buyar ketika mendengar bunyi ledakan yang keras. Kepalanya mencari sumber ledakan itu dan hanya menghela napas begitu melihat sejumlah nelayan yang sedang tertawa karena mendapatkan banyak ikan seusai melempar bom ke laut. 

Pemandangan nelayan yang mencari ikan dengan bom memang tak asing di wilayah tinggal Vio. Bagi mereka itu cara tercepat dan efisien untuk mendapatkan ikan. Semakin banyak ikan yang didapat, semakin berat timbangan dan harga yang ditawarkan oleh pengepul juga besar. 

Puas menenangkan diri, Vio bangkit dan bersiap pulang. Ayahnya akan pulang sebentar lagi, setidaknya Vio harus sudah di rumah sebelum sang ayah. Baru saja Vio menginjak pasir, perhatiannya tertuju pada seekor ikan yang menggelepar di pinggir pantai. Sepertinya dia ikan yang terhempas ombak sampai bibir laut. 

Vio mendekat dan melihat ikan yang sedang bergerak tak beraturan itu. Entah mengapa ada rasa iba melihat ikan yang kini tak berdaya di daratan. Juga entah apa yang merasuki pikiran Vio hingga mengambil kantong plastic dari tasnya kemudian mengambil ikan serta mengisi kantong itu dengan air laut. 

Ikan tadi mulai tenang dan Vio mengikat renggang kantong plastiknya. Ditatapnya ikan berwarna biru muda dengan sirip kuning putih dipinggirnya. Vio sedikit mengernyitkan dahi ketika merasa bahwa ikan itu balas menatapya seakan berterimakasih padanya. 

“Ayo pulang. Mungkin kau bisa jadi temanku.” Vio berkata pada ikan yang baru saja ia selamatkan. Sepertinya hari ini bukanlah hari yang buruk bagi Vio, mungkin mengurus ikan cantik itu akan menjadi pelampiasan kesepiannya di sekolah. 

Sampai di rumah, Vio mengambil ember kecil untuk melepaskan ikan tadi di wadah yang lebih lebar. Diambilnya selembar roti tawar kemudian dipotong menjadi beberapa bagian kecil sebelum dia lempar ke arah ikan itu. 

“Maaf ya aku cuma punya ini. Besok aku belikan makanan ikan untukmu dan semoga betah di rumah barumu. Aku mandi dulu ya, nanti kita main lagi.” Vio kembali bicara dengan sang ikan sebelum menepuk pinggir ember lalu bangkit untuk membersihkan diri juga memasak untuk ia dan ayahnya. 

Selesai mandi, Vio langsung memasak makanan untuk makan malam ia dan ayahnya. Semenjak ditinggal mendiang ibundanya, Vio menjadi anak yang jauh lebih mandiri dari anak pria seumurannya. Semua pekerjaan rumah dan memasak ia kerjakan, ayahnya yang bekerja di kota tak sempat melakukannya. Karena ayahnya akan berangkat setelah subuh dan sampai dirumah sebelum isya. 

Setelah menyelesaikan masakannya, Vio mau sedikit membersihkan rumahnya dan alangkah terkejutnya Vio melihat gadis cantik sedang duduk di sofa ruang tengah. Gadis berambut biru sebahu juga dengan baju aneh yang dikenakannya itu menatap Vio dengan senyuman yang merekah. 

“S-siapa kamu?” Tanya Vio berusaha tetap tenang walaupun tetap waspada. Kalau gadis ini mau merampoknya ia sudah siap melawan balik. 

“Aku? Ikan yang tadi kamu selamatkan. Terima kasih ya.” kata gadis itu dengan nada riang. Vio hanya bisa diam mencerna apa yang baru saja dikatakan gadis rambut biru itu. Ikan? Jelas-jelas dia manusia yang mungkin sedikit esentrik dalam berpakaian. 

“Jangan bercanda, kau pencuri ikan hias ya?” jantung Vio berdegub kencang menyadari kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Mungkin saja ikan yang ia ambil tadi ikan mahal dan laku keras dipasaran, sekarang dia berhadapan dengan mafia ikan hias yang mungkin akan membunuhnya. Walaupun dia gadis, mungkin saja dia pembunuh bayar handal dan harus melenyapkannya. 

Gadis tadi sempat terdiam kemudian tertawa keras. Hingga rona merah diwajahnya benar-benar terbias. Vio malah makin bingung dibuatnya. Gadis itu memegangi perut dan juga mengusap airmata yang keluar dari ujung matanya dengan sarung tangan kuning putih ditangannya.

“Kamu lucu sekali, suka nonton film mafia ya? Makanya berkhayal kejauhan. Aku ini ikan yang tadi kamu tolong dipinggir pantai.” Gadis itu kembali menjelaskan situasi yang telah dialaminya

“Tidak mungkin, ikan tadi masih ad –eh?” Vio bingung ketika melihat ember yang ia jadikan wadah ikannya tadi kosong. Jika diperhatikan kembali gadis ini memang mengingatkannya dengan ikan tadi. Rambut berwarna biru senada dengan matanya. Kemudian pakaian terusan ketat berwarna biru muda juga sarung tangan dan sepatu hak tinggi berwarna kuning putih. 

“Sudah percaya?” Tanya gadis itu lagi. Vio mau tak mau mengangguk berusaha memahami situasi yang menurutnya sangat tak logis begini. Ikan tadi berubah jadi manusia? 

“Tak usah bingung, aku sudah sering main ke daratan. Dunia kalian cukup menarik, Manusia.” sepertinya gadis ikan tadi mengerti dengan raut kebingungan yang Vio tunjukkan. Namun perkataannya tadi malah membuat Vio makin bingung. 

“Maksudnya kamu bukan manusia?” alis Vio makin menukik saat bertanya. Anggukan santai dari si gadis malah membuat Vio menahan napas

“Begitulah, aku sejenis em… siluman mungkin. Sepertinya kalian menyebut kami begitu.” balas gadis itu sambil memperhatikan lukisan-lukisan di dinding rumah Vio, “Oh! Kau suka melukis?” 

Vio ikut mengarahkan pandangan pada beberapa lembar kanvas yang terpajang. Lukisan hasil karyanya yang sengaja dipajang oleh sang Ayah.

“Ya, hanya hobi dari kecil.” jawab Vio sekenanya. Bahunya menurun rileks ketika menerima kenyataan bahwa didepannya hanya sosok jelmaan ikan. Mungkin dia tidak berbahaya. Mungkin. 

“Hobi yang menakjubkan, setidaknya ini bukan hobi yang menyakitkan kaum kami.” ada sebersit kesedihan yang terselip dari nada bicara wanita ikan ini. Vio menatapnya dengan bingung.

“Apa maksudmu?” 

“Tidak-tidak, aku hanya lega ternyata aku bertemu dengan manusia yang benar-benar baik hatinya.” senyum lebar ditunjukkan perempuan itu pada Vio hingga terpana sejenak. Ada kehangatan yang menyergap hatinya. Senyum itu tulus dan cantik. Persis seperti senyum mendiang sang Bunda. 

“Oh ya, namamu siapa?” kini sang gadis dengan dandanan esentrik itu duduk kembali di sofa rumah Vio, menatapnya dengan raut penasaran. 

“Vio.” jawab Vio pelan. 

“Hanya Vio? Setahuku manusia punya nama lengkap kan? Kau tak punya?” 

“P-punya. Tapi kenapa kau bertanya begitu? Memang kau punya nama?” 

“Tentu saja punya, aku bahkan punya nama manusia, nama ikan dan nama ilmiah menurut kalian. Kau mau tahu yang mana?” perempuan itu tampak semangat ketika memberitahukan info mengenai namanya pada Vio. Vio mengerjap sesaat lalu tanpa dikomando malah tertawa lepas mendengar lelucon gadis tersebut

“Coba aku mau tahu namamu. Sebutkan semuanya!” 

“Baiklah Vio, perkenalkan namaku Doris, nama ikanku eum… kalian biasa menyebutku jenis Dottyback dan nama Ilmiah yang kalian berikan padaku Pseudochromidae. Salam kenal.” 

Setelah mengatakan semuanya dalam satu napas, gadis itu malah bingung dengan reaksi Vio yang tertawa semakin kencang.

“Jadi aku harus memanggilmu apa? Doris? Dottyback? Atau Pseudo?” Vio masih memegang perutnya yang sakit karena banyak tertawa. 

Perempuan itu menggembungkan pipinya sesaat karena ditertawakan oleh Vio namun melihat Vio yang terpingkal-pingkal entah mengapa sosok itu malah menarik senyum.

“Doris. Kau boleh memanggilku begitu. Kau belum jawab pertanyaannku, siapa nama lengkapmu?” gadis ikan –Doris masih tetap penasaran dengan nama Vio 

“Jangan tertawakan namaku setelah mendengarnya ya? Namaku memang begitu, tapi itu banyak doa dari orang tuaku jadi…”

“Vio cepat katakan!”

“V-violet Shankara Maulana” 

Tanpa sadar Vio mengucapkan seluruh namanya sambil menutup mata. Dia masih trauma jika respon yang akan diberikan adalah tawa merendahkan seperti biasanya. Karena tidak mendengar suara tawa, Vio mencoba membuka matanya dan menemukan tatapan memuja dari mata Doris. Perempuan itu bahkan sampai tak berkedip saking terpesonanya.

“Kau kenapa Doris?” tanya Vio ragu.

“Apa teman-temanmu selalu menertawakan namamu?” bukannya membalas pertanyaan Vio, Doris malah melempar kembali pertanyaan. Vio sontak mengangguk.

“Mereka bodoh atau bagaimana? Nama indah begitu ditertawakan.” Doris jelas menggerutu ketika mengucapkan sebaris kalimat yang membuat jantung Vio berdegub kencang. 

Baru kali ini ada yang memuji namanya indah. Vio tak pernah merasa sebahagia ini hanya karena namanya dipuji. Tapi dia tak bohong, letupan dalam dadanya begitu nikmat untuk disyukuri. 

Dan yang lebih menyenangkan perasaannya, itu semua terucap dari mulut perempuan selain ibunya. 

.

.

.

Sudah tiga hari Doris tinggal di rumah Vio, dalam wadah ember plastik lebih tepatnya dengan wujud ikan dan tentu saja berisikan air laut yang diganti setiap hari oleh Vio.

Seperti janjinya pada Vio ketika dia pulih setelah terdampar, dia akan pulang menuju lautan. Dan hari ini adalah saat yang tepat untuknya pulang. Ya, Doris menunggu kepulangan Vio untuk pamit. 

“Aku pulang. Doris?” panggil Vio ketika menginjakkan kaki dalam rumah. Doris yang sejak tadi sibuk memandangi lukisan-lukisan Vio. 

“Kau tidak bosan memandangi lukisanku?” tanya Vio dan gelengan Doris membuat Vio tersenyum maklum. 

“Aku harus mengingatnya sejelas mungkin sebelum kembali ke lautan.” Kata-kata yang diucapkan Doris membekukan langkah Vio untuk menuju kamarnya. Tatapan terkejut Vio jelas nampak diwajah tampannya. 

“Kau mau pulang ke lautan sekarang?” ada nada tak rela yang terselip dalam pertanyaan Vio. Sedangkan Doris mengangguk singkat.

“Ya, aku mau pamit padamu.” Balas Doris pelan. 

“Tunggu-tunggu, aku akan mengantarmu!” Vio langsung melesat menuju kamarnya untuk mengganti seragam sekolahnya dengan baju rumahan. 

Setelah mengganti bajunya, Vio langsung mengambil ember tempat Doris dalam wujud ikan biasanya tinggal. 

“Kau mau bawa ember?” tanya Doris tak mengerti. Vio tentu menatapnya bingung.

“Ya, aku mengambilmu dalam sosok ikan, berarti kembali juga dalam sosok ikan kan?” Doris mengerjap, begitupula Vio. Akhirnya Doris mengalah dan memilih untuk kembali dalam wujud ikannya.

“Tapi sebelum kau kembalikan aku ke laut, bisa temui para pelaut yang membunuh saudara-saudaraku?” 

“Pelaut?” 

“Itu… mereka yang menggunakan bahan dan suara sangat keras hingga membunuh saudaraku, kemudian diambil ke permukaan.” 

“Ah… maksudmu nelayan yang menggunakan bom?” 

“Ya apapun itu kau menyebutnya. Katakan pada mereka untuk tidak membunuh saudara-saudaraku dan membuat penghuni laut marah. Kau mengerti?” 

Vio mengangguk paham, dia akan coba bernegosiasi dengan nelayan disekitar rumahnya. Setelah melihat Vio mengangguk, Doris segera melompat menuju ember dan berubah menjadi wujud ikan. 

Setelah mengunci rumah, Vio langsung melangkah menuju pinggir pantai. Disana dia menemukan beberapa nelayan yang siap melaut. Salah satunya sahabat sang ayah –Om Tito.

“Om Tito!” panggil Vio dan pria yang dipanggil segera menoleh dan melambai pada Vio

“Mau berangkat Om?” tanya Vio pada Tito yang menyuruh beberapa anak buah kapalnya untuk menaikkan barang.

“Iya. Vio mau ikut?” tawar Tito namun Vio menggeleng dirinya tersenyum lalu menatap ember yang dibawa

“Om, kalau cari ikan harus pakai bom ya?” Vio bertanya namun memandang jauh ke garis lautan. Pertanyaan itu jelas membuat Tito tertawa. 

“Ya iya dong, kalau enggak pakai bom, yang ada kita rugi. Berlayar jauh malah dapat sedikit ikan. Kenapa? Kamu enggak setuju?” Tito menatap Vio yang kini menatapnya teguh. Vio mengangguk cepat.

“Kasihan temanku dan saudara-saudaranya. Mereka mati karena umpan bom itu.” Ungkap Vio namun Tito ganti mengernyit tak mengerti

“Teman?”

Vio menunjukkan ember yang berisi Doris dalam wujud ikannya. Melihat hal itu sontak Tito kembali tertawa. Kali ini lebih kencang sampai terbahak. Bahkan beberapa anak buah Tito juga ikut menertawakan Vio setelah ditunjukkan ikan tersebut.

Sambil menghapus airmatanya yang muncul karena tertawa geli Tito berujar, “Dengar Vio, kami hanya mengambil ikan yang layak konsumsi loh. Lagipula ikan begini juga tidak ada harganya Vio, dimasak juga enggak ada gizinya. Sudah ya, kami mau berlayar! Selamat main dengan ikanmu.” 

Tito mengacak rambut Vio sebelum beranjak pergi menuju kapalnya yang sedang di dorong melewati ombak. Vio menatap sendu kapal yang mulai menjauh. 

“Maafkan aku, Doris.” Vio menunduk menatap ember. Sedetik kemudian, ikan itu melompat keluar ember dan sosok Doris dengan tubuh manusianya muncul.

“Enak saja aku dikatakan tidak ada harganya. Hargaku mahal kalau dikoleksi, Pelaut bodoh!” omel Doris pada kapal yang sudah menjauh. 

Sadar Vio menatapnya lama, Doris berbalik lalu menepuk pundaknya

“Tidak perlu minta maaf, mereka memang egois. Biar laut yang menghukum mereka.” Doris tersenyum lebar hingga matanya nyaris hilang, “Sepertinya kita harus berpisah disini ya?” lanjutnya dan Vio terbangun dari lamunannya. 

“Eh? Eum. Hati-hati, jaga dirimu, Doris.” Vio mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Doris menatap uluran tangan Vio kemudian menyambutnya semangat.

“Harusnya aku yang bilang begitu, terimakasih ya sudah menolongku, Vio.” Doris mengguncang jabatan tangan Vio berkali-kali. 

Selang beberapa kedipan, mereka melepas jabatan dan Doris berjalan menuju lautan. Vio memperhatikan terus punggung Doris yang kini sudah mulai masuk dalam ombak. 

“Doris!” panggil Vio dan gadis itu menoleh, menunggu kelanjutan kata Vio.

“Kita bisa bertemu lagi kan?” tanya Vio sambil berteriak. Doris mengangguk sambil mengacungkan jempolnya seperti yang dilakukan Vio ketika ayahnya akan pergi kerja. Lalu tubuh Doris menghilang setelahnya bersama gulungan ombak. 

Vio menghela napasnya berat, dia merasa kembali kesepian. Biasanya dia akan ditemani celotehan Doris yang banyak bertanya macam-macam tentang dunia manusia sembari menunggu ayahnya pulang. Dan kini dia akan kembali ke rumahnya yang sepi.

Mungkin mengunjungi pantai akan menjadi rutinitasnya lagi, bukan untuk menyendiri namun menanti bertemu kembali dengan salah satu temannya. Teman berharganya. 

.

.

.

Lain cerita di daratan, maka lain pula kisah dalam lautan. 

Doris yang tadinya berwujud ikan hias mungil sudah berubah wujud menjadi manusia setengah ikan. Mermaid atau putri duyung istilahnya. 

Tubuhnya dengan lincah berenang makin dalam kearah lautan nan gelap. Begitu melewati bangkai kapal tua penuh lumut, akan terlihat kilau kerajaan bawah air yang memancar indah. Doris menyapa beberapa Merman yang berjaga digerbang kerajaan. 

“Sudah selesai bermainnya, Putri Doris?” tanya seorang penjaga bernama Marius. Doris menjawab dengan lambaian tangan tak peduli. 

“Ayahanda ada di singgasana?” Doris malah bertanya pada penjaga lain benama Zale dan Merman penjaga itu hanya mengangguk penuh hormat. Doris mengerti kemudian meninggalkan mereka berdua untuk masuk dalam kerajaan.

“Kenapa dia hanya bertanya padamu?” Marius menusuk pelan ekor Zale dengan ujung tombak. Zale mengangkat bahunya tak peduli kemudian memfokuskan diri berjaga. 

.

.

“Ayahanda.” panggil Doris saat melihat ayahnya sedang mengelap trisulanya diatas singgasana. Sang Ayah sekaligus Raja Penghuni Laut –Oceanus, tersenyum hangat menyambut kedatangan putri bungsunya. 

“Membawa berita baik dari permukaan, Doris?” bukan sang Ayah yang bertanya melainkan kakak tertuanya, Pangeran Aquor.

“Dia tidak mungkin membawa berita baik, biasanya kejadian buruk yang langsung datang.” sahut kakak laki-laki ketiganya, Pangeran Clyde.

“Bisakah kalian dengar dulu apa penjelasan adik kita yang paling cantik, kalian tidak lihat dia pasti Lelah.” bela kakak laki-laki kedua Doris, Pangeran Bay.

Doris menghela napas lelah dengan kelakuan para saudara lelakinya ini, kalau tidak mengejeknya paling juga menyindirnya. Tiba-tiba dia ingin memuji kehebatan sang ibu untuk menangani mereka semua. 

“Aku akan bicara pada Ayahanda saja, kalian tak perlu tahu. Lagipula wilayah daratan dan permukaan itu areaku. Kalian tak akan paham.” Doris mengabaikan ketiga saudaranya dan langsung menuju singgasana sang Ayah untuk memberikan sebuah mutiara yang didalamnya terekam tercakapan dengan manusia mengenai umpan bom tadi. 

“Jadi mereka tetap akan merusak lautan untuk mendapat ikan?” Oceanus mencoba menyimpulkan, Doris mau tak mau hanya bisa mengangguk pasrah. 

“Manusia itu sudah keterlaluan! Ayahanda! Aku ijin menyerang mereka. Kita kerahakan semua pasukan hiu hidung pedang untuk membunuh mereka semua!” Aquor sudah mencetuskan deklarasi perang. 

“Ya Ayahanda! Ijinkan kami berperang dengan manusia! Semua pasukan merman siap bertarung! Aku akan siapkan siren juga untuk menjebak mereka.” Tak berbeda dengan Aquor, Clyde juga mengajukan ide serupa.

“Daripada berperang, bagaimana kalau kita meminta kaum penghuni wilayah permukaan untuk pindah sejenak kearah wilayah dalam?” usul Bay yang langsung ditolak mentah-mentah Aquor.

“Enak saja memindahkan makhluk lemah ke wilayah dalam, yang ada pasukan hiuku langsung kurus memakan mereka semua.” 

“Kalau ikan laut permukaan sepi, mereka akan berlayar makin jauh untuk mendapatkan ikan kan? Daya ledak bom itu tak terlalu berpengaruh, mau tak mau mereka akan menggunakan jaring saja untuk mencari ikan.” penjelasan Bay cukup masuk akal dan menyelesaikan solusi yang terjadi. 

“Aku setuju dengan usul Bay, Ayahanda. Aku akan memindahkan penghuni laut permukaan ke wilayah dalam.” Doris mengutarakan pendapat. Oceanus tampak berpikir.

“Baiklah, tapi bagaimana jika manusia tetap meledakkan laut?” tanya sang ayah. Semua mata mengarah pada Bay untuk meminta penjelasan solusi lain. 

“Satu ekor paus biru sudah cukup untuk menelan kapal mereka kan?” ungkap Bay santai. Mata Doris sontak membelalak. Nyatanya semua saudaranya memang tak punya perikemanusiaan.

“Semua setuju kan?” Oceanus melempar kesepakatan dan ketiga anak lelakinya mengangguk mantap. 

“Kenapa kalian sangat jahat pada manusia? Kita bisa mengingatkan baik-baik, tak perlu sampai membunuh kan?” ujar Doris tak habis pikir dengan semua pendapat laki-laki didepannya. 

“Manusia tak akan pernah puas Doris, kita membunuh sebagian kecil mereka agar menjadi pelajaran bagi yang lain. Lagipula korban terbanyak ada disisi kita.” Bay menjawab semua pertanyaan Doris dalam satu tarikan napas. 

“Hobi mereka itu memang mengotori alam. Padahal masih mengharap bantuan alam saja sombong sekali dengan peralatan mereka. Sekali-kali biar mereka rasakan kekuatan laut.” imbuh Aquor pedas.

“Mereka merusak lautan Doris, kau lupa apa yang mereka lakukan pada Ibunda?” Clyde malah mengungkit luka lama mengenai sang Ibunda yang diculik oleh manusia dan mati dipermukaan. 

Doris tentu tersulut emosi sesaat, dengan kekuatannya rantai-rantai air mengelilingi tubuh Clyde lalu mengikatnya kencang. 

“Tidak semua manusia jahat, Clyde! Yang membunuh Ibunda bukan manusia, mereka tak pantas disebut manusia!” seru Doris tajam. Clyde tersenyum meremehkan.

“Lalu yang meledakkan lautan siapa? Naga laut?” Doris sudah akan mengarahkan jarum-jarum air miliknya pada Clyde jika saja sang Ayahanda tak bersuara.

“Doris, kau bisa memindahkan penghuni laut permukaan sementara Ayahanda akan buat gelombang pasang untuk menakuti mereka. Kalau mereka masih meledakkan lautan juga, mau tak mau kau harus ikut rencana kakak-kakakmu.” Doris menatap tak percaya keputusan final raja lautan. 

“Terserah kalian saja!” Doris yang begitu kecewa dengan keputusan itu akhirnya pergi dari tempat singgasana sang ayah. Lebih baik dia segera mengungsikan kaum penghuni laut permukaan. 

.

.

.

Sudah seminggu lebih kepergian Doris kembali ke lautan. Vio benar-benar melakukan kembali rutinitas mengunjungi pantai sepulang sekolah. Ada sebersit harapan dalam hatinya untuk dipertemukan kembali dengan Doris walau sebentar. 

Hari ini cuaca begitu cerah, awan tampak berarak teratur. Berbeda dengan cuaca seminggu kebelakang yang akan selalu mendung juga ombak pasang tinggi yang membuat nelayan tak bisa pergi melaut. 

Vio bisa melihat banyak nelayan yang berbondong-bondong datang untuk melaut hari ini. Mereka sudah seminggu tidak bisa melaut, pemasukkan mereka sudah menipis. 

Persis seperti hangatnya cuaca sore ini, senyum sumringah Tito menghiasi gurat wajahnya. Dia bisa melaut lagi, dia bisa menangkap ikan yang banyak lagi untuk menghidupi keluarganya. 

“Angkut semua bahan peledak! Kita harus pesta banyak ikan hari ini!” perintah Tito pada bawahannya yang segera dituruti oleh mereka semua. 

Vio mendapat ide cemerlang ketika melihat Tito bersama anak buahnya dipinggir pantai. Mungkin dengan ikut Tito melaut, dia juga bisa bertemu dengan Doris lagi. 

“Om Tito! Vio ikut boleh?” tanya Vio dengan napas putus-putus karena berlari dari ujung jalan raya menuju ke kapal Tito.

“Oh boleh-boleh, makin banyak tenaga makin banyak tangkapan kan? Cepat ganti baju! Om tunggu.” Vio segera berlari menuju rumahnya untuk berganti baju. Doanya hanya satu, semoga dia bisa bertemu Doris lagi. 

.

.

Doris yang sedang berada di kamarnya dalam kerajaan laut mendadak melihat ke arah permukaan ketika merasakan getaran juga bunyi debuman yang cukup keras diatas sana. Manusia kembali melaut dan menggunakan umpan ledak.

Secepat mungkin dia berenang menuju laut permukaan sebelum kakak-kakaknya yang bertindak. Setidaknya dia mencegah adanya pertumpahan darah di lautan. 

Begitu Doris sampai di batas laut dalam dan laut permukaan, bunyi ledakan berhenti membuat Doris lega. Dirinya segera berenang melewati bawah kapal untuk sampai di batuan karang. Kepala hingga sebatas lehernya menyembul ke permukaan air dan menemukan kapal Tito. 

Beberapa nelayan diatas kapal menarik jaring dengan wajah tertekuk kesal hari ini mereka nihil tangkapan. Padahal sudah banyak mereka meledakkan umpan bom tapi tak ada satupun yang mendapat ikan.

“Bahan peledak masih ada kan?” itu suara Tito, Doris masih mengingatnya dengan jelas. 

“Tinggal tiga buah, Pak.” jawab salah satu anak buah kapalnya. Doris sudah akan pergi dari sana karena merasa aman, manusia tidak akan meledakkan lautan lagi namun jawaban selanjutan membuat Doris terkejut.

“Yasudah, kita bom ditengah laut, siapa tahu ada ikan air dalam yang tersangkut. Jalankan kapal!” perintah Tito langsung dilaksanakan oleh bawahannya. Doris tentu panik melihat kapal yang mulai bergerak menuju tengah laut. 

Ditengah kepanikan, dia melihat sosok Vio duduk termenung dipojok kapal menengok dalam air laut seperti mencari sesuatu. Doris rasa dia bisa meminta bantuan pada Vio untuk menolong kaumnya. 

Doris segera berenang menuju kapal tersebut. Setelah merasa berada dibagian pojok tempat Vio duduk, Doris memunculkan kepalanya. Vio masih betah memandangi lautan.

“Stt! Vio! Violet! Violet Shankara Maulana!” jerit tertahan Doris memanggil Vio. Merasa seseorang memanggil namanya Vio lantas mencari sumber suara dan menemukan Doris dengan sosok manusianya sedang melambai padanya. 

Senyum sumringah Vio jelas tercetak, dia begitu bahagia bisa kembali melihat Doris. 

“Doris!” panggil Vio kelewat semangat. Tito menoleh pada Vio

“Kenapa Vio?” tanya Tito, Doris yang mendengar suara Tito langsung masuk kembali dalam air. Vio terkesiap dengan apa yang baru saja dilakukan. Dia hamper lupa menjaga rahasia jika punya teman seekor siluman ikan. 

“Eung… Itu Om! Aku lihat ikan mirip Doris, peliharaanku dirumah hehe.” Vio berhasil mengelak dengan sempurna karena Tito hanya tertawa dan mengangkat bahu tak peduli dengan sikap Vio. 

Vio mendesah lega, kemudian kembali mencari sosok Doris ditempat terakhir dia melihatnya. Tapi tak ada siapa-siapa disana. 

“Mencariku?” suara Doris ada dibelakang tubuh Vio yang menyeder pada pojok kapal. Doris sudah menempalkan jarinya diujung bibir meminta Vio tidak bersuara seperti tadi dan memancing orang melihatnya. 

“Aku butuh bantuanmu, hadap kedepan dan dengarkan!” seru Doris sambil berbisik yang tentunya masih bisa didengar Vio. Remaja itu mengikuti arahan Doris dengan membalik arah duduknya tapi tubuh kirinya dicondongkan ke pinggir kapal. 

“Begini, aku minta kau untuk hentikan mereka meledakkan bom atau bagaimana caranya untuk mereka berbalik arah dan kembali ke daratan! Jangan sampai ke tengah laut dan meledakkan laut dalam.” penjelasan cepat Doris membuat kerutan di dahi Vio muncul. 

“Bagaimana cara? Aku tidak mungkin meminta mereka berhenti, mereka belum dapat ikan dari seminggu lalu Doris.” jawab Vio dengan bisikan juga. 

“Terserahmu! Pokoknya jangan sampai mereka meledakkan bom lagi, atau kalian semua habis ditangan kakak-kakakku!” mendengar kata kakak Vio sontak menoleh pada Doris

“Kakak-kakakmu?” Doris mengangguk cepat.

“Ya, aku tak mau kalian terbunuh oleh kakak-kakakku. Kau hentikan ledakannya, aku mencegah kakakku oke?” pinta Doris dan Vio menyetujuinya. 

“Bagus, aku mohon bantuanmu Vio!” ucap Doris kemudian menyelam kembali, membuat beberapa cipratan kecil ketika ekor ikannya menyetuh permukaan air. Vio mengerjapkan matanya berulang kali berusaha mencerna apa yang barusan dilihatnya. Itu ekor duyung seperti di kartun yang pernah ditontonnya. 

Vio menggelengkan kepalanya untuk kembali sadar dengan keadaan, dia harus membantu temannya. Penjelasan bisa dia minta nanti pada Doris, sekarang urusannya darurat. 

“Om Tito! Lebih baik kita pulang, angin lautnya sedang tidak baik dan sepertinya ikan juga tidak terlalu banyak disana.” Vio ingin membenturkan kepalanya di batu karang karena bicara tak masuk akal tapi biarlah. Masa bodoh dibilang gila yang penting kapal ini tidak sampai tengah laut. 

Tito yang mendengar perkataan Vio, mengerjap singkat lalu tertawa. “Sepertinya ayahmu memang memanjakanmu ya sampai tak kuat dengan angin laut, kami para nelayan sudah bisa dengan angin laut Vio. Sabar sebentar ya, kita akan dapat banyak ikan dan pulang.” 

“Eum… tapi Om…” 

“Vio, daripada banyak bicara, lebih baik bantu anak buah Om menurunkan jaring ya.” 

Omongan Vio dipotong sebelum keluar dari bibirnya. Tito sudah meninggalkan Vio untuk menuju kemudi kapal. 

Vio sudah akan bergerak maju namun kapal tiba-tiba berhenti, anak buah kapal Tito segera mengeluarkan jaring dan menurunkannya ke laut. Sedangkan beberapa lainnya mulai menyalakan sumbu bahan peledak. 

.

.

Doris terus berenang masuk dalam lautan, namun setelah melewati garis wilayah laut permukaan dan laut dalam dirinya dikejutkan oleh kakak pertama dan ketiganya yang menghadangnya lengkap dengan pasukan hiu dan pasukan merman siap tempur.

“Kalian tidak bersungguh-sungguh kan?” Doris bertanya retoris namun keseriusan dimata dua kakaknya membuat Doris yakin para kakaknya tidak main-main kali ini.

“Mereka akan pergi. Aku janji.” ketika Doris berkata begitu sebuah ledakan kembali terdengar. Membuat Doris mendongak tak percaya dan kedua kakaknya menggeleng tak tega. 

“Ingat kata Ayahanda, saat ada ledakan lagi kau harus terima rencana kami. Kembalilah ke kamarmu, Doris.” kata Aquor sambil melewati Doris begitu saja dengan pasukan hiunya. Clyde hanya diam memandang adiknya yang termenung. Dia juga melewati sang adik bersama pasukan mermannya. 

Begitu mereka semua melewati batas laut dalam dan laut permukaan, seluruh pasukan itu tak bisa bergerak karena ekor mereka semua terikat oleh rantai-rantai air. 

Aquor dan Clyde langsung mengarahkan pandangan pada adiknya yang masih membelakangi mereka. 

“Lepaskan rantaimu, Doris!” Clyde sudah melempar tombaknya kearah sang adik namun tertepis oleh tombak lainnya. Clyde menoleh kearah pelempar tombak dan alangkah terkejutnya ia melihat salah satu sahabat sekaligus prajurit terbaiknya, Zale. 

“Mereka hanya punya tiga bom. Dan meledakkan satu, setelah itu mereka akan pulang. Aku janji!” teriak Doris. Dia percaya pada Vio diatas sana dapat membantunya. Biarlah dia merelakan kawanannya terbunuh sekali lalu setelah itu tidak lagi. 

“Silakan lakukan semuamu, Doris.” Ujar Aquor pelan. Doris menatapnya tak mengerti.

“Aquor!” Clyde malah memekik mencegah jika Aquor membocorkan rencana mereka pada Doris. 

“Kau mungkin bisa menghentikan kami, tapi tidak dengan Bay.” setelah berkata demikian barulah Doris sadar mengapa kakak keduanya tak ada disini. Ia lupa jika kakak keduanya itu ahli strategi dan langkahnya ini pasti telah diperkirakan. 

Ditengah keterkejutan Doris, suara ledakan kembali terdengar. Doris yang masih tidak fokus melepaskan beberapa kekuatannya hingga rantai air melonggar. Pasukan Hiu dengan cepat bergerak melepaskan dirinya. 

Aquor segera memerintahkan para hiu itu untuk menuju permukaan. Sedangkan Doris kembali mengencangkan rantainya pada pasukan Merman, Clyde, dan Aquor.

“Kau mau tunggu sampai semua bomnya meledak? Lalu esoknya mereka akan kembali merusak lagi? Lepaskan Doris! Mereka harus mendapat hukuman!” Clyde yang sudah naik pitam dengan kelakuan adiknya segera berbalik berusaha menyerang sang adik. 

Namun semua itu ditahan oleh Zale yang melindungi Doris. Clyde sempat tercengang, tapi dia dengan cepat menguasai diri. 

“Kau membantu Doris, Zale?” 

“Tidak, Clyde. Aku hanya tidak mau kau melukai wanita.” 

“Berhenti bersikap romantis Zale, dia itu sudah tak waras! Tidak usah membelanya.” 

Kemudian Clyde dan Zale saling adu tombak, Aquor dan pasukan Merman yang lainnya hanya memandangi perkelahian mereka. Doris tidak melepaskan perhatiannya sampai sebuah bayangan besar lewat diatas kepalanya. 

Doris mendongak dan menemukan kakak keduanya –Bay menatapnya dengan penuh kesedihan sambil menuntun arah pada seekor paus biru berukuran raksasa itu. Doris mengencangkan rantainya kuat hingga pasukan merman kesakitan karena ekornya terikat kencang, dengan berusaha menahan ringisan Aquor berucap, 

“Manusia harus belajar akibat dari merusak lautan, Doris.”

.

.

.

Vio masih terus memaksa Tito untuk menghentikan semua aksinya. Setelah umpan bom kedua diluncurkan, sekarang mereka sedang menarik hasil tangkapan dengan jaring.

“Om sudah om! Ini sudah banyak, ayo pulang!” Vio menarik tubuh kekar Tito yang sedang menarik jaring. 

“Iya Vio Iya, kita pulang setelah meledakkan satu bom terakhir.” kata Tito masih tak menggubris perkataan Vio. 

Sudah kehabisan cara sopan meminta pengertian sahabat ayahnya ini, Vio lalu memukul punggung Tito kencang. Urusan nanti jika dia dimarahi oleh ayahnya karena tidak sopan, tapi ini mendesak. 

“Anak kurang ajar! Saya sudah bersabar ya Vio! Kamu bukannya membantu, malah menganggu!” Tito mendorong Vio kuat hingga tubuh remaja itu terhempas cukup keras menabrak pinggiran kapal. 

Tubuhnya kembali oleh menuju arah lainnya karena gelombang yang makin tinggi, cuaca juga berubah muram tak bersahabat seperti awal. Angin mulai terasa kencang dan tak beraturan. 

Para nelayan masih berjibaku dengan jaring, mereka berusaha keras menaikkan jaring-jaring berisi ikan segar yang menggelepar. Makin cepat mereka menarik jaring, makin cepat mereka melemparkan kembali umpan bom.

Nyatanya, peluang kedua ini tidak semulus kesempatan pertama yang dengan mudah ditarik. Gelombang semakin tinggi, ombak semakin kencang. Air laut bahkan sudah mulai masuk dalam perut kapal. Ini bukan lagi sekadar pasang, melainkan berubah badai. 

“H-hiu. Ada hiu!” tunjuk salah satu anak kapal yang melihat sirip atas khas ikan hiu berputar disekitar kapal mereka. Tidak hanya satu tapi belasan ekor. 

Melihat ancaman berbahaya itu, mereka melepaskan jaring dan langsung menyalakan mesin kapal untuk berusaha keluar dari lingkaran hiu. 

Karena sudah terkepung oleh hiu-hiu itu, Tito mendecih kesal. 

“Lemparkan bom untuk buka jalan!” teriak Tito. Vio menyadari hal tersebut dan langsung merebut korek gas untuk menyalakan sumbu.

“Tidak! Jangan pakai bom lagi. Kita yang membuat ikan-ikan itu marah!” perbuatan Vio tentu membuat Tito geram. Tito mencengkram leher Vio hingga dia tak kesulitan bernapas.

“Aku tak peduli kau anak sahabatku, yang jelas aku tak mau mati dimakan hiu, Bocah!” Tito langsung menyalakan sumbu pada bom dan membuangnya pada sebelah kanan kapal mengenai beberapa ekor hiu. 

Setelah di bom, para hiu itu pergi dari lingkaran. Celah itu dimanfaatkan Tito mengambil alih kemudi kapal untuk berputar balik ke arah daratan. 

Namun sebelum kapal berputar sepenuhnya. Gelombang besar menerjang kapal Tito hingga oleng dan langsung terbalik. Bersamaan dengan gelombang itu, muncul sosok raksasa paus biru ke permukaan. 

Seluruh awak kapal yang tercebur dalam lautan berenang panik untuk menyelamatkan diri dari makhluk menyeramkan itu. Tidak mau mati dicabik hiu, mereka juga tidak ingin ditelan paus hidup-hidup.

Ketika mulut paus itu terbuka lalu berusaha menyedot masuk banyak air dalam mulutnya beserta awak kapal Tito yang masih mencoba berenang menjauh, Doris datang dan menghalanginya. Mulut besar paus itu kembali menutup menyadari ada darah lain yang mirip darah tuannya.

“Berhenti Bay. Sudah cukup memberi mereka Pelajaran.” Doris menampakkan wujud setengah manusia dan setengah ikannya dihadapan para nelayan dan Vio. 

Bay akhirnya muncul ke permukaan menghadapi adiknya. Sama seperti kondisi Doris, lelaki itu menunjukkan bentuk Mermannya. 

“Mereka belum merasakan kapok sama sekali, Doris. Menyingkirlah.” desis Bay dingin. Doris masih teguh menghalangi. 

“Mereka sudah jera! Mereka tidak akan meledakkan laut lagi. Ya kan Vio?” Doris menoleh pada Vio yang mengangguk cepat menyetujui. Tatapan Vio dialihkan pada para nelayan agar juga ikut mengangguk. 

Melihat manusia-manusia itu tampak ketakutan dan sungguh-sungguh akhirnya Bay menuruti kemauan adiknya untuk tidak menjadikan manusia sebagai makanan paus birunya. Sambil mengusap pausnya, Bay memerintahkan hewan itu untuk kembali ke dasar laut. 

Doris tersenyum lega melihat kakaknya yang mengabulkan permintaannya. Kini tinggal dirinya yang beraksi, membuat manusia-manusia itu paham dengan perbuatan mereka. 

Bay memandangi adiknya dari jauh, Aquor dan Clyde akhirnya menyusul dan ikut mengawasi si bungsu Mermaid. 

“Setelah ini jangan gunakan bom sebagai alat mencari ikan ya, kalian bisa memancing menggunakan kail biasanya. Cara bom kalian merusak kehidupan laut kami.” jelas Doris pada nelayan-nelayan yang masih mengapung menggunakan sisa kayu kapal. 

Para nelayan itu mengangguk paham dengan peringatan Doris. Lebih tepatnya mereka terpesona akan keajaiban yang dilihat oleh mata mereka sendiri. Seorang Mermaid bicara bahasa manusia pada mereka. 

Berbeda dengan para nelayan dan Vio yang terpesona. Tito justru menarik jaring yang tersisa disampingnya kemudian berenang mengendap kearah Doris. 

Disaat semua lengah, Tito segera menangkap Doris dengan jaring. Lalu dia berusaha menarik tubuh Doris menuju pinggir pantai. Doris tentu terkejut, apalagi jaring-jaring ini mengingatkannya pada sang Ibunda yang ditangkap manusia. Dan hal ini berulang padanya. 

Ketiga kakak Doris pun sama terkejutnya. Mereka segera berenang cepat dari kejauhan menuju tempat Doris dijaring. Doris sudah panik, meronta-ronta dalam jaring. Ekornya menggeliat. Vio maju untuk menolong temannya. 

Tapi Tito lebih licik dari yang diduga, dia mengeluarkan belati dari selipan sabuknya. Menodongkan ke semua sisi lalu menekannya pada leher Doris. 

“Aku tidak bisa pulang tanpa uang, setidaknya ikan ini akan mahal sekali kalau dijual” Dilukainya pipi Doris dengan belati. Darah berwarna biru mengalir dari pipi Doris. Airmata Doris menetes karena sakit akibat kulitnya disayat dan menjadi butiran mutiara. 

Tito tertawa kencang melihat fenomena tersebut

“Oh, lebih baik aku membuatmu menangis saja terus supaya jadi kaya ya.” Tito malah mengelus pipi Doris didalam jaring. 

Vio melempar sebongkah kayu untuk mengalihkan perhatian Tito. Doris berusaha berenang menjauh dari Tito saat Vio menyibukkannya. Mereka berdua saling menarik dan mendorong tubuh satu sama lain agar tenggelam di laut. 

“Doris menyingkir!” teriak Clyde dari kejauhan. Doris menurutinya dan membiarkan tombak trisula Clyde mengincar tubuh Tito. 

Tito yang menyadarinya menarik tubuh Vio untuk menutupi dirinya sebagai tameng. Vio tak sempat bereaksi dan akhirnya tombak itu menembus tubuh Vio juga mengenai jantung Tito. Vio batuk darah dan Tito meregang nyawa. 

“VIO!!!” Doris histeris melihat Vio tertusuk tombak sang kakak. Dirinya langsung menghampiri Vio, mencabut pelan-pelan tombak dari tubuh Vio.

“Vio, bertahanlah. Aku akan menyembuhkanmu.” Doris memangku tubuh Vio hingga tubuhnya yang terluka terendam air. Tombak itu menembus tubuh Vio, tapi tak mengenai jantungnya. Jadi mungkin dengan bantuan air laut, Doris bisa menyembuhkannya. 

Clyde tiba paling pertama untuk menangkap tongkatnya, ada rasa bersalah menyelimuti relung Merman itu. Tombaknya sudah dilapisi racun mematikan ikan pari, tidak mungkin ada yang selamat dari racun itu, apalagi manusia. Aquor menepuk bahu adiknya, menenangkan jika itu bukanlah salahnya. 

Vio menggenggam tanggan Doris yang menekan lukanya. Remaja itu tersenyum hingga matanya menyipit. Doris menggigit bibirnya berusaha memfokuskan kekuatannya untuk mengobati luka Vio. 

“Terimakasih sudah mau menjadi temanku, Doris.” ucap Vio pelan. Pandangannya muali mengabur. Doris menggeleng sambil terus menekan luka Vio dengan air laut. Laut akan membantunya, laut akan menyembuhkannya. 

“Terimakasih juga… s-sudah memuji namaku. Bundaku pasti senang.” Vio mengelus pipi Doris yang tadi tergores belati. Membelainya pelan sambil tersenyum begitu tampan. Lalu setelahnya mata Vio terpejam sepenuhnya. 

Doris tak sanggup menerima kenyataan yang terjadi di depannya. Sambil memeluk jasad Vio, Doris menangis pilu dan seketika air laut berubah menjadi warna ungu sewarna nama Violet. Persis seperti lukisan yang terpajang di ruang tamu rumah Vio. Laut berwarna Violet. 

Bay mengelus pundak Doris, Mermaid itu paham jika ini sudah saatnya dirinya kembali ke kerajaan. Diletakkannya jasad Vio mengapung di air laut, dirinya juga kembali masuk dalam lautan. Meninggalkan sejuta kenangan dan perasaannya bersama tubuh kaku Vio.

Perlahan jasad Vio tenggelam dalam lautan dan berpencar hilang jadi buih warna ungu. Lautan sekali lagi berubah menjadi bias campuran biru-merah disertai munculnya mutiara-mutiara indah. 

Sejak saat itu, penduduk sekitar menamakan pantai itu dengan pantai Violet, disertai legenda turun temurun mengenai lautan yang berubah sewarna bunga kesetiaan itu juga mutiara akibat tangisan putri duyung yang menjaga lautan mereka.

.

.

.

The End 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan