
Kedai Kopi Pahit Chapter Enam Belas-Tujuh Belas
CHAPTER ENAM BELAS
Pagi ini terasa lebih tenang. Made tahu Wina masih merajuk perihal pembicaraan semalam. Ia keluar dari kamar saat Wina sedang menggoreng nasi untuk sarapan. Wanita itu sudah berpakaian rapi, dan selesai berdandan lebih cepat dari biasanya.
“Lo yakin mau ke kantor pakai baju kayak gitu?” Made menatap Wina yang sedang menaruh nasi goreng ke piring yang ada di meja makan. Ia meneliti penampilan wanita itu pagi ini. Kaos yang dilapisi kemeja yang tidak dikancing. Bukan. Bukan itu masalahnya. Wanita itu memadukannya dengan celana pendek dengan warna serupa dengan kemejanya. Celana itu mengekspos paha mulus wanita itu. Tidak ada yang aneh sebenarnya, Made melihat banyak orang berpakain seperti itu diluar sana. Namun Wina tidak pernah memakai yang seperti itu saat bersamanya. Made menilai ini adalah cara wanita itu memberontak.
Wina hanya mengangguk lalu menaruh dua buah piring di atas meja. Made duduk di seberang wanita itu dan melirik Wina yang memulai suapan pertama. Selama beberapa menit ke depan, tidak ada yang membuka pembicaraan. Mereka sibuk dengan isi piring masing-masing.
Keheningan yang tercipta terasa seperti senar gitar yang ditarik begitu kencang dan siap putus. Bukan tidak ada yang bisa mereka bicarakan, tapi mereka merasa saat ini tidak perlu membicarakan apapun.
Wina ingin Made tahu bahwa ia kesal. Sedangkan Made bingung karena ini adalah kali pertama mereka seperti ini. Jika biasanya mereka akan adu mulut dan selalu berakhir seperti tidak terjadi apa-apa, ini terasa aneh dan ia bingung bagaimana mencairkan suasana.
Wina benci suasana seperti ini. Ia tidak suka hening yang mencekam sementara biasanya ada banyak suara yang bisa mereka ciptakan. Namun sekali lagi, ia ingin Made tahu kalau ia sedang kesal. Ia kesal meski tetap menuruti perintah laki-laki itu.
***
“Guys… gue dapat nomornya Jihan.” Jojo masuk ke kedai sambil berseru. Wajah pucat laki-laki itu berubah menjadi berseri-seri seperti baru saja memenangkan lotre. Laki-laki itu mendekati meja kasir sambil berjoget. Tidak peduli ada tiga pasang mata laki-laki berjaket hijau yang tersenyum dari balik maskernya.
“Yeeaaa…” Yang tak kalah senang adalah Jaka. Ia tampak sangat bangga dengan kemajuan anak buahnya. Ia merasa seperti ilmuan yang baru saja berhasil membuat sesuatu yang berguna bagi peradaban dunia.
Jojo menyerahkan bukti setor pada Rere dan berkata, “tukerannya lagi kosong.” Salah satu hal yang membuatnya akhirnya punya alasan untuk meminta nomor gadis itu.
“Jihan kasihan kali, lihat wajah lo pucat, keringat dingin, mata sayu.” kata Rere saat Jojo bercerita bagaimana ia meminta nomor gadis itu.
“Iya, sih. Kayaknya.” Jojo terkekeh. Ia tidak peduli jika ia dikasihani, yang penting ia mendapatkan nomor ponsel Jihan. Hal kecil, namun ia merasakan seperti mendapatkan harta karun.
“Ingat, Jo. Beberapa hari ini, fokus tanyain tukeran aja. Jangan macam-macam.” Jaka memberitahu, “jangan mentang-mentang suka terus jadi banting harga.” katanya lagi, “laki-laki harus punya harga diri.”
Nomor ponsel itu seperti kucuran air dewa yang langsung menyembuhkan Jojo dari meriangnya. Laki-laki itu lupa dengan rasa sakitnya. Ia mendadak sehat, bahkan mungkin sanggup lari bolak-balik kedai ke kos saking bahagianya.
“Lihat nih, Gar. Gue pasti melepas kejombloan duluan dari pada lo.” Jojo berbisik pada Gara dengan nada bangga. Ia merasa seperti sudah menuruni bakat Jaka dalam berurusan dengan perempuan. “Buruan tembak Rere. Keburu dia ditembak Joe duluan.” kata laki-laki itu lagi.
Jojo masih berbicara panjang lebar dengan Gara. Mencoba memberi motivasi pada laki-laki itu. Semua orang tahu bagaimana perasaan Gara pada Rere. Namun semua orang tidak mengerti kenapa laki-laki itu tidak juga menyatakan perasaannya.
“Siang.” sapaan itu terdengar tepat saat pintu transparan kedai terbuka. Sosok wanita dengan setelan kerja berwarna abu-abu masuk.
“Siang, Kak Ranu.” Mereka balas menyapa.
Ranu. Pelanggan tetap kedai. Desainer sekaligus pemilik butik. Wanita murah senyum dan sangat ceria.
“Siang, Gara.” Ia berdiri di depan etalase dan menatap Gara yang wajah masamnya terlihat dari balik maskernya. “Gara udah makan siang belum?” Ia bertanya. Gara mengangkat bahu tak acuh. “aku beliin makan siang mau ya?”
Jojo, Rere dan Jaka terkikik. Mereka tidak mengerti kenapa Gara selalu menciut jika berhadapan dengan Ranu. Juga tidak tahu kenapa Ranu begitu suka menggoda Gara.
“Nggak usah.” kata Gara. Ranu tersenyum geli.
“Nanti malam ada acara nggak? Dinner bareng, yuk.” ajak gadis itu. Wajah Gara semakin masam. “aku yang traktir.”
Gara menggeleng tidak nyaman.
“Jaka ngganggur, Kak.” kata Jaka. Ia memang tidak bisa melihat gadis cantik sedikit saja. Prinsipnya, jika bisa dapat dua atau tiga, kenapa harus satu.
“Ingat pacar, Jaka.” Ranu memperingati.
“Nggak apa-apa kalau nggak ketahuan.” katanya membela diri.
Ia mendekati Rere dan memesan tiga cup americano. Jaka bergerak membuatkan pesanan. Gadis itu mengulurkan selembar uang seratus ribuan pada Rere yang langsung menerimanya.
“Gara udah punya pacar belum?” Kali ini Ranu bertanya pada Rere, yang langsung membuat Gara melirik waspada.
“Ini calon pacarnya, Kak.” Jojo menepuk pundak Rere yang langsung membuat gadis itu menyikut pinggangnya.
“Oh ya?” Ranu menatap Rere yang langsung menggeleng dan bilang bahwa Jojo hanya bercanda. Ranu tersenyum.
***
Wina masih sibuk dengan barang-barang di mejanya saat ponselnya berdenting. Ia mengambilnya dalam satu sentakan dan membaca pesan yang masuk.
Made: Hari ini makan malam di kantor gue ya.
Wina membaca pesan itu lamat-lamat. Seperti deretan kata itu ditulis dalam bahasa yang sama sekali tidak ia mengerti.
Made: Gue tunggu.
Wina memutuskan menjawab singkat dengan satu kata, “iya” lalu mengembalikan benda pipih itu dan kembali pada pekerjaannya.
Wina tak berkabar dengan Made seharian ini. Ia kesal. Entah pada dirinya sendiri atau pada suaminya. Ia tidak yakin. Ia kembali membaca pesan yang masuk.
Made: Jangan pakai celana pendek!
Ia berdecak. Made sama seperti suami pada umumnya. Suka melihat cewe seksi diluaran, namun tidak suka kalau istrinya memakai baju seksi di luar.
***
Wina pergi ke kantor Made menggunakan taksi. Ia mengganti celana pendeknya dengan jeans yang sengaja ia tinggal di kantornya. Ia masuk melalui pintu kaca besar dan langsung disambut oleh sapaan dari karyawan yang sedang ada di lantai satu restoran itu.
Wina balas tersenyum dan melihat beberapa meja terisi. Ia senang kalau usaha pria itu perlahan-lahan mulai bangkit. Ia langsung pergi ke lantai dua di mana ruangan pria itu berada. Ia mengetuk pintu dua kali lalu membuka saat terdengar suara mempersilakan dari dalam.
Wina masuk dan melihat pria itu masih sibuk di mejanya. Ia mendekat dan duduk di kursi kosong di depan meja besar pria itu.
“Tunggu sebentar ya.” kata pria itu. Wina mengangguk lalu merogoh saku untuk mengambil benda pipih miliknya. Ia berdiri dan berpindah ke sofa yang ada di ruangan itu.
“Mau minum apa?” Made menawarkan dan Wina menggeleng sebagai jawaban tercepat. Made tahu gadis itu masih marah. Namun ia lega karena wanita itu menuruti permintaannya untuk mengganti celana pendeknya.
Wina fokus pada media sosialnya sementara Made menyelesaikan pekerjaannya. Sekitar jam tujuh malam, telepon di ruangan itu berdering. Made mengangkatnya dan berbicara dengan orang yang ada di seberang ruangan.
“Ayo, Na. Makan di ruang VIP aja yuk.” ajak Made setelah ia menaruh gagang telepon pada tempatnya. Selain restoran, tempat itu juga menyediakan beberapa ruangan VIP untuk kebutuhan meeting dan acara private lainnya.
“Di sini aja deh.” kata Wina dengan nada malas. Ia masih fokus pada layar ponselnya.
Made beranjak lalu mendekati wanita itu. Ia berdiri di depannya dan mengulurkan sebelah tangannya. “ayo.” ajaknya lagi.
Wina menatap uluran tangan itu, lalu ke arah Made yang tersenyum kecil. Ia tahu pria itu jauh lebih baik dalam mengelola emosinya. Pria itu juga jelas lebih sabar dibanding dirinya.
Wina mengambil tangan itu dan bersisian keluar ruangan. Sebagai orang yang love languagenya physical touch dan word of afirmation, Wina selalu senang saat pria itu menggandeng tangannya, atau saat pria itu mengusap bahu, dan hal-hal kecil yang selalu membuatnya bahagia dan merasa disayangi.
Mereka berbelok ke sebelah kiri dan mendekat ke salah satu pintu ruangn VIP di mana seorang pelayan baru saja keluar dari sana.
Made membuka pintu dan mempersilakan istrinya masuk lebih dulu.
“Lala…” Wina sedikit berteriak saat melihat wanita itu dan keluarganya ada di ruangan itu. Ia tersenyum senang lalu bergerak mendekat dan memeluknya. Mereka baru bertemu beberapa hari yang lalu namun rasanya tetap menyenangkan bisa bertemu kembali. Apalagi kini ia membawa serta suami dan anak kembarnya.
Melepas pelukan Lala, ia menjabat tangan Ilham lalu mendekati dua anak tampan itu. Ia mencubit pipi keduanya dengan gemas. Juna sibuk membaca komik sementara Abi sibuk dengan perangkat game di tangannya.
“Kalian kok bisa di sini?” Wina jelas kaget melihat keberadaan mereka.
Lala melirik Made yang duduk di samping Wina, “diundang sama laki lo, biar lo nggak kesepian.” katanya. Wina menoleh ke arah Made yang sedang membuka obrolan dengan Ilham.
“Parah banget tapi, gue mau ke sini aja disuruh antigen dulu, ditracking kontak sama siapa aja, ada teman dekat yang kena covid nggak. Udah lebih-lebih dari periksa di rumah sakit.” curhat Lala. Wina hanya terkekeh pelan. Semua tahu bagaimana protectnya pria itu.
Berbeda dengan Wina yang ekstrovert, Made adalah sebaliknya. Jika pandemi ini membuat Wina merasa gelisah dan stres karena semua aktifitasnya di luar harus terhenti sejenak, Made tidak merasakan itu. Ia yang memang sebenarnya anak rumahan merasa bahwa kehidupannya baik-baik saja selama pandemi. Jika tidak bekerja, ia mungkin bisa menghabiskan waktu berhari-hari di dalam rumah tanpa merasa bosan.
Makan malam itu menjadi makan malam terbaik Wina selama pandemi ini. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Made akan melakukan hal ini. Ia tahu bahwa pria itu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
Mereka makan malam sambil mengobrol. Wina dan Lala punya banyak hal untuk dibicarakan, yang mungkin bisa memakan waktu dua hari dua malam jika diteruskan.
“Kalau tahu kalian mau ke sini, Tante tadi beli hadiah dulu deh.” kata Wina pada anak kembar itu.
“Besok-besok juga boleh kok, Tante, kalau mau kasih hadiah.” Abi yang mengatakan itu. Wina terkekeh pelan.
“Oke, jadi kamu mau apa? Juna mau apa?”
“Juna mau satu set komik detektif conan.” kata Juna langsung.
“Oke. Kamu mau apa?” Wina beralih pada Abi yang sejak tadi sudah berpikir. Anak itu tahu kesempatan ini sepertinya tidak boleh disia-siakan.
“Abi mau drone.”
Semua mata yang ada di sana menatap Abi.
“Kamu mau punya drone buat apa?” Wina bertanya karena penasaran.
“Nggak penting buat apa, Tan, yang penting teman-teman Abi nggak ada yang punya.” Abi menjawab dengan polos. “kan keren kalau cuma Abi yang punya.”
***
“Jadi gimana, lo udah dapet jawaban orientasi seksual Made?” Lala bertanya saat Ilham, Made dan dua anaknya pergi keluar, meninggalkannya dengan Wina di ruangan itu. Piring-piring bekas pakai sudah dibersihkan oleh pelayan dan meninggalkan gelas-gelas air yang dindingnya sudah dilapisi titik-titik air dari es yang mencair.
Wina menggeleng. Ia lalu menceritakan usahanya beberapa hari yang lalu. “gue pakai celana pendek aja langsung ditutupin selimut. Gimana mau tahu dia suka cewek apa nggak.” keluh Wina. Ia masih tetap penasaran, namun bingung harus bagaimana caranya.
“Lo cium aja lah. Pakai bingung.” Lala memang sat set sat set. Berbeda dengan Wina yang harus berpikir panjang karena tidak ingin salah langkah.
“Bukan gitu, La. Gue cuma takut kalau ditolak. Malu lah. Mau ditaruh di mana muka gue.” Wina merengut.
“Ya nggak apa-apa, yang penting lo langsung dapat jawaban.” kata Lala. “lo nggak ingat dulu gimana agresifnya gue sama mas Ilham.”
“Lo mah memang udah nggak punya malu.”
“Tapi ya, Na, kalau gue lihat, Made tuh kelihatan sayang banget lho sama lo.” Lala memberi pendapatnya.
“Sayang apaan. Manggil sayang aja nggak pernah. Bilang gue cantik aja nggak pernah.” Wina menyesap minumannya.
“Ingat pas kemarin lo pengin staycation. Dia sampai bela-belain bikin tenda di halaman rumah lo. Terus pas kemarin lo mau ke rumah gue nggak dibolehin, dan nggak boleh ketemu teman-teman lo juga, Made bela-belain ngundang gue meski birokrasinya ribet banget. Itu kan nunjukin kalau dia sebenarnya pengin bahagiain lo.”
Kata-kata Lala benar. Ia juga menyadari itu. Namun Wina tetap ingin tahu bagaimana perasaan pria itu sesungguhnya, terutama orisentasi seksualnya. Akan lebih baik jika ia mengetahuinya lebih cepat.
“Kalau perasaan lo sendiri sama Made gimana?” Lala melihat wanita di depannya berpikir sebentar. “lo sudah satu setengah tahun lho nikah. Masa belum cinta juga.”
“Gimana yaa… yang jelas gue sayang sama dia dan nggak pengin kehilangan.” kata Wina, “gue ngerasa cocok dan berpikir dia tepat buat gue.”
“Itu artinya lo udah cinta. Lo cuma masih ragu sama perasaan Made.”
***
Wina masih ada di meja riasnya saat Made keluar dari kamar mandi. Pria itu bertelanjang dada dan pergi mendekati lemari sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Melalui cermin di depannya, Wina melihat pria itu menarik kaos berwarna hitam dan memakainya. Pria itu lalu keluar untuk menjemur handuknya.
“Lo jadi mau ikut ke Bali nggak?” Made bertanya saat kembali ke dalam kamar. Pria itu duduk di tepi ranjang dan menatap Wina yang masih sibuk dengan ritual malamnya.
Wina menoleh dan menggeleng pelan, “masih banyak kerjaan.” kata Wina.
Made akhirnya mengangguk. Ia tahu wanita itu punya tanggung jawab pada barang atau makanan yang harus ia promosikan.
“Mad… gue boleh peluk nggak?” tanya wanita itu dengan nada ragu. Kedua mata Made memicing kebingungan. Wina ingin berterima kasih karena pria itu mengundang Lala dan keluarganya, mengindahkan segala kekhawatirannya terhadap virus covid untuk sementara demi dirinya.
Made berdiri, mendekat, dan membiarkan Wina yang masih dalam posisi duduk melingkarkan kedua tangan ke perutnya.
“Lo hari ini baik banget.” kata Wina akhirnya. Ia menaruh kepalanya di perut pria itu. Meski nggak kotak-kotak, tapi tetap terasa menyenangkan.
“Gue undang Lala karena bisa tracking kontak mereka dan mereka mau gue minta swab dulu. Kalau lo kumpul sama yang lain, gue nggak bisa apa-apa.” Ia mengusap kepala wanita itu dan melihat wanita itu mengangguk pelan.
“Gue cantik nggak, Mad?” Wina mendongak untuk melihat wajah Made.
“Ngantuk ah.”
Wina mendesis, pria itu selalu saja mengalihkan pembicaraan jika ia bertanya seperti itu.
==============================================================================
CHAPTER TUJUH BELAS
Selama tiga hari terakhir, Jojo mengikuti perintah Jaka agar tidak terlalu terburu-buru mengirim pesan intens pada Jihan. Setiap hari ia masih rajin pergi ke bank untuk setor dan menukar uang. Sedikit demi sedikit, ia mulai memberanikan diri berbincang jika Jihan yang melayaninya. Selain cantik, -Jojo sudah memastikan Jihan cantik karena sudah melihat wajahnya yang tidak ditutup masker-, Jihan juga baik dan ramah. Jojo semakin yakin kalau ia pingin bisa lebih dekat lagi dengan gadis itu. Namun seperti kata Jaka, semua perlu perhitungan.
Setiap kembali dari bank, laki-laki itu seperti baru saja mengisi energinya hingga penuh. Jojo menjadi lebih semangat, lebih ceria dan berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya. Ini bukan pertama kalinya Jojo jatuh cinta, tapi jika berhasil, Jihan akan menjadi pacar pertamanya.
Gara masih fokus pada Rere. Dia sadar betul bagaimana perasaannya pada gadis itu. Namun baginya Rere terlalu abu-abu. Terkadang ia merasa spesial, tapi terkadang gadis itu juga mempelakukan Jaka dan Jojo dengan sama spesialnya. Gara bukan tak memiliki keberanian untuk menyatakan cinta. Ia hanya berpikir lebih panjang. Ia takut jika gadis itu tidak mempunyai perasaan yang sama, mereka berdua akan canggung. Ia tidak ingin hal itu terjadi.
“Gue makan siang duluan, ya.” Jaka mengatakan itu smabil melepas apron di pinggangnya.
“Mau makan ke mana lo? Nitip dong.” kata Rere.
“Warung bu Rohaya lah. Sekalian ngapelin Lani.” Jaka terkekeh saat mengatakan itu.
“Tobat, Jaka… Tobat.” ujar Rere sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nggak apa-apa, Re, pacar gue baru satu. Kalau udah nikah aja boleh empat, apalagi masih pacaran.” Rere langsung mendesis tajam.
“Gue ikut dong.” kata Jojo. “nanti kalau tiba-tiba ramai, WA aja ya.” Ia mengatakan itu pada Rere dan Gara yang langsung mengangguk. Mereka berdua keluar melalui pintu kaca kedai dan menghilang dari pandangan.
“Jak, menurut lo kapan waktu yang tepat kalau gue mau ngajak jalan Jihan?” Jojo bertanya saat mereka berjalan beriringan menuju warung nasi.
“Sabar. Nanti kalau lo udah chat intens, lo lihat dulu responnya dia gimana.” Jaka merangkul bahu Jojo dengan sebelah tangannya.
“Lo gimana sih, katanya suruh sat set sat set. Ini mah lama juga prosesnya.”
Jaka menggeplak kepala Jojo yang langsung mengaduh. Kalau Rere tahu yang ia lakukan, dia pasti akan dimarahi habisan-habisan. Ia bersyukur hanya ada mereka hanya berdua.
“Maksud gue sat set tuh mulainya. Lo kalau nggak dipaksa kan nggak mulai-mulai.” kata Jaka, “prosesnya mah ya tetap harus penuh perhitungan.” Jaka percaya bahwa laki-laki adalah makhluk visual yang akan mengedepankan fisik. Namun ia tahu bahwa wanita tidak seperti itu. Mungkin ada, namun mereka akan lebih mengedepankan kenyamanan. Itu yang harus Jojo yakinkan dalam pendekatannya.
“Siang… Lani. Cantik banget sih.” Puji Jaka saat melihat Lani ada di balik etalase berisi lauk pauk dan sayur. Gadis itu tersenyum kecil dan mendekati etalase dan bertanya pada kedua laki-laki itu ingin makan apa.
“Berduaan aja nih, Mas Gara mana?” tanya gadis itu sambil mengambil nasi dan menrauh di piring.
“Kaga usah nyari yang kaga ada, Lan.” kata Jaka, “Bang Jaka di sini, lu masih aja nyariin Gara.”
Lani terkekeh ringan. “Bang Jaka mah nggak usah dicariin juga udah sering beredar ke mana-mana. Mas Gara nih yang udah lama nggak kelihatan.”
“Tenang aja, masih hidup dia.” Jojo yang menjawab.
Bagi sebagian perempuan, Gara memang terlihat seperti calon pacar idaman. Cool, sopan, ganteng, fisiknya oke, tinggi putih, rapi dan kelihatan nggak neko-neko. Namun sebagian lagi memilih Jaka yang meski nggak seganteng Gara, namun humoris. Kalau ada yang bilang bahwa laki-laki ganteng akan kalah dengan laki-laki humoris, itu mungkin ada benarnya.
***
Rere tidak pernah ingin jatuh cinta. Ia cukup tahu diri bagaimana kehidupannya. Keluarganya tidak baik-baik saja, atau lebih tepatnya ayahnya problematik. Ia harus menjadi tulang punggung saat ini, dan entah sampai kapan. Rere hampir tidak bisa melihat masa depannya sendiri. Ia telah berusaha keras menerima hidupnya, dan tidak mungkin membuat orang asing bersedia menerima hidupnya yang berantakan.
Rere telah mulai bekerja sejak sekolah, ia juga bekerja part time sebelum bekerja di kedai milik Wina untuk membantu biaya kuliahnya. Ia tidak pernah tega membebani biaya pendidikannya pada ibunya yang sudah tua. Rere pernah ingin meninggalkan keluarganya. Ia berpikir sampai kapan ia harus melunasi hutang-hutang ayahnya, bekerja banting tulang untuk keluarganya sedangkan ayahnya sibuk merokok, berjudi, mabuk dan bersikap kasar pada istri dan anak-anaknya. Namun Rere selalu teringat pada ibu dan dua adiknya. Jika bukan ia yang membantu keluarganya, bagaimana hidup ibu dan adik-adiknya.
Semenjak ia bekerja di kedai dan mendapatkan cukup uang dari pekerjaan tambahannya, ia pernah mengajak ibu dan adik-adiknya untuk tinggal bersamanya. Namun ibunya tidak mau. Rumah itu adalah harta ibunya satu-satunya dan ibunya tidak ingin meninggalkannya. Ibunya juga tidak pernah ingin bercerai dengan ayahnya. Rere terkadang bingung kenapa ibunya bisa sebodoh itu.
Gara tahu cerita hidup Rere, termasuk pemikiran gadis itu untuk tidak pernah ingin jatuh cinta. Hidup gadis itu berat dan butuh fokus pada keluarganya. Rere tidak pernah ingin prioritasnya terpecah. Saat ini, dan sampai kapanpun, ibu dan adik-adiknya akan menjadi prioritas utama.
Gara memesan soto ayam untuk makan siangnya, Rere juga Wina melalui aplikasi pemesanan. Pesanan itu diantar kurang dari satu jam. Gara mengambil pesanan dari pengemudi dan memberikan satu bungkusnya pada Wina yang masik sibuk di ruangannya.
Sementara ia dan Rere makan di ruang karyawan, Jaka dan Jojo menonton televisi karena sedang sepi. Televisi layar datar yang dipasang di sudut kafe menjadi milik Jaka dan Jojo setiap tak ada pelanggan. Pemutaran musik di layar datar itu digantikan oleh FTV di salah satu stasiun televisi swasta.
Karena selera humor yang mirip, Jaka dan Jojo sepertinya memang cocok dalam berbagai hal. Jaka adalah orang yang mengenalkan Jojo pada FTV azab di salah satu stasiun televisi. Mereka berdua bisa sangat tenang jika menonton itu. FTV azab itu jelas tidak menakuti keduanya, malah seperti tontonan komedi saking tidak masuk akal bagi keduanya. Keduanya kerap tertawa saking takjubnya dengan cerita itu.
Jaka selalu bilang pada Jojo bahwa Tuhannya tidak sekejam itu. Azab memang ada, namun jelas tidak seperti yang digambarkan di FTV itu.
“Kalian nggak ada bosen-bosennya nonton itu.” kata Wina saat ia keluar dari ruangannya dan melihat kedua anak buahnnya cekikikan saat melihat adegan di layar televisi.
“Lucu banget, Mbak, yang ini.” kata Jojo. Jojo sangat menghargai semua yang terlibat dalam FTV itu. Ia salut karena para pemain bisa menahan tawa selama adegan-adegan menakjubkan itu.
Wina hanya tersenyum kecil lalu pergi ke kamar mandi. Ia merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia merasakan mual dan tidak enak badan.
“Kenapa, Mbak?” Rere bertanya saat melihat Wina mengusap-usap perutnya sambil mendekati meja kasir.
“Mual.” kata Wina sambil menekan beberapan tombol di mesin kasir untuk mengecek omset.
“Hamil kali, Mbak.” kata Jaka.
“Ngawur.” cetus Wina, yang langsung membuat keempat anak buahnya terdiam kebingungan.
“Kok ngawur? Kan udah punya suami.” kata Jojo dengan nada polos.
“Bukan gitu. Saya kan tahu tanda-tanda hamil atau nggak. Ini kayaknya memang lagi nggak enak badan aja.” kata Wina akhirnya. Matanya meneliti kertas yang keluar dari mesin kasir.
“Mau Jaka beliin obat, Mbak? Jaka ke apotik nih.” tawar Jaka.
Wina menggeleng pelan, “nggak usah. Saya nanti mau pulang cepat aja.”
Keempatnya melihat Wina kembali masuk ke dalam ruangannya.
“Hamil kalau kata gue, mah.” ujar Jaka pada Jojo yang ada di sebelahnya.
“Orang mual bukan berarti hamil.” Gara yang menjawab.
“Ya emang kalau hamil kenapa sih? Orang ada suaminya juga.” Jaka merasa tidak ada yang aneh dengan pernyataannya.
Jaka akhirnya beralih pada Jojo dan mengutarakan keyakinannya bahwa bosnya memang hamil. Jojo yang sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai kehamilan hanya menganggut-manggut dan percaya.
***
Wina: Mad…
Wina: Mad…
Wina: Sayang…
Wina masih menatap ponselnya dan menunggu balasan saat pintunya diketuk pelan. Ia mempersilakan dan melihat wajah Jaka menyembul. Laki-laki itu mendekat dengan satu cangkir berisi teh hangat.
“Makasih ya, Jaka.” kata Wina sambil menerima cangkir itu meski ia tidak pernah meminta. Jaka mengangguk lalu keluar dari ruangan. Lihat, sama bos saja Jaka perhatian, apalagi sama pacar.
Wina menyesap teh buatan Jaka dan merasakan hangat mengaliri tenggorokannya. Ia merasa mual namun tidak bisa muntah. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. Ia tidak mengerti apa yang salah padahal kemarin ia sehat-sehat saja.
Made: Ya.
Wina: Balik jam berapa. Gue nggak enak badan nih.
Made: Yudah gue beres-beres dulu.
Wina menyesap teh dalam cangkirnya hingga habis. Ia membereskan beberapa barang endorse yang ada di mejanya dan membuat mejanya sapi. Ia terdiam sebentar mengingat perkataan Jaka tadi. Hamil kali, Mbak. Ia tahu tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Ia sudah menikah sehingga kalimat itu wajar diucapkan. Namun entah kenapa ia merasa sedih. Itu mungkin terdengar sepele, namun ada banyak hal yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini dan membuatnya lebih sensitif. Wina merasakan kekosongan menyergapnya secara tiba-tiba.
***
Menjelang sore, kedai biasanya mulai ramai lagi. Pasukan berjaket hijau mulai berdatangan bertepatan dengan pesanan yang masuk dari aplikasinya. Rere dan yang lainnya mulai sibuk kembali di belakang etalase. Tangan tiga laki-laki itu bergerak lincah meracik pesanan dan membungkusnya. Rere fokus di belakang meja kasir dan mengurus pembayaran.
Satu persatu, pria-pria berjaket hijau itu mendapatkan pesanan. Pintu terayun saat orang-orang itu keluar dari kedai hingga membuat tempat itu kembali sepi.
Gara mengelap meja, Rere merapikan lembaran uang di dalam mesin kasir. Jaka membereskan meja dan kursi sementara Jojo mengisi handsanitizer yang ada di dekat pintu masuk.
Jojo medekati pintu dan membukanya saat melihat Made keluar dari mobil yang baru saja di parkir di depan kedai. Made mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.
“Selamat ya, Mas.” kata Jojo saat Made melewati pintu transparan itu. Ia mengulurkan sebelah tangannya.
“Selamat apa, ya?” Made kebingungan, namun tetap menjabat tangan laki-laki itu.
“Mbak Wina hamil.” Jojo memberitahu. Tiga pasang mata teman-temannya menatap Jojo dengan pelototan tajam.
“Hah.” Made terkejut. Kelopak matanya berkedip dua kali. Ia tahu itu tidak mungkin.
“Kata Jaka, mbak Wina hamil.” kata laki-laki itu lagi. Kali ini semua menatap Jaka yang langsung ngedumel sambil tertunduk malu. Jojo memang kadang kebangetan. Bisa-bisanya dia bilang begitu.
“Kayaknya, Mas. Kayaknya.” Jaka meralat ucapan Jojo. Ia tahu ia jelas tidak boleh mendahului suami bosnya dalam hal itu.
Made menuju pintu ruangan Wina sementara Jojo langsung mendapatkan delikan tajam dari teman-temannya.
“Kata lo hamil.” Jojo protes pada Jaka.
“Ya nggak usah diomongin sama mas Made juga kali.” ujar Jaka. Ia berdecak. Memang sebaiknya berbicara lebih hati-hati dengan Jojo yang sama sekali tidak bisa memfilter apa yang harus dan tidak harus dikatakan.
Made membuka pintu dan melihat Wina menaruh kepalanya di atas meja. Ia mendekat dan langsung menaruh telapak tangan ke dahi wanita itu. Tidak panas.
“Kenapa?” tanyanya saat Wina melingkarkan lengan ke perutnya dan memeluknya pelan.
“Mual, tapi nggak bisa muntah.” jawabnya pelan. Made akhirnya mengerti kenapa anak buah wanita itu mengira wanita itu hamil. Ia mengusap kepala wanita itu pelan.
“Mau ke dokter?” Made menawarkan. Ia melihat wanita itu menggeleng.
“Mau pulang aja.”
Wina membantu membawakan tas istrinya dan keluar dari ruangan. Kedai sudah bersih menuju satu jam sebelum jam tutup. Ada dua orang pembeli yang sedang menunggu pesanan.
“Kalau besok saya nggak masuk, Gara handle dulu, ya.” katanya pada Gara yang langsung mengangguk. “kalau ada apa-apa WA aja.” katanya lagi.
Mereka keluar dari kedai dan menghilang di balik pintu mobil.
“Duh, kalau mbak Wina nggak hamil, gue nggak enak banget sama mas Made.” kata Jojo dengan nada lirih. Ia seperti baru saja menaruh racun dan bersiap menunggu ditangkap polisi. Ia takut jika perkataannya membuat pria itu berharap lebih, padahal itu belum tentu benar.
“Lo sih. Punya mulut makannya dijaga.” kata Jaka.
“Lo yang salah. Ngapain ngomong sebegitu yakinnya sama Jojo.” Rere membela Jojo dan melotot pada Jaka.
“Ya gue mana tahu kalau Jojo bakal ngomong gitu sama mas Made.” Jaka tidak terima karena disalahkan.
“Ya lo kan tahu gimana Jojo. Harusnya lo yang ngomongnya dijaga. Hal yang nggak perlu, nggak usah diomongin.” kata Rere lagi.
Jaka mendengus. Sudah tidak mungkin menang jika Rere sudah turun tangan. Seperti yang ia bilang, Rere paling tidak tahan jika ia berdebat dengan Jojo. Gadis itu pasti akan langsung pasang badan untuk membela Jojo dan menyalahkannya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
