Kedai Kopi Pahit (Chap 10-11)

6
1
Deskripsi

Kedai Kopi Pahit Chapter Sepuluh-Sebelas

CHAPTER SEPULUH

 

            Camping di taman belakang ternyata tidak buruk. Totalitas Made tidak perlu diragukan lagi. Menjelang malam, pria itu membuat api unggun. Pria itu juga menyiapkan kompor portabel dan membuka plastik berisi makanan. Wildan melakukan tugasnya dengan sangat baik. Dia membelikan semua permintaannya dan tidak ada yang kurang sama sekali. 

            “Kamu mau makan mie kuah apa mie goreng?” Made bertanya.

            “Mie kuah aja.” Tepat saat mengatakan itu, resleting tenda terbuka. Wina sudah mengganti rok pendeknya menjadi celana panjang. Sambil mengikat rambut panjangnya, Wina menghampiri Made yang sedang duduk di depan kompor portabel. Di atas kompor itu, sudah ada panci kecil berisi minyak. Made akan menggoreng kentang dan sosis dulu, baru membuat mie.  

            Ia mengambil plastik besar dan mengeluarkan serenteng kopi sachet. Di plastik itu juga ada piring dan gelas plastik. Ia tersenyum menyadari bahwa pria itu benar-benar serius dengan campingnya. 

            Wina duduk di samping Made dan melihat pria itu sedang fokus dengan kentang goreng di panci kecil itu. 

            “Kok lo bisa sih kepikiran kayak gini?” Wina bertanya karena penasaran. Made tidak menjawab. Ia mengangkat bahu dan fokus mengangkat kentang goreng yang sudah matang. 

            “Lo sayang banget sama gue, ya?” Wina bertanya. Made masih diam. 

            Wina tersenyum. Ia tahu gengsi pria itu tinggi. Ia mengambil piring berisi kentang goreng yang diulurkan suaminya. 

            Setelah semua masakan matang, mereka berdua menyantap mie instan itu. Wina bingung kenapa mereka bersusah payah padahal mereka tinggal pergi ke dapur dan meminta asisten rumah tangganya untuk masak. Tapi ia ingin menghargai usaha pria itu. 

            Ingatan Wina membawa kenangan mereka sewaktu kuliah. Saat budhe Elisa sedang tidak ada di rumah, mereka berempat biasanya pergi berkemah di taman belakang rumah gadis itu yang memang sangat luas. 

            “Mad… lo ingat nggak, dulu kita sering camping di belakang rumah Elisa kayak gini?”

            Made mengangguk pelan sambil mengunyah. 

            “Kapan ya bisa kayak gitu lagi? Kangen banget gue.” kata Wina. Ia tersenyum saat kenangan-kenangan itu berputar di otaknya. Seperti terproyeksi di depan matanya. 

            “Ingat nggak, yang pas Fabian gabung?” Wina melihat Made tampak mengingat-ingat. “saat itu lo lagi galau-galaunya.” 

            Wina mengulum senyum saat melihat pria itu melotot ke arahnya. 

            “Lo nyanyi lagu peri cintaku di depan tenda dengan raut wajah memprihatinkan.” Wina terkikik geli saat mengingat itu. 

            “Nggak. Gue nggak ingat.” Saat Made mengatakan itu, tawa Wina justru semakin pecah. 

            Selama beberapa saat, keduanya fokus menghabiskan isi mangkok masing-masing. 

            “Mad, rambut gue udah panjang banget, nih. Gue ke salon boleh, ya?” Wina bertanya. Semenjak pandemi, ia memang belum pernah ke salon lagi dan membiarkan rambutnya memanjang.            

            “Nggak… nggak.” tolak Made langsung.

            Wina mendesis, “gue udah gerah banget.” keluh Wina. Sejak dulu, Wina memang tidak betah dengan rambut panjang. Ia selalu setia dengan rambut sebahunya. 

            Made tetap menggeleng. Ribet memang kalau berurusan dengan pria itu. 

            “Terus gue bolehnya ke mana? Ke mana-mana nggak boleh. Heran banget…” 

            “Sabar, ya… Tunggu pandemi selesai dulu.” kata Made dengan sabar. 

            Wina berdecak. Setelah menghabiskan mie instannya, mereka berdua menyesap kopi dalam gelas plastik di tangan masing-masing. Angin yang berembus sangat dingin membuat Made berpikir bahwa akan turun hujan. 

            “Nanti kalau hujan, tidur di dalam kamar aja, ya.” kata Made. 

            “Kenapa? Kan udah ada tenda.” 

            “Takut lo kedinginan.” jawab Made. 

            “Peluk dong, biar gue nggak kedinginan.” kata Wina.

            “Dih… pengen banget gue peluk?” kata Made dengan nada mengejek sementara Wina mendesis sebal. 

 

***

 

            Malam minggu hanya berlaku bagi Jaka. Sedangkan bagi Rere, Jojo dan Gara, ini adalah sabtu malam. 

            Di ruang tamu kosan, mereka masih berkutat dengan pekerjaan mereka. Karena setiap hari minggu kedai tutup, mereka biasanya begadang malam minggunya. Ada beberapa camilan dan minuman di atas meja. 

            Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam saat Jaka menutup laptopnya. Mereka bertiga sudah tahu akan ke mana laki-laki itu. Jaka dan Arini tidak pernah melewatkan malam minggu. 

            Arini adalah pacar Jaka entah yang keberapa. Tiga tahun lebih tua dari Jaka. Pacaran sudah setengah tahun. Bekerja sebagai desain grafis di sebuah perusahaan periklanan. Mereka bertemu di sebuah warteg. Yap. Bayangkan. Pergi ke warteg aja Jaka bisa dapat pacar. Sesakti itu memang anak perjakanya Enyak Romlah.

            “Arini udah di jalan.” Jaka mengatakan itu padahal tidak ada yang bertanya. Menentang komputer jinjingnya, laki-laki itu menjauh dan masuk ke dalam kamar kos Jojo untuk bersiap-siap. 

            Jojo menghela napas lalu melirik Gara dan Rere di depannya. 

            “Kalian bosen nggak sih, malam minggu malah kerja?” Jojo melihat kedua orang itu menggeleng bersamaan tanpa melepas pandangannya dari layar. 

            “Apa cuma gue yang tersiksa karena jomblo? Galau banget hidup gue gini-gini aja” Jojo bertanya pada dirinya sendiri.            

            “Aneh. Lo kan jomblo dari lahir, harusnya udah terbiasa.” kata Gara, masih belum melepaskan pandangannya dari layar di depannya. 

            Jojo menghela napas kasar. Omongan Gara sangat menyakitkan, tapi laki-laki itu ada benarnya. Jojo bingung kenapa ia tidak bisa seberuntung Jaka. Padahal Jojo merasa ia lebih ganteng dari Jaka. Tapi ia tahu bahwa ganteng saja memang tak cukup. 

            “Belum selesai, Re?” Gara bertanya pada Rere saat ia baru saja menyimpan pekerjaannya dengan menekan ikon save pada layar komputer jinjingnya. 

            “Bentar lagi, nih.”

            “Ke minimarket depan, yuk. Beli es krim.” ajak Gara. Rere mengangguk sambil tersenyum. 

            “Gue nggak diajak?” tanya Jojo dengan nada kesal. 

            “Lo kan lagi galau.”

            “Karena gue galau, makanya jangan ditinggal sendiri. Gitu cara berpikir manusia normal, Gara.” Jojo mendengus. Satu-satunya yang agak normal diantara mereka memang hanya Rere. 

            “Yaudah kalau mau ikut, tinggal ikut.” kata Gara. Ia paling tidak ingin ribut hanya karena hel sepele. 

            “Sengaja kan lo, biar bisa berduaan sama Rere. Ngaku?” 

            Rere menatap Gara yang memilih diam. 

 

 

***

 

            Setelah menghabiskan makan malam, keduanya masuk ke dalam tenda karena gerimis turun tiba-tiba. Di dalam tenda itu, Made sudah menaruh kasur tipis sebagai alas agar tubuh istrinya tak kesakitan. 

            “Lo yakin nggak mau ke kamar aja?” Made bertanya saat ia mengulurkan segelas kopi hangat ke arah Wina yang langsung menerimanya. 

            “Nggak ah. Lagian cuma gerimis gini doang.” Wina meniup isi gelasnya dan menyesapnya pelan. Gerimis diluar memang tidak seberapa dan ia memutuskan akan tetap pada rencana awal untuk bermalam di tenda itu.

            “Nonton film aja, ya.” ajak Made. Wina mengangguk. Ia melihat pria itu mengeluarkan laptop dari dalam ranselnya. Jari-jarinya menekan tombol untuk menyalakan perangkat itu dan masuk ke dalam akun salah satu platform streaming

            Made memilih salah satu film komedi luar. Film yang ia rasa paling aman untuk ditonton bersama Wina. Setengah jam pertama, tawa tak henti-hentinya memenuhi tenda. Keduanya menatap lekat ke arah layar dengan camilan di tangan masing-masing. 

            Menuju setengah jam terakhir, keduanyanya kaget karena ada adegan romantis dari pemeran utama. Adegan ciuman yang intens itu membuat Made dan Wina sama-sama menelan ludah karena bingung dan canggung. Tak cukup sampai di sana, kedua pemeran utama mulai melucuti pakain satu-persatu dan beradegan dewasa di atas ranjang. 

            Wina menghela napas kasar karena perubahan tiba-tiba itu. 

            “Di skip aja, ya.” kata Made. Tanpa menunggu jawaban Wina, jari telunjuk pria itu sudah menggerakkan toucpad laptop untuk mempercepat. 

            Namun keadaan tidak pernah kembali seperti semula. Made menyesal karena memilih film itu. Ia berpikir film komedi itu akan aman. Diam-diam ia melirik Wina yang tempak tenang di sampingnya. Ia tahu wanita itu pasti canggung. 

            Selama menjadi suami istri, mereka memang tidak memiliki romantisme seperti pasangan lainnya. Made cukup tahu diri dan tetap pada keputusannya sejak awal bahwa ia tidak akan melakukan sesuatu tanpa consent wanita itu. 

            Saat film komedi itu selesai, Wina langsung menyembunyikan tubuh di dalam selimut sementara Made menutup laptopnya dan menaruhnya kembali di ranselnya. 

            Wina memiringkan tubuhnya dan menatap Made yang tengah membereskan gelas bekas pakai mereka dan menaruhnya di luar. Gerimis di luar sudah berhenti dan menyisakan angin dingin yang tidak seberapa. 

            “Bersihin tangannya dulu.” perintah Made. Wina mengulurkan kedua tangannya dan membiarkan pria itu menyeka kedua tangannya dengan tisu basah. 

            Salah satu hal yang Wina sukai jika Made ada di Jakarta adalah karena pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Pria itu tahu apa makanan kesukaannya. Pria itu suka membantunya membersihkan rumah. Pria itu bisa menjadi teman mengobrol yang asik. Pria itu perhatian dan pengertian. 

            Kalau kata anak jaman sekarang, Made nih sudah green flag banget. Tapi bagi Wina, pria itu bukan hanya green flag, namun sudah hijau stabilo alias hijaunya sudah sangat mentereng. 

            “Mad…” Wina memanggil saat pria itu merebahkan tubuh di sebelahnya. Saat awal-awal menikah, Wina selalu menaruh guling di tengah sebagai pembatas. Namun lambat laun, Wina sadar bahwa pria itu adalah orang yang sangat baik dalam mengendalikan diri. Pria itu benar-benar tidak pernah menyentuhnya secara sengaja atau tidak sengaja. 

            “Hhhmm…” Made memiringkan tubuhnya menghadap istrinya. Ia memberi jarak yang cukup agar wanita itu tetap nyaman.         

            “Lo kalau lagi pengin, gimana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. 

            “Hah? Pengin apaan?” Made menatap Wina dengan bingung meski ia sepertinya tahu maksud wanita itu. 

            “Ya… pengin itu… masa harus gue jelasin, sih.” kata Wina. Wina kadang merasa bahwa ia keterlaluan. Made punyak hak atas dirinya, termasuk hubungan seksual. Made menikahinya secara sah, memberinya nafkah uang setiap bulan. Made menjadi suami yang sangat baik baginya. Namun ia tidak mengerti kenapa sampai sekarang, ia sama sekali belum berpikir untuk itu. 

            Saat awal menikah, ia bilang bahwa ia perlu waktu dan Made berjanji akan memberikan waktu sebanyak yang ia butuhkan. Mereka menikah terlalu tiba-tiba dan ia merasa butuh waktu untuk penyesuaian. Ia hanya tidak menyangka bahwa mereka masih seperti ini setelah satu setengah tahun menikah. 

            Made menelan ludah. Ia menatap Wina yang tampak menunggu jawabannya. Ia kebingungan bagaimana harus menjawab pertanyaan wanita itu yang tiba-tiba. 

            “Aneh banget nanya begitu.” katanya. “Tidur, ah. Gue ngantuk.” katanya lagi agar pembicaraan itu terputus. 

            Wina menatap Made yang sudah memejamkan matanya. Ia mengulurkan tangan dan menarik selimut hingga ke dada pria itu. 

            “Good night.” lirih Wina sambil menepuk pipi pria itu dua kali sebelum memejamkan matanya.  

            

***

 

            Saat Wina membuka resleting tenda pagi harinya, Made sudah sibuk di depan kompornya. Ia menguap lebar-lebar dan merenggangkan ototnya. Hangat matahari pagi menerpa kulitnya. Rumput masih basah sisa gerimis semalam. Ia menyapa pria itu yang langsung menoleh ke arahnya. 

            Wina keluar dan berdiri di samping Made yang tenyata tengah membuat telor ceplok. Di atas piring ada roti tawar, slice keju dan sayuran lainnya. Ia duduk di samping Made dan membuat teh hangat di gelas plastik. 

            Saat ia menyesap tehnya, ia melihat ke balkon kamar ibunya dan melihat wanita itu ada di sana. Wanita itu tersenyum dan melambai padanya. 

            Saat rencana pernikahan anaknya gagal karena Tuhan punya rencana lain, Dara tahu bahwa kelak anaknya akan menemukan pria yang tepat. Ia tahu bahwa anaknya akan mendapatkan pengganti Ibnu, dengan seseorang yang sama baiknya dengan pria itu. Dara tahu ia mempercayakan anaknya dengan sosok yang tepat. 

            “Ma… sarapan…” Made sedikit berteriak. 

            Dara mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat pria itu memberikan satu piring berisi roti lapis pada anaknya. Mereka berdua menikmati sarapan sambil tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. 

            “Jadi potong rambut nggak?” Made bertanya di sela-sela sarapannya.

            “Boleh?” Kedua mata Wina kontan berbinar senang saat melihat pria itu mengangguk. 

            “Udah gue siapin peralatannya.” kata Made. 

            “Hah? Peralatan apaan?” Wina bertanya bingung. 

            Made tersenyum lalu menoleh ke arah pohon mangga yang ada di sana. Wina mengikuti arah pandang pria itu. Di bawah pohon mangganya, sudah ada sebuah kursi plastik. Ada meja juga dan di atasnya ada barang-barang entah apa. 

            “Tunggu… maksudnya gimana?” Wina tidak bisa mengenyahkan rasa bingungnya. 

            “Nanti gue yang potongin.” kata Made. Wina yang sedang menyesap tehnya langsung tersedak. 

            “Lo gila, ya? Jangan ngaco.” kata Wina. Jelas tidak terima dengan rencana pria itu.

            “Lo tiap ke salon juga potongannya gitu-gitu aja. Gue juga bisa. Tenang aja.”

            “Yang lo bilang potongan gitu-gitu aja, itu hasil dari hairstylish yang belajar bertahun-tahun.” kata Wina, “jangan sembarangan.” 

            “Beres sama gue mah. Udah tenang aja.” Made masih tampak percaya diri. Made selalu merasa bahwa tidak ada yang tidak bisa ia lakukan. 

            Tapi Wina menggeleng keras. Ia tidak mau mengambil resiko. Gimana nanti kalau potongannya kependekan, atau potongannya aneh, atau yang lebih horor lagi, rambutnya bisa pitak. 

            Made menaruh piring di sebelahnya dan menunggu istrinya menghabiskan potongan terakhirnya. 

            “Gue nggak mau, Mad!” tegas Wina. 

            “Nggak apa-apa. Nggak sakit kok.” kata pria itu. 

            “Jiwa lo tuh yang sakit.” kata Wina dengan nada kesal. 

            Tepat saat Wina menghabiskan potongan terakhir, pergelangan tangannya dipegang oleh Made dengan sangat keras. 

            “Mad. Gue nggak mau.” Wina meronta. Tapi Made tak mengacuhkannya. Ia menarik tangan wanita itu menuju kursi yang sudah ia siapkan sejak tadi. 

            “Gue teriak nih.” 

            “Teriak aja.” Made jelas tidak takut jika ancaman wanita itu hanya seperti itu. “duduk.” perintahnya. Ia masih belum melepaskan cekalannya. 

            “Nggak.”

            “Lo nggak kasihan. Gue udah nyiapin ini dari pagi.” Ia melirik ke atas meja. 

            Wina melihat ada gunting, satu set alat cukur rambut, apron, sisir, juga jepitan. Ia tidak tahu bagaimana Made mendapatkan alat-alat itu. Seperti biasa, pria itu begitu niat dan ia tahu ia tidak akan bisa menghindarinya. Memang jauh lebih baik jika ia tidak minta pergi ke mana-mana pada pria itu.

            “Kenapa ada ini? Ini kan buat cowok.” Wina menunjuk mesin pencukur yang biasa digunakan untuk memotong rambut laki-laki. 

            “Udah percaya aja kenapa sih?” Made mulai jengkel. 

            “Gimana gue bisa mempercayakan mahkota gue sama lo.” Wina melotot sambil memegang rambutnya.

            “Gue udah terbukti bisa menjaga mahkota lo dengan sangat baik.” 

            Wina terdiam. Tahu jika ia dan Made memikirkan sesuatu yang berbeda. 

            

==============================================================================

 

CHAPTER SEBELAS

 

            Jika waktu libur biasanya dimulai dengan bangun siang, Gara tidak melakukan itu. Ia keluar dari kamar kosnya saat matahari masih mengintip malu-malu dengan sepotong kaos dan celana pendek. Setelah memakai sepasangan sepatu runningnya, ia keluar dari kamar kos yang masih sangat sepi. 

            Gara lari mengelilingi daerah sekitar. Tak jauh namun cukup membuat tubuhnya berkeringat. Dengan masker yang menutup hidup dan mulutnya, ia menepi di sebuah pos dan menyeka keringat di dahinya. Sebelum kembali ke kos, ia mampir ke penjual lontong sayur dan memesan tiga porsi. 

            Saat kembali ke kosnya, ia melihat Jojo sudah duduk di kursi yang ada di depan kamarnya. Laki-laki itu sedang menikmati secangkir kopi. 

            “Sarapan, nih.” Gara menaruh satu kantong berisi lontong sayur di atas meja. 

            “Lo perhatian banget sama gue, Gar.” kata Jojo dengan nada penuh haru. 

            “Kasihan. Bukan perhatian.” kata Gara. Jojo merengut. 

            Gara melintasi taman kecil memanjang di depan kamar kosnya untuk menuju kamar kos Rere. Saat ia menaruh satu porsi lontong sayur di meja di depan kamar Rere, bunyi token terdengar. Pria itu langsung menekan tombol secara asal hingga bunyi itu berhenti. 

            “Sekalian dong punya gue.” kata Jojo karena ia tahu apa yang akan dilakukan Gara. Ia melihat pria itu mengeluarkan ponselnya, mengutak atiknya sebentar lalu menekan beberapa tombol yang ada di kwh. 

            Gara kembali mendekati Jojo yang baru saja keluar dengan alat makan di tangannya. Mereka berdua duduk di kursi yang ada di depan kamar Jojo dan menikmati sarapan. 

            “Lo hari ini gak pulang?” Jojo bertanya. Jika ia dan Rere berasal dari daerah luar Jakarta, keluarga Gara sebenarnya cukup dekat dan masih satu kota. Laki-laki itu masih suka pulang setiap akhir pekan. 

            “Nggak.” Gara menjawab singkat. 

            “Takut Rere diajak jalan Joe kayak minggu kemarin, ya?” Jojo mengatakan itu dengan nada mengejek. “makanya jangan cemen jadi orang. Beraninya ngisiin pulsa listrik doang.” Jojo terkikik geli. Tampak puas mengolok-olok sahabatnya. 

            “Ngaca!” tegas Gara yang langsung membuat Jojo mengatupkan mulutnya rapat-rapat. 

 

***

 

            Wina menatap cermin di depannya. Ia merapikan rambut dengan sebelah tangannya. Rambutnya yang semula hampir mencapai pinggang kini sudah dipangkas hingga sedikit melewati bahu. 

            “Gimana? Rapi kan?” suara Made masuk ke gendang telinganya. Tidak bisa dipungkiri, meski pria itu memotong rata alias tidak ada modelnya, tapi potongan pria itu rapi dan tidak buruk. Pria itu juga memotong poninya sesuai dengan keinginannya. Ia tidak mengerti sejak kapan Made menjadi serba bisa seperti ini. 

            “Lumayan.” kata wanita itu akhirnya. Ia melihat Made tengah membereskan peralatannya. “kok lo jadi serba bisa gini sih?” 

            “Orang kalau udah jadi suami tuh memang harus bisa semuanya.” 

            Wina tersenyum sambil mengangguk. 

            “Berenang, yuk.” ajak Made. Ia sudah selesai merapikan peralatannya. 

            “Gue ganti baju dulu.” kata Wina sambil berdiri. Sementara Made membuka kaosnya dan mendekati tepi kolam renang, Wina berjalan masuk ke dalam rumah melewati pintu dapur. 

            “Kamu nggak ikut berenang?” Dara bertanya pada anaknya yang menghampirinya di meja makan. 

            “Ini mau ganti baju.” kata Wina. Ia menyomot tahu isi yang ada di meja. 

            “Pas banget. Mama punya sesuatu buat kamu.” Dara berdiri dengan semangat dan mengisyaratkan Wina untuk mengikutinya. 

            Masih mengunyah tahu isinya, Wina mengekori hingga masuk ke dalam kamar ibunya. Wina duduk di tepi ranjang sementara ibunya mendekati lemari dan membukanya. Wanita itu mengambil sebuah kotak dari sana dan duduk di samping Wina. 

            “Apaan nih?” Wina bertanya. 

            “Teman Mama ada yang jual ini. Makanya Mama beliin buat kamu.” 

            Wina menatap kotak yang sudah berpindah tangan. Ia tersenyum. Ia menebak kira-kira apa isinya. Emas? Jam tangan mewah? Wina menggeleng, kotak yang lebar tipis ini tidak mungkin berisi jam tangan. Baju? Atau apa? Wina sama sekali tidak bisa menebak apa isinya. 

            Wina membuka kotak itu dan kedua matanya terbelalak. Ia menatap isi kotak itu dan tidak percaya dengan pengelihatannya.

            “Lucu kan? Bisa langsung kamu pakai.” kata Dara dengan senyum semringah.  Ia tahu hadiah itu akan sangat cocok untuk anaknya. 

            Wina menelan ludah. Oke, ini tidak sesuai dengan apa yang ia pikirnya. Ini bukan emas apalagi baju. Ini adalah bikini two piece dengan motif floral. Biar ia ulangi, BIKINI TWO PIECE. Dan barusan ibunya bilang apa? Bisa langsung kamu pakai. 

            “Mama nyuruh Wina pakai ini di depan Made? Yang benar aja.” kata Wina. Sumpah, selama menjadi sumi istri selama setengah tahun, berpakaian seksi saja ia tidak berani. Apalagi pakai ini. Ini sama saja ia telanjang di depan pria itu.

          “Lho, apanya yang salah?” Kebingungan Dara membuat Wina menyadari bahwa ada yang salah dengan ucapannya. 

            “Ya… nggak ada yang salah, sih. Tapi…” Wina kebingungan sendiri. 

            “Udah sana kamu pakai. Nggak ada orang juga di rumah.” Dara sudah mulai mendorong tubuh Wina agar berdiri. 

            Wina tidak pernah mimpi seburuk ini. Apa jadinya jika Made melihatnya memakai ini? Ia sama sekali tidak bisa membayangkan respon laki-laki itu. Kalau pria itu tiba-tiab nafsu gimana? Ya sebenarnya nggak apa-apa juga sih. Toh mereka suami istri. 

            “Wina pakai nanti kalau liburan aja deh.” Wina menawar. 

            “Liburan kapan? Lagi pandemi gini juga.” kata Dara. Ia mendorong tubuh anaknya agak keras hingga wanita itu berdiri dari duduknya. Wina sudah pucat. Ia kebingungan. “buruan.” kali ini Dara mendorong tubuh Wina hingga masuk ke dalam kamar mandi di kamarnya.

 

***

 

            Made berenang bolak-balik di kolam renang itu. Sebelum pandemi, ia termasuk menyukai olahraga itu. Pantai-pantai di Bali jelas sangat menggairahkan, belum lagi kolam renang yang ada di hotelnya. Semenjak kembali ke Bali, Made menyukai semua aktivitas air. Namun semenjak pandemi melanda, ia membatasi semua kegiatan diluar, apapun yang bersifat sharing dengan orang lain. 

            Sebelah tangan Made menyentuh tepi kolam. Kepalanya menyembul. Ia menarik napas dalam sambil melepas kacamata renangnya. Di depannya ia melihat sepasang kaki. Ia mendongak dan menatap betis mulus putih lalu semakin ke atas dan terkejut. 

            “Wina… Astagfirullah…” pria itu menyingkir dan memalingkan wajahnya. 

            Wina duduk di tepi kolam dan melihat pria itu yang tampak malu dan canggung. Bukannya harusnya ia yang malu? 

            Melihat respon Made, Wina justru mengulum senyum. 

            “Lo ngapain sih pakai begituan?” kata Made, masih memalingkan wajahnya. 

            “Emang kenapa?” 

            “AURAT. Astagfirullah.” kata Made dengan nada dramatis.

            Wina berdecak, “lo ngomongin aurat sama istri sendiri? Gimana sih? Aneh banget.”

            “Ya… ya… bukan gitu… abisnya lo aneh banget…” Made terbata-bata. 

            “Mama yang nyuruh pakai. Beli dari temannya.” Wina memberitahu. Ia menatap Made yang masih memalingkan wajahnya dan tampaknya tidak ingin menatapnya sama sekali. 

            “Lucu nggak, Mad?” tanya Wina. 

            “Lucu…” Made menjawab pelan meski ia benar-benar tidak berani memastikan sekali lagi apa bikini itu benar-benar cocok di tubuh istrinya. 

            Boro-boro nafsu, pikir Wina. Apa yang ia takutkan jelas-jelas tidak terbukti. Ia turun ke kolam dan menyembunyikan tubuhnya hingga leher. 

            “Udah ah… Gue udah selesai.” Made naik dari kolam dan berjalan mendekati pintu. 

            Saat itu, Wina merasa seperti orang paling tidak menarik sedunia.

                        

***

 

            Senin pagi diakhir bulan selalu menjadi hari tersibuk bagi Wina. Ia perlu mengirim gaji, membayar asuransi kesehatan karyawannya, membayar vendor dan hal-hal keuangan lainnya. Jika Made mempunyai bagian keuangan sendiri sehingga hanya perlu membubuhkan tanda tangan pada laporan, Wina mengurus semuanya sendiri karena usahanya masih kecil. 

            Saat karyawannya sudah sibuk di luar, Wina sibuk di dalam ruangannya dan membereskan segala hal yang perlu ia bereskan hari ini. Ia melupakan sejenak instagramnya, juga video-video yang harus ia take. Ia tidak suka menunda-nunda hak karyawannya. Ia tahu bagaimana karyawannya bekerja begitu keras untuknya. 

            Suara pintu yang diketuk membuat ia menengadah. Pintu ruangan terbuka dan menunjukkan sebuah senyum. 

            “Lalaaa…” Wina sedikit berteriak saat melihat siapa yang mengunjunginya kali ini. Ia mengibaskan sebelah tangannya, menyuruh wanita itu masuk. 

            “Sibuk?” Lala bertanya saat duduk di depan Wina. 

            “Biasalah… akhir bulan.” kata Wina. Lala datang tepat saat ia menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyingkirkan beberapa dokumen di atas mejanya. “kenapa Abi sama Juna nggak diajak?” 

            “Masih sekolah online mereka.” 

            Wina keluar sebentar untuk meminta salah satu anak buahnya menyediakan minuman dan beberapa makanan. 

            “Lo habis dari mana?” Wina bertanya saat ia kembali ke kursinya. 

            “Habis ambil beberapa berkas di kantor.” jawab wanita itu. Lala memang bekerja sebagai internal audit di sebuah perusahaan swasta. 

            “Gue kangen ih, sama Juna sama Abi. Gue weekend ini main ke rumah boleh, ya?” 

            Anak kembar Lala, Abi dan Juna sudah menunjukkan bibit-bibit ketenaran sejak kecil. Keduanya lahir dengan paras sangat tampan. Kulit putih bersih seperti Lara, Bentuk wajah seperti Ilham, tinggi seperti kedua orangtuanya, bulu mata lentik dan bibir tipis yang akan membuat semua orang gemas. Meski masih duduk di kelas empat sekolah dasar, mereka sudah menjadi sangat populer di sekolahnya. 

            Lala menceritakan kesulitan yang ia hadapi semenjak pandemi. Bukan kesulitan keuangan atau yang lainnya, melainkan kesulitan mengatur kedua anaknya. Eh ralat, kesulitan menghadapi Abi lebih tepatnya. Jika Juna adalah tipe anak yang bertanggung jawab dengan semua yang ia punya dan yang akan ia lakukan, Abi adalah sebaliknya. 

            “Rumah gue setiap pagi udah kayak pasar saking ramainya.” kata Lala. “bayangin aja, jam setengah tujuh pagi, Juna itu udah siap di depan laptop, udah pakai seragam, udah sarapan. Si Abi mah, ya Allah.” Lala kehabisan kata-kata untuk menunjukkan betapa rebelnya anak bungsunya itu. 

            Wina tertawa. 

            “Gue nggak ngerti dia nurun siapa. Perasaan dulu gue nggak gitu-gitu amat.” 

            “Haji Ardhana tuh, kualat dulu benci banget sama Fabian.” kata Wina dan keduanya tertawa. 

            “Fabian mah rebelnya pas kuliah, ini anak gue masih SD udah begitu.” kata Lala. Sebelum pandemi, sudah tidak terhitung berapa kali ia mendapat laporan dari gurunya karena Abi yang tertidur di dalam kelas. Atau yang masuk kelas telat karena lama berada di kantin dan hal-hal lainnya yang tidak masuk dalam pikiran Lala akan dilakukan oleh anaknya yang masih SD. 

            “Kalau nanti gedenya Abi tatoan terus jadi DJ, gimana La?” 

            “Gue sama Mas Ilham bisa digantung sama haji Ardhana.” 

 

***

 

            “Eh, udah gajian.” Jaka memberitahu teman-temannya setelah menerima pesan notifikasi dari internet bankingnya. “Wah, Mbak Wina ngasih bonusnya bulan ini lumayan.” katanya lagi. 

            Jojo, Rere dan Gara mengeluarkan ponsel dari saku masing-masing dan mengecek pesan yang masuk. 

            Jika biasanya warung bu Rohaya selalu jadi pilihan, saat mereka gajian, mereka akan berpikir lebih lama untuk menentukan akan makan apa. Saat itu, mereka merasa menjadi orang kaya dan merasa bisa membeli apapun yang mereka mau. 

            “KFC aja, yuk. Pengin makan ayam.” kata Rere. Seminggu menjelang akhir bulan, menu makan siangnya di warung bu Rohaya hanya seputar sayur dan tahu-tempe, atau telur. Ia merasa awal bulan adalah waktu yang pas untuk makan ayam. 

            Meski gaji mereka tergolong lumayan, belum lagi bonus yang sering mereka terima, Rere tetap merasa harus banyak berhemat. Ia lahir dari keluarga menengah ke bawah dan menjadi tulang punggung keluarga. Ia masih punya dua adik yang duduk di bangku SMA dan harus membiayai mereka. Orangtuanya punya hutang pada Bank yang setiap bulan cicilan pembayarannya dipenuhi olehnya. Rere juga harus menabung untuk masa depannya. Setiap gajian, selain rasa senang, ia juga kebingungan karena harus membayar ini dan itu. Jumlah besar yang masuk ke rekeningnya tidak pernah bertahan lama dan tidak pernah benar-benar bisa ia nikmati. Menjadi sandwich generation memang menyedihkan. Tapi Rere bersyukur dan tidak ingin mengeluh. 

             Mereka sepakat. Karena kedai sedang sepi, Jaka dan Jojo pergi ke outlet ayam yang ada di seberang, sementara Rere dan Gara menjaga kedai. 

            “Re, lagi banyak kerjaan nggak?” Gara bertanya pada Rere yang sedang memainkan ponsel di sebelahnya. 

            “Kenapa?” Rere menjawab sambil menoleh. 

            “Jalan yuk.” ajak Gara. 

            “Sama siapa?” 

            “Berdua aja. Jangan ajakin Jaka sama Jojo.” 

            “Kenapa emang?” 

            “Rusuh mereka mah.” saat Gara mengatakan itu, pintu ruangan Wina terbuka. 

            “Jaka sama Jojo jadi ke KFC?” Wina bertanya, Lala berdiri di sebelahnya. Mereka akan makan siang di luar. 

            Rere dan Gara mengangguk berbarengan.  

            “Bukannya ramai ya kalau makan siang gini?” tanya Wina. Ia tahu meski pandemi, outlet itu tidak pernah benar-benar sepi. Mereka hanya membatasi setiap customer yang bisa memesan di dalam, lalu yang lainnya mengantre di luar. 

            Pintu kedai tiba-tiba terbuka dan menunjukkan sosok orang yang mereka bicarakan. Jaka tersenyum sementara Jojo merengut. 

            “Memang nggak ramai, Jak?” Wina bertanya. 

            “Ramai banget, Mbak.” kata Jaka sambil menaruh plastik di atas meja. 

            “Kok kalian cepat?” 

            “Si Jaka emang bangsat banget, Mbak.” keluh Jojo. 

            Semua mata kini menatap Jojo dan Jaka bergantian. “kita ke sana jalan kaki, dia ngajak ngantrinya di drive thru coba.”

            Tawa semua orang yang ada di sana pecah. 

            “Malu banget, Mbak, antre diantara mobil. Diketawain.” Rasa kesal Jojo sudah di ubun-ubun. Ia tahu kalau urat malu Jaka memang sudah putus, tapi ya nggak usah ngajak-ngajak kalau mau malu-maluin diri sendiri. “masih mending kalau sepi.”

             “Nih orang kadang-kadang otaknya pindah ke dengkul kayaknya.” kata Jojo dengan nada dongkol luar biasa. “jangan ajak-ajak gue lagi.”

            “Pakai masker, Jo, nggak kelihatan.” Jaka membela diri. 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kedai Kopi Pahit (Chap 12-13)
6
0
Kedai Kopi Pahit Chapter Dua Belas-Tiga Belas
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan