PART 2 "PENDAKI DATANG BULAN UNCUT" Penjilat darah Haid

4
0
Deskripsi

Benar, oleh orang tua nya, waktu itu Intan memang sudah dilarang untuk mendaki gunung tersebut. Karena selain Intan belum pernah mendaki Gunung. Hari itu adalah hari yang menurut kalender jawa, adalah hari buruk.

Dan tidak hanya itu, orang tua Intan ini Sepertiny mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang-orang pada umumnya.

Hingga akhirnya, semuanya pun terjadi begitu saja.

 

PART 2

“wah, aku kudu yakinno ibukku iki. Koyoke ibuk sek wedi ambek keadaannku. Kok dungaren yo, biasae ibuk gak ngene se”


("wah, aku harus benar – benar  meyakinkan ibuku nih. Sepertinya beliau masih khawatir dengan keadaanku. Tapi kok tumben ya, biasanya ibu gak gini - gini  amat deh" ) fikirku dalam hati sambil mulai memikirkan alasan agar aku bisa pergi tanpa dikhawatirkan oleh ibuku lagi.


“hmmmm ora popo buk, tenang ae. Kan aku wes bolak balik ngomong lek iki aku munggah gunung gae seng terakhir. Aku yo gak penak mbek arek – arek lek sampek aku gak sido melok buk. Engko aku budal e yo rame – rame kok. “


("Hmmm gak papa bu, tenang saja. Kan aku sudah bolak balik bilang kalau pendakian ini yang terakhir. Lagian, aku juga gak enak sama teman – teman kalau aku gak jadi ikut bu. Nanti aku berangkatnya ramai - ramai  juga kok" ) Jawabku yang terus saja berusaha menenangkan.


Hingga akhirnya, karena kengotot an ku yang memang tidak bisa dicegah, ibukupun sepertinya terlihat pasrah dan sudah tidak mau lagi untuk melarangku pergi.


“yowes, awakmu katene budal jam piro?”
("Yasudah, kamu mau berangkat jam berapa")  ucap ibuku lesu.
“engko sore buk, asline kate budal isuk, tapi koncoku ono seng sik kerjo. Dadi budal e ngenteni arek e moleh wes”
("Nanti sore bu, rencananya sih mau berangkat pagi, tapi ada temenku yang masih kerja. Jadi kita berangkatnya nunggu dia pulang deh" ) ucapku lega karena saat itu, ibuku sepertinya sudah mengijinkan aku untuk pergi.


Hingga akhirnya, setelah obrolan kecilku pagi itu, akupun kembali memulai aktiftas harianku dengan tidak lupa juga aku kembali mengecek perlengkapan pendakianku agar tidak sampai ada yang terlewat.


Dan singkat cerita, akhirnya pagi itupun berlalu begitu saja. Waktu itu, jam dindingku sudah menunjukan pukul 14.00 yang menandakan  jika saat itu adalah waktu yang kusepakati bersama teman – temanku  untuk berkumpul di rumahku.

 Tapi sayangnya, sudah sekitar 30 menit aku menunggu, waktu itu tidak ada satupun dari temanku yang terlihat datang kerumahku. Karena kami belum memiliki ponsel, jadi hanya menunggulah waktu itu yang  bisa kulakukan dengan harapan agar mereka datang dan bisa melakukan pendakian sesuai dengan apa yang memang sudah kami rencanakan.


“ wes jam yahmene kok durung teko se, iki kate munggah jam piro terus!”
("Jam segini belum datang, ini nanti mau naik jam berapa terus !") Ucapku putus asa.
Namun untungnya, setelah beberapa saat kemudian, akhirnya beberapa teman – temankupun  akhirnya datang.

 Susan, Niko, Bagas Dan Septian waktu itu terlihat sudah sampai dirumahku dengan wajah yang terlihat gembira karena akupun tidak bisa memungkiri, jika kita memang sudah lama tidak bersamama sama mendaki.


“kok suemen se, iki wes kate jam telu sore iki lo”
("Lama banget sih, udah hampir jam 15.00 sore nih") protesku.
“sepurone tan, iki lo si Niko sue janan” 
("Maaf tan, si Niko nih lama banget") sahut Susan sambil menunjuk kearah Niko.


“iyoo sepurone, maeng wetengku senep, terus aku gak kuat ngempet”
("Ya maaf, tadi perutku mules, aku gak kuat nahan") ucap Niko melakukan pembelaan.
“mari iki njupuk koncoku sek yo, koyok e arek e kudu melok munggah gunung seng saiki, cek tambah tenang”
("Habis ini kita jemput temenku dulu ya, sepertinya dia harus ikut pendakian kali ini, biar semakin tenang")  terang Septian yang waktu itu terlihat mulai duduk sambil meletakan tas punggungnya diteras rumahku.


“koncomu iku sopo Sep?”
("Temenmu itu siapa Sep") sahut Bagas jelas.
“ono wes koncoku, omahe gak adoh teko gunung seng kate awak e parani, dalane sak arah kok. Wingi arek e wes tak jak terus gelem, yo cek tambah rame ae se. Gak popo yo, arek e yo wes apal nemen dalan – dalan ndek gunung iki, dadi tak pikir yo mending tak ajak ae cek tambah tenang. Wong awak e kabeh iki yo durung ono seng tau munggah gunung iki se”
("Temenku ada deh, rumahnya gak jauh dari gunung yang akan kita daki kok, jalanya satu arah. Kemarin dia sudah kuajak dan mau, ya biar semakin ramai saja. Gak papa ya, dia hafal banget seluk beluk gunung itu, jadi kurasa mending dia kita ajak saja biar semakin tenang dan nyaman. Toh ini semua belum ada yang pernah naik gunung itu kan") terang Septian sambil menjelaskan maksud dan tujuannya kenapa mengajak orang lain di rombonganku.


“loh jarene awakmu tau munggah gunung iki Sep?”
("Loh katanya kamu pernah naik gunung ini Sep" )imbuhku menananyakan karena setahuku, Septian memang pernah mendaki gunung yang akan aku tuju tersebut.
“iyo se, tapi yo wes buiyen, aku saiki yo lali dalan e. terus yo ono alasan liane aku ngajak arek e ndek rombongan e awak e dewe”
("Iya sih, tapi sudah dulu banget, aku sedikit lupa jalurnya. Dan ada alasan tersendiri kenapa aku mau mengajak dia dirombongan kita") ucap Septian menambahkan.
“lapo Sep, awak e kabeh durung ono seng kenal loh”
("Kenapa sep, kita semua belum ada yang kenal loh") sahut bagas jelas.
“koncoku iku jeneng e Lukman, arek e wes sering munggah gunung iku, terus arek iku yo lumayan iso ndelok ndang makhluk alus. Dadi tak pikir yo ancen butuh ngejak arek iku lek awak e munggah dino iki. “
("Temenku itu namanya Lukman, dia sudah sering naik gunung itu, dan dia juga peka dengan makhluk tak kasat mata. Jadi memang kurasa perlu mengajak dia kalau kita naiknya hari ini") Ucap Septian menerangkan.


“maksud e pie sih Sep?ojo mbulet lek ngomong”
("Maksudnya apa'an sih Sep, jangan berbelit belit dong") imbuh Susan kesal karena Septian yang waktu itu memang tidak langsung menceritakan keadaan yang sebenarnya dan cenderung memutar mutar obrolan.


“lek itungane wong jowo, mengko bengi iki kurang pas lek digae aktifitas ndek njobo, kabeh disambungne embek balak, musibah, lan liyane, makane awake dewe mending jogo – jogo timbangane mengko ono opo – opo”
("Dalam perhitungan masyarakat jawa, malam nanti adalah malam yang kurang pas jika digunakan untuk beraktifitas diluar rumah.

 Semuanya dikaitkan dengan balak, musibah dan sebagainya, untuk itu lebih baik kita jaga jaga saja daripada nanti ada apa apa") terang Septian


"GALENGAN TAHUN" Sahut Bagas singkat.


“iyo bener, mengko bengi pancene galengan taun lek ndek tanggalan Jowo”
("Iya benar, malam nanti adalah Galengan tahun diperhitungan kalender atau penanggalan Jawa") terang Septian menambahkan.


Namun anehnya, belum selesai aku mendengar perbincangan teman – temanku, waktu itu aku tiba – tiba teringat dengan perkataan ibuku yang sempat melarangku untuk membatalkan niatku.


“ohh iyo, wingi ibukku yo ngomong lek saiki dinone kurang apik”
("Oh iya, kemarin ibuku juga bilang kalau sekarang hari yang kurang baik") sahutku.
““terus pie iki, diterusne opo enggak?”
("Terus gimana ini, lanjut apa enggak") ucap Susan yang waktu itu terlihat seperti down dan mulai memikirkan perkataan teman - teman tentang hari yang katanya adalah hari yang kurang baik tersebut. 


Dan disaat itulah, ketika kita semuanya masih terdiam memikirkan kembali rencana pendakian, tiba – tiba Bagas dengan lantang meyakinkan jika semuanya akan tetap baik baik saja selama kita tetap menjaga kesopanan.


“halahh,,,yahmene sek percoyo hal koyo ngono. Kabeh dino iku apik, seng gak apik iku dino kiamat ambek dino gajianmu ditunda”
("Yaelah, hari gini masih percaya hal – hal  begituan. Semua hari itu baik, yang tidak baik adalah hari kiamat dan hari dimana gajian kalian ditunda") sahut Bagas santai sambil terlihat mengencangkan tali tali yang ada di tas punggungnya.


“okelah ayo budal ae, toh mengko yo ono Lukman kok, arek e iso kanggo banget lek sampek ono opo – opo. Ngertio yo rek, Lukman iki awak e gede banget, fisik e kuat wes pokok e”
(" Okelah ayo berangkat saja, toh nanti juga ada Lukman kok, dia bisa sangat berguna jika terjadi apa apa. Dan asal kalian tau si Lukman ini tubuhnya besar banget, fisiknya kuat lah pokoknya ")  ucap Septian meyakinkan.


Hingga akhirnya, setelah obrolan kami waktu itu, kamipun memutuskan untuk mulai berangkat yang memang diawali dari rumahku tersebut.
“eh awak e dewe gak pamit wong tuomu a Tan, nandi ibukmu, omah e kok sepi? ”
("Eh kita gak pamit orang tuamu nih tan, kemana beliau, rumahmu kok sepi?") ucap Susan mengingatkan. 


“wes budal ae ayo San, ibukku mumpung sek metu, mengko lek aku pamit malah ruet, soal e ibuk wingi sakjane gak ngoleh i aku budal munggah gunung saiki hehehe”
("Sudah berngkat saja ayo san, ibuku mumpung lagi diluar rumah, nanti kalau aku pamit malah ribet. Soalnya kemarin sebenarnya ibuku keberatan dengan pendakianku kali ini hehehe")  ucapku mengajak Susan agar segera keluar dan berangkat.


Dan singkat cerita, tepat sekitar pukul 16.30 kamipun bersama – sama berangkat menuju pintu masuk pendakian yang berjarak sekitar 2 jam dari arah rumahku tersebut
. Waktu itu, diperjalanan aku dibonceng oleh Niko, Susan dengan Bagas dan Septian  sendirian karena rencananya, sebelum menuju pintu pendakian kami akan menjemput teman Septian yang katanya bernama Lukman tersebut. Dan akhirnya, setelah beberapa lama kami berjalan mengikuti kemana arah motor Septian. 

Sore itu, kami semua sampai di depan salah satu rumah yang memang terletak tepat dipinggir jalan raya. 
Disitu, belum sampai kami berhenti dari kejauhan kami melihat ada seorang pemuda berwajah tampan dan berbadan besar  terlihat sedang berdiri seperti sedang menunggu kami.


“Koyok e iku Lukman dek Tan, iku deloken arek e wes siap nggowo tas gunung e. Anjir ngguanteng yo tibak e arek iku”
("Sepertinya dia Lukman deh tan, tuh lihat dia sudah siap dengan tas gunungnya. Anjir cakep juga tu orang") ucap Niko tidak jelas karena suaranya yang memang terganggu suara knalpot motor Niko yang terdengar berisik dan sangat mengganggu telinga.


“opo nik, aku gak krungu knalpot mu buanter banget koyo knalpot e moto GP”
("Apa nik, aku gak denger knalpot motormu kenceng banget kayak knalpot moto GP")  protesku.


Dan akhirnya, semua dugaan kamipun benar.  Waktu itu laki – laki yang terlihat berdiri di pinggir jalan itulah yang ternyata Lukman. Disitu, kami semuapun akhirnya berhenti dan mulai berkenalan.


“Sepurone bro, telat...maeng arek – arek molor kabeh”
("Maaf Bro telat, tadi temen temen molor semua") ucap Septian memulai percakapan dengan seketika menghentikan motornya.
“iyooo tenang ae,,,iki aku wes siap kok, pie langsung budal ae ta iki?”
("Iya tenang saja, ini aku sudah siap kok, gimana apa langsung berangkat saja?") Jawab Lukman yang terdengar pelan karena waktu itu, posisi motor yang kutumpangi memang berada agak jauh dari Posisi Lukman dan Septian berdiri.


“oke, ayo langsung budal ae, mengko tak kenalne arek- arek lek wes tekan kono ae “
("Oke, ayo berangkat langsung saja ya, biar nanti kamu kukenalkan dengan mereka kalau kita sudah sampai sana saja”.) Terang Septian sambil mengajak Lukman untuk naik keatas motornya.
Dan singkat cerita, sore itupun kami melanjutkan perjalanan dengan bertambahnya Lukman yang bergabung dengan rombongan kami. 


Sepanjang perjalanan, tentu saja waktu kuhabiskan dengan tertawa bersama Niko diatas motornya karena kamipun tau, Niko adalah salah satu sahabat kami yang terkenal paling humoris. Sering sekali keadaan yang sebelumnya tegang  seketika berubah menjadi ceria ketika Niko ada.

 Dan tidak berhenti disitu saja, Sudah beberapa kali aku mendaki gunung bersama dia, semuanya benar - benar  menjadi ceria karena sepanjang jalur pendakian. Dia memang suka bercanda yang akhirnya membuat rasa lelah kami menjadi tidak terasa.


Dan seiring berjalannya waktu, akhirnya kamipun sampai di pintu pendakian yang ada digunung yang kutuju tersebut. 
Suasana pintu pendakian, waktu bisa dikatakan lebih sepi daripada biasanya. Hal itu, bisa dilihat dari sedikitnya motor yang diparkir ditempat tersebut masih bisa dihitung dengan jari. 

Dan tidak hanya itu, keadaan loket pendaftaranpun juga terlihat kosong dengan tidak ada satupun petugas yang biasanya terlihat duduk di dalamnya. Mengetahui hal itu, kamipun sepakat untuk duduk dan beristirahat sejenak sebelum memulai pendakian karena kamipun tau, mendaki di malam hari memang membutuhkan konstentrasi yang sedikit lebih ditambah, waktu itu hujan tiba tiba perlahan turun dengan sendirinya.


“awak e ngasuh ndek kene disek yo, breefing, nyiapno senter, ambek headlamp e dewe – dewe. Pendaftaranne aku ae seng ngurusi. “
("Kita istirahat disini dulu ya, kita breefing, siapin senter dan headlamp masing masing. Untuk proses pendaftarannya biar aku yang urus." ). Ucap Lukman tiba tiba.


Mendengar hal itu, Niko yang sebelumnya sibuk dengan rokok dan koreknya, malam itu tiba – tiba sedikit menyenggol tubuhku sembari memberikan kode jika dia ingin mengutarakan sesuatu.


“eh iku sopo se, kok sok – sok an merintah. ”
("Eh siapa sih dia, sok merintah banget." ). Bisik Niko sambil mulai duduk tidak jauh dari tempatku berdiri waktu itu.
“husssttt wes menengo ae, koyok e arek iku wes pengalaman munggah gunung iki. Mending awak e nurut ae wes ben aman. Wong arek e yo seng paling tuek kan ndek kene? Dadi gak onok salah e kan lek awak e manut ae”
("Hussttt diam saja, sepertinya dia sudah pengalaman naik gunung ini. Mending kita nurut saja wes biar aman. Toh diantara kita dia yang paling tua. Jadi, gak ada salahnya kan nurut saja") jawabku pelan sembari tas punggungku yang juga kuletakkan diatas tanah.


Tapi sayangnya, belum lama aku duduk waktu itu, hal yang tidak kuinginkanpun tiba – tiba  terjadi. 
Benar, malam itu aku merasakan jika waktu itu aku tiba – tiba  mengalami haid. Mengetahui hal itu, akupun seketika kebingungan tidak karuan dan memanggil Susan yang kebetulan duduk juga tidak jauh dari tempatku duduk waktu itu.


"San....." Teriakku dengan memberi isyarat bahwa aku sedang ingin membicarakan sesuatu.
Mengetahui hal itu, Susan pun berlari kearahku dan memegang tanganku karena waktu itu wajahku juga memberikan kode jika aku sedang tidak baik – baik  saja.


“ono opo Tan?”
("Ada apa tan ?") Tanya Susan lirih.
“aku koyok e haid deh san, awakmu nggowo pembalut opo nggak?”
("Aku sepertinya Haid deh san, kamu bawa pembalut apa enggak ?") ucapku pelan karena aku tak mau jika teman - teman yang lain mendengar ucapanku.


Mendengar hal itu, Susan terlihat sangat terkejut dengan apa yang aku katakan dan lebih mendekat kearahku karena sepertinya dia juga tau, jika kabar tersebut sampai terdengar ketelinga kesemua rombongan, bisa saja pendakian malam itu bisa gagal dilakukan gara - gara  keadaanku.


“aduh,,,terus pie Tan, aku nggak nggowo pembalut wong aku nggak haid. Haid ku sek sue kurang 2 minggu maneh”
("Aduh, terus gimana tan, aku gak bawa pembalut orang aku gak haid. Masa haid ku masih lama kurang 2 minggu lagi") ucap Susan jelas. 
“terus pie Iki tan, aku bingung wedi bocor”
("Terus gimana nih tan, aku bingung aku takut bocor") rintihku pelan karena saat itu, aku merasakan jika darah haidku perlahan sudah berjalan kearah celana dalamku.
“awkmu iki pie sih Tan, mosok gak iling tanggal menstruasi mu dewe”
("Kamu ini gimana sih tan, masak kamu gak inget tanggal menstruasimu sendiri") ucap Susan sambil terlihat jengkel kepadaku. 
“haid ku kan gak lancar San, awakmu yo Ngerti dewe”
("Haidku gak lancar san, kan kamu juga tau sendiri") jawabku membela diri karena akupun tau, tanggal menstruasiku memang tidak tentu.
Mendengar penjelasanku, Susan yang sebelumnya terlihat kebingungan, malam itu tiba – tiba berdiri dan mengajakku untuk segera pergi.
“eh Tan, terno aku gole warung ayo, tak tuku cemilan. “
("Eh Tan, antar aku cari warung yuk, aku mau beli camilan" ). ucap Susan dengan terlihat berdiri dan beberapa kali mengedipkan matanya kearahku.
Dan tanpa banyak tanya lagi, akupun seketika juga berdiri dan berjalan cepat sambil menarik tangan Susan agar bisa segera pergi dan mencari warung yang ada disekitar pintu pendakian gunung ini.


“ayo, aku yo kate tuku. Sek yo rek, entenono ndek kene”
("Ayo, aku juga mau beli. Bentar ya gaes, tunggu sini") Jawabku sambil mulai berjalan pergi bersama Susan yang waktu itu sudah terlihat ikut gugup dengan keadaan yang kualami.
Namun sayangnya, sudah beberapa lama kami berjalan, watu itu kami tak kunjung melihat adanya sebuah warung yang terlihat berdiri. 
Hal itu bisa dibilang wajar, karena selain sudah malam, pintu utama pendakian gunung tersebut memang cukup jauh dari area pemukiman warga.
“waduh kok gak ono warung se San. “
("Waduh kok gak ada warung sih san.") ucapku sambil menoleh kekanan dan kekiri.
“eh iku ono warung tapi kok cilik nemen ngono”
("Eh itu ada warung tapi kok kecil banget") teriak Susan sambil menunjuk ke salah satu jalanan yang disitu akupun juga melihat jika ternyata ada sebuah warung kecil yang terlihat berdiri.
Warung tersebut, terlihat terbuka sebelah saja dengan bangunan kayunya yang sedikit membuatku pesimis jika di warung tersebut menjual pembalut wanita.


“hmmmm, bukan e iku warung kopi yo San, guduk warung kelontong”
("Hmmm, bukannya itu warung kopi ya san, bukan warung kelontong") jawabku dengan mataku yang terus memperhatikan bentuk warung yang memang berjarak kurang lebih sekitar 30 meter dari tempatku berdiri saat tersebut.
“halah wes, awak e coba takon disek ae, koyok e yo iku tok warung ndek kene. Mengko lek awak e njaluk tulung arek lanang – lanang, malah bahaya, arek – arek engko iso ngerti lek awakmu haid tambah gagal munggah gunung iki”
("Halah udah, kita coba tanya dulu, sepertinya itu satu satunya warung yang ada disekitar sini. Nanti kalau kita minta anter cowok cowok, malah bahaya mereka jadi tau kalau kamu haid. Bisa bisa pendakian kita gagal") terang Susan jelas dengan mulai mengajakku berjalan mendekati warung tersebut.


Dan akhirnya, sesampainya kami di warung tersebut, perasaankupun kembali pesimis karena yang kulihat di warung saat itu hanya ada rentengan kopi, susunan mie instan dan beberapa makanan kecil yang terlihat berjejer rapi. 

Dan tidak hanya itu, waktu itu aku juga melihat adanya beberapa masakan matang yang menandakan jika warung tersebut adalah sebuah warung makan. 

Mengetahui hal itu, akupun seketika putus asa dan tidak lagi melanjutkan langkahku untuk mendekati warung tersebut. Tapi anehnya, Susan waktu itu masih tetap optimis jika diwarung tersebut menjual pembalut. Hal itu dapat terlihat dari langkah kaki Susan yang terus saja melangkah masuk dengan sesekali berteriak memanggil manggil si pemilik warung tersebut.
"Kulo nuwun buk, pak, tumbas ! ( Permisi bu, pak, Beli ! ). " Teriak Susan jelas dengan sesekali memperhatikan kearah dalam warung yang waktu itu memang masih terlihat sepi.


Melihat semua itu, akupun hanya melihatnya dari arah luar warung dengan mulai merasakan darah haid ku yang terasa semakin lama sudah banyak saja. Dan syukurnya, beberapa saat setelah itu, aku melihat dari arah dalam warung, terlihat seorang ibu – ibu  paruh baya yang terlihat keluar dan mengobrol dengan Susan. Ibu – ibu tersebut berusia sekitar 55 tahunan dengan memakai daster hijau yang hingga kini masih bisa kukenang. 


Dan singkat cerita, setelah beberapa saat setelah ibu – ibu tersebut mengobrol bersama Susan, Susan pun akhirnya berjalan kembali keluar dari warung dan kembali kearah dimana tempatku berdiri dengan raut wajah yang terlihat sangat tenang.


“yokpo San, ono a’
(bagaimana san, ada a). Tanyaku dengan perasaaan yang harap – harap cemas.
“hehehe onok laahhh” 
("Hehehe ada donk") ucap Susan dengan menggoyang nggoyangkan pembalut yang waktu itu sudah berada ditangannya.
“alhamdulillah yo San. Tak pikir gak ono, soale kan iki warung mangan” 
("Alhamdulilah, ada ya san. Kirain gak ada, soalnya ini kan warung makan" ). jawabku dengan tanganku yang mulai mengambil pembalut yang saat itu masih berada ditangan susan.
Tapi anehnya, setelah pembalut sudah ada ditanganku, waktu itu aku kembali terkejut karena pembalut tersebut bukan 1 pack melainkan hanya 2 pcs.
“loh kok mek 2 se San, yo opo cukup. Darah haidku metu ne uakeh” 
("Loh, kok cuma 2 biji sih san, ya mana cukup. Darah haid ku keluar banyak") protesku.
“halah,,,awakmu iki rame ae,,,iku maeng aku gak tuku Tan, tapi di wenehi ambek ibuk seng dodol iku. Ibuk e gak dodol dadi iki mek di wenehi gratis”
("Halah kamu ini cerewet. Itu tadi aku gak beli tan, tapi dikasi sama ibu - ibu  penjual diwarung itu. Ibunya gak jualan jadi cuma diberi saja gratis hehee" ) terang Susan jelas sambil menunjuk kearah ibu - ibu  penjual yang ternyata, saat itu ibu - ibu  tersebut masih diam menatapku dan menatap Susan.
“iyo wes lek ngono, buukk matursuwun nggih”
("Iya sudah kalau begitu. Bu, makasih ya") teriaku kearah ibu – ibu  tersebut dengan aku yang terus tersenyum kearahnya sambil sedikit menundukan kepalaku.
Namun sayangnya, bukannya membalas senyumanku, ibu – ibu  penjual tersebut malah terlihat menatapku dengan tatapan yang hingga kini tidak bisa kulupakan. Dan tidak hanya itu, ibu –ibu  tersebut juga seperti sedang mengucapkan sesuatu yang ditujukan kepadaku.
"Ojo munggah nduk, bahaya 
( jangan naik nak, bahaya )". Ucap ibu – ibu  tersebut terdengar pelan dari kejauhan.
Mendengar hal itu, akupun hanya diam sambil terus tersenyum dengan mulai meninggalkan warung tersebut. 


Dan tidak hanya itu, aku juga masih sempat melirik kearah ibu – ibu  tersebut yang waktu itu, ternyata beliau masih berdiri menatapku meski saat itu aku sudah berjalan meninggalkan warung tersebut sudah cukup jauh.
“wes ojo di reken San, ibuk iku maeng yo takon nang aku kok. Gae opo kok golek pembalut terus aku yo dikandani lek Haid mending ojok munggah. Tapi aku yo mek mantuk – mantuk tok. Mosok yo kudu batal hayo, awak e kan wes adoh – adoh tekan kene, iyo kan Tan”
("Sudah jangan hiraukan tan, tadi ibu - ibu  itu juga tanya ke aku kok. Mau buat apa cari pembalut dan aku juga diperingatkan kalau sedang haid jangan naik. Tapi ya gitu, aku cuma ngangguk ngangguk saja. Masak harus batal hayo, kita sudah jauh jauh sampai sini, iya kan tan") ucap Susan jelas.


Dan akhirnya, setelah berhasil mendapatkan pembalut waktu itu, akupun segera masuk kedalam toilet yang ada disekitar pintu masuk tersebut dan tanpa berlama – lama  lagi, akupun mulai memasang pembalutku karena darah haidku yang waktu itu sudah semakin banyak.
“Tan ojo lali hemat yo, pembalutmu mek kari siji loh ya, mugo – mugo cukup”
("Tan jangan lupa hemat ya, pembalutmu cuma sisa 1 loh ya, mudah mudahan cukup") ucap Susan jelas sambil menungguku diluar toilet waktu itu.
“iyo San, wes cukup kok, hehehehe wes meneng o,,,ojo dibahas maneh, mengko malah arek – arek ngerti lek aku haid”
("Iya san, 2 sudah cukup kok, hehehe sudah diam saja. Jangan dibahas lagi, nanti ketahuan teman teman")  sahutku mengingatkan.
Dan disitu, ketika aku dan Susan masih belum selesai berbicara. 

Tiba – tiba aku dikagetkan dengan adanya Niko yang waktu itu tiba – tiba  ada disamping pintu toilet yang kutempati tersebut.
“Dooorrrrr. . . . heh, awakmu iki nandi ae se rek....kaet maeng dienteni gak balik – balik”
("Dorrrrr. Heh, kalian kemana aja sih, dari tadi ditungguin gak balik balik") ucap Niko mengagetkan. 


Mengetahui hal itu, aku dan Susanpun seketika terkejut bukan main karena aku khawatir jika Niko mendengarkan percakapanku dan Susan.
“huh dasar,,,,,ngageti ae awakmu iki, yo jeneng e arek wedok,,,yo mesti sue lek nang jeding”
("Huh dasar, ngagetin aja kamu ini. Ya namanya juga cewek, ya pasti lama lah kalau ke toilet") jawab Susan jelas.
“jarene maeng nang warung, la endi camilan e,,aku wes mulai luwe iki Tan”
("Katanya tadi ke warung. Mana camilannya, aku mulai lapar nih tan") ucap Niko dengan kami yang perlahan kembali berjalan kearah dimana teman - teman sedang berkumpul.
“tibak e gak ono warung ndek daerah kene”
("Ternyata gak ada warung didaerah sini") ucap Susan singkat dengan mulai mengalihkan pembicaraan
“awak e dewe katene munggah jam piro Nik”
("Kita naik jam berapa nik") imbuh Susan seketika dengan maksud ingin segera mengalihan topik pembicaraan.
“jarene maeng jam 19.30 se,,,,mbuh iku ngenteni opo si Lukman”
("Katanya tadi jam 19.30 malam sih, gak tau tuh nunggu apaan si Lukman") jawab Niko dengan raut wajah yang menandakan, jika dia sepertinya kurang nyaman dengan keberadaan Lukman yang waktu itu ikut di dalam rombongan kami.
“awakmu kok koyok e gak seneng ambek Lukman ngono se, nyapo?”
("Kamu kok sepertinya gak suka sih dengan Lukman, kenapa ?") tanya Susan jelas.
“yo seneng se, tapi aku kalah ngganteng ae”
("Ya suka suka saja sih, cuma aku kalah ganteng saja") jawab Niko dengan mengarahkan pandangannya kearah Lukman yang waktu itu keberadaannya sudah terlihat meski posisi kita masih berjauhan.
“oalaahh,,,awakmu yo panggah ganteng kok Nik”
("Oalah, kamu tetap cakep kok nik") ucapku menenangkan.
“aahhh seng genaahh, mengko lek awakmu naksir arek iku pie?”
("Ah yang bener, nanti kalau kamu naksir dia gimana donk") sahut Niko menggodaku seperti biasanya.
“yo pie maneh Nik, perasaan e uwong sopo seng ngerti”
("Ya mau gimana lagi Nik, perasaan orang siapa yang tau") Imbuh Susan yang terlihat sambil menggoda Niko yang saat itu berjalan tepat disisihku.
“kaannn bener kan,,,awakmu seneng kan Tan ambek Lukman,,,,ahhh mbohh ahh,,aku gak sido melok wes,,aku kate moleh ae,,males aku”
("Tuh kan bener, kamu naksir ya tan sama Lukman, ah tau ah, aku gak jadi ikut deh, aku mau pulang saja. Males aku" )Ucap Niko sewot sambil memberhentikan langkah kakinya.
Mengetahui hal itu, aku yang sebelumnya hanya tersenyum mendengar obrolan Susan dan Niko, waktu itu seketika menenangkan Niko dengan sesekali memegang tangannya.
“westalaahhh,ojo nesu ae,,,mengko ngganteng e ilang lo”
("Sudahlah, kamu jangan ngambek, nanti cakepnya hilang loh") godaku sambil sesekali mengelus elus tangan Niko.
“dadii,,,aku temenan ngganteng yo Tan?”
("Jadi, aku bener – bener  cakep ya tan? ") Ucap Niko keras dengan tatapan matanya yang terlihat masih tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan.
“yo gak juga sih,,,hahahahahaha” ("Ya gak juga sih. Hahahaha") sahutku kencang yang diiringi suara tawa Susan yang terdengar bersemangat.
Namun sayangnya, belum selesai kami bertiga bercanda, waktu itu aku tiba – tiba  dikagetkan dengan suara teriakan Bagas yang memberi tanda, jika aku harus kembali kerombongan agar kita bisa segera memulai pendakian.
“wooeyy,,cepetan talahh,,,awak e dewe wes sue iki lo ngenteni. Mengko lek kebengen malah repot. Koyok e diluk engkas katene udan loh...ayo cepetan”
("Woey, cepet dong, udah lama nih kita nunggu. Nanti kalau kemalaman, malah repot. Sepertinya sebentar lagi Hujan turun loh. Ayo cepetan") Teriak Bagas keras dengan tangannya yang terlihat melambai lambai kearah kami bertiga.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Part 3 ( PENDAKI DATANG BULAN ) UNCUT
4
0
Benar, malam itu akhirnya semua rombongan tetap melakukan pendakian meskipun bisa dikatakan, jika rombongan tersebut sudah menjadi incaran dan akan sulit sepertinya untuk mereka bisa kembali pulang.Waktu itu,.seolah-olah menjadi langkah awal menuju kematian
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan