
Dito tidak pernah yakin tentang hubungan jarak jauh, tetapi ketika dia menatap wajah Risa kekasihnya, ia melihat ketegasan dan keyakinan bersemayam dalam mata gadis kesayangannya itu.
Satu Impian
Di bawah langit siang nan cerah, Risa dan Dito duduk di tepi danau kecil di sebuah kafe yang sunyi. Risa adalah seorang dokter muda nan cerdas berusia dua puluh lima tahun dengan paras cantik dan anggun. Rambutnya berwarna hitam legam, panjang dan keriting alami, mencapai bahunya dengan lekukan-lekukan indah. Matanya berwarna sehitam rambutnya dengan sorot mata tajam dan tegas, mengandung kecerdasan juga keberanian. Kulitnya terawat dengan baik, dengan warna kulit sawo matang yang sehat. Postur tubuhnya langsing, tetapi terlihat kuat dan sehat.
Dito adalah pemuda tampan berusia dua puluh lima tahun dengan pesona yang maskulin dan penuh daya tarik. Rambut keriting hitamnya disisir rapi dan teratur, menambah kesan dewasa pada wajahnya yang tegas. Matanya berwarna cokelat gelap, penuh dengan kebulatan tekad, kadang-kadang terlihat bersinar ketika ia merasa sangat antusias tentang sesuatu. Kulitnya sawo matang, sehat, dan bersih, memberinya penampilan segar dan energik. Dengan tinggi badan tinggi, ia memiliki postur proporsional dan atletis.
Keduanya menikmati keheningan siang itu dalam naungan teduh pohon-pohon bungur merah jambu. Risa, gadis yang bercita-cita menjadi dokter hebat, merasa hening tersebut merangkulnya dengan sangat ketat hingga sesak. Sebaliknya, Dito, wartawan yang bercita-cita menjadi suami Risa, merasa getir. Dia tahu, esok hari adalah awal dari perpisahan mereka.
“Kenapa kamu memilih Amerika untuk kuliah? Itu kan jauh,” Dito bertanya, mata cokelatnya dipenuhi keraguan, mencerminkan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Karena di sana ada jurusan mikrobiologi terbaik di dunia. Aku ingin menjadi dokter ahli mikrobiologi klinik terbaik yang bisa mengeksplorasi obat-obatan yang ampuh.” Risa menyesap es cokelat di hadapannya. “Khususnya untuk AIDS.”
Panti Asuhan Kasih, tempat Dito dan Risa tumbuh bersama, diwarnai oleh serangkaian test kesehatan yang harus dijalani untuk memastikan kesehatan para penghuninya. Di sana, AIDS bukanlah kata asing. Kata itu adalah beban besar, sebuah ancaman yang bisa tiba-tiba muncul dari sudut-sudut gelap kehidupan masa lampau orangtua anak-anak Panti Asuhan Kasih. Risa dan Dito beruntung tidak terinfeksi penyakit itu. Namun, banyak dari teman-teman mereka harus berjuang dengan penyakit itu seumur hidupnya.
Dito menatap Risa, wajahnya terasa hangat tertimpa sinar matahari siang yang menerobos helai-helai daun Bungur. “Tapi, bagaimana dengan kita?”
Risa menyesap lagi es cokelat di hadapannya. “Ini adalah impianku. Dengan melanjutkan studi di sana, aku yakin bisa dokter yang terbaik."
“Bagaimana dengan impian kita bersama?” Dito mengutarakan ketakutan terdalamnya.
“Pekerjaan di sana menjanjikan gaji yang besar. Keluarga kita akan lebih sejahtera.” Risa meraih tangan Dito, manik matanya bersinar penuh keyakinan. “Kita berdua punya mimpi bersama, tapi juga punya impian masing-masing yang harus dikejar. Aku tahu hubungan jarak jauh sulit, tapi aku percaya cinta kita cukup kuat untuk mengatasi jarak dan waktu.”
Dito mengangguk pelan, tetapi matanya masih mencari jawaban di balik mata Risa. “Tapi, bagaimana kalau perasaan kita berubah? Bagaimana jika jarak membuat kita takut dan saling cemburu?”
Risa memandangi wajah Dito dengan penuh kasih sayang. “Kita pasti akan menemukan cara. Kita akan tetap saling mendukung dan memahami satu sama lain.”
Dito menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Dia tidak pernah yakin tentang hubungan jarak jauh, tetapi ketika dia menatap wajah kekasihnya, dia melihat ketegasan dan keyakinan bersemayam dalam mata Risa.
“Bagaimana kalau kita menikah saja?” tawar Dito, suaranya lembut, tetapi penuh harapan.
Risa menggeleng cepat. “Aku masih ingin mengambil gelar doktoral. Usai lulus nanti, aku akan mengabdi di laboratorium di kampus itu. ”
“Tapi itu berarti kita masih harus berpisah setidaknya… sepuluh tahun?” Dito mendelik, berusaha memahami beratnya keputusan yang harus diambil.
“Kalau kita menikah sekarang, kita tidak punya siapa-siapa untuk dititipi bayi.” sahut Risa lembut, mencoba menghadapkan realitas kepada Dito.
Dito terdiam. Risa benar. Mereka berdua dibesarkan di panti asuhan yang sama. Mereka tumbuh besar tanpa ayah dan ibu sejak kecil, hanya bersama para biarawan dan biarawati pengelola panti asuhan, yang mereka anggap sebagai keluarga. Menikah adalah keputusan besar yang tidak bisa diambil dengan gegabah.
“Yah… tapi sepuluh tahun itu lama,” keluh Dito dengan gelisah.
“Itu artinya kita punya cukup waktu untuk menabung dan merencanakan segalanya, agar anak-anak kita kelak dapat hidup lebih baik daripada apa yang kita alami,” kata Risa lembut, menawarkan harapan di tengah keraguan Dito.
“Kupikir karier kita segini sudah cukup bagus,” bisik Dito dengan pikiran mengawang-awang, memikirkan masa depan yang penuh ketidakpastian. Apakah ia sanggup menunggu sepuluh tahun? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan melalui rintangan jarak dan waktu?
“Bagaimana kalau ternyata kamu bisa jadi fotografer laris yang menghasilkan foto-foto online berharga tinggi? Dan itu tidak pernah tercapai karena uang untuk membeli kamera habis untuk membeli susu anak?”
Dito terdiam. Risa benar lagi. Tapi tetap saja menunggu sepuluh tahun sangat lama dan dia tidak yakin cinta mereka akan bertahan selama itu. “Kalau begitu, aku rela membuang impianku menjadi fotografer, asalkan kita bisa bersama,” ujar Dito dengan sorot mata penuh keputusasaan tetapi juga penuh cinta.
Risa menatap Dito tajam lalu mengambil ponselnya. “Boleh kamu ulangi lagi, biar aku rekam pembicaraan kita ini. Kelak kalau kita mulai direpotkan soal urusan uang, dan kamu mulai putus asa, marah-marah dan menyesali keputusanmu, akan aku putarkan rekaman ini.”
“Ris….” keluh Dito getir sambil mengusap-usap rambut keritingnya hingga rambut itu berantakan dan ruwet, seruwet pemikirannya kini.
“Aku ke Amerika, kuliah hingga S3 di sana. Dan kamu menggunakan gajimu sebagai wartawan untuk membeli kamera terbaik lalu ikut kursus untuk sertifikasi fotografer profesional. Apa sih yang sulit dari itu semua!” suara Risa meninggi. “Sudah hampir sore, ayo kita ke panti asuhan!” Risa bangkit berdiri. Tapi Dito masih duduk diam termanggu. Risa menatap tajam, mengambil ponselnya dan berkata dingin “Aku pesan taksi.”
Dito buru-buru bangkit berdiri dan menggenggam tangan Risa. “Jangan. Ayo kita pergi bersama.”
Di dalam mobil, Risa dan Dito tidak sedikit pun memulai membicaraan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Risa sungguh kesal Dito masih saja memprotes keputusannya mengambil kesempatan beasiswa kedokteran di Amerika.
Bisa diterima di sana tidak main-main. Bukannya bangga malah merengek takut berpisah, gerutu hati Risa sebal. Bukankah kalau menikah nanti mereka juga sesekali akan berpisah jarak? Bukankah sebagai wartawan, Dito akan lebih sering meninggalkannya untuk liputan di daerah ini negara itu? Belum lagi kalau harus hunting foto untuk dijual di platform online? Bukankah mereka akan terpisah jarak juga? Risa memijit dahinya. Kepalanya terasa sakit sekali.
Dito menengok ke arah Risa. Dia mencintai gadis itu lebih dari apa pun juga di dunia ini. Dito takut Risa dipermainkan laki-laki, dan bernasib sama seperti para ibu yang meninggalkan bayi mereka di panti asuhan guna menghilangkan trauma atas pelecehan.
Demi menghindarkan Risa dari nasib buruk, Dito rela membongkar tabungannya yang sudah dipersiapkan untuk membeli kamera agar dapat menemani gadis kesayangannya itu. Tapi idenya ini ditolak Risa mentah-mentah. Risa beralasan, dia tidak mau menjadi gadis egois dengan memaksa Dito membuang impiannya sendiri demi menggapai impian Risa. Setiap orang punya impian yang harus dikejar sampai lelah, begitu Risa meyakinkan Dito waktu itu.
Tapi bagaimana kalau impianku itu Risa? Bukankah wajar aku mengejar Risa habis-habisan? Pikiran Dito terus berkecamuk.
Tanpa terasa, mereka memasuki gerbang panti asuhan. Setelah melapor pada satpam, Risa dan Dito memarkir mobil dan berjalan menuju kantor para pengasuh panti asuhan. Langit sore dengan cahaya matahari yang masih panas menyengat, menaungi Risa dan Dito berjalan di atas jembatan kayu yang menghubungkan dua sisi kolam ikan koi di halaman Panti Asuhan Kasih. Dari kejauhan, mereka melihat Suster Benedikta melambai-lambaikan tangan kepada mereka dari depan pintu kantor panti asuhan.
“Jangan cemberut, kita harus tersenyum ramah,” bisik Risa tegas pada Dito. “Ini rumah kita, dan harus pulang dengan ceria,” desis Risa semakin tegas.
“Kalau kamu menyebut ini rumah, mengapa kita harus berdusta tentang perasaan kita? Bukankah kita bisa membawa pulang senyuman dan juga amarah?” bantah Dito.
“Diam!” bisik Risa, menegas kalau dia tidak mau dibantah. “Lihat tuh, Suster Benedikta sudah melihat kita.”
Dito menghela napas. Mau tidak mau dia mencoba menampilkan wajah ramah sebisa mungkin. Sebetulnya dia juga ingin kalau setiap kunjungan mereka ke panti asuhan ini adalah membawa keceriaan. Di sini rumah mereka, tempat mereka dibesarkan menjadi seperti sekarang.
Setiap tanggal 26 sehabis gajian, mereka berdua bersepakat untuk selalu kembali ke panti asuhan, sekadar berbagi cerita dengan para bruder dan suster yang sudah mereka anggap bagai ayah dan ibu sendiri, sekaligus menyisihkan sedikit gaji mereka untuk adik-adik mereka.
Risa yang pertama kali mengusulkan ide ini karena dia ingin merasakan memberikan gaji untuk orangtua, seperti kawan-kawannya. Dia mengusulkan untuk berkunjung ke panti asuhan setiap habis gajian. Dito pun menyetujui ide itu. Dia juga ingin merasakan direpotkan keluarga. Pulang ke tempat ini membuatnya tahu rasanya mengurus keluarga seperti yang dirasakan rekan-rekan kerjanya.
Tapi hari ini berbeda. Ini kunjungan terakhirnya bersama Risa. Setelah hari ini, Risa akan berkuliah S2 di Amerika.
Persoalan ini sudah membuat mereka bertengkar hebat selama berminggu-minggu setelah pengumuman beasiswa itu keluar sampai sekarang hari terakhir Risa di Indonesia.
“Tidak bisakah kita isi saja hari-hari terakhir ini dengan keromantisan bersama, Dito?” pinta Risa pilu di suatu hari. “Kalau kita punya banyak uang, kita bisa membesarkan anak-anak dengan baik, bahkan adik-adik di panti asuhan pun akan bisa hidup semakin layak,” demikian alasan Risa waktu itu, yang bagi Dito tampak mengada-ada.
Bukankah itu demi ego dia sendiri? Atau jangan-jangan aku yang minder karena penghasilanku tak sebanyak Risa? Dito sibuk menerka-nerka arah pikirannya sendiri, sebenarnya dia sungguh khawatir pada Risa atau jangan-jangan sedang menyembunyikan rasa rendah dirinya.
“Dito, Risa!’ seru Suster Benedikta memanggil dengan antusias sambil berlari ke arah mereka memeluk keduanya erat-erat.
Suster Benedikta tersenyum lebar, memeluk Risa erat. "Halo, Risa. Apa kabar?" kata Suster Benedikta sambil mencium lembut kening Risa. “Selamat ya, sudah lulus beasiswa kedokteran di Amerika.” ucap Suster Benedikta sambil menepuk-nepuk pundak Risa.
Risa tersenyum semringah. “Terima kasih, suster. Ini semua berkat doa suster semua,” ucap Risa sambil memeluk Suster Benedikta erat-erat.
Sambil masih direpotkan dengan Risa yang bergelayut manja, Suster Benedikta juga menyalami Dito. “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Lancar?”
“Lancar, Suster!” ujar Dito sambil mengacungkan telunjuknya. Dito seorang wartawan di sebuah koran nasional.
“Lancar apaan, Suster.” Risa mulai mengadu. “Masak dia mau menggunakan tabungannya terus mau ambil cuti buat nyusul aku ke Amerika. Padahal uang itu untuk beli kamera. Biar bisa menang lomba-lomba foto dan menjual foto-foto bagus di internet!” Risa pura-pura mendelik sebal. “Gimana mau cepat kaya coba!” keluhnya lagi.
Mendengar itu, Dito cuma nyengir dan garuk-garuk kepala. “Namanya juga kangen, Suster!” ucapnya dengan nada riang, semata-mata agar suster Benedikta tidak khawatir melihat mereka berdua bertengkar.
Dito dan Risa sama-sama dibesarkan di panti asuhan di bawah naungan yayasan yang sama. Walaupun gedung panti asuhan untuk putra terpisah dengan gedung panti asuhan untuk putri, panti asuhan ini kerap mengadakan acara bersama-sama. Selain itu, semua penghuni panti bersekolah di sekolah yang sama sejak TK sampai SMU.
Dito dan Risa tinggal di panti asuhan itu sejak bayi, kemudian keduanya bersekolah di sekolah yang sama pula. Keduanya memutuskan berpacaran saat kelas dua SMU. Saat kuliah, mereka terpisah jarak karena berbeda universitas. Risa kuliah di jurusan kedokteran di universitas negeri, sedangkan Dito di jurusan komunikasi di universitas swasta. Selepas lulus kuliah pun keduanya bekerja di tempat berbeda. Meskipun demikian, hubungan mereka tetap terjalin manis.
Suster Benedikta mengajak keduanya masuk ke kantor panti asuhan dan berbincang sejenak dengan para suster dan bruder. Kebetulan hari ini para penghuni panti asuhan sedang tanding basket, antara tim panti asuhan putra dan tim panti asuhan putri.
Lapangan basket panti asuhan dipenuhi penghuni panti usia SD yang penuh semangat. Dito dan Risa bergabung dengan tim basket adik-adik SD, tim putra melawan tim putri. Anak-anak kecil itu, dengan semangatnya, meluncurkan bola basket di udara, diiringi sorak-sorai riang teman-temannya.
Tiba-tiba seorang anak perempuan dengan mata berbinar melemparkan bola dengan penuh semangat, tanpa menyadari bahwa Risa berada di jalurnya. Bola itu mengenai kening Risa dengan keras, membuatnya terjatuh. Dito, yang berada di dekatnya, terhenyak.
Dia menyadari bahwa tidak ada yang bisa menjamin keselamatan Risa sepenuhnya, bahkan saat gadis itu ada di hadapannya. Itu artinya, menjaga orang yang dicintainya tidak hanya tentang kehadiran fisik, melainkan juga tentang menerima bahwa takdir memiliki peranannya sendiri.
Mencintai bukan hanya tentang melindungi sesorang dari bahaya, tapi juga tentang menerima bahwa cinta punya jalannya sendiri, dan mereka berdua akan menghadapinya bersama-sama, meskipun terkadang dengan tantangan yang tak terduga.
Dito buru-buru menghampiri Risa yang terjatuh, tangannya dengan lembut meraih bahu Risa. Matanya penuh kekhawatiran, tetapi juga penuh kasih. Untunglah, meskipun kening Risa sedikit membiru karena benturan, dia hanya mendapat sedikit benjolan.
“Maaf, Kak, nggak sengaja,” ujar Ruri.
Risa tersenyum. “Tidak apa-apa, Kakak tahu kok kamu tidak sengaja,” jawab Risa sambil memeluk Riri erat. “Terus rajin berlatih ya, kelak kamu akan jadi pemain basket hebat,” ujar Risa mengacungkan ibu jarinya. Pertandingan basket pun kembali dilanjutkan, tapi Risa memilih menepi dan menyemangati timnya dan juga tim Dito dari bangku penonton.
Menjelang sore, keduanya pun berpamitan. Suster Benedikta memeluk Risa erat-erat dan berpesan dengan sungguh-sungguh agar Risa pandai-pandai menjaga diri dan kehormatannya sebagai perempuan saat berkuliah di negeri asing nanti.
Di halaman panti asuhan yang luas dan rindang, Risa menghirup udara segar dan bergumam pelan. "Sekarang, panti asuhan ini terasa begitu indah. Dulu, Aku tidak sabar untuk hidup bebas menjelajahi dunia luar. Tapi kini, aku ingin kembali pulang ke sini. Dunia luar itu ternyata tidak seindah bayanganku."
Dito menepuk-nepuk punggung Risa, mengenggam tangannya dan berkata lembut, “Aku akan menemanimu hidup di dunia yang tidak indah itu.”
Mereka berjalan pelan-pelan di halaman panti, menikmati hamparan hijau rumput yang selalu dipotong rapi. Risa meminta Dito memotretnya di antara bunga-bunga bugenvil merah jambu yang menjuntai di selasar menuju tempat parkir. “Buat kenang-kenangan. Masih tiga tahun lagi aku bisa ke sini.”
“Kalau begitu, kita harus berpose bersama,” Dito buru-buru mensejajari Risa dan memotret mereka berdua.
Risa melihat hasilnya di ponsel Dito. “Kamu selalu tahu cara menangkap momen dengan indah,” puji Risa kagum. “Aku yakin kamu bisa menjadi fotografer andal.”
Dito diam membisu membiarkan pujian Risa lenyap di udara sore. Mendapat sambutan dingin Dito, Risa hanya menghela napas, dan membiarkan cowok itu membukakan pintu mobil untuknya. Sepanjang perjalanan pulang dari panti asuhan, keduanya diam tanpa kata-kata. Ketika mobil tidak melaju ke arah kos-kosannya, Risa menengadahkan kepalanya yang pusing dan bertanya enggan, “Kita mau ke mana? Kenapa kamu tidak melaju ke kos?”
“Aku ingin menghabiskan sore terakhir bersamamu.”
Setelah itu, kesunyian kembali merayapi keduanya, sampai Dito membelokkan mobil masuk ke sebuah kafe dengan taman yang luas. Mereka memilih duduk di bagian paling sudut, di bawah pohon ketapang kencana besar. Mereka diam mengamati matahari tenggelam dengan kegalauan masing-masing.
“Kamu tahu, kan” kata Risa, “aku sangat mencintaimu. Tapi pekerjaan ini juga sangat penting bagiku. Aku takut kehilanganmu, tapi aku juga takut kehilangan impianku, menjadi dokter yang ahli di bidangnya dan menghasilkan banyak uang,” bisik Risa memulai percakapan menguraikan senyap di antara mereka.
“Aku tahu,” jawab Dito pelan. “Maaf aku bersikap kekanakkan.”
Risa mengamati lekuk wajah laki-laki yang telah setia menemaninya hampir di seluruh hidupnya. Rasa takut akan kehilangan sesuatu yang begitu dekat dengan hatinya, terbaca jelas dalam raut wajah Dito. Sesungguhnya, berpisah jarak sepert ini juga menciptakan goresan-goresan kecil kesedihan di hati Risa. Bagi Risa, Dito adalah rumahnya, begitu pula bagi Dito, Risa adalah rumahnya.
Setiap anggota keluarga juga sesekali keluar rumah, kan, untuk menjalani impian masing-masing? Sekolah? Bekerja? Kemudian sesudah itu pulang? Batin Risa menepis kegelisahan hatinya demi menguatkan keputusannya.
Dito menyesap minumannya dan berkata pelan, “Kamu benar. Kita masing-masing punya mimpi dan harus berjuang meraihnya.”
Risa berpindah duduk di sebelah Dito dan merangkul pundak Dito dan mengusap kepala Dito. “Kita pasti baik-baik saja, sampai waktunya kita punya cukup tabungan untuk hidup bersama.”
Dito menggenggam erat tangan Risa, membuat gadis itu tersenyum bahagia, dan air mata mengembun di matanya. Mereka mendekatkan wajah satu sama lain. Hati mereka kembali terbuka seperti halaman-halaman baru sebuah buku, siap diisi dengan kisah-kisah cinta mereka yang lebih matang.
Di bawah langit senja yang memerah, mereka saling menguatkan hati bahwa meskipun jarak memisahkan, cinta akan tetap bertahan. Dito dan Risa menghabiskan sore terakhir kebersamaan mereka dengan canda tawa, pelukan hangat, dan sesekali kecupan penuh makna. Meskipun malam tiba, matahari terbenam akan selalu diikuti oleh matahari terbit, membawa harapan baru pada cinta yang tak pernah pudar.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
