Pagi Itu #BanyakCeritadiRumah

0
0
Deskripsi

Dina tahu bahwa kehilangan orang-orang terkasih tidak akan pernah tergantikan. Namun, dia juga menyadari bahwa kebersamaan dan kasih sayang bisa datang dari orang-orang yang tak terduga.

Pagi Itu

Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela dan menyinari ruangan. Dina bersiap-siap untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor. “Ma, sarapan apa nih?” katanya dengan suara yang diriang-riangkan, meskipun dia tahu cuma seorang diri di rumah ini. 

‘Susu dan sereal. Kalau kamu nggak suka, masak sendiri saja,’ Dina menirukan ucapan Mama dengan memonyongkan-monyongkan mulutnya seolah-olah meledek Mama. “Mama pasti bilang begitu kan?” Dina tersenyum getir.

Dia menuangkan sereal ke dalam mangkuk dan memakannya cepat-cepat, kemudian meletakkan mangkuk itu di bak cuci piring, bersatu dengan tumpukkan piring dan gelas kotor dari seminggu lalu.

‘Dina, mangkuknya dicuci dong,’ Dina mengulangi perintah Mama, pandangannya melirik ke kamar Papa Mama. “Pasti Mama marah kalau Dina tidak langsung mencuci piring, kan?” katanya lagi, dan menjawab sendiri kata-katanya tadi, “Iya, Ma. Besok pasti Dina cuci semuanya. Besok Sabtu, jadi Dina libur. Bisa beberes rumah, deh.”

Dina terdiam sejenak menatap hampa pada kamar Mama dan Papa. Di dinding di depan kamar Mama dan Papa ada papan tulis tempat Mama menempel tugas-tugas harian mengurus rumah, iuran apa saja yang harus dibayar berikut tanggal jatuh temponya, serta nomor-nomor penting kerabat dan tetangga. 

Mama menuliskannya di sana agar seluruh anggota keluarga bisa membaca dan membantu Mama mengerjakan tugas-tugas itu. Seiring Dina dewasa, Mama sering meminta Dina juga turut serta memperhatikan tugas-tugas di papan itu, tapi dia tak pernah peduli. Toh, semua sudah diurus Mama. Baru sekarang dia mengerti betapa tulisan di papan itu sangat membantunya.

Dina melirik tugas di papan pada kolom hari Jumat: belanja bahan makanan. Dina pun memeriksa isi kulkas. Seharusnya ini tugas Kamis malam, tapi semalam dia terlalu mengantuk sepulang kantor. Dina masih tidak mengerti bagaimana Mama yang jarak kantornya dua jam perjalanan naik KRL itu masih punya tenaga untuk menyusun daftar belanja, sedangkan dia yang jarak kantornya cuma setengah jam naik ojol sudah kelelahan setengah mati.

Sambil menunggu abang ojol datang, Dina memeriksa isi kulkas. Di dalam kulkas yang biasanya dipenuhi dengan berbagai bahan makanan lezat, kini hanya tersisa sebotol air mineral di pintu. Sudah berkali-kali hari Jumat Dina lewati tanpa menjalankan jadwal belanja mingguan.

“Hari ini aku benar-benar butuh belanja beberapa barang,” gumam Dina, menutup pintu kulkas dengan sedikit kecewa. Telur, sosis, nuget, kentang beserta sayuran beku, dan buah potong serta jus segar selalu ada di kulkas. Mama selalu memastikan ada makanan agar saat hujan dan tidak bisa pesan makanan, mereka tidak kelaparan. 

Dina menutup pintu kulkas dan melangkah menuju kamar orangtuanya. Pintu kamar sengaja Dina buka lebar-lebar untuk memberi pergantian udara pada ruangan itu. Rumah Dina, sebuah rumah satu lantai dengan empat kamar tidur. Dina, anak tunggal, kini dia hanya membagi rumah itu dengan kenangan dan bayang-bayang masa lalu.

“Pa, Ma, Dina berangkat,” ujar Dina lagi dari depan pintu kamar. Meskipun tak ada jawaban dari dalam kamar, Dina tahu, Mama dan Papa akan menjawab gembira seperti biasanya.

Kilatan-kilatan bayangan masa lalu melintas di benaknya. Pagi-pagi begini, Mama dan Papa juga bergegas berangkat ke kantor. Tapi sebelum itu, mereka akan sarapan bersama. Mama atau Papa—tergantung siapa duluan yang bangun pagi, dan bisa diduga Mama tentu lebih sering bangun pagi—akan memasak menu sederhana sebagai sarapan mereka. 

Sesekali, Mama iseng membuat mi instan dan membawanya sebagai bekal makan siang. ‘Buat stress release Mama di kantor,’ begitu alasan Mama jika Dina keberatan karena Mama boleh membawa bekal mi instan sedangkan dirinya tidak boleh. Dina dan Papa akan mencocol bekal Mama, yang membuat Mama marah-marah karena bekal mi instannya tinggal separuh.

Setiap pagi, ada saja keributan kecil mengisi rumah itu, keributan tanda kebersamaan yang Dina kini rindukan.

Tinggg... suara ponsel membuyarkan lamunan Dina. WA dari abang ojol

Saya sudah di gerbang komplek, Kak.

Masuk saja, Pak. Bilang mau ke B10, tempatnya Dina anaknya Bu Mirna. Balas Dina. Nama Mama dan Papa memang lebih dikenal oleh satpam komplek ketimbang namanya sendiri. 

Selesai mengetikkan pesan itu, Dina melongok ke dapur, memastikan kompor sudah dimatikan. Dia bertekad tidak memasak apapun saat pagi agar tidak lupa mematikan kompor. 

Sebelum keluar rumah dia menyambar empat bungkus biskuit rendah gula di meja tamu. Pernah dulu, meja itu penuh dengan kue-kue dan senyum tamu-tamu yang datang—teman dan kerabat Mama dan Papa—tapi sekarang, meja itu hanya menyisakan ingatan manis dan bungkus biskuit terakhir. Itu biskuit terakhir dalam kotak plastik di meja tamu. 

Papa selalu menyukai kukis-kukis rendah gula ini, dan meletakkannya sebagai suguhan untuk tamu. Namun, seiring berjalannya waktu, meja tamu kehilangan fungsinya sebab tidak ada lagi yang berkunjung.

Dina memandang empat bungkus-bungkus biskuit itu dengan perasaan hampa. Kukis cokelat itu sudah dikenalnya sejak TK.  Papa selalu meletakkan kukis itu dalam tas sekolah atau di mobil, untuk makanan cadangan ketika kelaparan di tengah-tengah kemacetan. 

Baginya, kukis cokelat itu lebih dari sekadar makanan. Setiap potongan kenangan kisah hidupnya bersama Papa mengalir dalam setiap inci bahan dan aroma yang lekat pada ingatannya.

Ketika Dina menggenggam bungkus-bungkus tersebut, dia merasakan getaran kehangatan dari masa lalu. Ingatannya melayang pada senyum lembut Papa, dan suara tawa hangat Papa yang pernah menggema di rumah ini. 

Dina membayangkan Papa di sampingnya, memberinya senyuman penuh kasih sayang. Namun, Papa kini ada di suatu tempat yang tak bisa dijangkau oleh tangan manusia. 

Memakan kukis itu selalu membawa hatinya pada kenangan dan membuat hatinya tercabik-cabik. Dina memutuskan lebih baik memberikan kukis-kukis itu pada orang lain. Makanya setiap hari, Dina membawa empat bungkus kukis dan dua air mineral untuk diberikan kepada abang ojol yang mengantarnya berangkat dan pulang kantor. 

Ketika hendak mengunci pintu, Dina berbalik masuk ke rumah kembali, memeriksa air dan kompor, memastikan semua sudah dimatikan. Lalu memeriksa kamar Mama dan Papa, memastikan pintu sudah dibuka dan diganjal dengan kursi agar tidak menutup kembali. Dina melambaikan tangan pada foto keluarga mereka di dinding di lorong rumah. 

Dina bercermin sebentar di cermin yang dipasang Mama di ruang tamu. Mama selalu memastikan seluruh penghuni rumah keluar rumah dalam keadaan rapi. Dina melihat pantulan dirinya di cermin kotak dengan pigura jati kuno itu.

Wajah wanita muda berusia 25 tahun dengan postur tubuh sedang tampak di cermin. Dia memiliki kulit sawo matang yang bersih. Matanya berwarna cokelat tua, tampak sayu dan lelah. Rambut hitam panjangnya disisir rapi dan diikat dalam kucir simpel, memberikan tampilan elegan dan profesional.

Dina tersenyum tipis pada bayangannya di cermin, menengok sekilas ke arah kamar Mama dan Papa, “Pa... Ma, Dina berangkat dulu ya,” katanya sambil mengunci pintu. Matanya sibuk melirik ke kanan dan kiri, ke arah tetangganya yang berkerumun berbelanja. 

Mendadak dia merasa risih, dan refleks hendak berbalik badan lalu masuk kembali ke rumah. Biasanya kalau ada Mama, Dina dan para tetangga hanya bertukar salam saja, tapi sekarang mereka banyak sekali bertanya membuat Dina tersipu malu dan enggan membalas. Tapi mau bagaimana lagi, rumah-rumah di sini berjajar tanpa pagar untuk bersembunyi. Lagi pula abang ojol sudah menunggu.

Dina mengunci pintu, ketika menengok dia melihat segerombolan ibu-ibu yang sedang berbelanja. Dina mendesah berat. Dia selalu malas melewati sekelompok ibu-ibu itu, dan memilih pura- pura tidak melihat, tapi tiba- tiba Oma Yanti menyeletuk, “Berangkat, Mbak?’

Ya iyalah berangkat ngantor, memangnya dandan rapi begini mau ke mana? gerutu Dina kesal dalam hati. “Iya, Oma.” Jawab Dina singkat. Kakinya sudah ingin buru-buru kabur. 

“Kantormu itu yang sebelahnya swalayan itu ya?” tanya Bu Riza, tetangga sebelah rumah.

“Iya, Tan.”

“Wah… enak dong pulang ngantor bisa sekalian belanja,” sahut Bu Riza lagi yang dibalas dengan senyuman canggung Dina. Dia tidak terbiasa terlibat obrolan basa-basi macam begini, jadi cuma bisa membalas senyuman dan ingin buru-buru pergi.

“Air dan kompor sudah dimatikan, Dina? tanya tante Lila. “Lagi musim kemarau nih, gampang kebakaran.”

“Sudah, Tan.”

Kemudian obrolan para ibu itu berlanjut pada kebakaran hutan yang sedang viral lalu tiba-tiba berbelok arah pembicaraan ke aroma gosong di rumah Bu Widya. Dina pun buru-buru melangkahkan kaki ke boncengan motor, sambil mengangguk dan tersenyum kepada para ibu itu. Dia merasa lega akhirnya terbebas dari para tetangga.

“Cepat Bang, keburu kesiangan,” perintah Dina pada abang ojol. Padahal, dia cuma ingin buru-buru pergi meninggalkan para tetangganya itu, melepaskan diri dari segala tatapan dan pertanyaan yang mengintai.

Sebetulnya, mereka adalah tetangga lama, kenal lebih dari seperempat abad. Namun, interaksi Dina dengan mereka tidak pernah lebih dari senyuman dan sapaan singkat saat berpapasan. Para tetangga baru mengobrol panjang lebar kalau bertemu Mama atau Papa. Namun kini, semua tinggal menjadi kenangan manis yang melekat di dinding-dinding teras rumah.

 Perjalanan ke kantor berlangsung hening. Kenangan-kenangan masa lalu bersama Mama dan Papa berkelebatan satu demi satu. Betapa dalam kerinduannya pada orangtuanya, yang tak akan pernah kembali.

Di kantor, setumpuk pekerjaan telah menunggunya, membuat Dina tenggelam dalam rutinitasnya. Ini yang disukainya dari bekerja; sejenak bisa melupakan betapa sekarang dirinya sendirian tanpa Mama dan Papa. 

Sudah setahun, Dina menjalani kehidupan tanpa Mama dan Papa. Rumah yang sepi dan bayang-bayang kegembiraan masa-masa bersama Mama dan Papa masih terus menggelayutinya dan membuatnya merasa kesepian. Dia mencoba mengisi kekosongan dengan pekerjaan dan teman-teman di kantor. Namun, saat sendirian, dia masih merindukan kehadiran orangtuanya, merindukan suara tawa mereka, dan merindukan keributan kecil di hari-hari mereka.

Kebetulan, pekerjaan di kantornya sebagai event organizer sedang mencapai puncaknya. Mereka tengah sibuk menyiapkan event lomba lari yang akan digelar pada hari Minggu mendatang. Di ruang rapat yang dipenuhi dengan aroma kopi dan suara ketikan keyboard, Dina dan timnya merencanakan setiap detail acara seteliti mungkin. Mereka mematangkan kesiapan jalur lari, panggung yang megah untuk penganugerahan piala, dan mengatur titik keramaian penonton yang akan memadati acara.

Hari berlalu begitu cepat. Sampai sore menjelang, kantor mereka masih terasa begitu hidup dengan semangat kerja. Dina, dengan mata yang sudah mulai terasa berat, menatap layar komputernya dengan tekun. Di meja kerjanya terdapat tumpukan catatan dan rencana acara.

Tubuhnya mulai memberi isyarat kelelahan yang sudah terlalu membebani membuatnya memutuskan untuk pulang tanpa mampir ke swalayan. Dia meraih jaketnya yang tergantung di belakang kursinya dan beranjak pulang. Langkahnya terdengar berat, mengingat dia akan kembali dalam kesendiriannya. 

Ketika tiba di rumah, betapa terkejutnya dia melihat rumahnya gelap dan tetangga berkerumun di depan.

 Abang ojol yang mengantarnya pulang bertanya, “Ada apa, Neng? Orangtuanya sakit ya?”

“Oh, nggak, Bang. Nggak ada apa-apa kok. Lampunya rusak, Bang. Papa belum sempat memanggil tukang.” Dina berdusta. ‘Jangan sampai  orang asing tahu kamu di rumah sendiri’ begitu pesan Mama dan Papa selalu kala mereka terpaksa pulang telat atau harus tugas keluar kota.

Para tetangga juga tidak ada satu pun yang bertanya pada Dina mengapa rumahnya gelap. Barulah ketika abang ojol berlalu, Bu Riza bertanya, “Lampunya mati, ya Dina? 

Atau mungkin sensor mataharinya rusak,” imbuh Bu Lila.

“Nggak tahu, Bu,” jawab Dian setengah hati. Kenapa juga sampai mati lampu sih? Nggak tahu apa aku sudah lelah begini, gerutu Dina dalam hati. 

“Biar dicek sama suamiku ya, sebentar aku panggilkan suamiku.” Belum sampai Dina menjawab, Bu Riza sudah bergegas masuk ke rumah memanggil suaminya. 

“Suamiku ini lulusan teknik elektro, biarpun sekarang pekerjaannya pegawai pemasaran. jelas Bu Riza. Mendengar penjelasan itu, Dina cuma mengangguk canggung. Setelah Dina membuka pintu, Bu Riza menemani suaminya memeriksa lampu rumah. Sementara itu, Bu Lila dan Oma Yanti menunggu di luar.

 “Sensor mataharinya rusak. Besok saya belikan dulu. Sekarang dinyalakan dan dimatikan manual tanpa sensor dulu saja ya,” ujar Pak Riza. Dina mengangguk.

“Wah… gagal bangun siang dong, Din,” seloroh Bu Riza. 

Dina cuma nyengir. 

“Sudah punya nomorku, kan?” tanya Bu Riza. “Kalau ada apa-apa telepon saja.”

Dina mengangguk. Dia yakin—meskipun belum pernah benar-benar mencermati—nomor Bu Riza pasti ada di papan di bagian kontak darurat. 

“Minta nomormu, ya. Nanti Tante daftarkan ke Bu Ranti, Bu RT, biar kamu dimasukkan ke grup RT ya.”

Hah? Dina melongo. Saking terkejutnya, dia tak sanggup berkata apa-apa lagi, dan cuma menyebutkan nomor ponselnya pada Bu Riza.

“Kamu sudah makan?” tanya Bu Lila melongok dari pintu. 

“Belum, Tan.” 

“Mau nasi sama abon? Tante ambilkan,” ujar Bu Lila lagi.

“Nggak usah, Tan. Habis ini aku pesan makanan.”

“Oh ya sudah cepat pesan, nanti keburu hujan. Langit sudah mendung, kayaknya mau hujan,” ucap Bu Riza. “Kami pulang dulu ya, Dina.”

“Ya, Bu. Terima kasih,” jawab Dina singkat. 

Sepeninggalan tetangga-tetangganya, rumah Dina kembali sepi. Hanya suara-suara para tetangga mengobrol di pinggir jalan. Dina memilih mandi dulu sambil menunggu kerumunan itu pulang. 

Usai mandi, Dina menyibak gorden dan melirik ke luar. Para tetangga sudah pulang dan lingkungan perumahan itu pun kembali sepi. Dina mengempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah, menyalakan tv dan berkata lirih, “Enaknya makan apa Ma malam ini?” tanyanya pada ruang kosong di depannya. Dina mengetikkan pesan di ponsel memilih-milih restoran dan… hujan turun sangat deras.

“Astaga! Dari tadi cerah kenapa tiba-tiba hujan sih,” gerutunya sebal. “Mana lapar banget lagi.” Dia meraba-raba perutnya yang lapar, mengingat tadi siang dia telah melewatkan makan karena urusan pekerjaan yang mendesak. 

Dina mendekati kulkas di depannya, melihat isinya meskipun dia tahu tak akan menemukan apa-apa di sana. Stok mi instan di lemari telah habis, begitu pula dengan abon yang biasanya menjadi penyelamat di saat-saat genting. Aneka lauk cadangan dan bahan makanan yang biasa mengisi kulkas, juga telah habis, meninggalkan ruang dingin itu kosong melompong. 

Dia membuka kotak tempat beras dan menemukan kotak itu kosong dan berdebu. Dina baru menyadari beras pun habis. Selama ini Dina menunda membeli beras dan lebih memilih menu paket lauk plus nasi ketimbang membeli lauk saja dan memasak nasi sendiri.

Pukul sembilan malam, hujan deras baru reda berganti gerimis. Namun, Dina sudah terlalu malas memesan makanan. Dia memilih tidur-tiduran di sofa sampai akhirnya ketiduran sungguhan. Di balik kesadarannya, sayup-sayup dia mendengar suara pintu diketuk. “Ma, ada orang Ma.” Teriak Dina setengah mengantuk. Tapi dia tidak mendengar langkah kaki Mama dan masih ada suara ketukan di pintu.

Dia lekas tersadar, kalau sekarang dia sendirian. Dina bangkit berdiri dengan malas. Dari layar cctv di sebelah televisi, dia melihat Oma Yanti berdiri di depan pintu dengan membawa sebuah kantung plastik di tangan kanan dan tangan kirinya memegang payung.

 Dina beringsut malas membuka pintu. “Ada apa, Oma?” tanya Dina.

“Ini, Dina. Oma tadi goreng bandeng presto, oleh-oleh anak Oma yang baru pulang dinas ke Semarang. Ini kan hujan, Oma lihat Dina belum pesan makanan. Jadi ini Oma bawakan sedikit nasi hangat dan bandeng goreng telur.”

“Oya, Oma, Terima kasih.”

“Ya, sama-sama. Sudah ini makan dulu, mumpung masih hangat.” 

“Ya, Oma terima kasih.”

“Ya sudah Oma pulang dulu. Jangan lupa kunci pintu. Hati-hati, ya.” kata Oma Yanti sambil berlalu pulang, ke rumahnya di seberang rumah Dina.

Dina pun masuk ke rumah mengunci pintu dan meletakkan bungkusan itu di meja makan. Dia membuka bungkusan itu. Aroma nasi bandeng presto menguar. Nyaris membuatnya mual. Dina tidak alergi ikan, tapi dia tidak suka ikan. Mama dan Papa yang suka bandeng presto. Dan setiap Oma Yanti membagi bandeng presto oleh-oleh anaknya itu, cuma Mama dan Papa yang menyambut gembira sementara dia memilih makan lauk lain. 

Masalahnya sekarang cuma itu makanan satu-satunya di rumah ini. Dina duduk di kursi, menghadap kotak berisi nasi dan bandeng presto goreng telur itu. Perutnya lapar. Aroma nasi panas membuat perutnya semakin lapar. Kenapa juga lauknya bandeng presto…. Astaga, keluh Dina dalam hati.

Dina menyendok nasi putih dan air matanya meleleh. Kenangan akan Mama yang selalu menyediakan dan memastikan nasi putih hangat selalu ada di rumah, berputar-putar di benaknya.

Dina pelan-pelan mencoel ikan dan mencoba memakannya. “Mama, pasti Mama ketawa puas kan, lihat aku akhirnya mau makan ikan!” celoteh Dina.

Sambil menangis tersedu-sedu, dia berusaha menelan ikan itu. Tepat di sendok kelima tangisan tak terbendung lagi. Dina menangis sejadi-jadinya. Kenangan bersama Mama dan Papa menghambur keluar tanpa bisa dibendung lagi. Mama dan Papa meninggal dunia terkena Covid setahun lalu. Tanpa mereka, rumah ini sepi. Bayang-bayang kenangan kebersamaan mereka bersemai di benaknya. Tangisannya bagai aliran sungai deras yang membawa kembali kenangan-kenangan manis bersama Papa dan Mama.

Tangisannya semakin tidak terbendung dan membuatnya lelah. Dina tertidur tertelungkup di meja makan. Keesokkan harinya, dia terbangun mendengar ponsel di mejanya berdering-dering. Saat sudah tersadar sepenuhnya, dia mendengar suara ketukan pintu. 

Dina mengangkat kepalanya. Dia merasa berat, seakan-akan seluruh dunia ini memendam dirinya di bawah tumpukan besi yang mustahil berhasil dia singkirkan. Kelelahan luar biasa menyergap dirinya, membuat tubuhnya terasa kaku. Air mata yang telah dia curahkan semalam menjadi saksi bisu dari kepedihan mendalam. Dia mengerjap-kerjapkan matanya, mencoba mengusir kelelahan dan kepenatan yang melekat di setiap serat jiwanya. Namun, meskipun dia berusaha keras untuk bangkit, ada kerapuhan di dalam dirinya yang sulit diatasi.

Dina menggapai teleponnya dengan gemetaran, suaranya yang serak bergema di udara hening. “Halo,” sapanya pelan. Kerongkongannya terasa tercekat bekas tangisan semalam.

“Kamu kenapa? Sakit ya?” suara Bu Riza terdengar cemas. 

Ketukan di pintu semakin keras. Dina bangkit hendak membuka pintu tapi ketika dia bangkit berdiri, dia terjatuh. Kakinya terasa mati rasa. Dina ambruk diiringi suara berdebam keras yang membuat ketukan di pintu makin kencang. Ponsel di tangannya terlempar, berkelontangan menjauh dari jangkauan tangannya.

“Dina… Dina…kami masuk, ya.” Seru Bu Riza dan Bu Lila cemas dari depan pintu.

Dina hendak bersuara tapi mulutnya pun kaku. Dia mendengar suara-suara ribut di luar meminta peralatan membobol pintu. Akhirnya pintu dibuka paksa oleh Pak Rudi, suami Bu Lila. Bu Lila dan Bu Riza menyerbu masuk dan menemukan Dina tergeletak di lantai dekat meja makan. Mereka memapah Dina ke sofa. Oma Yanti tergopoh-gopoh membawakan teh hangat. 

Bu Lila dan Bu Riza membersihkan wajah Dina yang penuh lelehan air mata dan ingus, dan menyisiri rambutnya. 

Sementara itu, Pak Riza menelepon ambulan, dan Pak Rudi mengambil minyak kayu putih dan memberikannya pada istrinya. Bu Lila pun membalurkan minyak kayu putih pada kaki dan tangan Dina. 

Sebetulnya Dina benci bau minyak gosok apapun terutama minyak kayu putih, tapi kali ini dia terlalu lemah untuk mengelak. Pelan-pelan aroma tajam kayu putih dan kehangatan minyak itu membawa kembali kesadarannya. Air mata mengalir dari kedua matanya dan dia menangis. Bu Riza segera memeluknya dan Bu Lila menepuk-nepuk punggungnya.

“Kamu makan dulu, ya. Biar tidak lemas,” hibur Oma Yanti. 

Dina mengangguk. Bu Lila dan Bu Riza membantu menegakkan tubuh Dina sementara Oma Yanti menyuapi gadis itu teh manis hangat, setelah itu bubur ayam.

“Kami khawatir kamu kenapa-kenapa, jadi suamiku sudah memanggil ambulans.” ujar Bu Lila. 

“Aku sudah menelepon Tante Irma agar langsung menyusul ke rumah sakit.”

Dina mengangguk lagi.  Tante Irma adalah kakak Mama yang tinggal di perumahan yang jaraknya tiga jam dari rumah Dina. 

Lima sendok bubur sudah membuat perut Dina kenyang, dan dia berkata pelan, “Sudah kenyang, Oma.” Oma Yanti pun membereskan mangkuk bubur dan merapikan meja makan. Oma menemukan nasi bandeng pemberiannya sudah ludes. Dia bertanya pada Dina dengan cemas, “Kamu alergi ikan ya Din?” tanya Oma dengan rasa bersalah. Seingatnya, dia sering memberikan bandeng presto khas semarang pada keluarga Dina, dan mereka tidak pernah bercerita kalau ada yang alergi ikan.

Dina menggeleng. “Nggak, kok Oma.” Suara Dina terdengar lirih.  Mulutnya masih terasa kaku, tapi dia pelan-pelan bisa bersuara.

Tak betapa lama ambulans datang dan membawa Dina ke rumah sakit diantar Bu Riza. Bu Lila dan Oma Yanti memutuskan tinggal di rumah dan membereskan rumah Dina. 

Untung saja, dari hasil pemeriksaan dokter, Dina hanya kelelahan saja. Malam itu, Dina tidur di rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa sedih dan kesepian. Namun, di sisi lain, dia merasa ada kehangatan baru yang datang dari para tetangganya. Mereka bukan Mama dan Papa, tapi mereka adalah keluarganya yang baru; keluarga baru yang sedang mencoba menggapainya menawarkan kebersamaan yang dia perlukan.

Dina dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Bu Lila, Bu Riza dan Oma Yanti bergantian menengok Dina. Sampai-sampai Tante Irma yang menemaninya terheran-heran melihat persaudaraan kuat di antara mereka. “Di komplek, ada rumah dijual nggak, Din? Tante mau pindah ke sana.” ujar Tante Irma yang membuat Dina terkekeh geli. Tante Irma tidak tahu saja, bahwa awalnya Dina risih dengan perhatian para ibu tadi. Tapi berkat mereka, dia masih ada di dunia ini.

Pulang dari rumah sakit, Dina memilih langsung pulang ke rumah ketimbang ke rumah Tante Irma. Dia merasa sudah sehat, lagi pula dia tahu, dia dikelilingi tetangga-tetangga baik hati, dan Tante Irma pun tahu itu.

Suatu pagi, Dina membuka pintu rumahnya hendak berangkat ke kantor. Dia melihat sekelilingnya, rumahnya yang hangat dan nyaman, dikelilingi oleh senyum tetangga-tetangga baik hati yang selalu ada untuknya. Mereka adalah keluarganya yang baru. Dalam senyuman mereka, Dina yakin bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi dunia ini.

“Berangkat, Dina?” sapa Oma Yanti. 

“Iya, Oma,” jawab Dina singkat dan bergegas naik ke motor. Tapi diurungkannya niatnya itu, dan menghampiri rombongan ibu-ibu itu, dan berkata “Oma, kemarin ayam goreng menteganya enak banget. Dina suka. Makasih, ya,” kata-katanya sedikit terbata-bata karena belum terbiasa mengobrol dengan para ibu tetangga. 

“Wah, syukurlah kalau Dina suka,” sahut Oma Yanti dengan mata cerah berbinar-binar. Melihat kegembiraan terpancar di mata Oma Yanti, sepercik kehangatan membersit di hati Dina.

“Dina ke kantor dulu, ya,” katanya lagi sambil mengangguk dan tersenyum cerah.

“Hati- hati, Dina,” ucap Bu Riza dan Bu Lila serempak.

Dina tahu bahwa rasa kehilangan orang-orang terkasih tidak akan pernah tergantikan. Namun, dia juga menyadari bahwa kebersamaan dan kasih sayang bisa datang dari tetangga. Dina menguatkan hatinya, bersyukur atas kebersamaan bersama para tetangga yang baru dia sadari kini. Meskipun rasa kesepiannya belum sepenuhnya hilang, dia akan mencoba menerima keakraban yang para tetangganya coba tawarkan. Dina tahu, mereka menyayanginya dengan cara mereka sendiri dengan cara unik dan tak terduga.

.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Satu Impian #BanyakCeritadiRumah
0
0
Dito tidak pernah yakin tentang hubungan jarak jauh, tetapi ketika dia menatap wajah Risa kekasihnya, ia melihat ketegasan dan keyakinan bersemayam dalam mata gadis kesayangannya itu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan