Ujang dan ajian yang hilang

0
0
Deskripsi

Ujang, preman Rangkasbitung. memiliki ilmu hitam yang sering kali digunakannya untuk memalak pedagang-pedagang kaki lima dan berbuat semena-mena. suatu hari dipertemukan dengan pak tua yang mengajarkannya hakikat ‘jawara’ yang sesungguhnya.

Ujang, dan Ajian Yang Hilang

            Ujang Namanya, rambut gimbal ala reggae yang dihias blangkon motif baduy berwarna biru dan badan kekar diusianya yang menginjak kepala empat, dan jangan lupakan tato maung bodas di lengan kanannya berpadu dengan kaos lekbong hitam bergambar tengkorak, dan jeans belel yang berbau khas karena sisitem cuci, kering, pake. Sepertinya itu sudah cukup untuk menggambarkan preman jalanan kelas kakap di rangkasbitung.

            Ujang selalu bangun tepat ketika azan shubuh berkumandang dari masjid agung, karena ia selalu tidur di pendopo alun alun rangkas bitung. Bukannya mengahadap Pencipta, Ia langsung beranjak pergi meninggalkan panggilan Tuahn menuju warung kopi di terminal lama.

            “Kopi angkot hiji![1]”. Bentaknya sambal menggebrak meja si mamang penjual kopi. Si mamang dengan cekatan menyeduh kopi pesanan ujang -yang menjadi kegiatan rutinnya 1 tahun terakhir.

            “peh!, borokokok sia! Teu ingeut sia aing teu resep gula !?. seduh deui! Ulah make gula!.”. [2]bentak ujang sambal melempar gelas kopi ke dinding warung setelah menyeruput sedikit sajian kopi si mamang.

            “hampura kang[3]” si mamang kembali menyeduh ulang kopi ia lupa kalau pelanggan setianya ini tak suka kopi hitamnya dicampur gula.5 menit setelah kopi hitam telah terhidang di hadapannya, Ujang menghirup kopinya dan segera mendengus lalu melemparkan gelas kopinya ke dinding warung. si mamang penjual kopi hanya meringis menyaksikan dua gelasnya pecah hari ini.“Borokokok! Gelasna urut teh! Masih aya gulaan!”. [4]Karena kesal si ujang meninggalkan warung kopi sambil meludah di depan warung tersebut.

            Si mamang yang melihat ujang meludah segera putus asa. Ia tahu itu bukan ludah biasa, seperti dua hari kemarin, warungnya sepi pengunjung lantaran dari tempat uajang meludah akan mengeluarkan bau bangkai yang tak sedap. Maka si mamang sambil terbayang perut anak istrinya dirumah yang kelaparan, mengepak kembali barang dagangannya.

            Jalan petantang petenteng semakin menambah kadar sombong ujang. Sesekali  ia mencomot bakwan atau risol yang sedang digoreng dalam minyak mendidih dengan tangan kosong dari penjual yang mangkal di sekitar alun alun. Dan kalau haus, ia tinggal mencegat pedagang asongan yang menjajakan minuman lalu mencomot sembarang minuman. Para pedagang yang menjadi korban  ujang hanya bisa rela dagangan mereka di comot tanpa dibayar.

            Ujang bukan asli Banten taka da yang tau asalnya, ia seperti penjelajah yang tidak terikat ruang dan waktu, ia bisa muncul dimana dan kapanpun yang dia mau.

            Awal mula kemunculan ujang memang sempat ditentang warga, tapi itu tidak bertahan lama setelah para warga menyaksikan sendiri, ada pedagang asongan yang tidak terima dagannya dicomot tanpa bayar. Si pedagang asongan langsung naik darah lalu mencengkram kerah baju ujang sambil mengumpat dan bersumpah akan membawanya ke kantor polisi kalau dia tidak mau membayar. Yang Ujang lakukan hanya menutup mukanya dengan kedua telapak tangan dan “Baaa!” seperti anak kecil yang bermain cilukba lengkap dengan lidah yang menjulur ke muka si pedagang asongan. Seketika cengkraman si pedagang asongan langsung terlepas dan tubuhnya ambruk yang dilanjutkan dengan kejang kejang dan mulut yang mengeluarkan busa. Ujang dengan santai melewati kerumunan warga yang mengerumuni kejadian tersebut dan menghilang begitu saja.

*****

            Ahad pagi menyapa rangkasbitung. Kebanyakan penduduknya masih bergelung malas dalam selimut hangat. Tapi tak sedikit juga yang memeras keringat memutari lapangan alun alun di temani kicau burung yang ramai. Lebih banyak lagi angkot yang berseliweran menaik turunkan penumpang dengan kesibukannya masing masing.

            Begitu juga dengan ujang. Ia memulai ‘dinasnya’ dari warung kopi si mamang menuju pelataran masjid agung. Matanya langsung melotot ketika melihat seorang bapak tua berpeci hitam sedang menaruh gerobak dagangan gorengannya di pelataran masjid. sekilas penampilannya mirip tokoh jagoan si pitung, bedanya jagoan silat yang menjadi tontonan favorit pada masanya itu membawa golok, yang dilihat ujang sedang menggoreng bakwan dan tempe. Merasa  daerah kekuasaannya ditempati tanpa izin, ujang menghampiri bapak tua tersebut dengan langkah gusar.

            “Eh mang!, enak nih gorengan!”. Ujarnya sambil mencomot gorenagn dari penggorengan dengan tangan kosong lalu memakannya dengan lahap.“baca do’a dulu kang, nanti sakit perut”.Si bapak mengingatkan sambil terus menggoreng bakwan dan tempe jualannya.

            Tiga detik setelah makanan di mulut ujang tandas, seketika perutnya langsung melilit dan sesuatu yang tidak diinginkan keluar tanpa kehendaknya. Brooot!, bau tak sedap segera mencemar udara sekitar. Ujang berhitung cepat dengan situasi. Sebelum ada pembeli lain yang datang ia harus segera menyelasikan masalah celana jeansnya yang tengah menampung isi perutnya yang barusan keluar tanpa tedeng aling-aling.

            Dengan sekali hentakan kaki, ujang segera menghilang secepat angin berhembus dan berpindah tempat ke kamar mandi masjid dan melanjutkan hajat yang tanpa sekehendaknya.

            Pak tua penjual gorengan yang melihat ajian berpindah cepat si ujang hanya memantik rokok,menhghirup nikotinnya dan menghembuskan asapnya ke udara. “ajian napak sancang, anak muda zaman sekarang asal menggunakannya saja”.lirihnya.

            Tak lama datang anak kecil umur 10 tahun menaiki motor matic yang tingginya tak sesuai badannya.”mang beli gorengan lima ribu!”.

*********

            Ujang yang jengkel karena seharian hanya berjongkok diatas kakus mengeluarkan isi perutnya yang seperti tiada habis. Padahal seingatnya, ia hanya memakan bakso tadi malam. Ia curiga si bapak tua penjual gorengan itu menggunakan ajian hingga membuatnya sakit perut.

            Tepat tengah malam hajatnya selesai. Setelah mencuri celana milik marbot masjid, ia menghampiri tempat pak tua menjajakan gorengannya tadi pagi. Sesampainya di pelataran masjid, ujang hanya mendapati gerobak pak tua yang teronggok bisu. Dengan perasaan jengkel, ia menendang gerobak gorengan yang terbuat dari kayu itu sekuat tenaga.

            ‘duak!’.

            Gerobak itu tidak jatuh seperti yang diharapkan ujang, bergeser satu senti pun tidak. Malah rasa sakit yang segera menjalari kaki ujang. Ia mengerang kesakitan dan menyumpah serapahi gerobak itu. Dengan semakin gusar ia memukul mukuli gerobak pak tua yang tetap diam tak bergerak walau semili. Ujang yang terlalu jengkel merasa kesal pada gerobak girengan pak tua, berkomat kamit membaca ajian dan meniupkannya pada kepalan tangannya.

            ‘Duaaar!’.

Kesiur angin ikut bertiup ketika tinju itu melayang dan mengenai gerobak pak tua. Suara dentumannya menggelegar. Tetapi sialnya, gerobak itu tetap diam di tempatnya.

“arrrrrggghh”. Ujang menggeram kesal. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi. Ajian yang seharusnya bisa meruntuhkan gunung itu tak berefek apa apa pada gerobak kayu milik pak tua.

“Ajian tinju sepikul, kalau dipaki dengan hati yang benci dan tanpa mengucap basmalah hanya seperti kentut gajah”. Suara bapak tua terdengar di telinga ujang. Ia celingukan mencari sumber suara, tetapi nihil didapat. Tak ada seorangpun yang dilihatnya.di sekitar tempatnya berdiri.

“Saha maneh?!.” [5]Teriak ujang, ia tahu itu Teknik kalam batin. Teknik yang digunakan seseorang untuk berbicara melalui telepati.

“Saya hanya penujual gorengan”. Kini suara itu terdengar jelas bukan dari telepati. Ujang membalik badannya dan mendapati pak tua sedang bersender di gerobaknya sambil menghisap rokok. Dengan sorot mata yang nyalang, ujang kembali meniupkan ajian tinju sepikul ke kepalan tanggannya dan melayangkan tinju pada pak tua.

Dengan tenang dan santai pak tu tanpa gentar mengarahkan putung rokoknya yang menyala merah kearah pukulan ujang.

‘ceeessssssss’.

Pukulan tinju sepikul tidak mengeluarkan suara menggelagar seperti sebelumya. Yang ada hanya suara seperti batang besi panas yang dicelupkan ke dalam air. Ujang berteriak kesakitan sambil meniup-niup kepalan tangannya yang memerah terkena puntung rokok, tapi rasa panas malah semakin menjalari seluruh tubuhnya. Dimulai dari tangan sampai kaki, semuanya terasa panas. Ujang berteriak semakin keras menahan panas di tubuhnya.

“saha maneh tua bangke!?” [6]ujang berteriak sekencang mungkin.

“sudah saya bilang, saya hanya penjual gorengan biasa, liat tuh dagangan saya laris manis” pak tua menjawab santai sambal menunjuk gerobak gorengan yang dagannya telah tandas. Ujang menggeram gusar sambil berjongkok berusaha meredam panas di tubuhnya yang semakin menjadi. Ia berusah memakai ajian agar panasnya hilang. Tetapi ajiannya seakan disegel oleh panas dari puntung roko pak tua, yang ada semakin ia berkomat kamit, semakin itu pula panas di tubuhnya bertambah.

Pak tua menghisap rokok dan berjongkok di hadapan ujang seraya menghembuskan asap rokok ke wajah memerah ujang. Pak tua memegang kepala ujang dan mengusapnya.

jang, dengekeun yeuh!. Urang banten mah sanajan kasar bahasana, sopan santunna teu ilu kasar, ulah bangga boga ajian-ajian sakti mandraguna, amun akhlaq sia can bener, kaharti!?.[7]

Ujang mendengus kesal, tidak terima diberi ceramah oleh orang yang tidak ia kenal. Pak tua menghisap rokoknya, menghembuskannya ke udara. Ia lantas tersenyum meluihat wajah terlipat ujang.

“jang, yang namanya jawara Banten, bukan yang menindas, tapi yang selalu menolong dengan ikhlas, jawara banten bukan yang menyakiti, tapi yang selalu melindungi dan menyayangi, kalau memiliki ajian sakti, bukan untuk unjuk gigi dan sombong diri, tapi untuk berendah hati dan berbuat baik”. Ujang masih mendelik marah sambil menahan panas, Pak tua hanya tersenyum lalu menghembuskan asap rokoknya ke wajah memerah Ujang. Wuuusshhh! Tepat Ketika asap rokok mengenai wajahnya, Ujang tak sadarkan diri.

Adzan subuh berkumandang di Masjid Agung, Ujang sontak terbangun dari tidurnya, sempat ia berfikir ia baru saja bermimpi buruk, namun dugaannya kandas Ketika melihat gerobak pak tua berada di pelataran Masjid Agung.

“Sholat Jang, percuma Jawara amun teu sholat mah, ajian Ujang Abah simpen heula nyah”. Bisikan pak tua dari kalam batin menggema di telinga Ujang, “AAAARRRGGHHH”, Ujang berteriak kesal.

 

Kampung sejuk,31 Juli 2022/1444

 


 


[1] Kopi angkot satu

[2] Peh, borokokok (ungkapan tidak suka) enggak inget kamu kalau saya enggak suka gula?! Seduh lagi! Jangan pake gula!

[3] Maaf kang

[4] Borokokok, gelasnya bekas teh! Masih ada bekas gulanya!

[5] Siapa kamu?!

[6] Siapa kamu tua bangka?!

[7] Jang, dengarakan sini, orang Banten walaupun bahsanya kasar, sopan santunnya enggak ikut kasar, jangan bangga punya ajian ajian sakti mandraguna kalu akhlaq kamu belum bener, ngerti?!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kediaman Henderson
0
0
Menceritakan tentang Stephen Henderson dan keluarganya yang tinggal di sebuah desa terpencil. Keluarga Henderson sangat kaya raya dan sombong. Mereka tak segan-segan mengejek dan menjelek-jelekan warga desa lainnya.Namun di suatu malam, terjadi suatu kejadian yang membuat tawa sombong mereka hilang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan