Pantai dan Ceritanya

4
1
Deskripsi

Pantai selalu punya ceritanya sendiri, begitu pun untuk Jeha, Eza dan Edgar. Pantai itu menyimpan kenangan mereka. Kenangan indah sekaligus kelam yang tak pernah bisa dilupa hingga hari ini. 

— by © ksjmysunflower

You can download a tiny little fanart here :

https://drive.google.com/file/d/19h-N2hIhFAe1y2BUkOff9GBcNYDPp0fO/view?usp=drivesdk

____________________________________________________

 

Beberapa kali Eza melirik ke arah spion untuk memeriksa keadaan sahabat perempuannya yang duduk di kursi belakang. Bersama dengan ponselnya. Senyumnya mengembang manakala manik keduanya bertemu. Jeha tau ini sudah kesekian kali Eza memeriksa keadaannya dari depan. Biasanya puan itu akan mengambil tempat di samping sopir, entah kenapa hari ini ia memilih kursi belakang. Sebenarnya tidak ada masalah dengan hal itu, Edgar pun kadang memilih kursi depan agar dapat melihat pemandangan jalan dengan jelas.

“Kenapa, Za?” tanya Jeha tanpa suara yang langsung mendapat gelengan dari sahabatnya.

Sudah satu jam perjalanan dan tak ada rasa bosan untuk ketiganya. Musik yang diputar Edgar tak pernah gagal. Setiap lagunya menjadi favorit mereka, tak jarang membagi playlist agar dapat didengarkan bersama. Sesekali beradu suara ketika lirik kesukaan muncul. Kehangatan yang tak pernah bisa didapat jika sendirian. Harus dengan bersama.

Tepat pukul setengah empat sore mereka sampai di pantai tujuan. Masih sangat sepi dan tenang. Suara debur ombak dan angin kencang menyambut kedatangan mereka. Rambut Jeha otomatis berkibar begitu keluar dari mobil. Senyumnya merekah seketika, yang otomatis membuat senyum Eza dan Edgar juga ikut merekah.

Jehe menutup mata dan merentangkan tangannya, merasakan sentuhan angin yang tak henti menabraki dirinya. Tak peduli jika rambut yang sudah ditata bisa rusak dan berantakan. Ia hanya butuh udara segar seperti ini. Udara yang bisa memeluk dirinya dan membuang semua derita yang selama ini menenggelamkannya.

“Gue boleh ke sana, nggak?” tanya Jeha pada Eza yang baru saja mengunci mobil. “Boleh, dong.” membuat Jeha langsung berlari ke tengah pantai.

Cuaca sedang sangat bagus, tak panas tapi juga tak mendung dan sedikit berangin. Jeha sudah menyatu dengan pantai, berlari tanpa sepatu. Ia melepaskan saat benda itu yang mulai mengganggu langkahnya.

Bisa dibilang ini adalah pertama kali sejak sepuluh tahun terakhir Jeha datang ke pantai. Sebelumnya ia tak pernah mempunyai kesempatan. Jangan ditanya kenapa, liburan keluarga Jeha tidak pernah sesuai dengan apa yang ia inginkan. Selalu bergantung dengan keputusan sang mama. Dan mamanya lebih menyukai tempat-tempat mewah untuk melepas penat. Sedangkan papanya selalu mengabaikan dirinya setiap kali merengek ingin liburan. Buang-buang waktu, katanya. Ditambah Jeha tak pernah memiliki teman yang bisa diajak untuk datang ke tempat seperti ini. Dahulu tak pernah ada yang ingin berteman dengan Jeha, alasaannya adalah takut kepada sang ayah yang selalu memarahi mereka jika terus mengajak Jeha bermain. Menjadikan puan itu kehabisan waktu untuk belajar.

Senyum Eza dan Edgar melebar melihat bagaimana sahabat perempuannya itu kegirangan. Menikmati air yang mengenai kakinya. Hembus angin yang tak henti mengibarkan helai-helai rambutnya. Manis sekali.

Edgar memungut sepatu yang dilemparkan perempuan itu agar kakinya bisa leluasa berlari ditengah pasir. Mendekati air yang cukup tenang namun aktif bergerak. Mengetuk-ngetuk sepatu hitam itu agar pasirnya keluar.

"Nggak mau nembak sekarang aja, Gar?" 

Edgar menoleh ke arah suara. Eza, sahabat yang menjadi satu-satunya orang yang mengetahui tentang perasaannya pada puan itu. Bibirnya menyunggingkan senyum. Lalu menggeleng.

"Nunggu apaan sih? Mumpung momennya pas, di tempat yang oke juga. Waktu kita bertiga tepat banget ini." 

Memang benar apa yang dikatakan Eza. Di tempat di mana Jeha bisa merasa sangat bahagia. Namun Edgar cukup tau dan mengerti apa yang sedang dirasakan sang puan saat ini. Tawa dan senyumnya tak serta merta begitu saja. Ada rasa sakit dan perih yang ia tahan sendiri.

"Gue nggak mau ngerusak istirahat dia. Kayaknya kemaren Om Bisma datang ke apart deh." Eza mengerutkan dahi, memusatkan pandangan pada sahabatnya.

"Tadi gue lihat ada biru di dada dan lengan sebelah atas Jeha. Nggak sengaja juga kesenggol gue dan dia kayak aw gitu."

Detik itulah Eza bisa merasakan bagaimana cintanya Edgar kepada Jeha. Selalu Edgar yang mengetahui dibagian mana Jeha terluka, bahkan saat tubuhnya baik-baik saja, sahabatnya itu bisa merasakan jika Jeha sedang tidak. Keduanya terjebak dalam situasi membingungkan yang gilanya justru di nikmati.

"Gue mau dia ngerasain bahagia buat ngelunasin tangisannya semalam, atau kapanpun itu. Seenggaknya sehari. Gue nggak papa kok nunda perasaan ini. Buat kita bahagia Jeha nomer satu, kan?"

Sekali lagi, Edgar benar.

Suara debur ombak perlahan terdengar semakin nyaring manakala mereka berdua berjalan mendekati Jeha yang asik berlarian. Puan itu layaknya anak kecil yang baru mengenal pantai. Baru pertama kali menikmati indah dan bahagianya berada di tempat seluas ini. 

Pantai pinggiran kota yang masih belum banyak orang tahu menjadi tujuan yang tepat untuk melepas lelah. Suasana yang masih sejuk dan bersih menjadi kenyamanan tersendiri. Membuat siapapun akan betah berlama-lama ada di sini. Termasuk tiga serangkai yang mulai lelah mengeksplor pantai. Memilih duduk menghadap laut, memandang langit yang mulai menampakkan semburat merah muda.

"Seneng banget gue." Seru Jeha setelah menyeruput es degan hijau yang ia beli di satu-satunya penjual yang buka hari itu.

"Gue apalagi, liat lo sebahagia ini rasanya udah lebih banget."

Nafas Jeha sungguh lega. Sejak bertemu dengan dua laki-laki ini hidupnya lebih mudah, sesaknya perlahan menghilang. Walau tak bisa dipungkiri jika gelapnya tak pernah hilang. Hidupnya masih dipenuhi asap gelap yang kadang masih membuatnya hilang arah. 

Setelah lelah berlari, Jeha memutuskan untuk duduk di antara Eza dan Edgar yang sudah lebih dulu. Menyandarkan kepalanya pada bahu Edgar yang di samping kirinya. 

Laut, langit cerah, angin sepoi dan dua malaikatnya. Jeha seperti berada di ruang tenangnya. Seolah tak ada yang bisa mengganggunya di sini. Ada dua penjaga yang siap menghalau apapun yang berani mengganggunya.

"Lo beneran nggak pernah ke pantai? Seumur hidup?" Tanya Eza memecah keheningan mereka.

Puan itu menegakkan tubuhnya lalu berkata, "pernah sih, waktu karya wisata pas sd kalo nggak salah."

Edgar tak bisa menahan tawanya. Meskipun terdengat menyedihkan, namun terselip rasa lucu jika dibayangkan selama apa waktu yang disebutkan. Disusul oleh kikikan Eza yang ditahan. Takut Jeha sebal.

"Nanti kalo kalian punya cewek, cari yang bisa diajak seru-seruan begini. Gue juga deh bakal cari cowok yang bisa ajarin gimana caranya nikmatin hidup. Biar nggak nangis terus." 

Bak ditampar kanan kiri, hati Eza dan Edgar meledak. Walau bicaranya dengan senyum dan tak ada gurat kesedihan, keduanya tau jika Jeha sedang memberi mereka nasihat seolah tak perlu memperdulikan dirinya sebegitunya. Dia bisa sendiri.

"Dih, emang kurang nih cowok dua buat lo. Padahal sekampus iri tau sama lo bisa ditempelin kita." Jeha menoleh ke arah Edgar lalu menjawab, "pantes punggung gue suka tiba-tiba sakit sama panas, ternyata ketempelan elo—ah Gar, geli hahaha." 

Eza memeluk Jeha ketika puan itu berusaha berlindung kepadanya akibat serangan kelitik dari Edgar. Renyah sekali tawa Jeha yang selalu berhasil menghangatkan hati dua pemuda itu. Tak ada yang mereka harapkan lagi selain senyum dan bahagia sahabatnya. Satu-satunya orang yang bisa menghadirkan lagi warna yang sempat hilang dalam hidup keduanya.

"Kira-kira di akhirat nanti ada pantai nggak, ya?" Baik Eza maupun Edgar spontan menoleh. Jeha tersenyum sembari menatap langit biru yang dihiasi awan putih tanpa ragu. Maniknya melengkung seolah sedang bersatu dengan hangatnya bumi.

"Misalnya ada nih, ntar kalo gue mati, gue bakal mampir ke pantai tiap hari. Ganti semua waktu yang nggak sempat gue lakuin di masa lalu dan masa datang." 

Ada sesak yang tidak bisa dideskripsikan sesaat setelah Jeha menatap dua pemuda itu bergantian. Meraih kedua tangan itu untuk digenggam. Hangat suhu tubuh Jeha sukses tersalurkan. Namun tak membuat hatinya menghangat, justru semakin dingin. 

Seperti trauma, Edgar dan Eza selalu takut jika Jeha sudah menyebut tentang kematian. Mengingat apa yang pernah puan itu lakukan dahulu. Percobaan bunuh diri dengan meminum obat tidur dengan dosis berlebih. Untung Edgar cepat datang dan langsung membawanya ke rumah sakit. Jika diingat saat itulah pertemanan mereka dimulai. Jeha perlahan mulai percaya jika di dunia ini tak semua laki-laki sepeti papanya.

"Gue ikut lah kalo lo mati, enak aja main pergi sendiri. Nggak ada ya." Senyum Jeha semakin mekar. Sahabatnya ini selalu seperti itu.

“Je, cita-cita lo apa sih?”

Puan itu terdiam, meremas batok kelapa yang ada di pangkuannya. Pandangannya seketika kosong, mendadak kehabisan kalimat. Cita-cita. Apa cita-cita seorang Jenahara Diatama? Dia tak pernah benar-benar memikirkan bahkan memilikinya. Selama ini dirinya hanya sibuk mewujudkan cita-cita kedua orang tuanya tanpa pernah tau apa yang sebenarnya ia inginkan.

“Yah, dia malah ngelamun. Nih kalo bingung gue kasih contoh, cita-cita gue pengen jadi orang kaya terus sewa detektif buat cari keberadaan Sania.” Kata Edgar yang sukses membuat Jeha tersenyum. Lalu menatap Eza yang masih tersenyum. Tanpa mengatakan pun Jeha tau jika di kepala lelaki di samping kanannya ini pasti sudah banyak rentetan cita-cita yang sebagian besar sudah berhasil ia capai.

“Gue pengen hidup bahagia.” Perempuan yang kini menatap laut itu tersenyum, lalu melanjutkan. “Gue pengen ngerasain hangat yang udah lama nggak pernah gue rasain. Cita-cita gue, pengen jadi bahagia.”

Untuk beberapa saat tak ada yang berani bersuara, namun Jeha akhirnya memecah keheningan itu. “Menurut lo berdua menyerah itu pilihan, bukan? Kalo menurut gue menyerah itu juga pilihan meskipun keputusan yang buruk. Tapi mau bagaimana pun, setiap keputusan harus dihargai, kan?”

Jeha menarik nafasnya, menyunggingkan satu senyuman manis di wajahnya. “Kadang gue ingin banget menyerah, capek begini terus. Tapi ketemunya sama kalian, jadi punya alasan bertahan terus. Padahal dulu gue sempat menyerah, taunya diselamatin sama Edgar.” 

Ucapan Jeha berhasil menerbangkan ingatan Edgar pada hari dimana ia menemukan sahabatnya itu tergeletak dengan buih di mulutnya sebab menelan obat tidur secara berlebih. Ia pun masih ingat jelas bagaimana dokter mengatakan jika telat sedikit saja Jeha bisa meninggal. Mimpi buruk pertama yang tak hanya harus ditelan oleh Edgar, namun juga Eza. 

Mendadak sunyi, tak ada jawaban baik dari Eza ataupun Edgar. Satu-satunya yang terdengar hanya debur ombak dan angin yang semakin lama semakin kencang, membawa hawa dingin yang sama sekali tak membuat ketiganya kedinginan. Hidupnya lebih dingin jika harus bersanding dengan angin sore ini. Tidak ada apa-apanya.

“Jeha, mau janji sama kita, nggak?” tanya Eza.

“Perasaan sama kalian gue disuruh janji mulu deh.” Tukas sang puan, namun tetap mengangguk setuju. Kini kakinya di tekuk hingga dada lalu dipeluk dengan kedua tangannya.

“Jangan pernah jalan sendirian. Ajak kita, pasti ditemani. Kalo nggak ada satu pun yang bisa buat lo bahagia, lari ke kita. We will bring happiness to you. Kita bakal cari mau ke ujung dunia sekalipun.” Ucap Eza dengan manik yang tak henti menatap perempuan di sampingnya.

“Tapi people come and go, kan? Kalo gue pergi, pasti nanti ada aja yang datang, kalian nggak akan kehilangan apapun.” Kata Jeha yang berhasil membuat dua pemuda itu saling tatap. Merinding sendiri mendengarnya.

“Tapi gue mau lo ada terus, nggak peduli siapapun yang bakal datang. Yang paling penting lo ada di antaranya.” Kata Edgar setelahnya.

Tak menjawab, Jeha hanya tersenyum sembari tangannya mengusap paha Edgar, lalu berkata, “peluk gue dong, dingin nih.” yang tak perlu menunggu waktu lama untuk dua pemuda itu memberikan pelukan paling hangat untuk sahabat cantiknya. Jangankan pelukan, dunia pun akan diusahakan.

Aroma tubuh Eza dan Edgar bercampur menjadi satu, aroma yang selalu berhasil membuat Jeha merasa jika dunia tak akan berani macam-macam dengannya. Karena sekali lagi, dirinya memiliki perlindungan setebal baja. Eza dan Edgar sudah cukup untuk membuatnya bertahan selama ini.

Namun Jeha tau diantara mereka harus dirinya yang lebih dulu pergi. Meninggalkan dunia yang terlalu dingin untuk ditinggali sendiri. Tidak, Jeha tidak meminta siapapun untuk menemani. Karena ia tahu dunia Eza dan Edgar akan segera menemui hangatnya. Sedang dirinya, harus segera pergi jika ingin merasa hangat. Mewujudkan cita-cita yang selama ini ia impikan.

Sekali lagi, menyerah adalah caranya menemui hangat yang selama ini ia cari. Membawanya ke akhir bahagia yang hanya bisa dirasa sendiri. Egois kedengarannya, namun kadang kita harus menjadi egois untuk membahagiakan diri sendiri. Berhenti membahagiakan orang lain untuk membahagiakan diri sendiri bukanlah hal yang salah. Tidak dosa, kan?

 

***

 

Edgar menghembuskan asap dari rokok kelimanya malam ini sebelum kemudian mematikan apinya. Membuangnya ke asbak untuk bergabung dengan putung rokok lain. Ia menatap kaleng alkohol yang isinya sudah tinggal separuh. Malam ini ia ingin menikmati kombinasi yang selalu berhasil mereda berisik isi kepalanya. Ia menutup mata, membiarkan angin menyapa dirinya. Balkon kamar menjadi spot paling nyaman untuk Edgar yang sedang kacau.

Malam ini genap hari keseribu tanpa sosok puan bernama Jenahara, dan dadanya masih begitu sesak setiap kali mengingat sosoknya. Senyumnya kadang masih terbayang, menghantarkan dirinya sesaat sebelum terlelap. Berharap Jeha akan mampir dalam mimpinya.

Suara pintu yang dibuka memecahkan ketenangannya, bersama dengan langkah kaki yang semakin mendekatinya. Tanpa menoleh pun Edgar bisa tau jika itu adalah Eza. Saudara tirinya. Pemuda itu menjalani perannya dengan baik. Penyeimbang dirinya setiap kacau menyapa.

“Baru selesai makan udah mabok aja lo.”

Edgar menyambut Eza dengan senyum kecutnya. Tanpa menjawab, sang pemilik pesat mengambil satu kaleng lagi dan memberikannya pada Eza. Edgar tau jika saudaranya ini tak akan menolak, ia pasti akan menemani. Seperti yang selalu dilakukannya selama ini.

Hening setelah itu, yang ada hanya suara angin dan beberapa kendaraan yang melewati depan rumah mereka. Kelip lampu dari rumah tetangga menjadi pemandangan indah keduanya. Sesungguhnya sangat tenang berada di sini, hawa dan suasananya sangat nyaman jika digunakan untuk berpikir atau sekedar bersantai.

“Za, kira-kira di akhirat beneran ada pantai, nggak ya?” bagai dejavu, pertanyaan yang sama pernah ditanyakan oleh Jeha beberapa tahun lalu sebelum dirinya pergi. Sebelum semua hal buruk beruntuk menempa perempuan itu.

“Ngomong apaan sih lo?” ucap Eza. Meletakkan kaleng yang baru saja berniat ia buka. Edgar rupanya lebih butuh telinga untuk mendengarkan. Ia tak butuh apapun, hanya didengarkan.

“Gue cuma penasaran aja, kalo sampe nggak ada kasihan Jeha udah jauh-jauh ke sana, nggak bisa ke pantai tiap hari kayak yang dia pengenin.” Jawab Edgar yang mengundang senyuman Eza. Walau tak bisa dipungkiri jika ada ketakutan dan trauma di baliknya. Ia tak bisa membayangkan jika satu sahabat yang kini menjadi saudaranya ini juga harus pergi meninggalkannya.

“Meskipun nggak ada pantai, pasti banyak hal yang bisa buat dia bahagia di sana. Kebayang senyum lebarnya kayak apa waktu bisa lari ke sana kemari semaunya.” Kata Eza sembari menatap langit, seolah tau jika di balik langit gelap itu Jeha bisa mendengar apa yang ia katakan.

“Jeha pernah bilang kalo kita pusat bahagianya, sama kita aja udah cukup buat dirinya bertahan. Tapi kenapa milih nyerah, pergi sendirian?” senyum yang tadi menyembang perlahan surut.

Sekali lagi Edgar meneguk sisa alkohol yang ada di dalam kaleng hingga habis, matanya berkaca. Seperti ingin menangis namun sengaja ditahan. Eza bersumpah pemandangan seperti ini selalu berhasil membuat semua impian hidupnya runtuh. Sejak Jeha pergi, Edgar yang periang seperti ikut menghilang. Walau beberapa kali sempat dipaksakan hadir, tetap saja akan kembali ke mode seperti ini lagi jika lelah.

“Lo habis ke makam, ya?” tanya Eza yang langsung mendapat jawaban berupa anggukan oleh pemuda di samping. Ini bukan hari Sabtu yang mana menjadi jadwal wajib keduanya untuk berziarah, membersihkan rumah baru Jeha juga menabur bunga baru agar tetap indah.

Dan jika sudah begitu, sudah dipastika Edgar sedang merindukan sosok wanita yang ia cintai. Jenahara.

“Lo inget, nggak apa cita-cita yang pernah Jeha bilang waktu di pantai waktu itu?” tanya Eza. “Jadi…bahagia?” jawab Edgar setelahnya.

Eza membenarkan posisi duduknya, sedikit miring agar dapat menatap Edgar. Ia bisa melihat berapa kacau penampilan Edgar jika begini, jauh sekali jika dibandingkan dengan penampilan normalnya. Dua kancing kemeja hitam lelaki di sampingnya ini sudah terbuka, bagian yang dimasukkan ke dalam celana sudah berantakan dan keluar dari letaknya. Rambutnya sedikit berantakan karena beberapa kali dijambak saat pusingnya menyerang.

“Lo pasti tanya gimana bisa gue move on secepat itu, hidup normal seolah nggak kehilangan apapun padahal lo tau gimana sayangnya gue sama Jeha. Bukan karena ada Meira, tapi karena gue yakin Jeha nggak benar-benar pergi. Dia ada di sekitar gue cuma nggak kelihatan aja. Dan saat ini dia udah bahagia–“

Eza menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “–Jeha udah bahagia, nggak menderita, nggak ada yang mukulin, dan nggak harus menuhin cita-cita siapapun. Dia udah bahagia. Cita-citanya terwujud, Gar.”

Bulir air mata yang sudah ditahan entah bagaimana sudah mengalir saja, bayangan akan senyum dan tawa Jeha yang sesekali masih bisa didengar oleh Edgar menjadi alasannya menangis. Membayangkan bagaimana Jeha memanggil namanya dan mengatakan jika dirinya bahagia. Tangisnya semakin kencang. Dadanya semakin sesak.

“Harusnya sekarang dia ada di bawah lagi masak sama bunda, ngobrol sama Sania dan Meira, dengerin papa cerita tentang mahasiswa di kampusnya. Harusnya nggak cuma kita yang ngerasain hangat kayak gini. Jeha belum sempat ngerasain semua ini, harusnya–“

Kalimatnya direbut oleh hampa dadanya yang disusul oleh air mata yang semakin dibiarkan semakin deras. Seluruh tubuhnya bergetar, sesekali menarik rambutnya yang sudah berantakan. Jujur ia kesal dengan versi dirinya yang ini. Lemah. Berantakan.

Eza membiarkan saudaranya menikmati lukanya, membiarkannya menangis hingga lega. siapapun berhak untuk merasa sedih. Perasaan sedihnya valid. Tidak perlu malu dan di tutupi. Eza lebih senang melihat Edgar seperti ini daripada harus menyembunyikan perasaannya. Seperti yang sering dilakukan pemuda itu selama ini.

"Dulu lo yang selalu bilang kalo kebahagiaan Jeha itu paling penting. Percaya sama gue, Jeha pasti udah di surga. Udah tenang." Kata Eza saat tangis Edgar mereda. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan. Menyingkirkan sesak sialan di dadanya. Walau sungguh ia masih belum puas menangis. Tak akan puas.

"Mungkin untuk sebagian orang, kematian jadi akhir mengenaskan. Tapi untuk Jeha, itu justru akhir paling tepat. Dia nggak perlu menderita, nggak perlu wujudin cita-cita yang nggak dia mau, dan dia nggak perlu terus pura-pura baik aja."

Eza bangkit, mendekat pada saudaranya itu lalu berucap, "gue tau ikhlas itu nggak mudah, tapi lo bisa nyoba. Pelan-pelan aja, ini bukan kompetisi."

Ditepuk pundak Edgar. Berusaha menyalurkan energi positif padanya. Walau tampak tegar, Eza pun merasakan rindu sebesar yang dirasakan Edgar. Ia juga sangat kehilangan. Ada sebagian dirinya yang hilang sejak kematian Jeha. Sampai sekarang ia masih menangis setiap hari kemarin puan itu. Harinya akan sendu jika Jeha mampir dalam mimpinya. Dan hatinya sakit sekali saat berkumpul dengan keluarga dan sadar jika Jeha tak akan pernah ada di tengahnya. Eza masih merasakan itu.

Disunyinya malam itu sayup-sayup terdengar suara Bunda memanggil. Yang semakin lama semakin kencang hingga benar-benar terdengar tepat di depan pintu kamar.

“Edgar…”

Keduanya menoleh, sekali lagi suara itu terdengar dan sudah dipastikan milik Bundanya. Buru-buru Edgar menghapus air matanya juga merapikan bajunya sebelum membuka pintu. Benar saja Bunda sudah berdiri di sana dengan kedua tangan dilipat di depan dadanya.

“Ya ampun pasti belum mandi nih ya?” kata Bunda yang berbuah gelengan dan kekehan dari Edgar. “Itu ada Sarah datang nyariin, aduh malu dong kalo tau kamu begini.” Ucap Bunda lagi.

“Sarah? Ngapain, bun?” tanya Edgar, yang kemudian dijawab, “mana bunda tau.” Oleh sang bunda.

Baru beberapa langkah, Edgar ditarik masuk oleh Bunda sampai pemuda itu mengaduh. “apalagi, bunda katanya ada Sarah?”

“Kamu mau nemuin Sarah begini? Nggak ada ya, ganti baju, sikat gigi. Dia dateng cantik banget masa kamu begini bentukannya. Nanti dikira bunda nggak bisa urus kamu. Ayo masuk cepet, lima menit bunda tunggu di sini.”

Belum sempat menjawab apapun, ia didorong masuk dan pintu kamarnya sudah ditutup. Meninggalkan Eza bersama bunda yang kini tersenyum manis padanya.

"Lima menit ya, Gar. Jangan lama-lama. Bunda beneran tunggu sini."

"IYA BUN, BENTAR—AWH"

“Makasih ya, bun.” Bunda menggeleng lalu berkata, “Edgar juga anak bunda, sayang. Kamu juga nih, ada Meira di bawah malah ngumpet di sini. Pacar dia itu kamu bukan papa, masa papa terus yang menemenin ngobrol.”

Eza memberikan ciuman di pipi sang bunda sebelum akhirnya turun ke bawah untuk menemui sang kekasih. Pandangan bertemu dengan sebuah foto yang menggantung di depan pintu kamar Edgar. Foto Eza dan Edgar bersama dengan Jeha di sebuah pantai. Banyak rasa syukur dan doa seriap kali melihat wajah cantik itu. Perempuan yang berhasil membuat dunia dua anaknya kembali berwarna. Perempuan yang selalu menjadi ingatan indah untuknya dan keluarga kecilnya. Perempuan yang menjadi satu dari sekian banyak alasan mengapa dirinya ada di sini. Memeluk kehangatan yang lama tak ia rasakan. Perempuan yang harus mengorbankan seluruh hidupnya demi kebahagiaan orang tuanya. Dan kini ia pergi, melayang mencari bahagianya di surga. 

“Terima kasih, Jeha.”

Walau ia tahu sebanyak apa ia berterima kasih tak akan memunculkan kembali jiwa yang sudah pergi. Namun ia yakin puan itu bisa melihatnya, terus mengawasi keluarganya dari atas sana.

Pintu kamar Edgar terbuka, menampakkan pemuda tampak dengan kaus hitam dan celana jeans dan rambut yang sudah rapi. Wangi parfum mendominasi. "Udah nih." 

"Nah gini, kan ganteng anak bunda. Ayo turun."

 

**

 

Sepoi angin menyambut datangnya Eza dan Edgar di pemakaman kota yang cukup sepi pagi itu. Sudah menjadi kegiatan mingguan keduanya untuk ziarah ke makam sahabat sekaligus orang yang tak pernah bisa mereka lupakan seumur hidup. Wanita cantik yang selalu menjadi alasan keduanya bersemangat menjalano setiap harinya. Wanita yang mengembalikan terang yang sempat hilang dalam hidup keduanya.

Edgar menyingkirkan bunga kering di atas pusaranya. Membersihkan debu yang menutupi nisan berwarna putih yang terukir nama Jenahara Diatama di atasnya. Hatinya selalu nyeri setiap kali mengeja rangkaian nama juga tanggal lahir dan tanggal wafat. Seharusnya tak begini.

“Hai, Je.” Edgar menarik nafas agar suaranya kembali utuh, sesaknya tiba-tiba datang membuat suaranya serak. Ingin menangis.

“Semalem Edgar mabok lagi, Je. Terus masa ya tadi mau ke sini nggak mau mandi dulu. Marahin aja nih.” Kata Eza yang berbuah pukulan di bahunya.

Candaan seperti itu selalu Eza utarakan agar selalu merasa jika Jeha tak pernah pergi, walau puan itu tak pernah lagi menjawab. Tak apa, Eza hanya ingin merasakan kehadirannya. Eza selalu begitu, ia tak benar-benar menganggap sahabatnya itu pergi jauh.

“Gimana? Di sana ada pantai, nggak? Dateng ke mimpi gue lagi dong. Kangen nih.” Ucap Edgar yang kini disusul air mata.

Sejak malam itu, ia terus terbayang akan senyum Jeha. Rindu sekali, ingin bertemu. Ia ingin bercerita banyak hal tentang harinya, memeluk sang puan untuk meletakkan lelah. Bersandar seolah esok akan baik saja. Edgar rindu sekali.

“Lo udah bahagia, kan? Kasih tau Edgar gih, gue juga tapi.” Ucap Eza lagi. Tangannya menepuk pundak saudara di sampingnya, menyalur rasa tenang yang dibutuhkan.

Sedetik kemudian angin berhembus agak kencang, mengenai tubuh Eza dan Edgar. Mereka bertukar pandang, seolah tau mungkin itu jawaban dari Jeha yang melihat mereka entah dari sisi mana. Senyum Edgar merekah, disusul milik Eza seolah bangga. Angin barusan seolah membenarkan keyakinannya jika Jeha tak pernah meninggalkan mereka. Jeha tetap asa di sini, mengawasi dari jauh.

“Pulang yuk, lo janji mau anter bunda ke salon.” Kata Eza. Anggukan Edgar menjadi pertanda jika waktu mereka di makam ini sudah berakhir. Walau berat, Edgar akan berusaha melangkah ke depan. Ia yakin Jeha tak pernah meninggalkannya.

Benar, Jeha tak pernah pergi jauh. Kenangan dan ingatan tentang dirinya akan selalu abadi. Terkurung dalam bangunan yang akhirnya bisa disebut rumah, tempat pulang untuk dua insan yang pernah kehilangan kata itu. Eza dan Edgar adalah tujuan tanpa akhir yang menjadi selamanya untuk perempuan yang akan terus diingat namanya. 

Namanya, Jenahara.

[]


— by © ksjmysunflower
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dancing In The Pain
79
6
Ulang tahun tak pernah seindah ini, until he found her
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan