
📢BAB 2: Tawuran Pertama & Nama yang Mulai Disebut
Ujang baru jalan, eh…
BRAKK!! Satu tonjokan mampir ke mukanya, gratis, tanpa diskon.
Yang nonjok? Si Bara, juragan tangan keras dari kampus sebelah.
Almamater merah VS almamater biru,
tapi yang paling parah?
Harga diri Ujang yang mental ke orbit.
Mulai dari sini, nama-nama mulai disebut.
Tapi yang disebut duluan?
Yang jatuh duluan 🤕💥
😂 Siap-siap ngakak sekaligus geregetan.
Bab 2 datang dengan penuh tonjokan dan...
sedikit trauma kampus!
Ujang lari keluar kamar cuma pakai jaket almamater dan sendal jepit.
Remon nyusul sambil bawa helm motor.
“Buat apa helm?” tanya Ujang ngos-ngosan.
“Gue gak tau ini tawuran atau MotoGP, Jang!”
Lapangan tengah kampus udah rame. Dua kubu saling dorong.
Anak Teknik Sipil di kiri kompak pake jaket biru dongker, gaya preman pasar.
Anak Teknik Elektro di kanan berantakan, tapi muka-muka penuh dendam.
Di tengah, satu orang berdiri paling depan. Badannya tinggi, rahang kotak, alis tebal.
Bara. Ketua geng Teknik Sipil.
Orangnya kayak gabungan antara mantan pacar toxic dan karakter utama di sinetron azab.
Bara maju. Nunjuk ke arah Ujang, yang bahkan belum sempat paham apa yang terjadi.
“Lu, anak baru. Sini. Mau ngerasain jadi mahasiswa beneran?”
Semua mata langsung ke Ujang.
Senior-senior Elektro bisik-bisik. “Itu yang kemarin ngelawan waktu disuruh merayap di lorong.”
Remon panik. “Jang… kita pulang aja yuk. Kita minta maaf ke nasib.”
Tapi Ujang gak mundur.
Dia maju. Gak karena berani, tapi karena gak tau cara mundur dengan elegan.
“Aku anak baru. Tapi bukan berarti bisa diinjak,” katanya, sambil menahan getar suara.
Bara ketawa. “Suka gue bocah kayak lo. Sombong dikit, goblok banyak.”
Dan sebelum Ujang bisa jawab, satu pukulan melayang ke pipinya.
Bergelegar.
Ujang jatuh. Dunia muter.
Suara jadi kayak radio rusak.
Tapi dari balik semua itu, dia denger satu kalimat dari senior Elektro:
“Woy! Anak baru itu… bangkit, bro! Kalau lu bisa berdiri lagi, lu pantes jadi bagian dari kita!”
Ujang nahan sakit. Tangannya nyari tanah. Kakinya goyah.
Tapi perlahan, dia berdiri.
Darah di bibir. Mata merah. Tapi pundaknya tegap.
“Kalau ini yang disebut kuliah… ya udah. Aku ikut mainnya.”
Besoknya, nama Ujang langsung jadi bahan obrolan di kantin.
"Anak baru yang diludahin Bara tapi tetap berdiri."
"Yang mukanya mirip murid baru tapi nyalinya kayak preman."
Dan di kamar asrama, Remon masih heran.
“Lu tuh ngapain sih ngelawan? Emang pengen mati konyol?”
Ujang jawab pelan, “Kalau aku diam, aku gak bakal dikenal. Tapi kalau aku bangun… mungkin, mereka bakal mulai denger namaku.”
Remon cuma bisa ngelus dada.
“Lu yakin masuk Teknik Elektro bukan karena tersesat?”
Ujang senyum kecil. “Mungkin tersesat… tapi di tempat yang tepat.”
Sore harinya, Ujang duduk di bangku taman kampus. Bibir masih bengkak.
Di depan dia, ada cewek pake dress merah. Senyum tipis.
“Gue liat lo tadi malem. Bonyok juga ya,” kata cewek itu.
Ujang kaget. “Eh… kamu siapa?”
Cewek itu nyengir. “Intan. Fakultas Hukum. Teman-teman gue bilang lo nekat. Tapi gue bilang lo bodoh.”
Ujang nyengir juga. “Bodoh bisa belajar. Tapi penakut? Nggak bisa jadi legenda.”
Intan diam. Lalu berdiri.
“Gue tunggu lo jadi legenda, Ujang. Kalau gak mati duluan.”
Dan dia pergi begitu aja.
Ujang bengong. Lalu sadar...
Ini bukan cuma tentang bertahan di kampus. Ini soal menaklukkan semuanya.
Dan jauh di kejauhan… Bara berdiri di atap gedung, memperhatikan Ujang dari jauh.
Senyumnya miring. Tangannya mengusap luka lama di pelipis.
“Anak baru itu… bisa bahaya.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
