
Diantara dunia nyata dan alam baka terdapat cinta yang tak terhingga
Ray adalah seorang siswa SMA yang hidupnya dipenuhi penderitaan. Dibuang oleh orang tuanya sejak SMP, ia tumbuh tanpa keluarga atau teman. Saat sma dia memutuskan untuk pindah ke kota lain. ia berpikir akhirnya bisa memulai hidup baru.
karena Ia bertemu Kael, yang awalnya menjadi sahabatnya hingga Kael mengkhianatinya dengan memanipulasi Ray untuk meminjamkan uang 50 juta, lalu menghilang tanpa jejak.
Trauma membuat Ray menarik diri dari semua orang,
Ray menatap surat itu untuk keseratus kalinya, jari-jarinya meng genggam erat kertas yang sudah kusut. Kata-kata Kael masih terasa seperti tamparan:
"Kau benar-benar bodoh, Ray. Uangmu enak sekali. Ingat, kita tidak pernah bersahabat."
Dia menarik napas dalam, mencoba menahan gemetar di tangannya. Bagaimana bisa aku tertipu lagi? Pikirannya berputar pada kerja kerasnya selama sebulan terakhir—kerja serabutan setelah sekolah, tidur hanya beberapa jam, perutnya keroncongan karena menghemat makan. Semua demi seorang "teman" yang ternyata hanya memanfaatkannya.
*"Aku benci semua ini," gumamnya, meremas surat itu hingga hancur.
Sejak kejadian itu, Ray menjadi lebih pendiam. Dia menghindari kantin, makan siang sendirian di tangga belakang sekolah, dan menolak setiap ajakan bergaul. Lebih baik sendiri daripada disakiti lagi.
Hingga suatu siang, saat dia masuk ke toilet sekolah yang sepi, sesuatu mengubah segalanya.
*"H-Hey! Kamu baik-baik saja?!"*
Seorang gadis terbaring lemas di lantai, rambut hitamnya menutupi sebagian wajah pucat. Tanpa pikir panjang, Ray berlutut di sampingnya, merasakan dingin yang aneh dari kulitnya. Tapi dia masih bernapas—atau setidaknya, Ray *mengira* begitu.
Dengan panik, ia menggendong gadis itu ke UKS. Tapi saat guru melihatnya guru binggung karena dia tidak melihat apapun di kasur,
*"Ray, kau pusing? Kenapa kau memeluk udara seperti itu?"*
Ray membeku. *"Tidak! Dia ada di sini—dia pingsan!"* Tangannya menunjuk ke tempat tidur, tapi guru itu hanya menggeleng, wajahnya berkerut dalam kebingungan.
*"Tidak ada siapa-siapa di sana."*
Saat itu, gadis itu membuka matanya perlahan. Mata hitam yang dalam, seperti dua kolam malam.
*"Terima kasih,"* bisiknya, suaranya seperti angin yang mengusap daun.
Ray merasa jantungnya berhenti sejenak. *"Siapa... siapa kamu?"*
Gadis itu tersenyum lemah. *"Aku Naya."*
*"halo naya"* ucap ray yang masih tidak percaya guru tidak bisa melihat nya
---
..bell sekolah berbunyi menandakan sekolah telah selesai
Mereka duduk di atap sekolah saat matahari terbenam. Naya menggantungkan kakinya di tepi, seolah-olah gravitasi tidak berlaku untuknya. Ray memandangnya dengan rasa ingin tahu yang dalam.
*"Jadi... kamu benar-benar hantu?"**tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Naya mengangguk, senyum kecil mengembang di bibirnya. *"Sepertinya begitu. Tapi anehnya, hanya kamu yang bisa melihatku."*
Ray menghela napas. *"Mungkin karena aku juga tidak berbeda jauh dengan hantu. Hidup sendiri, tidak terlihat, terlupakan."*
Naya memiringkan kepalanya, matanya berbinar. *"Tidak, Ray. Kamu... kamu tidak seperti itu Aku bisa melihatnya."*
Ray terkejut*"Apa-apaan?"*
Naya tertawa, suaranya seperti gemerisik daun kering. *"Tapi itu benar. Di antara semua orang di sekolah ini, hanya kamu yang berbeda. Mungkin itu sebabnya kita bisa bertemu."*
---
Beberapa hari kemudian, Naya mulai mengingat sedikit demi sedikit.
*"Aku... aku dibully,"* bisiknya suatu malam, saat mereka bersembunyi di perpustakaan setelah jam sekolah.
Ray menatapnya. *"Siapa yang melakukan itu padamu?"*
Naya mengangkat bahu, tapi matanya berkaca-kaca. *"Aku tidak ingat semua wajah mereka. Tapi... ada suara-suara. Tertawa. Dan rasa sesak di dada. Seperti... seperti aku tidak bisa bernapas."**
Ray mengulurkan tangan, ingin memegang tangannya—tapi jarinya hanya melewati Naya seperti kabut.
*"Aku akan membantumu mengingat,"* janjinya, suaranya tegas. *"Aku akan cari tahu siapa yang melakukan ini."*
Naya memandangnya lama, lalu tersenyum sedih. *"Kenapa kamu mau membantuku? Aku bahkan tidak bisa... menyentuhmu."*
Ray menatap lurus ke matanya. *"Karena selama ini, hanya kamu yang tidak pernah berbohong padaku."*
Udara di antara mereka terasa hangat, meski tubuh Naya dingin.
---
Suatu sore, saat hujan ringan membasahi jendela kelas, Naya tiba-tiba berkata:
*"Huh kalau saja aku masih hidup... aku pasti akan menyukaimu, Ray."*
Ray tersedak, hampir menjatuhkan bukunya. *"Apa? Jangan bicara sembarangan!"*
Naya tertawa, tapi matanya sedih. *"Aku serius. Kamu baik. Dan... hangat."*
Ray menggosok wajahnya, mencoba menyembunyikan warna merah di pipinya. *"Kamu hanya mengatakan itu karena tidak ada orang lain yang bisa melihatmu."*
Naya melayang lebih dekat, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari Ray. *"Tidak. Aku mengatakan ini karena *kamu* adalah *kamu*."*
Ray menahan napas. Jika Naya masih hidup, mungkin dia akan menciumnya saat ini. Tapi yang ada hanyalah udara yang menyentuh dahinya—seperti embun pagi yang menguap terlalu cepat.
*"Ini tidak adil,"* bisik Ray*"Kita bahkan tidak bisa saling merasakan."*
Naya tersenyum, tapi air mata mengalir di pipinya—air mata itu menghilang sebelum mencapai dagu.
*"Tapi kita bisa saling mengingat. Itu sudah cukup kok."*
---
Naya mulai sering menghilang tanpa penjelasan—seolah-olah sesuatu *menariknya* ke tempat yang tidak bisa dijangkau Ray...
---
Setahun telah berlalu sejak Ray dan Naya memutuskan untuk bersama. Meski tak bisa saling menyentuh, mereka menemukan cara untuk "merasakan" satu sama lain:
- *Naya* akan menghembuskan angin dingin ke leher Ray saat dia membaca, membuatnya tersenyum.
- *Ray* akan membacakan puisi untuknya di perpustakaan kosong, di mana Naya bisa duduk di pangkuannya—meski hanya seperti kabut.
Tapi semakin dalam cinta mereka, semakin Naya menyadari kebenaran pahit:
*"Aku tidak bisa tetap di sini selamanya, Ray,"* bisiknya suatu malam, saat mereka "berbaring" di atap sekolah memandang bintang.
Ray menatapnya, wajahnya berkerut. *"Apa maksudmu?"*
Naya mengangkat tangannya, yang mulai terlihat semakin transparan. *"Aku merasa...suatu hari nanti aku akan pergi . Dunia ini bukan tempatku lagi."*
Ray menggenggam erat buku hariannya—buku yang selama ini ia gunakan untuk "berbicara" dengan Naya saat dia tidak terlihat. *"Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kita sudah berjanji, kan? Kita akan
—Menikah,"* Naya menyelesaikan kalimatnya,. *"Tapi bagaimana caranya, Ray? Aku bahkan tidak bisa memakai cincin."*
---
Ray mulai terobsesi menemukan cara "menghidupkan" Naya—atau setidaknya, membuatnya tetap ada:
- Ia menyelinap ke ruang arsip sekolah, mencari catatan tentang kematian Naya.
- Terungkap bahwa *Naya bunuh diri karena bullying berat*
- Ray menemukan legenda lokal tentang *"Pasangan Dua Dunia"*: Jika seseorang mencintai arwah dengan tulus, arwah itu bisa "hidup" selama 24 jam—dengan syarat: *pengorbanan nyawa*.
---
*"R-Ray... aku bisa merasakanmu!"* teriaknya, tangannya memegang wajah Ray yang basah oleh air mata.
Tapi Ray tahu apa artinya: *Ini pertanda Naya akan benar-benar pergi*.
Mereka menghabiskan 24 jam terakhir dengan:
- *"Kencan"* di kafe favorit Naya dulu (Ray pesan dua minuman, bicara seolah Naya ada di depannya—pelayan mengira ia gila).
- *Menari* di lapangan sekolah saat hujan, dengan Naya *nyaris* padat seperti manusia.
- *Bertukar janji*:
- *Naya*: *"Jika ada kehidupan setelah ini, aku akan menunggumu."*
- *Ray*: *"Aku akan menemukanmu lagi. Entah bagaimana caranya."*
Saat matahari terbit, Naya mulai bersinar terlalu terang.
*"Aku mencintaimu, Ray. Terima kasih... untuk segalanya."*
Dan seperti debu yang diterbangkan angin, *Naya menghilang*.
---
Di suatu sore, ia mengunjungi makam Naya—sesuatu yang baru ia temukan setelah bertahun-tahun.
*"Aku tetap menunggu janjimu,"* bisiknya, meletakkan bunga putih.
Tiba-tiba, *angin sepoi-sepoi mengelus pipinya*—persis seperti sentuhan Naya dulu.
Dan di kejauhan, seperti halusinasi, *seorang gadis dengan rambut hitam tersenyum padanya sebelum menghilang di balik kabut.
"Sampai jumpa lagi, Naya."
Setelah kepergian Naya, Ray perlahan kehilangan akal sehatnya.
- *Dinding kamarnya penuh* dengan foto-foto Naya yang ia dapat dari arsip sekolah, koran lama, dan bahkan rekaman CCTV yang ia curi.
- *Ritual-ritual aneh* ia lakukan setiap malam—lilin hitam, mantra dari buku kuno, bahkan sampai meminum ramuan yang membuatnya muntah darah.
- *Sekolahnya hancur*. Ia bolos, nilai-nilainya jatuh, dan akhirnya dikeluarkan. Tapi Ray tidak peduli. Satu-satunya yang ia pikirkan: *"Aku harus bertemu Naya lagi."*
Orang-orang mengira ia sudah gila. Mungkin memang benar.
Pada malam ulang tahun kematian Naya, Ray pergi ke *hutan keramat* tempat legenda mengatakan arwah berkumpul. Dengan tangan berdarah karena memegang pisau ritual terlalu kencang, ia berteriak:
*"Aku akan memberikan apa pun! Bawa Naya kembali!"*
Tiba-tiba—
*Angin berhenti.*
Suara serangga menghilang.
Dan dari balik kabut, muncul *sosok tinggi dengan mata bersinar seperti bulan*.
*"Kamu ingin bertemu Naya lagi?"* suaranya bergema di dalam kepala Ray.
*"Jika... jika itu mungkin."* ucap Ray
Sang Dewa memandangnya lama, lalu tersenyum. *"Aku melihat hatimu. ketulusan mu... sungguh langka."*
Jari-jari dewa itu menyentuh dahi Ray. *"Naya akan menjadi manusia lagi. Temui dia di pantai, jam 00:00. Tapi ingat—*
*...dia tidak akan mengingatmu."*
Ray berdiri di tepi pantai, jantungnya berdebar tidak karuan.
*jam 00:00.*
Angin berhembus pelan. Ombak bergulung tenang.
*Tidak ada siapa-siapa.*
*"Aku... aku bodoh,"* air matanya jatuh. *"Tentu saja tidak mungkin—"*
*"Ray?"*
Suara itu.
*Suara yang ia kenal lebih baik daripada suaranya sendiri.*
Dia berbalik pelan—
Dan di sana,*Naya*berdiri dengan gaun putih sederhana, rambutnya diterpa angin malam. *Nyata. Padat. Hidup.*
*"Aku... aku kenal kamu?"*Naya mengernyit, matanya jernih tapi bingung.
Ray tidak bisa bicara. Tangannya gemetar saat ia mengulurkan jari—*dan kali ini, ia benar-benar menyentuh kulit hangat Naya.*
**"Naya."* Ray tersedu, menariknya ke pelukan erat.
Naya kaku sejenak, tapi kemudian—*seperti ingatan yang meluap*—ia tiba-tiba mencengkeram baju Ray.
*"Tunggu, aku—*
*...aku ingat! Kamu... kamu Ray! Kamu yang menungguku!"*
Sang Dewa ternyata *berbohong*. Naya mengingat segalanya.
- *Naya hidup kembali* dengan tubuh manusia, tapi dengan *ingatan sebagai hantu* tetap utuh.
- Mereka pindah ke kota kecil, jauh dari kenangan buruk. Ray menjadi penulis, Naya membuka kafe kecil.
- Kadang, di malam tertentu, *Naya masih terlihat semi-transparan* jika terlalu lelah—tapi Ray hanya tertawa dan mencium dahinya.
*"Aku mencintaimu, bahkan jika kau setengah hantu,"* bisik Ray.
Naya menjawab dengan senyuman yang dulu selalu ia rindukan:
*"Dan aku mencintaimu, bahkan ketika kau setengah gila."*
Langit kota kecil itu senantiasa cerah, seolah tahu bahwa dua hati yang terluka sedang berusaha disembuhkan. Rumah kayu mungil mereka berdiri di pinggir kota, dikelilingi bunga liar dan angin yang lembut. Ray membuka jendela kamarnya, dan aroma kopi serta suara lembut Naya menyambutnya dari dapur.
"Bangun siang lagi ya, Tuan Penulis," suara itu menggoda.
Ray menyeringai, berjalan perlahan ke dapur, dan tanpa bicara langsung memeluk Naya dari belakang. Tubuhnya kini hangat, nyata, hidup. Tapi ia tetap menyadari: tiap detik bersamanya adalah keajaiban.
"Aku cuma ingin mimpi lebih lama. Soalnya kamu selalu muncul di sana juga," bisiknya di telinga Naya.
Naya tertawa, manis dan lepas. "Kalau begitu, mungkin aku harus masuk ke mimpimu pakai piyama tipis," katanya genit, menoleh dengan senyuman yang membuat Ray kehilangan napas.
Ray menariknya pelan ke pelukannya, menciumnya penuh. Lembut, tapi dalam. Bibir mereka saling mencari, saling mengingat rasa yang nyaris hilang dalam waktu. Tangannya menyentuh pipi Naya, menyusuri rambut hitamnya yang harum.
“Setiap pagi aku bangun dan memeriksa apakah kamu masih di sini,” ucap Ray pelan, suaranya serak. “Dan tiap kali kamu tersenyum seperti ini… aku tahu aku hidup.”
Naya memeluknya erat. “Kalau begitu jangan mati ya. Aku tidak mau jadi hantu lagi cuma buat nyari kamu.”
Kafe Kecil dan Rahasia Malam Hari
Kafe milik Naya diberi nama “Cafe Dalam Mimpi”. Sebuah tempat sederhana dengan meja-meja kayu, jendela besar, dan sudut baca di mana Ray kadang duduk menulis. Naya mengenakan celemek biru muda, rambutnya diikat rapi, dan senyum tak pernah lepas dari wajahnya saat melayani pelanggan.
Tapi ada satu aturan aneh yang hanya Ray tahu: Naya tidak boleh bekerja terlalu larut. Saat tubuhnya lelah, dia mulai “berkilau”—transparansi halus seperti kabut pagi.
Malam itu, Ray datang menjemput lebih cepat. Ia membawa selimut dan sepotong cheesecake buatan sendiri.
“Aku bos kamu. Aku bisa lembur,” keluh Naya, tertawa sambil tetap mengepel.
Ray mencubit pipinya. “Kamu istriku. Kamu prioritas utama. Bos cafe boleh istirahat kok.”
Mereka duduk di balkon atas kafe, dengan selimut membungkus tubuh mereka. Cahaya lampu jalan temaram, langit bertabur bintang. Ray menyuapi Naya sepotong cheesecake.
“Enak?” tanyanya.
Naya mengangguk, lalu balas menyuapinya. “Kalau kamu jadi makanan, kamu pasti cheesecake. Lembut, manis... dan bikin ketagihan.”
Ray mencubit dagunya pelan. “Dan kamu... kamu anggur merah yang bikin mabuk tiap malam.”
Mereka tertawa. Tertawa seperti anak-anak. Tapi di balik itu, hati mereka saling terikat lebih dalam tiap harinya. Di dunia tempat Naya dulu hanya bisa melihat, kini ia hidup. Dan Ray... Ray telah mencintainya dalam dua dunia.
Hujan turun lembut malam itu. Di kamar kecil mereka, Ray dan Naya duduk berdua di bawah selimut, lampu redup menyinari wajah mereka yang saling menatap.
Naya memain-mainkan jari Ray, membentuk lingkaran tak jelas di punggung tangannya. "Aku kadang takut..." bisiknya pelan.
Ray menoleh, membelai pipinya. "Takut apa?"
"Takut bangun dan semuanya cuma mimpi. Takut kamu hilang. Takut... kamu nyesel karena mencintaiku."
Ray tertawa kecil. Tapi matanya serius.
"Naya..." ia menarik wajah gadis itu mendekat. Hidung mereka bersentuhan, napas hangat bertemu. "Aku akan ulang ini sejuta kali kalau perlu—aku milik kamu. Dari dunia yang hidup, sampai dunia setelah mati."
Naya menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca. "Jangan ngomong soal mati..."
Ray mengecup kelopak matanya. "Oke. Gini aja. Kalau suatu hari nanti kita jadi kakek-nenek, aku tetap mau tidur sambil peluk kamu. Walau kamu bau balsem."
Naya tertawa, mukanya merah. "Dan kamu pasti udah botak waktu itu."
Ray pura-pura tersinggung. "Botak pun, kamu tetap harus nyium aku tiap malam sebelum tidur."
"Aku nggak akan pernah berhenti nyium kamu," balas Naya, lalu menatap matanya dalam-dalam. "Kamu tahu nggak? Saat kamu peluk aku, dunia rasanya diam. Seolah-olah waktu cuma milik kita berdua."
Ray mengangkat tangan Naya, mencium punggungnya dengan pelan. "Kamu tahu nggak? Saat kamu senyum, aku lupa semua luka. Kamu... penyembuhku."
Naya menunduk malu. "Kamu selalu bisa bikin aku ngerasa... dicintai banget."
Ray menarik Naya ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah dunia bisa lenyap kapan saja. "Bukan cuma ngerasa. Kamu emang dicintai. Setiap inci dari kamu. Bahkan sisi kamu yang kadang nyebelin. Aku cinta semuanya."
Naya mengecup bibir Ray pelan. Lama. Dalam. Lalu berbisik, "Ray... janji satu hal."
"Apa pun."
"Kalau aku mulai kabur lagi... entah jadi hantu, jadi mimpi, atau cuma jadi kenangan—kejar aku. Cari aku. Jangan pernah berhenti."
Ray memeluknya lebih erat. "Aku akan terjun ke neraka kalau itu artinya bisa nyentuh tangan kamu lagi. Aku ini... gila, Naya. Tapi cuma karena kamu."
Naya tersenyum sambil menangis. "Aku suka kamu gila... karena aku juga gila. Gila karena terlalu cinta sama kamu."
Dan malam itu, dua insan yang menantang dunia, kematian, dan takdir—tertidur dalam pelukan. Dalam satu ranjang kecil, tapi dengan hati yang luas seluas semesta.
Hujan deras membasahi kota kecil itu. Tapi bagi Ray dan Naya, hari itu bukan tentang cuaca. Hari itu adalah tentang mereka. Tentang detik-detik yang terlalu indah untuk disembunyikan dari dunia.
Pagi itu, Naya membangunkan Ray dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh gadis sepertinya: dengan menyelipkan jari-jari dingin ke bawah kaus Ray dan membisikkan, "Bangun, cinta. Dunia menunggu kita jatuh cinta lebih dalam lagi hari ini."
Ray menggeliat sambil mengerang manja. "Kalau dunia bisa nunggu, biar aku tidur lima menit lagi... tapi di pelukan kamu."
Naya duduk di pinggir ranjang, rambutnya kusut, wajahnya seperti matahari yang belum sempat bersinar. "Kalau kamu minta pelukanku lima menit... aku kasih lima jam."
Ray membuka matanya perlahan dan menatap gadis itu seolah dunia hanya terdiri dari satu warna: warna Naya.
Dia mengangkat tangannya, menarik Naya perlahan ke atas dadanya. "Kalau bisa, aku mau hidup di detik ini terus. Nggak usah lanjut ke masa depan. Cukup sekarang. Kamu di atas dadaku, dan jantungku berdetak karena kamu."
Naya meletakkan telinganya di dada Ray. "Degup ini... nyanyian paling romantis yang pernah kudengar."
Mereka berpelukan lama, hingga matahari mulai naik, lalu turun lagi. Hari mereka diisi dengan tawa, obrolan tanpa arah, dan percakapan yang hanya bisa terjadi di antara dua orang yang sudah tak tahu cara hidup tanpa satu sama lain.
Sore harinya, langit mulai menangis. Tapi mereka tidak peduli. Mereka malah berlari keluar dari rumah, tertawa seperti anak kecil.
Naya memutar tubuhnya di bawah hujan, tangan terentang, wajah menengadah ke langit. "Ray! Rasain ini! Dunia lagi nangis bahagia ngeliat kita cinta-cintaan!"
Ray berdiri beberapa langkah di belakangnya, memandangi punggung Naya dengan mata yang penuh cinta. "Kamu tahu kenapa hujan turun hari ini?"
Naya berhenti berputar, menoleh dengan senyum lebar. "Kenapa?"
"Karena langit iri. Dia tahu aku lagi jatuh cinta setengah mati."
Naya berjalan mendekat, rambut dan bajunya sudah basah. Tapi matanya tetap terang seperti lilin di tengah badai. "Kalau begitu, langit harus sabar. Soalnya cinta kita nggak akan berhenti."
Ray mengangkat tangan Naya dan menariknya ke dalam pelukan. "Kamu tahu apa yang paling kutakuti?"
"Apa?"
"Kalau suatu hari nanti, kamu lupa betapa besar cintaku."
Naya menggeleng, jemarinya menyentuh wajah Ray yang juga basah oleh hujan. "Aku nggak akan pernah lupa. Karena kamu adalah rumah yang selalu kutemui, bahkan saat aku tersesat."
Dan di bawah hujan yang lebat, Ray mencium Naya. Dalam. Lama. Lembut. Tapi juga penuh perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Itu bukan ciuman pertama mereka. Tapi itu adalah ciuman yang paling terasa seperti rumah.
Naya menarik napas saat mereka berpisah. "Aku bisa mati sekarang juga... dan tetap bahagia."
Ray menggeleng. "Jangan bilang gitu. Kita masih punya banyak ciuman yang belum sempat kita bagi. Banyak senyum, banyak pelukan, banyak pagi di mana kamu bangunin aku pakai jari-jari dingin itu."
Naya tertawa. "Jari-jari ini... cuma pengen nyentuh kamu. Selalu."
Ray mencium dahinya. "Dan kulit ini... cuma pengen disentuh sama kamu."
Malamnya, mereka duduk berselimut di sofa, nonton film yang sebenarnya tidak terlalu mereka perhatikan. Karena yang lebih menarik adalah suara napas satu sama lain, detak jantung yang saling mencari, dan kenyataan bahwa mereka masih bersama.
Naya menatap Ray lama. "Kamu sadar nggak? Sejak kamu mencintaiku... dunia ini jadi lebih sabar."
Ray menoleh, senyum di wajahnya hangat. "Atau mungkin sejak kamu hidup lagi, aku jadi lebih waras. Atau lebih gila. Tergantung dari sudut mana lihatnya."
Naya mendekatkan wajahnya, sampai ujung hidung mereka bersentuhan. "Aku cinta kamu. Dalam bentuk apa pun. Bahkan kalau kamu nanti berubah jadi tua, keriput, atau botak. Asal kamu Ray... aku tetap jatuh cinta."
Ray menariknya lebih dekat. "Dan aku cinta kamu, bahkan kalau kamu kembali jadi hantu. Aku akan jatuh cinta pada suara kamu, pada bayangan kamu, bahkan pada aroma udara tempat kamu pernah berdiri."
Naya mengelus pipi Ray, suaranya bergetar pelan. "Jangan biarkan aku pergi lagi, ya?"
Ray mengecup jemari gadis itu. "Kamu nggak akan ke mana-mana. Karena kamu milikku. Dan aku milikmu."
Pagi itu, Ray terbangun dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. Sinar matahari masuk lewat tirai jendela, menari di dinding kamarnya yang sekarang dipenuhi oleh jejak kehadiran Naya—mug favoritnya, sweater yang dia pakai semalam, bahkan sepasang sandal pink mungil di samping tempat tidur.
Naya, yang sudah bangun lebih dulu, duduk di meja kecil sambil menyeruput cokelat panas. Rambutnya tergerai, dan kaus Ray yang kebesaran membuatnya terlihat seperti lukisan pagi yang terlalu indah untuk disentuh.
"Selamat pagi, sleepyhead," godanya sambil mengedip manja.
Ray tertawa kecil, bangkit dari tempat tidur lalu memeluknya dari belakang. "Kalau tiap pagi aku bisa bangun dengan pemandangan kayak gini, aku rela mimpi buruk sepanjang malam."
Naya mendengus geli. "Jangan aneh-aneh, nanti kamu kualat."
Mereka merencanakan hari itu sebagai hari "kencan resmi pertama mereka" sejak Naya kembali menjadi manusia. Dan Ray bersikeras menjadikannya spesial.
Ray menggenggam tangan Naya erat saat mereka memasuki bioskop. Ini pertama kalinya mereka nonton film bersama sebagai pasangan. Naya mengenakan dress putih sederhana yang membuatnya tampak seperti cahaya di ruangan gelap itu.
Mereka duduk di pojok belakang, popcorn di satu tangan, dan tangan Ray tidak pernah lepas dari tangan Naya.
Di tengah film, Naya menyandarkan kepalanya di bahu Ray dan berbisik, "Andai ini mimpi, aku nggak mau bangun."
Ray mengecup keningnya pelan. "Kalau ini mimpi, kita mimpi bareng."
Dan sepanjang film, mereka jarang benar-benar menontonnya. Tatapan mereka lebih sibuk menelusuri wajah satu sama lain, senyum malu-malu diselingi jari-jari yang saling mengait seperti janji diam-diam.
Setelah film, mereka pergi ke pusat perbelanjaan. Ray ingin membelikan Naya apa pun yang dia suka. Tapi Naya justru lebih senang mencoba-coba baju lucu dan menggoda Ray dengan gaya-gaya aneh.
"Gimana kalau aku pakai ini waktu kita nikah?" katanya sambil menunjukkan jumpsuit neon pink yang membuat Ray terkekeh.
"Terserah, asal kamu yang pakai, aku rela jadi pengantin bayangan."
Tapi kemudian, Naya keluar dari kamar ganti dengan gaun biru pastel yang jatuh lembut di tubuhnya. Ray terdiam, matanya membelalak.
"Apa... jelek ya?"
Ray mendekat pelan, menatapnya dari kepala sampai kaki. "Enggak. Kamu... cantik banget, Nay. Aku hampir lupa napas."
Naya tersipu, lalu tiba-tiba menarik tangan Ray dan berputar seperti putri dalam dongeng. "Kalau gitu, pangeran harus bayar bajunya buat putrinya, ya?"
"Pangeran siap bangkrut demi kamu."
Malam menjelang, dan Ray sudah menyiapkan kejutan terakhir. Ia membawa Naya ke sebuah hotel kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Kamar yang ia pesan sederhana tapi hangat: cahaya temaram, ranjang empuk, dan balkon yang menghadap ke langit malam.
Naya membuka tirai jendela dan menatap bintang-bintang. "Aku... belum pernah nginep di hotel sebelumnya," katanya pelan.
Ray berdiri di belakangnya, melingkarkan tangan di pinggangnya. "Aku juga. Tapi malam ini bukan soal hotel. Ini soal kita."
Mereka duduk di ranjang, saling bercerita tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ray memainkan rambut Naya, sementara Naya menggambar bentuk hati di dada Ray dengan ujung jarinya.
"Ray?"
"Hm?"
"Kalau suatu hari aku berubah lagi... jadi arwah... kamu masih akan mencintaiku?"
Ray menatap matanya dalam-dalam, lalu menjawab tanpa ragu: "Kalau kamu berubah jadi bayangan, aku akan jadi cahaya. Kalau kamu berubah jadi hujan, aku akan jadi payung. Kalau kamu berubah jadi hantu... aku akan mati-matian hidup di sisimu."
Naya tersenyum dan memeluknya erat, bibirnya menyentuh pipi Ray. "Gimana caranya aku nggak jatuh cinta sama orang sebucin kamu?"
Malam itu mereka tidur berpelukan, tanpa kecanggungan, tanpa batas. Hanya dua jiwa yang pernah kehilangan, kini menemukan satu sama lain dengan utuh.
Dan sebelum mereka tertidur, Naya berbisik di dada Ray,
"Kalau dunia ini hancur besok... aku tetap akan memilih hari ini. Hari di mana kamu genggam tanganku, dan bilang kalau semuanya akan baik-baik saja."
Ray mengecup rambutnya dan menjawab dengan suara paling tenang yang pernah ia ucapkan, "Hari ini... dan selamanya."
Langit malam dipenuhi bintang yang malu-malu mengintip dari balik awan, seolah ikut tersipu melihat dua insan yang baru saja pulang dari kencan paling manis dalam hidup mereka. Mobil sewaan Ray meluncur perlahan di jalanan kota yang mulai sepi. Di kursi penumpang, Naya menyandarkan kepala di bahunya, tangan mereka bertaut tanpa jeda sejak keluar dari hotel.
"Aku nggak pengen malam ini berakhir," gumam Naya pelan.
Ray tersenyum lembut, memutar kepala sedikit untuk mencium ubun-ubunnya. "Kalau bisa, aku ingin waktu berhenti. Biar kita bisa terus seperti ini… selamanya."
Naya tertawa kecil, suaranya seperti nada-nada yang hanya bisa diciptakan oleh orang yang sedang jatuh cinta. "Kamu terlalu manis, Ray. Bahaya tahu nggak sih..."
Ray menoleh, matanya menatap dalam ke matanya yang bening. "Bahaya gimana?"
"Bahaya bikin aku makin cinta," jawab Naya sambil mencubit pipinya pelan.
Ray hanya tertawa, tapi wajahnya memerah. Tangannya menggenggam lebih erat tangan Naya, seolah takut gadis itu akan menghilang lagi seperti dulu.
"Kalau kamu makin cinta, aku harus gimana dong? Aku ini udah cinta sampai nggak bisa tidur tiap malam."
"Jangan lebay," bisik Naya, meski pipinya juga ikut memerah. Tapi kemudian ia memalingkan wajah, menyembunyikan senyum yang terlalu manis untuk tidak terlihat.
"Serius, Nay. Sejak kamu datang lagi ke hidupku… rasanya dunia berubah. Aku bukan cuma hidup. Aku… hidup untuk mencintaimu."
Naya menutup wajah dengan tangan satunya. "Hah, jangan ngomong kayak gitu sambil nyetir dong. Bahaya!"
"Aku masih fokus kok," Ray menjawab dengan senyum nakal. "Tapi fokus utamaku… tetap kamu."
Naya memukul bahunya pelan, tertawa. "Ray, kamu itu ya…"
Mobil berhenti perlahan di depan rumah kecil mereka di pinggiran kota. Sebuah rumah sederhana bercat putih, dengan taman kecil yang baru mereka rawat bersama seminggu lalu. Ray mematikan mesin, tapi tak langsung keluar. Ia menatap Naya yang masih bersandar di pundaknya.
“Naya…” bisiknya lirih.
“Hm?”
Ray memiringkan kepalanya sedikit. “Kamu tahu gak… setiap kali aku sadar kamu di sini, nyata, hidup, rasanya kayak mimpi yang terlalu indah buat jadi nyata.”
Naya tersenyum, dan tanpa berkata apa-apa, ia mengecup pipi Ray perlahan. “Kalau ini mimpi… jangan pernah bangunin aku.”
Ray hanya bisa menatapnya dalam. Bibirnya bergetar seolah ingin berkata sesuatu, tapi terdiam. Kemudian ia hanya mengangguk, dan keluar dari mobil untuk membukakan pintu bagi Naya. Seperti biasa, Ray bersikap seperti gentleman, dan Naya menyambutnya dengan senyuman manja.
Saat mereka masuk ke rumah, suasana malam yang tenang menyelimuti mereka. Tidak ada suara selain deru pelan angin dan langkah kaki mereka di lantai kayu.
Naya menggenggam tangan Ray, matanya menyapu seluruh ruangan. “Aku suka rumah ini. Rasanya… hangat. Seperti kamu.”
Ray tertawa pelan. “Kalau kamu yang tinggal di sini, tentu saja jadi hangat. Tanpa kamu, ini cuma rumah kosong.”
Mereka berjalan ke dapur, dan Ray mengambil dua gelas susu hangat. Mereka duduk bersebelahan di sofa, selimut membungkus tubuh mereka berdua. Di pangkuan Ray, kepala Naya bersandar nyaman.
“Ray…” gumam Naya pelan sambil memainkan jari Ray.
“Ya?”
“Kalau besok aku bangun dan semua ini hilang… kamu masih bakal tetap nyari aku, kan?”
Ray memeluknya lebih erat. “Bukan cuma nyari. Aku bakal ngelawan seluruh dunia buat nemuin kamu lagi. Walau itu artinya aku harus mati sekali lagi, aku akan tetap cari kamu.”
Naya menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. “Kamu tahu? Kamu satu-satunya orang yang membuat aku ingin hidup… lagi.”
Ray mengusap rambutnya lembut. “Kamu satu-satunya alasan aku tetap waras.”
Mereka saling diam sejenak, hanya mendengarkan detak jantung masing-masing. Naya memainkan jemari Ray dengan pelan, sementara Ray membelai punggung tangannya.
“Ray…”
“Hm?”
“Kamu percaya… kalau dua orang bisa saling mencintai begitu dalam sampai waktu pun iri?”
Ray menoleh, menatap matanya yang bersinar di bawah lampu temaram.
“Aku gak cuma percaya. Aku ngalamin sendiri… sama kamu.”
Naya menutup matanya sejenak. “Cium aku, Ray.”
Tanpa ragu, Ray mencium bibirnya lembut. Sebuah ciuman pelan yang penuh kehangatan, seperti janji abadi yang tak butuh kata-kata. Waktu seolah berhenti, dunia menghilang, yang ada hanya mereka berdua.
Saat mereka melepaskan ciuman itu, Naya membisikkan, “Aku cinta kamu.”
Ray mengangguk, bibirnya menempel di dahinya. “Dan aku cinta kamu. Lebih dari apapun.”
Malam itu, mereka memutuskan tidur di sofa, saling berpelukan seperti dua bagian jiwa yang tak mau terpisah. Selama tidur, Ray membisikkan puisi-puisi kecil yang ia buat sendiri di telinga Naya—tentang cinta, kehilangan, dan harapan.
Sinar matahari menerobos tirai, menciptakan siluet cahaya di pipi Naya yang masih tertidur di pelukan Ray. Ia menggeliat pelan, membuka mata, dan tersenyum saat melihat wajah Ray yang masih terpejam.
“Bangun, sleepyhead…” bisiknya lembut sambil mencium ujung hidungnya.
Ray membuka mata perlahan. “Kalau bangunnya disambut senyum kamu, aku rela bangun tiap detik.”
Naya tertawa kecil. “Cheesy banget, Ray.”
“Tapi kamu suka kan?”
Naya tidak menjawab. Dia hanya mencium bibir Ray sekali lagi.
Keesokan hari nya Naya menarik selimut, masih dalam pelukan Ray, seolah enggan membiarkan pagi mencuri kehangatan mereka.
“Lima menit lagi,” gumamnya manja.
Ray mengusap punggungnya pelan. “Kalau lima menitnya kamu, artinya tiga puluh menit beneran.”
“Hm… jadi?” Naya menatapnya sambil mengedipkan mata, ekspresi nakal dan menggemaskan.
Ray tertawa kecil. “Jadi aku harus bangunin kamu dengan cara lain.”
Naya menaikkan alis. “Apa tuh?”
Ray menunduk dan mencium lehernya pelan. Lalu berpindah ke pipi, dagu, dan akhirnya ke bibir. Ciuman itu lembut, tapi mengandung rasa rindu yang tak pernah benar-benar habis.
“Aku bangun, aku bangun!” Naya tertawa geli sambil mendorong pelan dada Ray. “Kamu gak fair banget.”
Ray tersenyum puas. “Karena aku cinta kamu.”
“Aku juga,” jawab Naya sambil duduk dan merapikan rambutnya.
Ia berdiri, berjalan pelan menuju dapur dengan kaus kebesaran Ray yang melorot di bahu. Ray memperhatikan langkahnya, setiap gerakan terasa seperti puisi hidup baginya.
“Aku masak, ya? Tapi kamu bantuin. Hari ini kita masak bareng, no excuse.”
Ray mengangguk semangat. “Yes, chef!”
Mereka mulai sibuk di dapur. Naya memotong sayur, Ray mengaduk adonan pancake. Sesekali tangan mereka bersentuhan, dan tiap sentuhan itu membuat senyum muncul di wajah keduanya.
“Ray, kamu tahu nggak?” Naya berkata sambil menggigit wortel yang ia potong sendiri.
“Apa?”
“Aku suka banget hal-hal kecil kayak gini. Masak bareng, ketawa bareng… kamu tahu rasanya? Kayak rumah.”
Ray menghentikan adukan dan menatapnya. “Karena kamu emang rumahku, Na.”
Naya terdiam sesaat, lalu berjalan pelan ke arah Ray dan memeluknya dari belakang.
“Aku gak pernah sesayang ini sama siapa pun sebelumnya. Kamu itu… kayak jantungku. Kalau kamu gak ada, aku gak bisa hidup.”
Ray memegang tangannya, menariknya ke depan, dan memeluknya erat. “Dan aku bakal ada terus buat kamu. Setiap pagi, setiap malam, setiap napas.”
Mereka sarapan di balkon rumah kecil itu, duduk berdampingan di bawah sinar matahari. Tidak ada suara selain kicauan burung dan sesekali tawa mereka yang pecah karena cerita-cerita kecil yang lucu.
Setelah sarapan, mereka kembali ke dalam rumah. Naya duduk di sofa sambil menyisir rambutnya, dan Ray duduk di lantai, menyandarkan kepala ke pangkuan Naya.
“Ray,” panggil Naya sambil menyisir pelan rambutnya.
“Ya?”
“Kalau kita tua nanti… kamu masih bakal gini gak? Manja kayak gini.”
Ray menatapnya dari bawah. “Kalau kita tua, dan kamu udah keriputan, aku bakal tetap bilang kamu cantik tiap hari. Dan aku bakal minta dipangku kayak gini terus.”
Naya tertawa. “Gombal.”
“Tapi jujur.”
Ray berdiri dan menarik Naya ke pelukannya. “Aku mau dansa.”
“Dansa?” Naya bingung.
Tanpa menjawab, Ray menyalakan musik pelan dari speaker. Lagu jazz lembut mengisi ruangan. Ia menarik tangan Naya dan mulai berputar pelan di ruang tamu mereka.
Dengan langkah pelan, mereka berdansa dalam diam. Mata bertemu mata, tangan saling menggenggam erat. Setiap gerakan bukan tentang teknik, tapi tentang cinta yang mengalir dalam tubuh mereka.
“Ray…”
“Ya?”
“Kalau suatu hari aku hilang ingatan…”
Ray mengerutkan dahi.
“…kamu bakal ceritain semua ini lagi ke aku, kan? Tentang kita. Tentang cinta kita.”
Ray mendekatkan bibirnya ke telinga Naya. “Setiap hari, aku bakal cerita dari awal. Aku bakal jatuh cinta ke kamu lagi dan lagi, dari awal, tanpa bosan.”
Naya menutup matanya. “Aku gak butuh surga… selama aku punya kamu.”
Ray menggenggam wajahnya. “Dan aku gak butuh waktu… kalau aku punya selamanya di pelukanmu.”
Mereka berciuman lagi. Lama. Dalam. Hangat.
Sore hari…
Mereka duduk di atas kasur, menonton serial romantis sambil berselimut. Tapi bukannya fokus ke layar, mereka lebih sering saling menatap.
“Ray…”
“Ya, Naya?”
“Bisa gak kita kayak gini terus? Gak usah kerja, gak usah keluar, cuma berdua.”
Ray tersenyum. “Kalau dunia ini cuma ada kamu dan aku, aku udah cukup bahagia.”
Naya membelai rambut Ray, lalu menyandarkan kepalanya di dada Ray, mendengarkan detak jantungnya.
“Detak ini… aku harap gak pernah berhenti.”
Ray mengecup dahinya. “Kalau berhenti, berarti kita udah bareng di dunia lain.”
Naya terdiam. “Aku gak takut mati. Aku cuma takut gak bareng kamu.”
Ray memeluknya lebih erat. “Gak akan. Kamu dan aku, bahkan waktu pun gak bisa misahin.”
Malam mulai turun perlahan. Lampu kamar menyala temaram, menciptakan suasana lembut dan nyaman. Tirai dibiarkan sedikit terbuka, membiarkan cahaya bulan masuk ke dalam ruangan, membasuh wajah mereka yang sedang berbaring berdampingan di atas kasur.
Ray memeluk Naya dari belakang, dagunya bertumpu pada bahu kekasihnya itu. Nafas mereka beriringan. Hening. Tenang. Damai.
“Ray…” panggil Naya pelan.
“Hm?”
“Kamu… pernah bayangin gak, kita nanti kayak gimana? Maksudku… lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi?”
Ray mengencangkan pelukannya, membenamkan wajahnya di rambut Naya.
“Aku pernah. Dan jawabannya selalu sama.”
“Apa?” tanya Naya dengan suara hampir berbisik.
“Kita… tetap bareng. Bangun pagi bareng. Masak bareng. Nonton bareng. Ketawa bareng. Nangis juga bareng.”
Naya memutar badan, menatap Ray dalam jarak yang sangat dekat. Mata mereka saling menatap tanpa kata, seolah semua yang mereka rasakan tidak perlu diterjemahkan dalam kalimat.
“Kamu pernah mikirin soal nikah, gak?” tanya Naya akhirnya.
Ray terdiam beberapa detik. “Pernah. Tapi bukan nikah secara umum. Yang aku pikirin tuh… nikah sama kamu.”
Naya tersenyum tipis, tapi matanya mulai berkaca-kaca. “Aku juga…”
Ray menyentuh pipi Naya. “Aku sering bayangin kamu pakai gaun putih. Cantik banget. Aku nunggu di altar, tangan gemeteran, tapi begitu kamu datang… semua tenang.”
Naya menggigit bibirnya, menahan haru. “Aku juga bayangin kamu. Senyum kamu waktu pertama kali ngeliat aku di hari itu… pasti bikin aku nangis sebelum kita sampai pelaminan.”
Ray tertawa kecil. “Kita berdua cengeng sih.”
“Cengeng tapi cinta.”
Ray menatap dalam-dalam ke mata Naya. “Kalau suatu hari kita nikah… kamu mau nikahnya kayak gimana?”
Naya berpikir sejenak. “Aku gak butuh pesta mewah. Aku cuma mau satu hal—kamu di sebelahku, genggam tanganku, dan bilang kamu janji untuk gak pernah ninggalin aku.”
Ray mencium keningnya lama. “Aku udah janji itu dari lama, Na. Bahkan tanpa pernikahan pun, hatiku udah nikah sama kamu.”
Naya tak mampu berkata-kata lagi. Ia menutup matanya, membiarkan air mata hangat mengalir, bukan karena sedih—tapi karena terlalu bahagia.
Ray menyeka air matanya. “Jangan nangis. Nanti aku ikut-ikutan nangis.”
“Gak bisa… ini air mata yang udah nunggu keluar dari dulu. Kamu… terlalu indah buat disyukuri.”
Ray tersenyum. “Kalau Tuhan nyuruh aku nyebutin satu berkah paling besar dalam hidupku, aku bakal jawab: kamu.”
Mereka kembali berpelukan. Kali ini lebih erat. Lebih dalam. Bukan karena nafsu, tapi karena cinta yang ingin mereka lindungi selamanya.
“Ray…” panggil Naya lagi setelah beberapa saat.
“Hm?”
“Kalau suatu hari nanti kita benar-benar nikah, kamu janji tetap kayak gini, ya? Tetap bucin, tetap manja, tetap Ray yang aku kenal.”
Ray mencubit hidungnya gemas. “Aku bakal lebih bucin lagi. Nanti tiap pagi aku bangunin kamu pakai kecupan. Tiap pulang kerja, peluk kamu dulu sebelum buka baju. Dan tiap malam, tidur di pelukan kamu sambil bisik ‘aku cinta kamu’.”
Naya memejamkan mata dan tersenyum. “Kamu bikin aku gak sabar buat sampai ke hari itu.”
Ray mengecup keningnya sekali lagi. “Gak perlu buru-buru. Yang penting kita jalanin semuanya bareng. Pelan-pelan, tapi pasti. Satu langkah dalam satu pelukan.”
Setelah itu, mereka hanya saling berdiam di pelukan. Tanpa banyak bicara, tapi setiap detik yang mereka habiskan bersama malam itu, membuat hati mereka semakin yakin: cinta ini bukan cinta biasa. Ini adalah awal dari sebuah masa depan yang mereka impikan bersama.
Beberapa hari setelah kencan mereka yang tak terlupakan, Ray mulai merasa tubuhnya lemas. Awalnya ia mengira hanya kelelahan. Tapi pagi itu, tubuhnya panas, tenggorokannya sakit, dan kepalanya terasa berat seperti batu. Ia berusaha bangun dari tempat tidur, tapi tubuhnya terlalu lemah.
Naya yang sedang di dapur membuat sarapan langsung panik begitu mendengar batuk Ray yang berat.
“Ray?” panggilnya sambil berjalan cepat ke kamar.
Begitu melihat wajah Ray yang pucat dan tubuhnya yang menggigil, Naya langsung duduk di pinggir tempat tidur dan menyentuh dahinya. Panas.
“Kamu demam tinggi,” katanya panik. “Kamu harus istirahat. Aku panggilin dokter, ya?”
Ray menggeleng pelan. “Gak usah, Na… cuma masuk angin…”
“Ray, ini demam. Badan kamu panas banget. Aku gak bisa diam aja,” ucapnya dengan mata mulai berkaca-kaca. “Kamu itu… segalanya buat aku.”
Tanpa menunggu jawaban, Naya segera mengambil air hangat, kompres, dan membawakan obat penurun demam. Ia duduk di samping Ray, menyuapi obat perlahan.
“Sini, sayang. Minum dulu, ya.”
Ray tersenyum lemah. “Kamu jadi istri siaga banget…”
Naya mencubit pipinya pelan. “Belum jadi istri, tapi udah cinta segininya, apalagi nanti.”
Dengan telaten, Naya mengompres dahi Ray, mengganti handuk setiap kali mulai menghangat. Ia tak mau meninggalkan sisi Ray, bahkan sesekali mencium tangannya, mengelus rambutnya, menyanyikan lagu pelan sambil menatap wajah lelaki yang dicintainya itu.
Siang berganti malam, Ray masih lemas. Tapi ia merasa hangat—bukan karena demam, tapi karena cinta yang begitu nyata dari Naya. Ia memandangi wajah kekasihnya yang tertidur di tepi ranjang, masih menggenggam tangannya erat, bahkan dalam tidur.
Saat Naya terbangun tengah malam karena Ray batuk keras, ia segera duduk dan membelai punggung Ray.
“Aku di sini… aku gak kemana-mana…”
Ray menatapnya dengan mata berat. “Na…”
“Hm?”
“Terima kasih… udah jagain aku kayak gini…”
Naya menunduk, mengecup jemari Ray. “Kamu yang selama ini jagain aku. Sekarang giliran aku.”
Ray mengangkat tangan pelan, menyentuh pipi Naya. “Kamu… rumah paling nyaman buat aku.”
Naya menahan air matanya. “Dan kamu… alasanku buat kuat setiap hari.”
Malam itu, Naya tak tidur. Ia terus menjaga Ray, mengganti kompres, membacakan buku, hingga bahkan memeluk Ray agar ia bisa tidur lebih tenang.
Keesokan paginya, demam Ray mulai turun. Ia membuka mata dan melihat Naya terlelap di sampingnya, masih mengenakan hoodie lusuhnya, rambut berantakan, dan wajah lelah.
Tapi bagi Ray, itu adalah wajah terindah yang pernah ia lihat.
Dengan tangan lemah, ia menyentuh pipi Naya. “Aku cinta kamu banget, Na…”
Naya terbangun pelan, mengedipkan mata lalu tersenyum melihat Ray yang sudah lebih segar.
“Kamu udah baikan?”
Ray mengangguk pelan. “Karena kamu.”
Naya memeluknya dengan lembut. “Jangan bikin aku khawatir lagi ya, sayang…”
Ray mengelus rambutnya. “Aku janji. Tapi kalau nanti aku sakit lagi, aku mau kamu yang rawat. Soalnya, cuma di pelukan kamu, sakit pun terasa indah.”
Naya tertawa kecil, menahan haru. “Dasar bucin sakit…”
“Tapi bucinnya cuma buat kamu.”
Beberapa hari setelah Ray sembuh total, suasana rumah kembali hangat dan penuh tawa. Tapi Naya mulai tampak lemas. Awalnya Ray tak terlalu curiga, mengira Naya hanya kelelahan karena terlalu menjaga dirinya selama sakit.
Namun pagi itu, Naya terbangun dengan wajah pucat, suara serak, dan suhu tubuh yang mulai meninggi. Ia masih memaksakan diri untuk bangun dan memasak sarapan.
Ray yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghentikannya.
“Naya, kamu ngapain sih? Kamu kelihatan gak enak badan banget…”
“Aku cuma mau bikin sarapan… kamu baru sembuh, aku—”
Ray segera menghampiri dan memeluknya dari belakang. “Sayang… sekarang giliran aku yang jaga kamu, ya?”
Naya tersenyum lemah, tubuhnya bersandar di pelukan Ray. “Maaf ya… malah nyusahin kamu…”
Ray mengangkat wajahnya dan menatapnya lembut. “Dengerin aku. Kamu bukan nyusahin aku. Kamu itu dunia aku. Gak akan pernah jadi beban, ya?”
Dengan penuh perhatian, Ray menggendong Naya ke sofa dan menyelimuti tubuhnya. Ia segera mengambil termometer, lalu mengecek suhu tubuhnya.
“38,5. Aduh sayangku ini… kamu udah ngorbanin waktu dan tenaga buat aku. Sekarang gantian aku yang bakal jadi perawat paling bucin sedunia.”
Ia mengambil baskom, handuk kecil, dan mulai mengompres dahi Naya. Tangannya sangat lembut, penuh kasih. Setiap kali Naya mengeluh pusing, Ray menggenggam tangannya dan menciuminya pelan.
“Kalau aku bisa ambil sakit kamu, aku bakal lakuin, Na…”
“Jangan, Ray… nanti kamu sakit lagi…”
“Gapapa. Yang penting kamu bisa senyum lagi.”
Seharian penuh, Ray gak lepas dari sisi Naya. Ia masak bubur hangat, menyuapinya dengan sabar, bahkan sesekali menyuapinya sambil mengusap pipi Naya yang mulai berkeringat.
“Nih, satu suapan, terus cium pipi dikit,” ucapnya manja.
Naya nyengir lemah. “Dasar bucin gak ada obat…”
Ray tersenyum. “Obatnya cuma kamu sehat lagi. Baru aku bisa tenang.”
Sore harinya, Naya mulai tertidur karena obat. Ray duduk di tepi kasur, memainkan rambut kekasihnya dengan penuh sayang. Ia membisikkan kata-kata cinta ke telinga Naya walau tahu Naya sudah tertidur.
“Aku gak akan ke mana-mana. Aku bakal jagain kamu sampai kamu bisa lari-lari lagi, teriak-teriak di rumah ini kayak anak kecil…”
Ia bahkan tak tidur semalaman. Setiap jam, ia bangun untuk mengecek suhu Naya, mengganti kompres, memastikan air minum selalu tersedia, dan memeluk Naya erat saat tubuhnya mulai menggigil.
Saat pagi datang, Naya membuka mata dan melihat Ray tertidur sambil duduk, kepalanya menempel di sisi kasur, tangan masih menggenggam tangannya.
Hatinya hangat. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi melihat Ray seperti itu membuatnya merasa sangat dicintai.
“Sayang…” bisiknya pelan.
Ray langsung terbangun, lalu memeluk Naya erat. “Kamu bangun… gimana rasanya sekarang?”
“Sedikit lebih baik…”
Ray tersenyum lega. “Alhamdulillah… jangan bikin aku panik kayak kemarin lagi ya. Hatiku cuma tahan panik kalau drama Korea, bukan kamu sakit…”
Naya tertawa kecil. “Drama Korea katanya…”
Ray menatap mata Naya dalam-dalam. “Aku lebih bucin dari semua tokoh drama yang kamu tonton, tahu gak?”
“Emang.”
Ray mengecup kening Naya. “Aku gak akan biarin kamu sendiri, Na. Sakit atau sehat, aku akan jadi orang pertama yang jagain kamu. Karena kamu bukan cuma pacar aku. Kamu rumah, kamu tujuan, kamu hidup aku.”
Naya memeluk Ray erat-erat, menahan air matanya. “Aku juga cinta kamu, Ray. Terima kasih… udah bikin aku merasa begitu disayang…”
Ray mengusap punggungnya lembut. “Cinta itu bukan cuma soal kata-kata. Tapi soal siapa yang tetap ada, meski dalam keadaan paling lemah. Dan aku akan selalu jadi orang itu buat kamu.”
Hari itu, meski tubuh Naya belum pulih sepenuhnya, tapi hatinya penuh—penuh cinta dari seorang Ray yang tak pernah lelah mencintai, merawat, dan menjadi tempat pulang.
Setelah seminggu bergantian merawat satu sama lain, akhirnya Ray dan Naya kembali sehat sepenuhnya. Suasana rumah yang sempat hening karena sakit, kini kembali cerah dengan tawa dan suara manja mereka berdua.
Pagi itu, Ray bangun lebih dulu. Ia berdiri di depan pintu kamar, melihat Naya yang masih tertidur dengan rambut acak-acakan, pipi tertindih bantal, dan pelukannya masih erat pada guling. Ray tersenyum.
“Duh… bahkan tidur pun kamu masih lucu banget…”
Pelan-pelan, ia mencium dahi Naya. “Bangun yuk, kita belanja. Isi kulkas kita udah kayak dompet akhir bulan — kosong.”
Naya membuka mata perlahan, lalu merengut manja. “Aku mau peluk Ray dulu, baru bangun…”
Ray langsung masuk selimut dan memeluknya erat. “Nah, sekarang kamu gak punya alasan buat males bangun.”
Setelah sarapan bareng (dengan Ray yang nyuapin dan Naya pura-pura ogah tapi senyum terus), mereka bersiap ke supermarket.
Di supermarket, kebucinan mereka makin menjadi-jadi. Setiap lorong jadi ajang candaan romantis.
Ray ngambilin mi instan. “Sayang, ini buat malam minggu nanti ya. Mi rasa pedas, kayak cintaku ke kamu.”
Naya tertawa. “Kalau mi goreng rasa manis, itu kamu ya?”
“Bukan, itu rasa cinta kamu ke aku.”
Mereka berdua ketawa sambil dorong-dorongan troli. Kadang Ray ngumpet di balik rak lalu nyergap Naya dari belakang sambil teriak, “Hati-hati, dicuri cowok ganteng!”
Naya nyubit lengannya. “Cowok gantengnya mana? Yang ini sih cowok bucin…”
“Yaaa… bucin tapi milikmu.”
Saat di kasir, Ray tiba-tiba ngeluarin bunga plastik dari rak impulsif dan kasih ke Naya. “Buat kamu, karena aku belum mampu beli bunga segar tiap hari. Tapi cinta aku gak akan pernah layu, kayak bunga ini.”
Naya langsung merah pipi. “Gombalnya tuh lho…”
Ray berkedip nakal. “Gombal? Bentar lagi kamu meleleh, terus aku peluk deh.”
Setelah belanja, mereka pulang dan beberes bareng. Tapi tentu saja, semua kegiatan rumah jadi penuh dengan pelukan, kecupan tiba-tiba, dan candaan.
Saat Naya naruh sayur ke kulkas, Ray tiba-tiba melingkarkan tangan dari belakang dan bisik ke telinganya.
“Naya…”
“Iya?”
“Kalau sayur ini sehat buat tubuh, kamu sehat buat hati aku.”
Naya langsung menutup kulkas dan membalik badan. “Ray…”
“Hmm?”
“Gombalan kamu bisa jadi pupuk kompos deh. Banyak banget.”
“Yang penting bisa bikin senyum kamu tumbuh terus.”
Di ruang tamu, mereka duduk bareng sambil nyusun barang belanjaan, termasuk cemilan yang dibeli diam-diam oleh Ray.
“Nih, cokelat kesukaan kamu.”
Naya melongo. “Ih, aku tadi gak liat kamu masukin ini!”
“Rahasia dong. Namanya juga surprise kecil dari cowok yang terlalu cinta pacarnya.”
Naya nyender ke bahunya. “Aku juga terlalu cinta pacarku yang sok romantis ini…”
Ray tersenyum dan merangkulnya erat. “Na… tau gak? Aku paling suka hari-hari kayak gini. Gak perlu mewah, gak perlu jalan-jalan jauh. Cukup belanja bareng, beberes bareng, dan bisa meluk kamu kayak gini…”
“Aku juga suka. Ini… rasanya kayak rumah. Kamu rumah aku, Ray.”
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya menikmati pelukan hangat itu. Di tengah kesederhanaan dan aktivitas biasa, cinta mereka terasa besar, utuh, dan penuh warna.
Di malam hari, mereka nonton film berdua, berselimut satu, dengan tangan Ray terus mainin rambut Naya.
“Kamu suka filmnya?” tanya Ray.
“Enggak terlalu sih…”
“Terus kenapa diem-diem aja dari tadi?”
“Soalnya aku lebih suka mandang kamu.”
Ray langsung merah. “Aduh, ini gawat. Giliran kamu yang gombal, aku yang leleh…”
“Biar adil dong. Gombalannya harus saling.”
Ray mengecup pipi Naya. “Deal. Kita sama-sama jadi pasangan tergombal dan ter-bucin sedunia.”
“Sepakat.”
Malam itu mereka tertidur di sofa, saling memeluk. Satu selimut, satu napas, satu cinta yang terus tumbuh setiap harinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
