Suamiku Mencintai Wanita Lain - Part I

2
1
Deskripsi

"Pergi," kata Shelina menunduk. "Pergilah dan jangan kembali lagi."

"Kita belum selesai," jawab Abizhar tegas. "Aku akan pergi menemui Yuni hari ini, tapi bukan berarti aku mau menuruti keinginanmu. Aku akan kembali lagi padamu dan membuatmu percaya padaku. Kau dengar aku, Shelina? Aku akan kembali!"

Kembali ke mana, pikir Shelina melihat kepergian Abizhar dari kamarnya. Kembali pada Shelina? Shelina yang mana? Shelina yang terobsesi padamu sudah tidak ada. Yang kini ada hanyalah Shelina yang tersiksa...

1

 

Sayup-sayup ia mendengar orang memanggil namanya. Perlahan, Shelina membuka matanya, dan menemukan kesilauan yang menusuk matanya. Ia memejamkan matanya lagi, dan merasa kepalanya seperti ditusuk-tusuk.

Ia tak sadarkan diri untuk dua jam lamanya. Dalam mimpinya, ia melihat seseorang mengejarnya. Ia berlari sekuatnya sampai tenaganya habis. Sial, orang itu lebih cepat darinya, dan Shelina terpekik ketika orang yang mengejarnya menunjukkan sebilah pisau padanya.

Shelina terbangun dan berteriak, "Abizhar!" Dia melihat ke sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa. Kemudian ia merasa bagian bawah badannya sakit. Dia teringat sesuatu.

Anakku, gumamnya panik. Anakku. Di mana anakku?! Shelina meraba-raba perutnya yang terasa lebih kempis sedikit. Dia mencoba menegakkan tubuhnya, tapi kepalanya terasa nyeri sekali. Dia kembali melentangkan tubuhnya.

Ada apa ini, pikirnya bingung. Aku sakit apa? Kenapa aku mudah sekali pusing? Padahal aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Semua badanku terasa sakit. Apa yang terjadi padaku?

Tahu-tahu ia tidur lagi, dan dibangunkan oleh suara yang sangat dikenalnya. "Shelina, bukalah matamu. Aku tahu kau pura-pura."

"Abi...," desis Shelina menahan sakit pada sekujur tubuhnya. Ia melihat Abi berdiri dengan seseorang dibalut jas dokter. "Di mana aku? Di rumah sakitkah?"

"Tentu saja. Di mana pikirmu setelah kau membawa mobilmu dengan kecepatan tinggi?" Didengarnya suara Abi yang mengomelinya. "Apakah keadaan Shelina sudah cukup baik sekarang, Dok?"

"Mohon maaf sebelumnya, Pak Abi. Nyonya Shelina tidak dalam kondisi yang fit untuk memberi keterangan. Menurut hasil CT scan yang diambil saat Nyonya Shelina tak sadarkan diri tadi, terdapat cidera traumatik pada otak Nyonya Shelina. Selain itu..."

"Anak saya, Dokter...," gumam Shelina kalut. "Anak saya apakah baik-baik saja?" Dua pria di sampingnya menatapnya dengan pandangan iba. Shelina menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak... Tidak mungkin!"

"Biarkan saya bicara pada istri saya, Dokter," kata Abizhar mengisyaratkan untuk ditinggalkan berdua saja di ruangan itu. Ia duduk di kursi sebelah tempat tidur. Ditatapnya Shelina secara tajam. "Kau sudah tak sadarkan diri hampir lima hari. Tidak ingatkah kau apa yang terjadi?" Abizhar menghela napas panjang melihat kebingungan di mata istrinya. "Saat kau dibawa ke IGD kau muntah-muntah. Darah bahkan keluar dari hidung dan telingamu, selain dari kepalamu tentu saja. Apakah kau sama sekali tidak ingat?"

"Aku tidak peduli. Anakku..."

"Anak itu tidak bisa diselamatkan," jawab Abizhar dingin. Tidak ada simpati di raut wajahnya, menimbulkan rasa kecewa di hati Shelina. "Ia dilahirkan saat kau tidak sadarkan diri. Dan dia sudah mati dalam kandungan."

"Jadi..."

"Ya anak itu sudah dimakamkan," sambung Abizhar. Kedua matanya menyipit. "Sekarang katakan padaku, Shelin. Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau bisa kebut-kebutan? Apakah memang niatmu untuk mencelakai Yuni?"

"Kebut-kebutan... Celakai... Yuni?" Ingin sekali Shelina menjawab suaminya, tapi dia tidak mengerti. Dia malah tidak ingat sama sekali mengapa dia bisa berakhir di rumah sakit seperti saat ini. Lagi-lagi dia menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

"Kau sangat membenci Yuni, tidak mungkin kau tidak ingat," jawab Abizhar dengan rahangnya yang mengeras. "Kau sangat membencinya sampai kau kehilangan anak kita!"

"Aku akui memang aku benci pada simpananmu." Soal Yuni yang menjadi kekasih gelap Abizhar terang Shelina masih ingat. Yuni perempuan brengsek itu sudah menjadi duri rumah tangganya sejak hari pertama, namun Shelina tidak tahu relevansi antara kebenciannya terhadap Yuni dan meninggalnya anak mereka. Selain itu, kenapa Abizhar tidak terlihat kasihan sedikit pun padanya? Dia terus-terusan menuduhnya. Tidak sedihkah dia pada istrinya yang kehilangan anak mereka?

"Mobil kalian yang remuk ditemukan di jalan tol. Mobilmu menabrak mobilnya," jawab Abizhar, disertai gemelutuk giginya. "Kau tidak ingat juga bagian itu?"

Shelina menggeleng.

"Dan karenamu, Yuni dimakamkan di hari yang sama dengan anak kita. Satu hari setelah kecelakaan itu aku kehilangan dua orang yang aku sayang dan itu semua karenamu!" bentak Abizhar berang. "Aku sangat berharap kau benar-benar lupa ingatan. Aku berharap kau mengalami cidera yang hebat, sampai kau tidak bisa mengingat dosa-dosamu pada orang-orang di sekelilingku!"

"Jadi.. Yuni mati?" Shelina berduka dengan kematian anaknya, tapi dia sedikit lega mendengar benalu itu hilang dari bumi ini. Shelina menunjukkan senyum liciknya. "Dia.. Dia pantas mati, kan? Kalian telah lama berselingkuh tanpa memedulikan perasaanku. Apa yang terjadi padanya adalah hal yang sepadan."

"Dasar wanita brengsek," desis Abizhar tidak percaya. "Simpananku mati karenamu! Kau... Kau pembunuh! Lagipula, perasaan apa?! Kita berdua tahu aku tidak mencintaimu, dan kau juga tidak mencintaiku. Setidaknya, saat malam pertama, aku masih perjaka tidak sepertimu!"

"Mana kutahu kau perjaka atau tidak," jawab Shelina tenang. "Tidak bisa dibuktikan, kan?"

"Aku tidak peduli kau percaya atau tidak, yang jelas kau sudah tidak suci dan itu sudah menjadi bukti kuat kau sudah pernah menjadi wanita murahan sebelum menikah. Bahkan hari ini kau masih terlihat murahan sekali pun kemewahan bergelimang di sekitarmu!"

"Mengeluhlah sepuasmu. Ini hari kemenanganku. Walaupun aku kehilangan anak, dan aku sangat sedih karenanya, setidaknya ada hal yang harus aku syukuri yaitu kematian gundikmu.. Ha.. ha... ha..." Dengan lirihnya Shelina tertawa kencang.

"Jangan senang dulu. Saat ini polisi sedang menyelidiki kasus kecelakaanmu. Aku yakin, kau akan diseret ke kantor polisi karena kau telah berusaha menyingkirkan Yuni."

"Aku ragu dengan kondisiku yang sekarang mereka bisa menangkapku," jawab Shelina dengan nada merendahkan. "Lagipula aku punya banyak kenalan pengacara andal. Jadi apa yang harus kutakuti?"

"Ya terang saja. Aku lupa, mantan kekasihmu yang sok cakep itu juga lawyer. Siapa namanya? Oh, Philip Sadrin. Dia tanpa kau minta pasti akan datang menolongmu."

Senyum Shelina melebar mendengar kesinisan itu. "Aku ingin istirahat. Oh ya. Apakah ada yang menjengukku?"

"Menurutmu? Tentu saja banyak. Teman-temanmu dari kalangan sosialita itu terang saja datang, dengan membawa wartawan pula, hanya untuk memojokanku di media," dengus Abizhar. "Aku akui, di depan orang lain, kau sangat hebat menjaga citramu. Tapi di depanku, kau tidak lebih wanita berhati iblis!"

"Apa yang mereka bilang?"

"Cek saja sendiri setelah kau sehat." Abizhar berdiri dari duduknya. "Aku pergi mau merokok sebentar." Lengannya ditahan istrinya. Ketika istrinya menyentuhnya, Abizhar merasa hangat-sedikit. "Ada apa?"

"Apakah ayahku datang?"

Abizhar diam, menepiskan tangan Shelina darinya. "Dia tidak datang, bahkan di pemakaman anak kita dia juga tidak menunjukkan batang hidungnya," jawabnya parau. Abizhar melihat kekecewaan yang berusaha disembunyikan istrinya. Hanya untuk menyakitkan istrinya lebih dalam lagi, Abizhar menambahkan, "Dia pasti kecewa padamu. Berita kau yang menabrak simpananku cukup memengaruhi harga saham perusahaan propertinya. Anjlok betul." Abizhar berdecak.

Meski Abizhar selalu bersikap dingin dan bicara nyelekit padanya, Shelina tidak memungkiri apa yang dikatakan Abizhar ada benarnya. Selama ini tidak ada yang lebih penting daripada bisnis bagi Papa, pikir Shelina murung. Bahkan pernikahanku dengan Abizhar tidak lebih dari sekadar bisnis antara Papa dan orangtua angkat Abizhar.

**

Semakin Shelina berusaha mengingat kecelakaan itu, semakin memburuk sakit kepalanya. Seminggu kemudian, ia baru dibolehkan dokter untuk pulang. Pikirnya ia bisa beristirahat sebelum akhirnya ia betul-betul pulih, namun baru dua jam di rumah, dua polisi datang ke rumahnya dengan tujuan menyelidiki kasus kecelakaan yang dialaminya.

Shelina memberikan hasil CT Scan kepalanya dan kontak dokter yang menanganinya. Dia menjelaskan bahwa ia betul-betul tidak ingat dengan kejadian itu. Meski ia disodorkan rekaman CCTV di berbagai tempat, di mana semuanya menunjukkan ia kebut-kebutan dengan Yuni, ia tetap menggeleng.

Ia teringat sesuatu.

Ia menunjukkan beberapa pesan yang dikirimkan Yuni melalui email. Pesan-pesan tersebut mengandung ancaman. Polisi menganggap pesan-pesan tersebut menjadi petunjuk untuk kasus itu. Shelina kooperatif selama ditanya, dia tidak keberatan sekali pun dia tidak bisa keluar negeri sampai penyelidikan dihentikan. Setelah ditanyai untuk tiga jam lamanya, Shelina berjalan ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.

Abizhar yang melihat itu hanya meringis kesal, tapi Shelina tidak peduli. Dia menangis di atas bantal, mencoba mengeluarkan semua sesak di dadanya. Dia masih tidak percaya bahwa dia sudah tidak mengandung lagi.

"Aktingmu bagus, harusnya kau tunjukan pada polisi," kata Abizhar jengkel. "Kenapa sih tidak kau akui saja kalau kau memang sengaja mencelakainya?! Aku tahu kau pura-pura bodoh, Shelina. Wanita sombong sepertimu pasti ogah tinggal di balik jeruji besi!"

"Kenapa kau tidak pergi saja dari sini?" tanya Shelina dengan wajah yang basah karena air mata. "Kenapa kau terus menekanku?! Aku bilang tidak ingat ya tidak ingat!"

"Menurutmu mudah saja bagiku untuk pergi dari hidupmu?" Abizhar menunduk di depan istrinya. Ditatapnya istrinya dengan bengis. "Aku hanya akan pergi setelah aku mendapatkan apa yang kuincar darimu. Dan hal itu tidak akan kudapat selama bapakmu masih hidup!"

"Oh ya, tentu. Tanah di Kebon Kacang yang kini sedang proses pembangunan apartemen, itu kan yang kau inginkan?" Shelina meludah tepat ke pipi pria itu. Hatinya tak gentar saat Abizhar mengangkat satu tangannya untuk memukulnya. "Bantahlah kalau berani. Kau pikir aku sebodoh itu menerima pinanganmu di saat aku tahu kau tak lebih pengincar harta!"

Abizhar mundur selangkah dari istrinya. Tangannya yang hendak menampar istrinya mengepal kuat-kuat. "Arrrghh!" Ditonjoknya tembok di dekatnya. Tembok itu tidak hancur sekali pun, namun tangannya mengalami luka. Darah mengalir di sana. "Lalu apa yang kau mau, Shelina? Mencintaiku tidak bisa, membiarkan aku lepas darimu juga tidak!"

"Aku ingin harta yang kau ambil dari ayahku jatuh ke tanganku. Aku ingin memiliki rumah ini. Aku ingin punya semua yang kau mau. Baru setelah itu akan kurelakan kau dengan wanita murahan mana pun," jawab Shelina dingin.

"Kau sudah lahir di keluarga yang kaya, kau tidak pernah kekurangan, mengapa kau masih merisak anak miskin sepertiku?!" gerutu Abizhar heran.

"Kita sama-sama tidak bahagia, Abi," sahut Shelina datar. "Kau melihatku sebagai orang yang manja dengan barang mahal yang melekat padaku. Tapi kau tidak tahu penderitaanku sedikit pun!"

"Penderitaan apa! Kau selalu mendapatkan apa yang kau mau!" Abizhar mengeluh marah. "Termasuk dirku. Kenapa sih, dari sekian laki-laki kau mengincarku? Apakah kau terlalu tidak percaya diri dengan kau yang tidak perawan, jadi kau pilih laki-laki yang berasal dari panti asuhan sepertiku?!"

Sebelum menikah bahkan Shelina tidak tahu asal-muasal keluarga Abizhar. Mereka hanya kenal dua minggu dan itu pun di acara resmi saja, tidak personal. Dari ayah Shelina, Pak Edward Sutedja, Shelina mendapat informasi bahwa Abizhar diangkat oleh keluarga Soewitno saat usianya dua belas tahun. Ayah Shelina juga menekankan tidak perlu Shelina sakit hati karena Abizhar yang tidak bisa mencintai Shelina. Pernikahan itu bebas untuk dibubarkan oleh Shelina maupun Abizhar setelah ayah Shelina dan ayah angkat Abizhar mendapat apa yang mereka mau.

Perjanjian Pak Edward dan Pak Ariadi Soewitno berkaitan dengan merger kedua perusahaan mereka di bidang properti, sementara perjanjian antara Shelina dan Abizhar terkait tanah dan anak. Abizhar akan menerima tanah dengan atas nama Shelina setelah anak laki-laki mereka lahir. Abizhar juga akan memberikan kompensasi untuk anak laki-laki mereka.

Sebelum menikah Shelina sudah memberi kesan bahwa ia membeli Abizhar hanya untuk membantunya menjadi seorang ibu. Dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi untuk menunjukkan kedudukan Abizhar yang lebih rendah darinya. Hal itu bukan hanya untuk mengintimidasi Abizhar saja, melainkan Shelina tahu jika dia tidak bersikap demikian, Abizhar akan menginjak-injaknya.

Pria itu memberitahunya bahwa alasannya untuk menyetujui ide pernikahan yang gila itu hanya karena ia ingin membalas budi pada keluarga Soewitno dan tanah yang dimiliki Shelina. Abizhar sudah menjelaskan bahwa hatinya hanya dimiliki Yuni, teman kecilnya yang dikenalnya sejak ia hidup di Panti Asuhan.

Bukan salah Yuni ia disukai Abizhar, pria yang ditaksir Shelina. Ya, Shelina tidak mengelak bahwa ia menyukai Abizhar. Abizhar tampan, pintar, dan sebenarnya cukup mahir membuat dadanya hangat setiap pria itu menyentuhnya, namun Shelina tidak bisa merasakan Abizhar sepenuhnya sebab bayangan Yuni menjadi penghalang di antara dirinya dan Abizhar.

Shelina tidak pernah menutupi kebenciannya pada Yuni, malah setiap selesai melakukan seks dengan suaminya, ia mendesis berharap ia bisa membunuh Yuni. Ia merasa ia bisa menikmati seks tersebut lebih maksimal jika tidak merasa iri pada Yuni.

Bagaimana ia tidak iri. Alasan terbesar Abizhar bersamanya adalah karena Yuni. Abizhar menghendaki tanah dengan atas nama Shelina itu untuk dihadiahkannya pada Yuni kemudian. Abizhar bilang, tanah itu dulunya adalah Panti Asuhan tempatnya tinggal bersama Yuni dulu. Ia ingin Yuni menjadi pengurus Panti Asuhan itu di atas tanah tempat Abizhar dan Yuni memiliki banyak kenangan.

Memuakkan, bukan?

Shelina memang tak pernah absen menyumpah serapah pada Yuni, berharap Yuni pergi dari dunia ini, tapi hati kecilnya merasa bersalah mengetahui perempuan itu benar-benar mati. Shelina memandang raut kesal di wajah suaminya, namun ia tahu, sebenarnya kemarahan yang dirasakan Abizhar disebabkan kesedihannya kehilangan cinta dalam hidupnya.

Andai saja aku yang mati, pikir Shelina sedih. Apakah kau akan sedih seperti ini, Bi? Atau kau langsung merayakan pesta besar-besaran merayakan kematian wanita yang brengsek ini?

Cobaan Shelina belum selesai Shelina selama sakit terus menyerangnya tanpa mengenal waktu. Dia sering melenguh, nyaris berteriak menahan sakit, dan Abizhar meskipun hatinya masih dikecamuk rasa sedih dan amarah, dia tetap mengesampingkan semua itu dengan mengurus Shelina.

Dibawakannya makanan ke kamar. Diingatkannya Shelina untuk mengonsumsi obat-obatnya setelah makan. Terpaksa, Abizhar mengatakan pada Shelina untuk tidak usah memikirkan soal Yuni kalau itu hanya membuat Shelina semakin sakit.

"Aku juga ingin tahu apakah aku betul membunuhnya atau tidak," jawab Shelina datar. Fisiknya memang sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit setiap nama Yuni dilisankan oleh Abizhar. "Dengan begitu aku bisa merasa lega."

"Lega karena apa? Karena bisa menyingkirkan sainganmu?" sahut Abizhar kesal. "Shelina. Andai saja kau tidak angkuh, barangkali.. ya barangkali, aku bisa membuka hatiku untukmu."

"Bukan barangkali, tapi memang seharusnya hati suamiku ya untukku!" dengus Shelina marah. "Apa sih yang kau lihat dari Yuni sampai terus-terusan membandingkan aku dengannya? Apa yang bisa diberikannya yang aku tidak bisa?!"

"Kita sudah membahas ini. Dari awal, sudah kutekankan padamu, bahwa cintaku hanya untuk Yuni. Kenapa? Ya karena dia memang tipeku. Sesederhana itu aku mencintainya," jawab Abizhar lirih.

"Hhh, menjijikkan," desis Shelina menunjukkan rasa muaknya. "Apa kontribusinya dalam hidupmu sampai kau rela melukai hati istrimu yang telah memberikan segalanya padamu? Aku tidak hanya memberikan diriku untukmu, Abi. Kalau bukan karena ayahku, kau juga takkan dapat modal untuk dua perusahaan yang baru kau kembangkan."

"Menurutmu, hargamu setinggi itu?" Abizhar menatap Shelina dingin. "Uang, uang, dan uang. Itu saja yang menjadi patokanmu untuk harga dirimu, Shelin." Dihelanya napas berat. "Tidurlah. Tak ada gunanya pertengkaran ini. Selama aku masih satu ranjang denganmu, pernikahan ini akan terus berantakan seperti ini."

"Aku tidak melarangmu untuk tidur di tempat lain," kata Shelina menyandarkan kepalanya di atas bantal. Ia memejamkan matanya. "Aku butuh ketenangan saat ini. Tak ada yang bisa membuatku tenang selain kesendirian. Dari dulu sampai sekarang, yang hanya ada untukku adalah diriku sendiri."

"Mengeluhlah semaumu, Nyonya." Abizhar telentang di sebelah Shelina. Ditatapnya Shelina dengan seksama. Saat kedua mata yang biasa memandangnya dengan menantang itu tertutup, entah mengapa, Abizhar merasa tenang. Dadanya hangat melihat Shelina yang tidak marah-marah. "Shelin."

"Hmm."

"Anak kita tampan," kata Abizhar pelan. "Wajahnya mirip sekali kau."

Diingatkan soal anak Shelina membuka matanya lagi. "Apakah kau memfotonya? Tunjukan padaku, Bi. Aku ingin sekali melihatnya!"

Abizhar mengangguk. Ditunjukkannya foto bayi mereka yang ada di ponselnya. "Ganteng, bukan?" Mata Abizhar tertuju pada Shelina yang terpukau melihat bayi mereka yang masih kemerahan. Ia juga melihat air mata yang mulai keluar dari sudut mata istrinya.

Benarkah ada satu orang dengan dua keperibadian sepertimu, Shelin, pikir Abizhar. Kau punya sifat keibuan yang sebenarnya aku kagumi, tapi di sisi lain, kau bisa sampai hati membunuh orang lain. Kau bisa menyingkirkan Yuni wanita yang kau anggap beban selama ini. Siapakah yang ada dalam dirimu, Shelina? Mengapa tiba-tiba aku merasa takut berduaan denganmu?

Ekspresi Shelina berubah menjadi murung. Abizhar segera mematikan ponselnya, membiarkan Shelina kembali mengatupkan matanya lagi. Meski kedua mata istrinya tertutup, Abizhar masih bisa melihat air mata yang terus mengalir di sana.

Tak urung Abizhar menggenggam tangan Shelina erat. Bagaimana pun dia dan Shelina tadinya akan menjadi orangtua untuk bayi mereka. Bagaimana pun pula Abizhar tidak bisa mengesampingkan perasaan nyaman di dekat Shelina walaupun mereka lebih sering bertengkar daripada bermesraan.

Ada kalanya Abizhar ingin melupakan Yuni dan berusaha mencintai Shelina, namun setiap ia hendak melakukannya, ia teringat pada malam pertama mereka. Abizhar memang tidak pernah melakukan seks sebelumnya, tapi ia tahu, cara Shelina membalas sentuhannya dan ketika dirasakannya kelonggaran di bawah sana, Shelina tidak perawan.

Shelina tidak menjawabnya ketika ia bertanya dengan siapa Shelina melakukannya. Abizhar sudah terbiasa dihina dari kecil, dibilang miskin segala macam, tapi dengan Shelina yang sudah tidak suci adalah puncak di mana dia menyadari itulah penghinaan terbesar yang dilakukan orang lain terhadapnya. Abizhar tidak pernah bisa membawa dirinya untuk menyayangi Shelina setiap ia ingat istrinya sudah menyerahkan dirinya untuk dicumbu dan dinikmati oleh laki-laki lain.

Sampai kapan aku harus bertahan denganmu, Shelin, pikir Abizhar sedih. Yuni sudah tidak ada. Aku sudah tidak punya alasan apapun untuk tetap bersamamu.

Keesokan paginya, setelah Shelina mandi, ia menerima surat yang disodorkan Abizhar padanya. Sekilas saja Shelina dapat melihat judul dari perjanjian tersebut. "Perjanjian nikah," desis Shelina tak senang. "Untuk apa lagi? Kau ingin membuat perubahan atas perjanjian nikah ini?"

"Di sini dikatakan aku bisa mengajukan cerai jika kita sudah punya anak laki-laki," kata Abizhar datar. "Kita sudah punya anak laki-laki, meski anak itu meninggal." Rahang Abizhar mengeras. "Tolong biarkan aku pergi. Aku sudah tidak mau lagi meneruskan pernikahan ini."

"Apa rencanamu setelah bercerai?" tanya Shelina dingin.

Abizhar menatapnya kesal. "Bukan urusanmu."

"Berikan kompensasi padaku terlebih dahulu, baru aku akan mempertimbangkan perceraian untuk kita berdua," sahut Shelina. "Aku tidak mau kau mencampakkanku begitu saja setelah kau dapat banyak hal dari pernikahan ini."

"Apa yang kau mau? Kompensasi seperti apa yang bisa menyenangkan seorang Shelina?"

Shelina mengangkat bahu. "Akan kupikirkan." Ia memandang Abizhar dengan senyuman licik menghiasi wajahnya. "Kalau kita bercerai, itu artinya kau tidak akan menggangguku dengan urusan tanah itu, kan? Aku berencana untuk membuat klub malam di gedung apartemenku. Bisnis klub malam punya prospek yang bagus."

"Shelina!" bentak Abizhar marah. "Jangan berani-beraninya kau kotori tanah itu. Di sanalah aku bertemu orang-orang baik. Di sana pula aku..."

"....bertemu Yuni kekasihku yang sangat kusayang," sambung Shelina nyinyir. "Abi, aku tidak peduli. Bisnis ya bisnis."

"Apa yang harus kulakukan agar kau menyerahkan tanah itu padaku? Tidak cukupkah aku melayanimu di ranjang selama ini? Tidak cukupkah aku yang pura-pura tersenyum di setiap acara jamuan makan malam?" geram Abizhar setengah putus asa.

"Aku ingin punya anak. Aku ingin menjadi wanita seutuhnya dengan menjadi seorang ibu."

"Pikiran dari mana itu? Hidup di jaman apa kau ini?!" dengus Abizhar. "Kalau kau mau jadi wanita seutuhnya, jadilah wanita yang baik. Wanita yang punya manfaat bagi masyarakat sekitar. Nah, tidak usah jauh-jauh, bermanfaatlah untuk suamimu ini dengan menyerahkan tanahmu padaku!"

"Sudah kubilang, akan kupikirkan soal itu. Aku tidak mengingkari janji, kok," jawab Shelina jemu. "Aku akan memberikan harga yang pantas untukmu membeli tanah itu."

"Kalau begitu kenapa kita tidak melakukannya?" Abizhar melepaskan ikat pinggang celananya. Dibukanya kancing kemudian diturunkannya retsleting celananya. "Ayo. Kita punya anak sebanyak yang kau mau. Jika itu yang memang harus kubayar untuk bisa memiliki tanah darimu!"

Dipagutnya bibir istrinya dengan ganas. Didorongnya tubuh Shelina ke atas tempat tidur, lalu dicumbunya istrinya sampai ia mendengar rintihan Shelina.

Bukan rintihan karena menikmati sentuhan Abizhar. Rintihan itu cenderung lebih ke arah ringisan, yang terdengar seakan Shelina kesakitan. Ringisan tersebut tak pernah Abizhar dengar sebelumnya.

Tubuh Abizhar didorong keras ke belakang. Shelina berteriak sambil memegangi kepalanya.

"Ada apa?" tanya Abizhar khawatir. Ia berusaha mendekati Shelina namun istrinya menjauhi dirinya. "Apakah sakit kepalamu kambuh lagi?"

"Jangan sentuh aku! Pergi!"

Shelina tak sadarkan diri. Pada alam bawah sadarnya, ia dibawa ke kenangan buruk yang selama ini berusaha disingkirkan dari ingatannya.

"Kau cantik banget sih, Shelina," kata Oom Surya sambil mengelus pipinya yang mulus. "Sini, Oom cium dulu..."

Lalu Oom Surya melakukan sesuatu yang takkan pernah bisa Shelina lupakan untuk seumur hidupnya. Shelina tak berhenti menangis dengan koyakan di bagian bawah tubuhnya. Rasanya sakit sekali karena Oom Surya tidak memasukkannya dengan kasar dan terburu-buru.

"Jangan beritahu siapa-siapa ya. Kau tidak mau dong rumah tangga Oom dan tantemu berantakan." Oom Surya meremas payudaranya dengan gemas. "Duh, sebentar lagi sarjana. Masih muda.. Berapa usiamu? Masih dua puluh satu? Masih segar-segarnya.. He.. he.. he..."

Mimpi buruk itu. Shelina berusaha kabur dari alam bawah sadar yang menakutkannya. Didengarnya suara yang memanggil-manggil namanya. Shelina membuka matanya, menyadari sedari tadi Abizhar berusaha membangunkannya.

"Apakah kau sakit, Shelina? Kau dengar aku, kan?"

Shelina menggeleng sekuat mungkin. Tidak, tidak mungkin... Apakah ini pertanda Oom Surya akan kembali ke hidupku, pikir Shelina dipenuhi rasa takut di hatinya. Dia sudah lama tinggal di Amerika. Dia sudah berjanji untuk tidak menggangguku lagi. Tapi bagaimana jika...

Tidak, tidak. Aku harus kuat.

"Abi." Shelina menatap suaminya dengan kekalutan yang sengaja ditunjukkannya. Tak apalah aku terlihat lemah di depannya, pikir Shelina. "Apakah kau bisa berjanji untuk tetap bersamaku? Sampai waktunya tepat?"

"Tepat bagaimana?" Dahi Abizhar mengernyit.

"Kau... Kau ingin tanah itu, kan?" Shelina mengangguk-angguk sendiri. "Oke. Aku akan panggilkan lawyer-ku untuk mengurus penghibahan itu. Asalkan kau tetap bersamaku, oke? Asalkan kau.."

"Kau tidak berpikir waras, Shelina," kata Abizhar tegas. "Aku memang mau tanah itu, tapi tidak seperti ini. Melihatmu mengemis begini membuat hatiku iba." Abizhar berdecak-decak. "Ayuk makan, lalu minum obatmu."

"Abi, aku serius. Aku tidak mau kau meninggalkanku."

Abizhar memandangnya sejenak, memastikan apakah Shelina tulus memintanya begitu. Perlahan, Abizhar mengangguk. "Aku tidak meninggalkanmu." Setidaknya sampai waktu yang tepat menurutmu, kan?

Entah mengapa, Abizhar melihat ada yang aneh dalam mata istrinya. Selama ini dia selalu terlihat kuat dan menyebalkan, pikir Abizhar. Apakah ada yang ia sembunyikan dariku?

Ketika Abizhar tadi berusaha membangunkan Shelina, ia mendengar istrinya meracau nama paman Shelina, Oom Surya. Tentu Abizhar kenal dengan paman Shelina. Setiap akhir tahun keluarganya dengan keluarga Shelina berkumpul di restoran untuk sekadar silaturahmi. Meski pernikahan mereka didasari kontrak bisnis, tapi tetaplah di depan banyak orang mereka memperlihatkan hubungan suami-istri yang seharusnya.

Oom Surya tidak pernah menunjukkan gelagat tidak baik, pikir Abizhar lagi. Tapi siapa yang tahu isi hati dan pikiran manusia? Wanita yang kelihatannya cantik dan terhormat seperti Shelina saja mampu membunuh Yuni.

Abizhar curiga, ada yang tidak beres antara Shelina dan pamannya.

**

Pada masa pemulihan Shelina tidak diizinkan oleh suaminya untuk kembali bekerja. Abizhar melarangnya bukan karena dia peduli, melainkan dia tidak mau menambah masalah baru jika keadaan Shelina semakin parah. Dia bisa dimaki-maki ayah mertuanya sebab dia tidak becus menjaga istrinya. Abizhar tahu, hubungan bapak dan anak itu memang kurang akur, tapi ayah Shelina punya sisi yang sama dengan Shelina: sama-sama ingin membuat Abizhar sengsara.

Abizhar juga sudah enggan membahas masalah Yuni. Dia ingin memastikan Shelina sehat dulu baru akan didesaknya istrinya mengaku. Sebaliknya, justru Shelina yang meminta Abizhar untuk mencari tahu perihal kecelakaannya.

Hal itu mengherankan Abizhar. Apa yang direncanakan perempuan ini, pikir Abizhar. Apakah ini hanya taktiknya saja? Dia berpura-pura seolah tidak tahu apa-apa padahal dia sendirilah dalang dari kematian Yuni?

"Aku tidak bohong, aku memang tidak ingat apapun," kata Shelina sambil bersiap-siap. Rencananya hari ini ia berziarah ke makam anaknya. "Sekali pun aku yang membunuh perempuan itu, aku perlu tahu."

"CCTV di tol juga tidak menunjukkan kau menabraknya sebenarnya, Shelin," kata Abizhar memberitahunya. "Kalian hanya ngebut-ngebutan di jalan tol, tapi mengingat sikapmu yang kasar, aku yakin kamu yang memicu masalah ini."

Shelina menghela napas panjang. "Aku juga yakin begitu. Masalahnya, sampai aku bisa mengingatnya, atau ada bukti yang menjelaskan secara nyata aku yang mencelakainya, aku tidak bisa melakukan apa-apa."

"Memangnya, kalau benar kamu yang membunuhnya, kau akan melakukan apa?" tanya Abizhar penasaran.

Yang ditanya mengangkat bahu. "Menyerahkan diri pada polisi bukanlah pilihan yang mungkin. Aku masih punya tanggung jawab di perusahaan. Memberi kompensasi? Aku ingat kau pernah bilang dia sebatang kara, tak punya ahli waris," sahut Shelina bingung. Ia menatap Abizhar sejenak. "Abi."

"Hm."

Ada yang ingin dikatakan Shelina padanya, tapi Shelina memilih untuk bungkam. Ia menggeleng.

 

**

 

Sebenarnya, Shelina ingin mengatakan kata-kata manis untuk menghibur suaminya. Ia tahu Yuni sangat berarti bagi Abizhar, dan suaminya pasti merasa kehilangan dengan kepergian Yuni. Terkadang, aku ingin mengorbankan perasaanku, pikir Shelina sambil berjalan ke lobi rumahnya. Aku ingin mengesampingkan egoku dengan memberikan gestur pengertian kepada suamiku. Tapi aku tidak bisa. Hatiku terasa sakit hanya dengan membayangkan Abizhar mencintai wanita lain.

Ketika Shelina melihat mobil sedan milik Abizhar di hadapannya, ia dibayang-bayangi suatu yang mampir ke benaknya. Kepalanya mulai sakit seperti ditusuk-tusuk pisau. Dalam benaknya, ia masuk ke mobil Lexus hitamnya, dan membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdegup kencang seakan-akan ia dikejar seseorang.

Shelina tersadar dari bayangan itu. Bahunya disentuh dari belakang. Ia segera menoleh.

"Jangan nyetir dulu kalau belum bisa. Biarkan aku yang mengantarkanmu," tawar Abizhar sambil masuk ke dalam mobil.

Ragu-ragu Shelina untuk duduk di samping kemudi. Entah mengapa dia merasa takut untuk duduk di sana. Ia tidak mau menganggap Abizhar sopir, tapi saat ini ia hanya bisa duduk di jok belakang mobil.

Terang saja Abizhar tersinggung, tapi ia mengerti. Kecelakaan itu mestilah menimbulkan rasa takut bagi istrinya. Terlepas salah atau tidaknya, Shelina tetaplah mengalami kecelakaan yang mengerikan itu.

Abizhar ingat ketika ia mendapat telepon dari rumah sakit. Saat itu ia sedang memimpin rapat, dan dadanya berjengit tatkala diberitahu Shelina tidak sadarkan diri. Dia tidak pernah mengalami panik seumur hidupnya, namun ia bersumpah, ia tak pernah sepanik itu. Ia bergegas meninggalkan ruang rapat, mengebut ke rumah sakit, dan melihat keadaan Shelina yang mengenaskan.

Mata Shelina tertutup rapat. Tubuhnya bersimbah darah. Air mata Abizhar mengalir deras saat dilihatnya kepala Shelina yang memar, bahkan ada lubang di sana. Kata dokter, dia mengalami benturan yang sangat keras.

Semoga bayiku baik-baik saja, doanya saat itu.

Kesedihan itu semakin menjadi-jadi setelah Abizhar mendengar ada korban lain yang tak lain Yuni. Yuni dalam keadaan kritis saat ia melihat perempuan itu. Di hadapan banyak orang, Abizhar tidak bisa menutupi perasaannya terhadap Yuni. Dia meninggalkan Shelina dan berada di sisi Yuni.

Dia juga memilih untuk bersama Yuni saat dokter memberitahu bayi dalam kandungan Shelina sudah dikeluarkan. Bayi itu tidak selamat, dan harus segera dimandikan kemudian dikebumikan. Selang tak lama dari itu, Yuni juga harus meninggalkannya.

Abizhar tidak bisa mencerna apa yang terjadi. Dia harus kehilangan anak dan wanita yang dikasihinya di hari yang sama. Dia tidak bisa menepati janjinya pada Yuni dengan memberikan sebidang tanah kepada wanita itu. Dia tidak bisa mengabulkan keinginan Yuni untuk meninggalkan Shelina dan kembali ke pelukan Yuni.

Sebelum menikah, ia menemui Yuni yang patah hati. "Pernikahan ini takkan lama, Sayang," kata Abizhar. "Setelah aku mendapat anak darinya, dia akan memberikan tanah di Kebon Kacang dan setuju untuk diceraikan. Kau mau kan menungguku?"

"Kapan, Abizhar? Siapa yang bisa memastikan kalian bisa langsung punya anak?" dumal Yuni kesal. "Tidak mengertikah kau dengan perasaanku? Kau harus memilih wanita manja yang kaya raya itu, dan aku sengsara membayangkanmu memuaskannya di ranjang."

"Maafkan aku, Sayang. Tunggulah aku." Lalu dikecupnya Yuni dengan hangat.

Maafkan aku, Yuni, gumam Abizhar dengan sesal. Rupanya aku butuh waktu yang lebih lama untuk mewujudkan keinginan kita berdua.

Abizhar melirik sesekali ke belakang, melihat istrinya yang melamun saja. Kalau bukan karena dijodohkan denganmu, hidupku pasti sudah bahagia, pikir Abizhar jengkel. Aku akan hidup dengan Yuni. Kami akan mengurus Panti Asuhan bersama-sama. Dan aku yakin, anakku dengan Yuni tak kalah cakepnya dengan anakmu.

Tentu saja Abizhar hanya mengatakannya dalam hati. Dia lelah untuk memulai perang di antara dirinya dengan istrinya.

Jalanan sangat macet saat itu. Mereka terjebak dalam perjalanan untuk waktu yang lama. Tiba-tiba saja Shelina bertanya di belakang, "Bagaimana... Bagaimana jika anak itu bukan anakmu, Abi?"

"Ngomong apa kau ini," desis Abizhar acuh tak acuh.

"Kau selalu bilang aku tidak suci. Bisa saja kan, bukan hanya kau yang menodai pernikahan ini," kata Shelina tenang.

"Apakah dengan ini kau mengaku kau telah berselingkuh, Shelin?" tanya Abizhar. Dirasakannya rahangnya mengeras. "Tidak cukupkah kau menghinaku dengan tidak bisa menghargaiku sebagai suami? Perlukah kau lempar aib pada suamimu dengan mengkhianatinya juga?"

"Apa kau cemburu?" Tersenyum Shelina.

"Cemburu? Kau bisa berharap," jawab Abizhar gusar. "Cemburu itu hanya ada jika ada cinta. Aku kan tidak cinta padamu. Bagaimana bisa cemburu? Aku marah semata-mata tidak terima dengan penghinaan yang tak ada hentinya kau berikan padaku."

"Apa kau betul tidak mencintai aku?" tanya Shelina meragukan suaminya. "Apa kau betul tidak punya perasaan apa-apa padaku? Bagaimana pun bukan hanya kau kan yang berkorban untuk berada dalam perkawinan ini."

Abizhar tidak menjawab, hanya dengusannya yang terdengar.

 

**

 

Hati Shelina sakit saat Abizhar mengantarnya sampai ke makam anak mereka. Dapat dibacanya nama anaknya di sana. Shelby, gumam Shelina dalam hati. Sebelum kecelakaan itu terjadi, dia mengatakan pada Abizhar dia ingin menamakan nama anak mereka Shelby, gabungan nama mereka. Shelina pikir, Abizhar tidak mendengarnya saat itu.

Air mata Shelina tak terbendung lagi. Dia duduk di samping makam itu, meraung meminta maaf pada anaknya. Seharusnya sebagai ibu Shelina bisa menjaga kandungannya, tidak ceroboh membawa mobilnya sampai celaka. Shelina dirisak perasaan bersalah selama berada di makam tersebut.

Atau... tidak?

Entah mengapa, ada sisi di hatinya, yang tidak menyesali kepergian bayinya. Sekonyong-konyong ia mengingat sesuatu di masa lalu. Dia mendengar suaranya mengatakan pada dirinya sendiri, "Anak ini tidak seharusnya lahir. Tak boleh ada yang tahu siapa anak ini.." Shelina mencoba menggali ingatannya lebih jauh, tapi yang didapatkannya hanya kepalanya yang sakit. Sial, gerutunya. Apa yang harus kulakukan agar aku bisa mengingat semuanya?

Tiba-tiba Shelina merasa tubuhnya menggigil. Dia memeluk dirinya dengan kedua tangannya sendiri. Giginya gemelutuk tak beraturan. Abizhar yang mendampinginya bingung harus berbuat apa. Cuaca saat itu cukup panas, bahkhan sangat terik.

Terlalu sedihkah dia, pikir Abizhar. Sehingga reaksinya menjadi begini? Sepulangnya dari makam, Abizhar menawarkan istrinya untuk ke rumah sakit, tapi Shelina menolak. Dia memilih untuk beristirahat di rumah saja sampai obatnya habis. Untuk urusan luka di tubuhnya, ia sudah meminta pihak rumah sakit untuk mengirim tenaga medis ke rumah.

Shelina keberatan untuk ke rumah sakit. Rumah sakit menyebabkan rasa tidak nyaman di pikirannya. Bau rumah sakit juga tidak disukainya. Jika bisa berobat di rumah, kenapa harus repot ke rumah sakit, bukan?

Abizhar tidak membantah, tapi dia tetap ingin Shelina dibawa ke dokter. Abizhar menerangkan kekhawatirannya pada sikap Shelina yang aneh. Sebelum-sebelumnya, Shelina jarang sekali menangis dan terlihat lemah di hadapan suaminya. Meski tak dikatakan suaminya, Shelina tahu maksudnya.

"Aku tidak berusaha mencuri simpati darimu," elak Shelina datar. "Aku juga tidak membela diri di hadapanmu. Kurasa, memang sikapku berubah karena kecelakaan itu. Menurutmu, aku inign menjadi lemah begini di hadapan laki-laki tidak setia macam dirimu?"

"Ya aku kan hanya menyarankan," jawab Abizhar dengan matanya yang tetap menghadap ke depan. "Atau, mungkin saja, sikapmu yang begini disebabkan terlalu lama kau tidak bekerja? Selama ini kau suka sekali dengan pekerjaanmu."

"Aku memang lupa pada hal-hal tertentu, tapi aku tidak lupa bahwa kau tidak pernah peduli apa yang kusuka dan apa yang tidak kusuka," jawab Shelina dingin. Ia diam sejenak. "Barangkali kau benar. Aku rindu kantor."

Abizhar menarik napas berat. "Kau bisa bekerja, tapi hanya dari rumah saja. Aku tidak mau terjadi apa-apa padamu."

"Tentu saja. Kalau sesuatu terjadi padaku, kau takkan bisa memperoleh tanah yang kau incar itu."

"Ya, karena itu juga. Sial betul kita menandatangani perjanjian nikah di mana harta yang kita punya adalah harta terpisah," jawab Abizhar datar.

"Aku tidak bisa menyerahkanmu tanah itu, sebab sudah ada investor yang ingin membangun apartemen, dan proyeknya sudah jalan," sahut Shelina menjelaskan. "Nilai jualnya tidak akan sama lagi. Kau harus membeli gedung di atas tanah itu."

"Tidak masalah. Kau tahu sekarang uang bukan lagi problem kan buatku?"

Shelina menyadari itu. Kekayaan suaminya pasti jauh di atasnya, mengingat Abizhar merupakan direktur di perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia. Bukan hanya itu, orangtua angkatnya setahu Shelina juga menyerahkannya banyak saham di mana-mana.

Dengan uang sebanyak itu, yang diinginkannya hanya tanah yang tak ada apa-apanya dibandingkan keseluruhan kekayaannya, pikir Shelina masam. Tanah yang diincar Abizhar memang strategis, di pertengahan kota, dan sudah dipastikan bisnisnya akan untung jika membuka usaha di sana. Tapi bukan Abizhar saja yang sulit mendapatkan tanah itu. Shelina juga.

Dia harus mendapat persetujuan keluarga agar ayahnya mau menghibahkan tanah itu padanya. Keluarga di sini adalah kakak dan adik ayahnya. Untuk mendapatkan persetujuan itu, terutama dari Oom Surya, dia mengorbankan hal yang besar dalam dirinya.

**

Shelina suka bekerja dari rumah. Sebagai direktur di perusahaan yang bergerak di bidang properti, kesibukannya tak pernah berkurang, tapi sejak kecelakaan itu wakil direkturnya yang mengambil alih. Shelina hanya memantau saja, dan memberi keputusan terkait kerjasama dengan klien.

Yang tak diduganya, Abizhar juga ikut-ikutan kerja di rumah. Suaminya beralasan ingin menjaganya. Meski Abizhar mengatakannya dengan nada dingin, tak urung hati Shelina terasa hangat. Dia senang bisa menghabiskan waktu bersama suaminya pada saat makan siang. Suaminya juga tidak menutup diri dari diskusi terkait pekerjaan mereka.

Hubungan mereka semakin erat, dan tampaknya Abizhar menjaga perasaannya dengan tidak membahas Yuni dan tanah di Kebon Kacang. Rasa percaya diri untuk menaklukkan suaminya mulai timbul.

Namun rupanya tidak semudah itu. Shelina masih keberatan untuk disentuh suaminya, dan dia bisa melihat kegusaran di wajah Abizhar. Dia berusaha untuk bisa dicumbu lagi, tapi hal itu sulit dilakukannya.

Ingatan itu datang lagi.

Dia bisa melihatnya dengan jelas. Melihat dirinya yang dinikmati oleh Oom Surya, dan itu membuat Shelina lompat ketakutan setiap suaminya merabanya.

 

**

 

Sudah satu setengah tahun mereka menikah namun tak pernah sekali pun Shelina menolak sentuhannya. Sebaliknya, Shelina paling senang saat Abizhar mencumbunya, membawanya ke puncak kenikmatan, tetapi sejak kecelakaan itu terjadi, Abizhar harus menelan kekecewaannya setelah ditolak berkali-kali.

Bah! Sejak kapan ia ditolak Shelina di ranjang? Rasanya ego yang dimiliki Abizhar terkikis hari demi hari. Ranjang mereka yang selama ini selalu hangat dengan keringat mereka yang tak pernah absen membasahinya, kini terasa dingin.

Shelina tidak hanya kaku saat disentuh. Sikapnya juga membuat Abizhar bingung. Shelina memang masih melayaninya dengan menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Istrinya juga setiap pagi menyiapkan pakaian kerja Abizhar. Meski tubuhnya bergerak untuk melakukan kewajibannya (selain di atas ranjang), Abizhar dapat menemukan tatapan hampa di mata istrinya.

Abizhar menelepon dokter yang menangani Shelina. Kata dokter, perubahan sikap setelah terjadi cidera di kepalanya adalah hal yang wajar. Tugas Abizhar hanya memastikan Shelina rajin minum obat dan tidak menekan Shelina hingga menimbulkan stres bagi Shelina.

Kebutuhan badani yang menggebu-gebu dalam tubuh Abizhar harus ditahannya. Apalagi harus Abizhar akui, dengan Shelina yang menatap polos ke arahnya, gairahnya semakin tak terbendung. Istrinya semakin menarik tanpa keangkuhan yang sengaja ditunjukkan pada suaminya.

"Kau sudah merasa baikan?" tegur Abizhar. Tentu saja basa-basi, tujuannya hanya untuk memastikan apakah Shelina sudah bisa diajak bercinta atau belum. Dilihatnya istrinya menggeleng. Saat itu Shelina sedang berkutat dengan laptop-nya di ruang makan. "Jangan dipaksa terus energimu. Kau kan harus mengutamakan kesehatan."

Cih, lagaknya sudah seperti suami yang paling baik saja, pikir Abizhar. Tapi harus berbuat apa lagi aku ini? Rasanya hidupku sepi sekali. Yuni sudah tidak ada. Anak yang kunanti meninggal. Aku terjebak di rumah mewah ini dengan istri yang sikapnya dingin seperti ini.

Pada saat biasa Shelina akan menyipitkan matanya, meragukan kebaikan yang dilakukan suaminya terhadapnya, namun kali itu tidak. Ia tersenyum. Senyumannya pun terlihat masam. "Sebentar lagi. Aku harus review proses pekerjaan di dua proyek."

"Apakah harus kau yang mengerjakan itu?" tanya Abizhar mendengus kesal. "Apakah aku harus beritahu ayahmu untuk mencari orang lain saja?"

Shelina tertawa melihat kekhawatiran yang ditutupi suaminya. "Ini risikoku saat Papa menawarkanku kerja di perusahaan propertinya. Aku anak tunggal, dan dia berharap besar terhadapku."

"Berharap bagaimana? Aku memang tidak punya orangtua kandung, tapi setidaknya orangtua angkatku tidak memaksaku seperti ayahmu," jawab Abizhar. "Aku penasaran. Apakah dari kecil kau selalu dipaksa untuk begini? Maksudku, dituntut untuk sempurna."

"Bukan untuk sempurna, tapi untuk bertahan di kaki sendiri," kata Shelina penuh pembelaan. "Dulu aku mengeluh karena ayahku selalu sibuk bekerja, meninggalkanku di rumah seorang diri, bahkan sering pula aku dititipkan ke paman dan bibiku. Papa tidak mau menikah lagi sejak Mama meninggal. Baginya perempuan hanya menyusahkan saja." Shelina diam sejenak. "Sekarang aku mengerti mengapa sikapnya demikian. Papaku tulang punggung keluarganya, tulang punggung untukku juga. Dia satu-satunya yang diandalkan keluarga untuk menghasilkan uang. Aku juga tak punya pilihan selain bekerja keras, sebab suami yang seharusnya menjamin kesejahteraanku, tidak ada."

"Apa maksudmu!" bentak Abizhar berang. "Kalau kau mau, kau bisa mundur dari jabatanmu sekarang, dan aku memastikan kau tidak kekurangan apa-apa. Selama ini aku juga selalu memberi nafkah padamu. Nafkah yang tidak sedikit. Berapa? Lima puluh juta? Oh tidak, untuk anak tunggal Pak Edward, aku mengeluarkan seratus juta per bulan! Apakah itu tidak cukup?!"

"Ya tapi kau kan juga memberi uang buat simpananmu," kilah Shelina. "Maukah kau jujur berapa banyak yang kau beri padanya? Tidak, kan? Menjamin kesejahteraanku bukan hanya dinilai dari berapa banyak yang kau kasih, tapi juga memastikan rasa aman dan nyaman bagiku. Bagaimana kau bisa memberikan semua itu jika setiap hari kerjaanmu hanya membahas tanah dan perceraian?!"

"Jangan keluar dari topik pembicaraan. Yang terang aku tidak suka kau meniadakan apa yang kuberi," jawab Abizhar marah. Dia menatap Shelina lekat-lekat, sampai akhirnya suaranya melemah, "Uang yang kuberikan pada Yuni tidak ada apa-apanya dibandingkan pengorbanannya untukku. Sebenarnya, yang seharusnya diangkat oleh keluargaku adalah dia, bukan aku. Tapi Yuni bilang, dia percaya dengan fasilitas yang diberi keluargaku, aku bisa jadi orang yang sukses."

"Lalu dia jadi apa dengan uang yang kamu kasih selama ini? Dia tidak kuliah, kan? Dia juga tidak bekerja. Padahal uang yang kau kasih pastilah banyak," gerutu Shelina jengkel. Sampai kapan Abizhar terus membela wanita menyebalkan itu?

"Aku yang memintanya untuk tidak bekerja," tandas Abizhar. "Aku tidak mau dia capek bekerja. Sebenarnya, aku tidak suka melihat perempuan bekerja."

"Kenapa? Kau pikir kita masih hidup di jaman batu?"

"Ya, sebutlah aku kolot, tapi bagiku melihat perempuan bekerja membuatku merasa tidak nyaman. Merasa posisiku terancam," jawab Abizhar datar. "Sama sepertimu. Aku tidak suka melihat kau bekerja. Terlebih saat kau sakit begini."

"Hanya karena itu? Bukan karena kau peduli padaku?" Sengaja Shelina menggodanya. Dia tersenyum sinis saat melihat suaminya melotot.

Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.

Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.

Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijamah sebelum menjadi istriku?

Hari itu Abizhar harus ke kantor karena ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Banyak permasalahan yang harus dia sendiri yang menyelesaikan, terkait masalah penundaan pekerjaaan dan force majeure dalam proyek yang dijalankan perusahaan konstruksinya. Ayah mertuanya yang notabene pemegang saham perusahaannya, menemuinya pada pukul lima sore, saat Abizhar bersiap untuk pulang.

Pak Edward menanyakan perihal Shelina. "Sebenarnya saya ingin menjenguknya," gumamnya. "Tapi saya tidak mau perhatian saya disalahartikan."

"Disalahartikan bagaimana?" tanya Abizhar bingung.

"Sejak ibu Shelina meninggal saya mendidiknya dengan keras. Saya tidak mau dia jadi lembek karena disayang ayahnya," kilah Pak Edward. "Dengan saya tidak berada di sisinya, dia bisa belajar untuk mandiri."

Abizhar tak percaya sekaligus tak terima dengan alasan ayah mertuanya. "Dia hampir mati karena kecelakaan itu. Membesuk di saat dia di titik antara mati dan hidup, bukan suatu hal yang membuatnya menjadi manja," jawab Abizhar menatap Pak Edward dengan marah. "Kalau ingin tahu keadaannya, datanglah sendiri."

"Kalau kau sudah punya anak, kau akan mengerti." Pak Edward memandang ke sekeliling ruang kerja Abizhar. "Dunia konstruksi itu keras. Kita tidak bisa memanjakan anak-cucu kita dengan memberi kasih sayang yang berlebihan pada mereka."

"Berlebihan kah namanya mengunjungi anak yang sakit?" Dahi Abizhar mengernyit. "Jika tidak ada yang ingin Papa sampaikan, saya pulang. Shelina pasti sudah menunggu saya di rumah."

"Kapan dia kembali bekerja? Kata wakilnya dia masih kerja dari rumah."

"Sampai saya mengizinkannya."

"Saya tidak tahu kamu peduli pada Shelina. Bukankah bagimu dia hanya beban untuk hubunganmu dengan siapa.. siapa temanmu itu.. Ah, Yuni." Pak Edward tersenyum sinis. "Ayahmu bilang kau hanya bisa cinta pada perempuan itu. Pernikahanmu dengan Shelina juga karena perempuan itu, kan?"

"Tentu saya peduli pada Shelina. Dia wanita yang pernah mengandung anak saya. Dia juga merasakan kesedihan yang sama dengan yang saya rasakan atas kematian anak kami," jawab Abizhar keras.

"Ah, kalian masih bisa punya anak lagi." Terang Pak Edward sudah tahu mengenai cucunya yang meninggal. Bayi Shelina adalah hal pertama yang ia tanyakan pada asistennya saat mendengar Shelina mengalami kecelakaan. Namun begitu Pak Edward tidak mau repot-repot menjenguk, apalagi datang ke makam bayi Shelina. Kematian baginya adalah hal yang wajar. Manusia pasti mati juga, kan? Buat apa datang ke makam jika itu hanya membuantya sedih saja? "Kalian masih muda. Kau juga masih kuat untuk menanam benihmu dalam rahimnya kan?"

Abizhar berdecak kesal mendengar itu. Bagaimana bisa Pak Edward mengatakan demikian terkait anaknya sendiri? Apakah bagi Pak Edward, Shelina tak lebih dari objek yang bisa melahirkan keturunan saja?

Perasaan iba terhadap istrinya mulai timbul di hati Abizhar. Dia tahu Shelina sombong karena kekayaan yang dimiliki keluarganya, namun di sisi lain, dia merasa Shelina tidak bahagia dengan kekayaan itu. Ayah dari istrinya, satu-satunya keluarga kandung Shelina, justru tidak menunjukkan kasih sayangnya pada Shelina.

Pertemuannya dengan Pak Edward disampaikannya pada Shelina. Abizhar menambahkan, Pak Edward juga menanyakan keadaan Shelina.

"Ingat Papa, jadi ingat kontrak nikah kita." Shelina menghela napas panjang. Disodorkannya sebuah map ke suaminya. "Ini perubahan terhadap perjanjian nikah kita. Tak perlulah ada anak di antara kita agar aku bisa menyerahkan tanah di Kebon Kacang." Shelina memberikan map satu lagi. "Aku akan menghibahkan setengah sahamku padamu. Dengan begitu, kau bisa jadi pemegang saham, dan dapat memberikan suara terkait aksi korporasi perusahaanku, termasuk soal tanah di Kebon Kacang yang menjadi lokasi proyek."

"Shelina..." Abizhar menatap istrinya tak percaya. "Apakah kau sungguh dengan keputusanmu? Apa rencanamu? Tidak mungkin orang sepertimu menyerahkan saham begitu saja tanpa ada hal yang kau inginkan."

"Kau mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan tanah itu. Kau bahkan tidak bisa hidup dengan kekasih yang kau cintai karena tanah itu," jawab Shelina lirih. "Aku tak mau menyiksamu lebih jauh lagi."

"A..apa maksudmu?" Abizhar gelagapan. "Kau mau apa?"

"Kita sudahi saja pernikahan ini," tandas Shelina datar. "Tidak ada gunanya meneruskannya, bukan? Kau tidak bisa mencintai aku. Aku juga tidak bisa terus-terusan mengaku cinta padamu, padahal aku sumber penderitaanmu." Shelina menatap Abizhar sedih. "Kau setuju kan dengan ide perceraian?"

Abizhar melempar dua map itu ke lantai. Ralat, dia tidak melempar, melainkan membanting dengan sangat keras sampai kedua mata Shelina melebar terkejut.
 

"Abi!" tegur Shelina marah. "Ini kan kemauanmu. Kenapa kau jadi begini? Apakah yang kuberi kurang?"

"Kau anggap apa aku ini!" bentak Abizhar sama gusarnya. "Aku bukan barang, Shelin. Aku bukan mainan yang kau beli lalu kau buang setelah kau bosan!" Abizhar menatapnya tajam-tajam. "Aku memang belum mencintaimu, aku ragu untuk bisa mencintaimu, tapi aku menentang perceraian. Sekali pun Yuni masih hidup, aku tak pernah berpikir untuk bercerai." Abizhar diam. Ya, hidup dengan Shelina bak mimpi buruk baginya, tapi dia tidak pernah membayangkan dia akan mengurus perceraiannya di pengadilan. Keketusan yang selama ini ia torehkan pada Shelina semata-mata ia ingin dihargai sebagai suami.

Ia tidak sampai hati meninggalkan pernikahan ini.

Shelina menatapnya bingung. "Kupikir ini yang kau inginkan. Kau tidak suka padaku. Untuk apa meneruskan pernikahan jika tidak ada suka? Suka saja tidak ada, apalagi cinta." Shelina berdecak kesal. "Kau laki-laki aneh, Abizhar."

"Anehkah menginginkan pernikahan yang sebenarnya?" tanya Abizhar bingung. "Aku memang tidak dibesarkan oleh orangtua kandungku, tapi mereka memberikan kasih sayang padaku. Tentu saja kasih sayang tidak hanya diucap bak omong kosong. Mereka membuktikannya dengan melakukan apa yang mereka bisa untuk menyelesaikan masalah keluarga, sebab kasih sayang lebih besar harganya daripada ego, apalagi harta." Abizhar berdecak-decak. "Kau dulu mengaku sayang padaku. Nah, mana sayang yang kau agung-agungkan itu?"

"Kenapa kau baru minta sekarang?" sahut Shelina dengan dahi mengernyit. "Apa karena Yuni sudah mati jadi kau tak punya pilihan selain bertahan denganku?"

"Bukankah ini memang rencanamu? Menyingkirkannya untuk memilikiku?"

"Aku mengubah keputusanku. Aku tidak ingin hidup menjadi seorang istri," kata Shelina datar. "Aku ingin sendiri," tambahnya.

"Kalau kau ingin menyendiri, pergilah ke rumahmu yang satu lagi. Yang dekat kantor." Ya Shelina punya rumah minimalis yang berlokasi beberapa meter saja dari kantornya. Rumah itu disewakan ke orang lain dan kontrak sewa tersebut akan berakhir sebentar lagi. Terang Abizhar tahu. Dia punya perhatian yang lebih terhadap aset istrinya.

"Kau tahu bukan itu yang kumaksud. Akhir-akhir ini aku mimpi buruk. Rasa bersalah menerpaku hampir setiap hari. Bodohnya, aku tidak bisa ingat apapun dari kecelakaan itu." Shelina memukul-mukul kepalanya. "Aku tidak bisa setiap hari begini terus."

"Lalu menurutmu, menyelesaikan perkawinan ini akan membuat hidupmu tenang?" sahut Abizhar. Dia menghela napas berat. "Bagaimana pun kau begini karenaku. Asumsiku sementara, kau sampai kecelakaan begini karena kau cemburu pada Yuni. Aku merasa bertanggung jawab juga, Shelin." Dia menatap istrinya lekat-lekat. "Aku memang ingin tanahmu-aku tidak memungkiri itu, tapi aku tidak ingin dengan cara begini," ujarnya dengan suara yang lebih lembut. Didekatinya wajahnya ke wajah Shelina. Sontak Shelina mundur menghindari kecupan suaminya.

Dia masih menolakku, pikir Abizhar kecewa. Ada apa? Apakah dia Shelina yang kunikahi? Mengapa sikapnya berbeda?

Shelina tidak bisa tenang. Dia dirundung perasaan takut sebenarnya. Bagaimana jika dia benar-benar pembunuh?

Di belakang suaminya, Shelina menyewa detektif untuk mencari tahu terkait kecelakaannya. Selama suaminya bekerja di kantor, Shelina memeriksa CCTV rumah pada tanggal dia kecelakaan. Hasil CCTV memperlihatkan kedatangan Yuni ke rumahnya. Ah, perempuan murahan itu, desis Shelina. Tentu aku ingat wajahnya. Perempuan berparas ayu-huekk-dengan rambut pendek bob, yang memperlihatkan lehernya yang jenjang itu-arrgh aku kesal harus melihat perempuan ini, tapi mau bagaimana lagi.

Shelina teringat pada saat pertama kali dia mengetahui soal Yuni. Setelah malam pertamanya dengan Abizhar, suaminya menekankan bahwa hatinya sudah dimiliki orang lain. Awalnya Shelina mengira Abizhar berkata demikian untuk menutupi egonya yang terkikis karena mendapati istrinya yang tak perawan. Tak lama dari itu, Shelina sering mendengar Abizhar bicara di telepon dengan seseorang. Mesra sekali caranya suaminya bicara, beda dengan cara Abizhar ngomong dengannya. Terhadap Shelina, Abizhar cenderung galak, sementara dengan Yuni, Abizhar lembut sekali.

Abizhar menunjukkan foto Yuni setelah Shelina terus menanyainya siapa yang ia telepon dengan nada mesra tersebut. Hati Shelina sakit menyadari betapa cantiknya simpanan suaminya.

Kembali ke rekaman CCTV, di sana Shelina melihat dirinya menyerang Yuni-tentu saja. Shelina memang lupa beberapa hal, tapi dia tidak lupa sikap dan keperibadiannya. Yuni balas memukulnya, dan mereka saling menjambak rambut satu sama lain untuk sebelas menit lamanya.

Yuni terlihat meninggalkan rumahnya, dan Shelina mengejarnya. Kamera CCTV teras menunjukkan Yuni yang masuk ke mobil kemudian Shelina menyusul mobil Yuni dengan mobilnya sendiri.

Ingatan Shelina tidak tergugah melihat CCTV ini. Apa yang kuributkan dengan perempuan itu, pikirnya. Apa karena dia menjadi duri dalam rumah tanggaku? Kok rasanya bukan itu, ya?

Sekonyong-konyong jari Yuni yang menunjuk mukanya masuk ke pikirannya. Terdengar suara Yuni yang keras, "Akan kuberitahu Abi tentang siapa...." dan tak ada kelanjutannya.

Ya Tuhan. Mengapa aku tidak bisa mengingat sama sekali apa yang dikatakan perempuan menyebalkan itu, keluh Shelina putus asa. Dia pasti melakukan sesuatu sampai aku naik pitam dan menyingkirkannya.

 

~

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suamiku Mencintai Wanita Lain - Part II
2
1
Bagaimana kalau itu benar? Apa yang akan kau lakukan? desak Shelina. Abi, kalau aku sampai berada di balik jeruji besi, hidupmu akan terus berlanjut. Kau akan meninggalkanku, dan barangkali... barangkali, kau akan menikah dengan wanita lain.Menurutmu mudah bagiku untuk mencintai wanita lain? Menikah dengan wanita lain? Abizhar balik bertanya. Dia menggeleng. Aku tidak berpikir untuk melanjutkan hidupku dengan siapa-siapa. Pernikahan ini saja sudah cukup berat bagiku, tapi aku bukan penyerah. Aku akan mendampingimu sampai di titik terakhir. Kalau kau sampai dipenjara, aku akan menunggumu sampai keluar.Kenapa?Apakah hanya itu yang kau pikirkan setiap hari? Kau memikirkan bagaimana perasaanku padamu, Shelin? Tidak adakah yang lebih penting untuk kau renungkan? Abizhar mencoba untuk mengalihkan topik.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan