
Sukses, Kaya, Cantik dan Mandiri. Semua itu dimiliki seorang wanita bernama Arisu Dewi Sanjaya. Sukses diusia muda dalam mengelola perusahaan turun temurun keluarganya tentu saja menjadi incaran banyak pria. Hanya saja Arisu tak ingin terikat dalam komitmen yang tak berujung. Dia lebih memilih sendiri menikmati kebebasannya. Hingga dia bertemu dengan Kai. Pemuda muda penuh semangat yang bisa memuaskannya tanpa ada rasa diantara mereka.
🔞Mature Content🔞
Harap bijaksana dalam membaca. Banyak adegan dewasa dan kata-kata tak senonoh. Khusus pembaca 18+
Aku menatap dokumen didepanku dengan rasa lelah. Beberapa hari ini aku harus rela menggadaikan jam tidurku untuk menyelesaikan pekerjaanku yang tak pernah habis.
Jika orang-orang berpikir pekerjaanku mudah dan hanya bisa menyuruh-menyuruh saja, mereka salah. Aku bukan orang yang tak tau diri hanya duduk dan sekedar tanda tangan. Tanggung jawabku lebih besar di perusahaan ini. Sanjaya Group adalah perusahaan turun temurun yang didirikan kakekku lalu dikelola ayaku saat beliau tiada. Kini aku yang menjadi penerus karena ayahku ingin pensiun dini.
Namaku Arisu Dewi Sanjaya. Putri satu-satunya dari Batara Sanjaya pemilik perusahaan properti terkenal di Indonesia. Ayahku sangat terkenal dengan keahliannya dalam membangun relasi dan mampu menggaet investor dalam sekejab. Menjadi anak pebisnis tentu membuatku ikut terjun didalamnya. Bukannya tak ada pilihan lain untuk menjalani karirku tapi menjadi pebisnis seperti kakek dan ayahku tentu saja hal yang wajar. Aku tak menolaknya. Aku melakukannya juga karena aku mau.
Aku meletakkan penaku di meja dan menyandarkan punggungku dikursi. Ini melelahkan. Aku ingin tidur. Aku melirik jam tanganku dan ini masih jam 11 siang. Aku mendesah pelan. Kenapa waktu jadi begitu lama?
Pintu ruanganku diketuk. Kepala sekertarisku melongok melihat kearahku lalu tersenyum singkat sebelum membawa tubuhnya memasuki ruanganku. Aku menantinya untuk berdiri didepan mejaku.
"Bu Arisu nanti mau makan siang dimana? Hari ini tidak ada jadwal meeting. Jadi ibu bisa lebih bebas" tanya Shana, sekertaris pribadiku.
"Entahlah. Aku tak tau. Aku belum memikirkannya"
Aku menggidikkan bahuku acuh.
"Bu Arisu harus makan lho! Ibu sering skip makan siang akhir-akhir ini"
Shana memarahiku. Aku memang sering melewatkan jadwal makan siangku. Itu juga karena pekerjaanku yang tak kunjung selesai.
"Iya, Sha. Hush...pergi" usirku.
Dia hanya cemberut dan keluar dari ruanganku. Dasar gadis. Usia dipertengahan 20an dan masih terpengaruh dengan hormon yang menggebu. Walaupun Shana baru menjadi sekertarisku selama dua tahun, dia membuktikan jika dia mampu. Aku menyukai semangat kerjanya dan juga dia bisa menyeimbangi cara kerjaku.
Aku melanjutkan lagi pekerjaanku yang tertunda. Aku menyambar penaku dan membaca berkas yang ada didepanku. Saat pikiranku masih fokus membaca setiap kata, tiba-tiba saja ada panggilan dari ponselku. Aku mengambil ponselku yang sedari tadi aku letakkan di meja sebelah kananku.
Aku melihat nama pemanggil yang tertampil dilayar. Tumben sekali dia meneleponku di siang-siang begini. Aku menggeser tombol hijau dan meletakkan ponselku ke dekat telingaku.
"Halo"
"Darl, ayo kita makan siang"
Suara perempuan menyapa pendengaranku dengan penuh antusias. Dia memang seperti itu, by the way.
"Dimana kekasihmu itu? Biasanya kamu tak pernah punya waktu untuk hangout denganku di siang hari seperti ini"
Temanku ini memang sudah punya kekasih. Tapi mereka sungguh tak jelas. Mereka sudah berpacaran lama dan temanku yang gila ini tak ingin diikat cepat-cepat.
"Jangan pedulikan si Chandrawinata itu! Dia membuatku kesal!"
Oh...sepertinya aku tau apa yang sedang terjadi.
"Kali ini ada masalah apalagi Becky?" tanyaku pelan.
"Temui aku di restoran biasa. Aku akan memberitahumu disana!"
Panggilan itu diputus sepihak. Aku menghela nafas berat. Entah apa yang dilakukan kekasih Becky itu pasti hal absurb yang menjadi masalahnya.
Aku membereskan dokumen yang belum aku selesai baca. Aku mengambil tas slempang bermerk-ku dan pergi dari ruanganku. Aku membuka pintu dan wajah bingung Shana menyapaku. Dia langsung memberikan tatapan bertanya melihatku yang akan pergi.
"Bu Arisu mau makan siang?" tanya Shana.
"Iya. Becky mengajakku"
"Sama bu Becky lagi?"
Seharusnya Shana tak terkejut lagi jika aku pergi dengan Becky. Becky adalah sahabatku sejak SMP. Kami yang cocok dalam segala hal langsung klop satu sama lain dan langsung tak terpisahkan. Becky sama sepertiku. Dia wanita karir dengan ambisi tinggi. Tentu saja kami yang sudah umur dipertengahan tiga puluhan tak terlalu mementingkan sebuah ikatan jika karir kita sedang tinggi-tingginya.
Aku memang tak suka diikat. Aku lebih memilih untuk sendiri dan bebas. Lagipula dengan begini hidupku lebih bebas tanpa perlu memikirkan percintaan yang tak perlu. Berbeda halnya dengan Becky, temanku itu memang suka kebebasan tapi dirinya memiliki kekasih bernama Rahardian Chandrawinata yang sering dipanggil Chan. Mereka sudah menjalani hubungan selama lebih dari tiga tahun. Itu saja penuh drama putus-nyambung.
Mobil yang aku kendarai memasuki sebuah restoran ternama dimana aku dan Becky menjadi pelanggan setianya. Petugas valet menyapaku. Aku hanya mengangguk dan langsung masuk. Didalam, aku disambut seorang pelayanan. Dia langsung mengantarku di salah satu ruangan pribadi yang ada di restoran itu.
Becky sudah berada di ruangan itu dan melambaikan tangannya. Aku memgambil tempat duduk di depan Becky. Aku meletakkan tasku di kursi sampingku. Aku melihat Becky sudah meminum segelas wine. Anak ini siang-siang sudah ingin mabuk saja.
"Apa kamu tak ada kerjaan setelah ini?" tanyaku heran.
"Aku bisa langsung pulang tanpa harus ke butik"
Aku menggelengkan pelan kepalaku. Becky tipe bos yang sesukanya. Dia memiliki butik besar dimana para selebritas dan juga pejabat menjadi pelanggannya. Butiknya selalu ramai dengan pengunjung bahkan di high season bisa buka sampai tengah malam.
"Ada apa denganmu? Kenapa lingkaran hitam di matamu terlihat jelas sekali?"
Aku meminum air putih yang disediakan. Sebenarnya malas menjawab pertanyaan Becky.
"Kerjaan numpuk" balasku sekenanya.
"Sejak kapan kamu jadi rajin?" tanya Becky heran.
Aku memang bertanggungjawab dengan pekerjaanku tapi aku bukan tipe orang rajin yang menyelesaikan semuanya dalam satu waktu. Hanya saja aku sudah merencanakan sebuah liburan dan setidaknya aku harus menyelesaikan pekerjaanku.
"Aku mau liburan. Hanya sebentar dan paling tidak aku harus menyelesaikannya lebih dulu"
Mata Becky berbinar saat aku mengatakan liburan. Aku tau apa yang dipikirkan wanita satu ini. Tentu dia akan menjadikanku alasan agar terbebas dari kekasihnya itu.
"Aku ikut!!!" pekiknya senang.
See. Dia langsung menawarkan diri tanpa aku mengajaknya. Becky memang suka berpergian. Dia bahkan sudah berkeliling Indonesia dengan Chan. Dia menyukai budaya di Indonesia dan selalu menjadikan setiap perjalanannya menjadi bahan risetnya untuk butiknya. Itu sebabnya butiknya selalu ramai karena selalu up to date untuk setiap itemnya.
"Lalu apa yang terjadi denganmu dan Chan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan tentang liburan.
Becky mendengus sebal. Wajahnya tampak sangat kesal sekarang. Sepertinya masalah mereka lebih rumit dari sebelumnya.
"Chan ingin kami bertunangan"
Itu bukan issue baru. Mereka atau lebih tepatnya Chan yang ingin meresmikan hubungan mereka. Biasanya Chan akan mengalah dan menuruti Becky yang keras kepala.
"Bukannya bagus?"
Becky menatapku sebal.
"You know me so well, Soo. Aku tidak mau diikat. Lagipula dia setuju kencan denganku karena aku tak ingin membawa hubungan ini lebih lanjut"
Seorang pelayan datang mengantarkan makan siang mereka. Perkataan Becky tadi tersela saat kami memutuskan untuk makan. Aku memang tak bisa berlama-lama berada diluar walaupun tak ada meeting apapun.
Kami bercengkrama sebentar dan langsung keluar dari restoran. Becky sudah menelepon supirnya untuk menjemputnya. Untung saja tadi dia kesini tak membawa mobil. Jika membawa mobil tentu akan langsung aku omeli karena membawa mobil setelah minum alkohol.
"Kabari aku jika kamu sudah memutuskan tanggal liburanmu"
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Becky. Dia masuk ke mobil dan langsung pergi. Aku masuk ke mobilku yang sudah disiapkan oleh petugas valet. Aku kembali ke kantor setelah hampir satu jam lebih makan siang diluar.
"Loh! Saya kira bu Arisu langsung pulang setelah makan siang sama bu Becky"
Shana terkejut melihat kehadiranku di kantor. Biasanya jika Becky mengajakku pergi makan siang pasti berakhir dengan jalan-jalan dan shopping hingga malam.
"Masih ada pekerjaan"
Aku melangkah kembali ke ruanganku. Tapi saat aku baru saja membuka pintu, aku berbalik menatap Shana yang masih menungguku.
"Tolong bersihkan semua jadwalku minggu depan selama sepekan. Aku ingin berlibur"
Aku melangkah masuk dan menutup pintu ruanganku tanpa mendengar jawaban Shana. Terakhir yang aku lihat sebelum menutup pintu, wajah Shana tampak pias. Aku tau kegundahan hati sekertarisku itu. Pasti jadwalku minggu depan sudah full packed dan tak bisa dibatalkan. Aku memang bukan bos yang baik, terkadang sesekali melakukan ini menyenangkan juga. Sepertinya virus pembangkang dari Becky sudah menjalar ke otakku.
Baru saja aku duduk, sebuah pesan masuk di ponselku. Aku mengeceknya dan ternyata Becky yang mengirimiku pesan. Dia mengajakku ke club baru malam ini. Aku menggeleng kecil. Sahabat kecilku itu ternyata benar-benar stress dengan kekasihnya. Aku hanya mengetikkan beberapa kata lalu menyimpan ponselku di meja guna melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.
Selama aku menyelami pekerjaanku dan dokumen-dokumen dihadapanku. Aku tak menyadari jika matahari sudah terbenam dan gelapnya malam menyapa diluar jendela ruanganku. Aku tau Shana menghidupkan semua lampu ruanganku tapi aku tak menyangka jika sudah sangat larut untuk bekerja dikantor.
Aku melirik jam tanganku dan benar saja waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Aku meregangkan tubuhku yang kaku karena duduk seharian. Rasanya sangat lelah. Aku ingin pulang. Tapi aku ingat punya janji dengan Becky.
Aku merapikan meja kerjaku dan setelahnya bergegas menuju club yang ingin didatangi Becky. Saat ini kantor sangat sepi. Aku melangkah ke parkiran karyawan dan langsung melesat pergi.
Tak lama aku sampai di club yang dimaksud Becky. Tempatnya cukup ramai dan eksteriornya cukup megah. Untuk sebuah club bagian luarnya tak terlihat seperti tempat hiburan malam. Malah terkesan seperti sebuah restoran mewah. Mungkin untuk menyamarkan penglihatan masyarakat disaat siang hari.
Aku turun dari mobil dan langsung disambut oleh petugas valet. Dia langsung sigap saat melihat jenis mobil yang aku kendarai. Itu bukan hal baru jika berada ditempat hiburan malam seperti ini. Asal punya uang, kamu bisa melakukan segalanya.
Aku sudah memberi kabar pada Becky jika aku sudah sampai. Tapi temanku itu masih belum membalasnya. Aku masuk ke dalam dan langsung disambut suara yang memekakan telinga. Kepalaku sedikit berdenyut mendengar suara musik yang sangat keras itu.
Aku menuju ke arah meja bar dan memesan cocktail tanpa alkohol sebagai permulaan. Aku tak ingin mabuk dulu diawal kedatanganku. Aku menyesap minumanku sambil melihat kesekeliling club. Interiornya menarik dan fresh. Sepertinya mereka menargetkan anak muda untuk datang ke club ini.
Lama aku menunggu Becky tapi wanita itu tak kunjung datang juga. Aku mengumpatinya pelan karena membohongiku untuk berada di tempat ini. Aku meminum sisa cocktailku dengan cepat. Aku ingin pulang saja jika bocah itu tak kunjung datang.
"Anda bisa tersedak jika meminumnya secepat itu"
Aku menoleh ke kiri dan melihat seorang pria muda berbicara kepadaku. Ia tersenyum sekilas dan mengangkat gelas minumannya menyapaku.
Pemuda ini jelas sekali masih sangat belia. Mungkin umurnya sekitar dua puluh tahunan. Style yang digunakan juga ala anak muda jaman sekarang. Hanya saja aku melihat pakaiannya terlalu biasa untuk anak muda yang hangout di club malam seperti ini. Aku tak melihat merk pakaian terkenal yang dipakainya.
Wajahnya dari samping sangat tegas dan tajam. Terutama bagian rahangnya. Pria semuda itu memiliki rahang tajam layaknya seorang pria dewasa. Mungkin itu salah satu daya tariknya. Wanita bisa menggila hanya melihat side profile nya saja.
Hidungnya tak terlalu mancung tapi tetap menarik. Proporsi wajahnya sangat pas bahkan matanya sangat tajam. Apalagi saat dia melirik. Seakan-akan sedang mengawasi hewan buruannya.
Rambutnya juga ditata apik. Belahan pinggir dengan rambut yang dibuat melengkung dan menampilkan sedikit keningnya. Senyumnya aku akui sangat menawan. Dia tau bagaimana menggoda gadis hanya dengan senyumannya. Semuanya perfect. Dia tipeku. Sayangnya sangat muda.
"Sudah puas meneliti wajah saya?"
Ucapan itu membuatku terkesiap karena ketahuan memandanginya dari tadi. Aku memanggil bartender dan memesan cocktail dengan alkohol rendah untuk mengalihkan ke gugupanku. Apa yang terjadi denganku? Hanya bertemu dengan seorang pria muda sudah membuatku gugup seperti ini.
Aku mendengarnya terkekeh kecil. Tentu saja dia menyadari kebodohanku. Aku mengambil cepat gelas cocktailku dan meminumnya. Tapi tanganku ditahan saat aku ingin menghabiskannya dalam satu kali tegukan. Aku melirik kearah pemuda tadi yang dengan lancangnya memegang pergelangan tanganku dan memaksa tanganku turun meletakkan gelasku.
"Pelan-pelan saja. Saya tidak bermaksud menggoda anda"
Pemuda itu melepaskan cekalannya dan menjauh dari tubuhku. Aku melihatnya meminum minumannya dengan santai. Anak ini terlihat tanpa beban sama sekali. Yah...harusnya itu yang dilakukan di club seperti ini. Melepaskan semua beban yang ada. Aku menyesap cocktailku dengan pelan. Memang lebih terasa nikmat saat menikmati cocktail dengan menyesapnya pelan. Merasakan cairan itu masuk kedalam kerongkongan dan sensasi manis dan pahit tercampur jadi satu didalam mulut.
"Kamu sendirian disini?" tanyaku memulai pembicaraan.
Ini bukan aku. Aku tak pernah berbasa-basi dengan orang asing yang tak ku kenal sebelumnya. Aku biasanya terlalu malas membangun sebuah percakapan yang sia-sia. Bahkan dalam pekerjaanpun aku akan langsung pada intinya tanpa perlu menanyakan hal lain diluar pekerjaan. Entah kenapa pemuda itu membuatku tertarik. Sepertinya dia termasuk orang yang bisa diajak berbicara.
"Tidak. Saya bersama teman-teman saya. Hanya saja mereka memilih untuk menari dibandingkan duduk disini"
Dia menyesap lagi sisa minumannya dan meletakkan gelas kosongnya di meja bar. Aku memberi kode kepada bartender untuk mengisi kembali gelas kosong pemuda disebelahku. Pemuda itu seakan tau maksudku langsung mengangkat gelasnya yang sudah terisi lagi.
"Thanks" ucapnya. Aku hanya mengangguk.
"Lalu kenapa kamu tidak ikut menari?"
"Terlalu malas. Saya disini cuma dipaksa mereka ikut. Tawaran minuman gratis tentu saja tak bisa saya tolak"
Dia tertawa lucu. Aku sudah mengatakan bukan jika senyuman pemuda ini sangat manis. Aku sudah bertemu banyak pria dari yang muda hingga yang lebih dewasa. Tapi semuanya terlihat sama dimataku. Setiap tawa dan senyum mereka tak pernah ada yang tulus didepanku. Mereka hanya berpura-pura untuk menarik perhatianku. Aku muak melihatnya. Tapi senyuman pemuda ini begitu tulus. Dia begitu menikmati pembicaraan mereka tanpa ada maksud terselubung. Menjadi seorang dengan jabatan tinggi diperusahaan tentu saja membuatku jadi terlatih dalam melihat ekspresi setiap orang. Aku bisa menerka apa yang mereka pikirkan dari gerak geriknya.
"Kamu suka sesuatu yang gratis?"
Dia menoleh kearahku. Aku bisa melihat matanya yang tajam tengah menatapku dalam. Aku suka dengan tatapannya. Tatapan yang jarang sekali pria muda seumurannya memilikinya.
"Tentu saja. Siapa yang tak suka barang gratis"
Tak ada seorangpun di dunia ini yang tak menyukai barang gratis. Semua pasti akan memanfaatkannya untuk sekedar mencicipinya.
"Berapa umurmu?" tanyaku mulai berani.
Aku melihat dia mengangkat kedua alis tebalnya. Alis itu terlihat sangat pas di wajahnya. Menambah kesan tegas disana.
"Apa pembicaraan kita sudah menjurus ke ranah pribadi?"
Ada nada geli dipertanyaannya. Aku tersenyum singkat. Mungkin aku terlalu terburu-buru tapi aku sudah terlanjur penasaran dengan pemuda ini.
"Kamu tak perlu menjawabnya jika tak ingin" balasku cuek lalu meminum cocktailku.
Aku mendengarnya terkekeh geli. Apa dia benar-benar tak akan menjawab pertanyaanku? Kenapa aku jadi sangat penasaran dengan dia?
"Apa anda flirting ke saya?"
Aku langsung menolehkan kepalaku cepat saat dia mengatakan itu. Kenapa tiba-tiba sekali dia mananyakan itu? Dia menatapku dengan siku tangan kiri yang bertumpu dimeja dan kepalanya disandarkan di telapak tangannya. Dia sangat tau bagaimana dia terlihat attractive dimata lawan jenisnya. Entah pemuda ini seorang player atau tidak tapi dia sangat tau bagaimana menggunakan segala pesonanya memikat lawan jenisnya.
"Jika aku bilang flirting dengan kamu, apa kamu akan menanggapinya?"
Dia tersenyum miring. Lihat anak ingusan ini. Dia tau bagaimana caranya menggoda seorang wanita. Sudah berapa banyak wanita yang ditaklukannya selama ini?
"Apa setelah ini kita pergi ke tampat lain?"
"Jika kamu ingin kita pergi ke tempat yang lebih private, aku bisa mengabulkannya"
Aku melihat dia menegakkan tubuhnya dan menghabiskan minumannya. Aku mengambil beberapa lembar uang dan meletakkan dimeja. Aku memberi kode kearah bartender dan berlalu dari sana. Tanpa aku menoleh ke belakang, aku bisa merasakan dia mengikuti dari belakang.
Aku menunggu petugas valet mengambil mobilku. Aku melirik melalui ekor mataku dan menemukan dia berdiri disamping kananku. Ternyata dia lebih tinggi dariku. Walaupun aku menggunakan heels, dia masih terlihat tinggi disampingku. Mungkin tingginya sekitar 185 cm. Sangat tinggi untuk seukuran pria Indonesia. Aku saja yang tingginya sekitar 165 cm sering dibilang tinggi. Karena rata-rata tinggi wanita di Indonesia sekitar 150-160 cm. Saat petugas valet datang, dia memotong langkahku dan tak membiarkanku untuk duduk dibelakang kemudi. Aku membiarkan dan berputar kearah kursi disamping kemudi.
Aku masuk dan memakai sabuk pengamanku. Dia sudah bersiap untuk menancapkan gas. Aku melihatnya tak canggung sama sekali saat mengendari mobilku. Apa dia sudah terbiasa menggunakannya bersama wanitanya yang lain?
"Anda ingin bertanya sesuatu kepada saya? Dari tadi anda hanya melihat saya"
"Aku bisa bertanya nanti saat kita sampai"
"Lalu kemana saya harus membawa anda?"
"Kita ke hotel daerah Senayan saja"
"Baiklah"
Mobilku menembus keheningan malam. Saat ini sudah hampir tengah malam dan aku masih berada dijalan bersama seorang pria asing yang lebih muda dariku. Mungkin aku terlihat impulsif dengan mengajak seorang yang bahkan aku belum tau siapa namanya. Tapi ada rasa ketertarikan dengan pria muda ini. Dia juga terlihat tak canggung maupun enggan dengan ajakanku. Aku tak mempermasalahkan perjalananya dengan para wanita lainnya.
Tak lama kami sampai di salah satu hotel berbintang yang berada di daerah Senayan. Biasanya memang aku akan berada disini jika ingin menghabiskan malam dengan para pria yang ingin aku ajak 'tidur'. Aku membiarkan valet mengurus mobilku. Dia sudah pasti tau apa yang harus dilakukan karena aku reguler disini.
Dia mengikuti dari belakang seperti anjing yang setia kepada majikannya. Apa aku boleh menyebutnya anjing? Jika aku mengatakannya secara langsung pasti dia akan tersinggung membandingkannya dengan seekor hewan.
Aku mengambil sebuah kunci kamar yang khusus disiapkan untukku. Front office itu mengangguk samar saat aku melewatinya. Pria muda dibelakangku masih terus mengikuti tanpa banyak tanya. Aku suka lelaki penurut dan tak banyak tanya.
Kami didalam lift dalam diam dan masih menjaga jarak. Saat pintu lift terbuka dilantai tujuanku, aku menoleh kearahnya yang menatapku bingung. Aku melanjutkan perjalananku dan langsung membuka pintu kamar yang biasa aku gunakan. Aku mempersilahkannya masuk. Dia masuk dan melihat keseluruh ruangan.
Aku meletakkan tas selempangku di sofa dan duduk memperhatikan dia yang masih sibuk menatapi seluruh ruangan. Kami berada di predential suite room. Kamar termegah di hotel ini. Mungkin ini pertama kalinya dia berada di kamar mewah seperti ini.
Aku menunggunya hingga dia selesai dengan rasa penasarannya dengan kamar ini. Pemuda itu akhirnya duduk di sofa dekat dengan tempatku duduk. Aku memperhatikannya yang sepertinya sudah siap dengan apa yang ingin aku tanyakan.
"So..." Dia menjeda sebentar sambil menatapku. "Kita mulai dari mana?"
"Perkenalan?" balasku. Dia mengangguk.
"Namaku Kaiden. You can call me Kai. Umurku 23 tahun. Saat ini aku masih kuliah disalah satu universitas di Jakarta"
Ternyata dia masih sangat muda. Selisih umur kami lebih dari 10 tahun ternyata. Aku lebih pantas dipanggil tante olehnya.
"Good. Just call me Soo (baca : Su)"
"That's it?" tanyanya bingung karena perkenalanku yang singkat.
"Sementara aku hanya memberitahumu ini. Jika aku tertarik aku akan memberikan lebih banyak info lagi"
Dia mengangguk seperti tak terganggu dengan identitasku yang tak terlalu jelas. Aku memberi kode kepadanya untuk mendekat kepadaku. Dia melakukan seperti yang aku suruh. Dia duduk disebelahku. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku mengelus lembut pipinya dan turun ke rahangnya yang tegas. Rambut-rambut halus disana menggelitik telapak tanganku. Dia mengagumkan. Belum pernah aku bertemu pria seperti dia.
"Let's have sex"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
