1. Setelah Bumi Milik Sana (GRATIS)

255
38
Deskripsi

Judul : Setelah Bumi Milik Sana

Genre : Romance

Tag : Married Life, 20+, Daily Life, Dosen, Mahasiswa

Blurb :

"Mas, Mas, tau nggak. Tadi aku ke rumah Bu RT terus ada keponakannya lagi mampir. Ya ampun, Mas. Ganteng banget, Maaas ... bikin melting."

Bhumi yang sedang membaca majalah menoleh sekilas pada istrinya, sebelum kemudian menimpali, 
"Nggak usah genit. Kamu udah ibu-ibu. Nggak akan naksir dia sama kamu."

....

Ini adalah keseharian Sana si centil ceriwis yang banyak tingkah dengan Bhumi si penyabar...

-SATU-

 

              “Referensi kamu masih sedikit sekali. Saya minta kamu tambahkan referensi lagi di bab ini. Minimal 5 referensi lagi dari buku.” Bhumi menatap mahasiswanya. Lalu tangannya yang memegang pulpen, bergerak pada lembaran kertas di hadapannya itu. Mencoret-coretnya di beberapa bagian. “Bagian ini perlu direvisi. Saya minta di parafrase, bukan kamu tulis nggak tahu kaidah penulisan yang baik dan benar begini.”

              Bunga, mahasiswi di depannya mengerjapkan mata beberapa kali saat melihat coretan panjang yang Bhumi berikan di lembaran kertasnya. Gadis itu duduk dengan kaku di atas sofa di rumah dosennya sendiri.

              “Bimbingan dengan saya nggak perlu sering-sering. Seminggu sekali cukup.” Bhumi menekankan kalimatnya, sembari meletakan kembali jilid kertas di atas meja. “Percuma kamu sering bimbingan kalau yang saya koreksi belum selesai juga kamu perbaikinya.”

              Bukannya belum selesai diperbaiki, tetapi sudah diperbaiki masih salah saja di mata Bhumi.

              “Baik, Pak.” Bunga menjawab, sembari menarik jilid naskahnya.

              Bhumi menatap sekilas mahasiswinya itu. Tampak wajahnya yang semakin keruh. Berbeda saat datang tadi di mana gadis itu masih bisa tersenyum menyapanya.

              “Ya sudah. Silakan. Bertemu saya lagi kalau kamu sudah perbaiki dengan baik.”

             “Baik, Pak,” jawab Bunga. Gadis itu memasukkan naskahnya ke dalam tas yang dibawanya, bersiap untuk pulang. “Kalau begitu saya permisi, Pak.”

             Bunga menyalam dosennya, diterima Bhumi dengan baik. Sebelum gadis itu lalu bangkit dan keluar dari rumahnya. Berselang dengan Bunga yang keluar rumah, Sana datang menghampiri suaminya. Keningnya mengerit saat tidak mendapati mahasiswi Bhumi bersama sang suami.

             “Bunganya mana, Mas?” tanya Sana.

             “Sudah pulang,” jawab Bhumi.

             “Kok cepat?”

             “Sudah selesai bimbingannya.”

             Mata Sana menyipit. Istri Bhumi itu kemudian meletakan minuman yang baru dibuatnya di atas meja. Dia baru pulang kerja saat mendapati Bhumi sedang menerima tamu di rumah mereka. Kemudian Sana berganti pakaian sebentar dan berniat membuatkan minuman. Tapi ternyata Bunga sudah pamit saat minuman baru selesai.

             “Pasti kamu galak-galak ya bimbingannya?” 

             Bhumi mengambil teh yang istrinya siapkan. Menyesapnya sebentar dan kembali meletakan di atas nampan.

             “Kamu jangan galak-galak, Mas. Dia itu pacarnya Fatih. Itu anak udah nitipin ceweknya sama aku dari sejak bimbingan.” Fatih sudah lulus kuliah hampir satu tahun yang lalu. Dan Bunga adalah adik tingkat sekaligus pacarnya. Katanya sudah pacaran 6 bulan.

             “Mau siapa pun itu, kalau salah ya salah. Skripsinya acak-acakan. Maunya cepet selesai aja minta bimbingan rutin tapi setiap dikasih revisi nggak pernah benar mengerjakannya.” Bhumi menjawab sedikit lelah. Memijat kepalanya yang tampak kembali pusing.

             Sana pun ikut duduk menyempil di samping suaminya yang duduk di sofa single. Ikut memijat kening Bhumi dengan lembut. Hari ini Bhumi tidak enak badan dan memutuskan pulang saat siang hari. Namun laki-laki itu lupa sudah membuat janji bimbingan dengan Bunga setelah ashar. Maka dari itu Bhumi meminta Bunga untuk datang saja ke rumahnya atau menunggu sampai hari Senin depan—dua hari lalu. Dan ternyata Bunga memilih menemui Bhumi sesuai dengan janji temu mereka.

             “Ya udah Mas istirahat dulu deh, yuk. Kasian banget ini suaminya Sana kepalanya pusing, ya?” Sana membantu Bhumi berdiri dari duduknya.

*__*

              Sore hari ada yang sedang bermanja dengan Sana. Yaitu suaminya yang sedang tidak enak badan. Memeluk tubuh sang istri yang bersandar di atas sofa bed. Bhumi bak seorang anak kecil yang memeluk sang ibu takut akan ditinggal. Sana sendiri, membiarkan tangan Bhumi yang melingkar di tubuhnya. Juga kakinya yang membelit gadis itu dan setengah tubuhnya menindih setengah tubuh Sana. Tidak lupa kepalanya yang ia sembunyikan di ceruk lehernya.

              Sana menatap jam dinding. Berkali-kali melihat ke luar jendela dan juga sesekali memencet remot TV mencari siaran yang menarik tapi sayangnya belum ia temukan. Sana sudah gelisah. Ingin melepaskan belitan Bhumi yang sayangnya memeluknya cukup erat.

              “Si Anin kebiasaan banget kalau main udah hampir magrib belum pulang juga.” Sana menggerutu. Sudah tidak tenang hatinya karena sudah setengah 6, anaknya yang menyebalkan itu belum pulang juga.

              “Mas, lepas dulu deh. Aku mau cari Anin dulu. Udah mau magrib ini,” ujar Sana pada suaminya.

              “Biarin aja. Sebentar lagi juga pulang.”

              Sana berdecak. Bhumi itu terkadang terlalu membebaskan Anin. Gadis kecil itu sudah bermain sejak pulang sekolah.  Anin bahkan menolak untuk menunggu Sana di rumah Anita—ibu kandungnya—dan justru meminta Anita menemaninya di rumah Bhumi tapi gadis kecil itu malah keluar main bersama teman-temannya meninggalkan Anita seorang diri. Alhasih, Anita pun pamit pulang saat siang hari Bhumi pulang ke rumah dan setelah memastikan Anin pulang untuk makan siang.

              “Papa!” Suara pintu rumah yang terbanting membuat Sana terkejut kemudian berdecak kesal setelahnya. Lalu tidak lama, muncullah Anin yang berlari kecil memasuki ruang TV.

              “Anin! Udah berapa kali aku bilang kalau buka pintu pelan-pelan.” Sana mengomeli putrinya.

              Anin hanya cengengesan. Membuat Sana melotot menatap anak sambungnya itu yang semakin besar semakin nakal.

              “Ih, kok kamu berduaan sama Papa aku.” Anin kemudian protes. Melihat ayahnya yang memeluk Sana. Gadis itu langsung naik bergabung ke atas sofa. Namun bukannya berada di sisi Bhumi, Anin justru berada di sisi sebelah Sana.

              “Jangan diganggu Papa kamu lagi sakit,” ujar Sana. Membawa Anin masuk ke dalam pelukannya yang masih tersisa. Mencium rambut putrinya lalu menjauhkan wajah dengan wajah sepat. “Ih, kamu bau matahari. Mandi dulu sana!”

              “Ih aku udah mandi,” jawab Anin. Gadis kecil itu mengangkat ke empat jemarinya menunjukkannya pada Sana. “Tadi jam 4. Tanya aja sama Papa.”

              “Iya tapi kamu bau matahari lagi. Sangit. Mandi lagi deh.”

              Anin menggeleng. “Nggak boleh mandi sering-sering nanti sabunnya cepet abis.”

              “Nggak apa-apa. Papa kamu banyak uang. Nanti beli sabun lagi.”

              “Nggak boleh boros tau.”

              Huh! Rasanya Sana ingin mencubit bibir lancip itu! Gemas sekali dengan jawaban-jawabannya. 

              “Nggak boleh boros, ya?” Sana menatap Anin dengan smirknya. “Kalau begitu, kamu nggak boleh beli ikan lagi.”

              “Ih, ngancemnya ikan terus!” Anin protes kesal. “Iya deh ini aku mandi.” Bersungut-sungut, gadis kecil itu turun dari atas sofa. Berlari kecil menuju kamar mandi.

              “Bestie jangan lupa bawa handuk!” teriak Sana.

*__*

              “Papa beneran sakit, ya?” Tangan kecilnya menyentuh kening sang ayah yang terasa cukup hangat suhu badannya.

              Sana mencubit pelan pipi putri kecilnya itu. “Ya beneran lah. Emangnya kamu suka pura-pura sakit biar nggak sekolah?”

              Anin memeletkan lidah pada Sana. Gadis kecil itu kembali memerhatikan sang ayah yang tertidur di atas ranjangnya. Setelah isya dan makan malam, Bhumi langsung diperintahkan Sana untuk masuk ke dalam kamar. Suhu tubuhnya meningkat dan laki-laki itu tampak pucat. Bahkan sedari sore, Bhumi benar-benar diam dengan lesu. 

              “Sana kamu bobo. Udah jam berapa ini besok kamu sekolah.”

              Anin menggeleng. Gadis itu duduk di tengah-tengah antara Bhumi yang berbaring dan Sana yang duduk bersandar pada kepala ranjang. “Aku bobo di sini aja, ya?” pintanya.

              Sana yang kali ini menggeleng. “Oh, ya enggak bisa, Bestie. Kamu harus tidur sendiri di kamar kamu yang warna pink itu. Yang ada foto ikan-ikan kamu di bingkai itu. Nanti ikan-ikan kamu kesepian kalau kamu bobo di sini.”

              Kamar Anin di desain oleh gadis kecil itu sendiri. Berwarna pink sampai lemarinya pun berwarna pink. Sudah begitu, ada banyak bingkai berisi foto-foto ikan kesayangannya. Jadi, setiap membeli ikan, Anin meminta Sana untuk memfotokan ikannya sebelum dicetak dan dipajang di bingkai. Foto ikan di rumah ini lebih banyak ketimbang foto keluarga kecil mereka.

              “Sana, bobo. Jangan lupa cuci tangan, cuci kaki, terus baca doa,” perintah Sana lagi.

              Anin cemberut. Namun gadis kecil itu menurut. Turun dari atas ranjang Muminya dan berjalan dengan kakinya yang kecil keluar kamar untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri. Sana geleng kepala melihat kepergian putri kecilnya itu. 

              Lepas kepergian Anin, fokus Sana kembali lagi pada sang suami. Bhuminya yang sedang sakit. Sana sudah memberinya obat penurun panas lepas makan tadi. Gadis itu pun ikut merebahkan tubuh di atas ranjang. Berbaring menyamping menghadap sang suami yang terpejam. Mengulurkan tangan mengusap wajah Bhumi yang lembut. Semenjak beristrikan Sana, Bhumi jadi ikut perawatan wajah. Sana yang mewajibkannya. Bahkan saat akhir pekan, Sana menarik suaminya untuk perawatan wajah di klinik kecantikannya.

              “Kasian banget suami Sana lagi sakit.” Sana memeluk tubuh Bhumi yang terbungkus selimut. Mengecup kepalanya dengan sayang.

              Bhumi benar-benar sedang sakit. Karena kalau sehat, sore tadi dia tidak akan mau bermanja dengan Sana, membelitnya dengan pelukan erat seperti itu sampai dilihat oleh Anin. Bhumi paling anti kelewat bermesraan dengan Sana di depan putrinya sendiri. Namun tadi, sepertinya Bhumi antara sadar dan tidak sadar Anin bergabung dengan mereka di atas sofa bed. 

              Bukan cuman di depan Anin, sih. Di depan orang lain juga Bhumi begitu. Akan sok menjaga jarak dengan istrinya sendiri. Sok cool gitu, lah. Tapi orang lain tentu tidak tahu saja bagaimana Bhumi kalau hanya sedang  berdua dengan Sana. Pelukan sore tadi hanya sebagian kecil saja bentuk skin ship yang Bhumi lakukan. Karena setelah menikah, ketimbang Sana, Bhumi lah yang paling ahli dengan sentuhan fisik mereka. Orang-orang di sekitar mereka yang menganggap bahwa Sana lah si agresif dalam pernikahan ini tentu salah besar. Bhumi hanya jago memasang topeng jaimnya.

              “Cepet sembuh ya sayangnya Sana.” Sana memeluk Bhumi semakin erat sebelum ikut memejamkan matanya.

              Ya, walau Bhumi begitu, tentu Sana tetap sangat cinta.

…………………………….

TO BE CONTINUE

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 2. Setelah Bumi Milik Sana
162
16
-DUA-  “Morning, Sunshine ....”              Bhumi mengernyitkan kening menatap istrinya yang terlihat berlalu lalang di dapur. Dengan senyum lebar tangannya cekatan membawa makanan ke atas meja makan.             “Kamu nggak kerja?” tanya Bhumi.              Sana menggeleng. “Nope. Suami aku lagi sakit masa akunya kerja?” Sana kemudian mendekat pada Bhumi. Merangkul lengan sang suami dan membawanya duduk di atas kursi. “Yuk, makan siang dulu. Setelah itu minum obat baru kita manja-manjaan.”              Kening Bhumi mengerut lagi. Seakan tidak setuju dengan gagasan terakhir sang istri soal ‘manja-manjaan’. Lagi pula, Bhumi pikir setelah Sana menyiapkan sarapan tadi dan  memaksa Bhumi untuk kembali istirahat di kamar, Sana akan berangkat ke klinik.              “Udah ayo jangan kebanyakan mikir.” Sana membuka piring di depan Bhumi. Menyendok nasi dan juga beberapa lauk pauk di atasnya. “Makan siang dulu. Ini Saya loh yang masak semuanya.”              Bhumi pun menurut. Menerima uluran sendok dari istrinya dan meletakannya di atas piring. Laki-laki itu memilih meminum gelas yang sudah terisi di sampingnya lebih dulu. Kemudian barulah, mulai menyuapkan makanan ke dalam mulut seiring dengan Sana yang duduk bertopang dagu memerhatikannya di seberang.              “Kamu nggak ikut makan?” tanya Bhumi heran.              Sana mengangguk. “Nanti.”              “Kapan? Makan sekarang.”              “Iya, sebentar lagi. Belum puas ngeliatin suami aku yang lagi makan.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan