
Menjelang sore, ketika warga pulang dari pasar, kami pun kembali memasak Indomie. Kali ini kami membuat Indomie rasa Soto Mie. Aroma soto yang kuat dan gurih langsung memenuhi halaman posko. Indomie kuah yang hangat dan lezat cocok untuk mengisi perut yang lapar dan lelah setelah berjualan seharian di pasar. Beberapa warga mulai melintas kemudian berhenti di depan posko.
“Amakanie, Mama! Pace! Mari sini makan mie!”
Kurasakan tubuhku gemetar ketika tiba di Bandara Sugapa. Belum ada akses jalan darat sehingga jalur keluar-masuk utama hanya bisa melalui udara. Aku bersama 19 rekan dikirim dari Markas Resimen 1 Pasukan Pelopor Brimob di Cikeas untuk operasi Bawah Kendali Operasi (BKO) Polda Papua. Kami ditempatkan di Polsek Desa Yokatapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Penugasan ke Sugapa bukanlah penugasan yang biasa. Kami ditugaskan setelah terjadi penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di dekat Pasar Sugapa beberapa minggu lalu.
Suasana mencekam masih sangat terasa. Jalan-jalan masih tampak sepi dan lengang, hanya ada satu-dua orang dewasa yang berjalan cepat-cepat. Beberapa aparat TNI dan Brimob juga terlihat berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Ironis, karena keindahan Sugapa dengan hamparan bukit hijau dan langit biru yang cerah harus ternoda dengan insiden berdarah itu.
Dua minggu pertama, adalah hari-hari yang paling menegangkan. Aku dan rekan-rekan belum memakai seragam dinas dan menyandang senjata. Kami berkeliaran seperti masyarakat sipil dengan tujuan untuk membaur sembari memeriksa situasi dan kondisi di tengah-tengah warga.
Setelah memastikan semuanya kondusif, kami baru mengenakan seragam Brimob lengkap dengan rompi anti peluru, senjata api bahu SSG08 (jenis sniper) dan helm. Terlihat seperti akan perang, tapi inilah prosedur keamanan. Meski begitu, operasi baru dikatakan berhasil apabila bisa mengamankan tanpa harus memuntahkan sebutir peluru. Kuncinya adalah berbaur dan bergaul dengan warga sekitar. Namun, itu tidak mudah. Penyerangan KKB yang menewaskan delapan orang warga sipil kemarin, ternyata dipimpin oleh seorang mantan aparat yang membelot. Jadi, tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan warga pada kami.
Pandangan warga kepada aparat tidak lagi sama. Pada Hari Pasar yang jatuh setiap hari Selasa dan Jumat, biasanya banyak warga yang melintas di depan Posko Brimob. Namun, kini mereka melangkah dengan buru-buru. Mama-mama Papua membopong anak-anaknya meskipun noken (tas rajutan khas Papua) yang mereka kaitkan di kepala berisi hasil kebun yang tidak ringan. Mereka tidak mampir ke posko dan bertegur sapa dengan para aparat. Menatap saja mereka terlihat segan. Adik-adik yang masih bocah juga terlihat berlari ketika melintasi posko, seperti ketakutan.
***
“Kita harus mengembalikan kepercayaan warga!” Itu adalah instruksi utama dari Komandan Kompi (Danki) Satgas BKO Papua, AKP Reynold Seran saat apel gabungan di Polsek Sugapa.
Di posko, rekan-rekan kembali membahas instruksi Danki.
“Tapi bagaimana? Mereka takut!” ujar Eko, salah satu rekanku. Ia terdengar putus asa.
Tiba-tiba aku teringat adagium Salus Populi Suprema Lex Esto, yang artinya “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Hal ini juga amanat Undang-Undang, bahwa Polri bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Aku melihat para warga di pelosok harus bangun pagi-pagi dan berjalan sangat jauh dari rumah mereka di atas bukit untuk menjual hasil tanam mereka di Pasar Sugapa. Aku dan rekan-rekan Brimob mungkin sudah melakukan tugas untuk mengamankan dan mengayomi, tapi bagaimana dengan tugas melayani? Aku merasa, hal itu sedikit luput dari perhatian kami. Aku membayangkan perjalan jauh yang harus mereka tempuh, pastilah mereka lelah, letih, dan bahkan lapar.
“Kita bagikan makanan, kita bantu mereka membawa hasil kebun ke pasar, kita bantu warga sebisa mungkin. Kalau perlu kita lepas seragam, atribut, dan senjata kita!” usulku.
Tidak disangka usulanku disambut rekan-rekan dengan antusias.
***
Keesokan pagi setelah salat Subuh, kami mendirikan tenda darurat di halaman depan posko. Kami membuat dapur umum. Sejumlah persediaan makanan kami keluarkan, termasuk Indomie, yang merupakan makanan mewah di sini. Jika di Jawa kita bisa membeli sebungkus Indomie dengan harga kurang dari lima ribu rupiah, di sini harganya melonjak menjadi 25.000 rupiah per bungkus.
Pagi itu kami memasak nasi dan 20 bungkus Indomie Goreng. Aroma Indomie Goreng yang semerbak sudah barang tentu akan menggugah selera setiap orang. Hari ini, hari Jumat, Hari Pasar. Satu per satu warga mulai turun dari bukit untuk menjual hasil kebun di pasar. Beberapa menoleh ke arah posko dan berhenti, seperti tergoda dengan aroma yang menggelitik.
“Amakanee, Mama, mampir dulu, makan mie!” ajak Agung, salah satu rekanku. Dia mengambil Indomie Goreng sepiring penuh dan membawakannya ke arah seorang wanita yang sedang menggendong anaknya.
Melihat aparat mendekat, mama itu memundurkan langkah. Namun, Agung terus mendekat sambil tersenyum. Agung memberikan sepiring Indomie yang langsung disambar si anak. Anak itu tersenyum malu-malu. Manis sekali.
“Makan Indomie goreng dulu, Mama. Biar makin semangat!” bujuk Agus. Mama pun tersenyum seraya menyambut suguhan dari Agung.
Aku pun berlari mendekat sambil membawa beberapa bungkus Indomie dan makanan kecil. Awalnya Mama menerima pemberianku dengan ragu-ragu, tapi akhirnya dia tersenyum. Kurasa ini awal yang baik.
Menjelang sore, ketika warga pulang dari pasar, kami pun kembali memasak Indomie. Kali ini kami membuat Indomie rasa Soto Mie. Aroma soto yang kuat dan gurih langsung memenuhi halaman posko. Indomie kuah yang hangat dan lezat cocok untuk mengisi perut yang lapar dan lelah setelah berjualan seharian di pasar. Beberapa warga mulai melintas kemudian berhenti di depan posko.
“Amakaniee, Mama! Pace! Mari sini! Makan mie!”
Seperti yang sudah-sudah, awalnya mereka juga tampak ragu. Namun, akhirnya mereka mau bergabung bersama kami. Sore itu kami bersama-sama menyantap Indomie kuah Soto Mie yang lezat sambil menatap matahari yang hendak bersembunyi di balik bukit.
Hari berikutnya, anak-anak tampak sudah tidak takut lagi. Mereka berlarian ke posko. Ada yang dengan polosnya meminta Indomie. Rasanya bahagia sekali melihat senyum-senyum mereka terkembang dengan lebar. Mama-mama pun tak lagi segan datang ke posko dan menjajakan hasil kebun mereka.
Ketegangan antara warga dan aparat perlahan pun mulai mencair. Setiap hari ada saja warga yang sengaja datang ke posko untuk sekedar bercengkrama atau membantu pekerjaan. Tawa dan senyum mereka mulai merebak, seiring dengan merebaknya harum Indomie yang baru masak.
Untunglah persediaan Indomie selalu dikirim dari pusat. Indomie, mie-nya Indonesia. Mie yang menyatukan kita semua.
“Amakaniee! Mari makan Indomie!”
[]
Disclaimer: Cerita ini seluruhnya adalah fiksi. Foto tertera hanya ilustrasi, diambil dari tayangan Youtube, akun ALL RIDIO.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
