CLOUD UNIVERSE (BAB 31-END)

0
0
Deskripsi

Hari besar itu tiba. 

Bersamaan dengan Cloud Entertainment yang merayakan hari jadinya, Jia, Yejin, dan Hyemi pun akhirnya mantap memilih seseorang yang benar-benar mereka inginkan. 

Lalu, bagaimana dengan mereka yang terpaksa ditinggalkan?

Episode terakhir!

BAB 31

 

Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul.

Jia yang baru turun dari taksi menghambur ke dalam karena panik dan tak sabar. Sekarang, ia seperti pemeran utama dalam sebuah drama, seorang gadis bodoh yang berusaha mengejar prianya, tapi nyaris terlambat karena orang yang dicintainya tengah sakit parah.

Hei, tunggu. Apa betul Hyunsoo benar-benar sakit parah?

Jia tak mau memikirkan kemungkinan terburuk. Perasaan marah karena Junseo menendang Hyunsoo memang masih ada, tapi seharusnya efeknya takkan separah itu karena Hyunsoo adalah seorang pria yang kuat. Dia pasti akan baik-baik saja. Seharusnya Jia tak perlu setakut itu sampai air mata meleleh membanjiri pipinya. 

"Apa di sini ada pasien bernama Nam Hyunsoo?"

Resepsionis di depan mengecek catatan, "Ada, tapi fans dilarang masuk."

"Fans?" Jia mengulangi. Ia yakin seseorang dari Cloud telah datang ke mari sebelum dirinya dan memberlakukan aturan untuk membatasi pembesuk. Sungguh mereka selalu bergerak cepat. "Tapi aku bukan fans dia. Aku adalah… pacarnya. Aku punya nomornya… Foto-foto bersamanya. Ini, lihatlah."

Resepsionis melongok sejenak, mengawasi layar ponsel Jia yang dipenuhi fotonya bersama Hyunsoo. Selain itu, wajah Jia yang pucat pasi rasanya sudah cukup untuk membuktikan jika ia benar-benar mengenal Hyunsoo secara pribadi. Sederhananya, kalau tidak karena cinta, ekspresi orang itu tak mungkin sedramatis ini. 

"Kamar rawat VIP Nomor 30. Dia baru saja selesai dioperasi jadi jangan terlalu ribut—hei!"

Jia sudah tahu, tak perlu diajari. Ia berlari menyusuri selasar yang cukup kosong. Kamar rawat VIP ada di sayap belakang bangunan rumah sakit, Jia pernah beberapa kali menginap di sini karena ibunya punya penyakit darah tinggi yang berkali-kali kambuh. Ia tak tersasar karena hapal. 

Namun, saat sampai di depan ruang rawat Hyunsoo, langkahnya terhenti. Yang berada di dalam sana hanya Hyunsoo dan seorang gadis. Sepertinya, pemuda itu baru sadar sehingga masih lemah. 

"Kalau memang sudah ada tanda-tanda sakit, harusnya tidak memaksakan diri. Memangnya kau mau kalau gagal debut? Kau sudah bekerja keras sampai sejauh ini."

"Aku tidak apa-apa," Hyunsoo meraih tangan gadis itu. "Lagipula, kalau aku tidak sakit sampai sebegininya, mungkin aku akan tetap sendirian."

"Jangan begitu," gadis itu mengelus kening Hyunsoo, "kami selalu ada untukmu."

Ada sentakan menyakitkan di dada Jia. Jadi selama ini Hyunsoo terus menunda untuk meresmikan hubungan mereka karena sebenarnya dia punya orang lain? Apakah gadis itu adalah orang yang memenangkan hati Hyunsoo? Mengapa selama ini Jia begitu bodoh hingga menduga jika satu-satunya yang Hyunsoo lihat hanya dirinya? 

Jia berbalik. Air matanya yang tadi sempat berhenti, sekarang terjun bebas lagi. 

Keadaan hatinya sangat membingungkan saat ini. Di satu sisi, ia lega karena apapun penyakitnya, operasi Hyunsoo sepertinya berhasil. 

Di sisi lain, mengetahui jika dirinya bukan satu-satunya orang yang peduli pada Hyunsoo di saat-saat sulitnya, membuat Jia cemburu. Apalagi Hyunsoo sepertinya tak menyesali keadaannya sekarang karena gara-gara ia sakit, gadis itu datang menjenguk. 

Ini sedikit menyakitkan… baiklah, sangat menyakitkan.

Jia tahu sekujur tubuhnya gemetar, tapi ia tak sanggup kalau memaksakan diri lari sekarang. Akhirnya ia hanya berjongkok di depan ruang rawat Hyunsoo, menunduk dalam, dan menangis tanpa suara. Tak ada rutukan yang Jia lontarkan dalam batin kecuali hujatan personal bahwa dirinya sangat, sangat, sangat bodoh. 

"Hei, kau siapa? Apa kau teman Hyunsoo? Kenapa tidak masuk?"

Tangan seorang wanita terulur menyentuh pundaknya. Jia mengangkat mata dan menemukan perempuan berwajah sabar sedang menatap cemas padanya. "Kau tidak apa-apa, kan? Kenapa kau menangis seperti itu?"

Pertama, yang bisa Jia lakukan hanya menggeleng. Kedua, yang bisa ia lakukan hanya diam. Wanita cantik yang ternyata adalah ibu Hyunsoo itu kemudian membuka pintu ruang rawat anaknya. "Ayo masuk. Kalau kau memang teman Hyunsoo…"

"A-aku tidak mau masuk," Jia tahu penolakan ini sama sekali tidak sopan. Namun, daripada ia bersikap judes atau menangis di dalam gara-gara tak tahan bertatapan muka dengan "kekasih" Hyunsoo, lebih baik ia mencegah diundang ke dalam. "Aku harus kembali bekerja. Aku hanya… aku hanya ingin tahu apakah Hyunsoo… apakah Hyunsoo—"

"Ah! Aku tahu, kau pasti Yoon Jia." 

Mata Jia melebar. Bagaimana bisa ibu Hyunsoo tahu namanya?

"Astaga, Nak. Kau sudah ditunggu sejak tadi," ibu Hyunsoo tersenyum, ia menyentuh pelan wajah Jia yang masih basah karena tangisannya baru saja reda. "Sekarang aku tahu kenapa anakku tergila-gila padamu. Ayo, kita masuk, Jia."

Mau tak mau, Jia menurut. Tangannya digandeng oleh ibu Hyunsoo dan Jia sedikit malu karena jari-jarinya tetap terus gemetar. Kadang rasanya menyebalkan menjadi orang yang sulit menguasai keadaan. 

Jia malu karena ibu Hyunsoo dengan ringan mengatakan kalau sejak tadi dirinya berada di depan ruangan.

"S-selamat siang, namaku Yoon Jia."

Jia membungkuk sopan. Gadis yang berdiri di sisi ranjang Hyunsoo tersenyum padanya, "Hai, Jia. Aku Heera. Adikku beberapa kali memaksaku pulang ke Seoul karena ia ingin mengajakku ke gedung Cloud Entertainment untuk bertemu denganmu."

"Nuna!" Hyunsoo memukul pelan lengan kakaknya. "Terima kasih sudah menjengukku, Jia. Apa kau tidak dilibatkan dalam acara besar hari ini?"

Jia menggeleng. Percuma saja ia bercerita tentang huru-hara di kantor, saat ini otaknya tak bisa memproses hal lain, selain senyuman tampan Hyunsoo (meskipun pucat) dan kenyataan menyenangkan bahwa gadis itu bukan pacar Hyunsoo, melainkan kakaknya.

"Heera, sepertinya kau harus menemani Eomma makan siang," ibu Hyunsoo berkata sambil mendorong Jia agar mendekat pada putranya. "Lagipula, sepertinya kita harus membiarkan mereka berdua bicara. Hyunsoo sangat nakal belakangan ini… dan tebakan Eomma benar, adikmu itu sedang jatuh cinta."

"Eomma!"

Heera dan ibu Hyunsoo tertawa. Keduanya beranjak dari ruangan dan menutup pintu dari luar. Dengan canggung, Jia mendekati Hyunsoo dan keduanya kikuk saat bertatapan.

"Bagaimana keadaanmu? Apa kau… apa kau baik-baik saja?" Jia merasa bodoh saat menanyakan itu. Kalau dia baik-baik saja, Hyunsoo tak mungkin sampai dioperasi. Ada-ada saja otak dangkalnya yang mulai kumat saat berhadapan dengan pemuda ini.

"Tadinya aku takut mati," mata Hyunsoo tiba-tiba tampak memelas. "Kata Dokter, penyakitku sudah stadium akhir."

"Ya, Tuhan!" Jia terkejut bukan main. Ia tak siap menerima kabar buruk saat ini. "Memangnya kau sakit apa? K-kanker?"

Hyunsoo terdiam, kemudian pelan menggeleng. "Aku tidak tahu."

"Bagaimana bisa tidak tahu? Kau kan bisa bertanya pada dokter!" Kali ini ekspresi Jia mengeras. Ia tak tahu mana yang lebih dominan ia rasakan. Jengkel, sedih, atau marah. "Sekarang bidang kedokteran sudah maju! Penyakit apapun bisa dicarikan obatnya! Seharusnya dari awal kau sudah mengantisipasi sebelum kondisimu memburuk! Seharusnya kau tidak memforsir dirimu sendiri sampai tumbang seperti ini. Apa mimpimu debut di bawah Cloud jauh lebih penting dari kesehatanmu sendiri? Apa kau pikir hidup ini bisa diulangi berkali-kali sampai kau bisa sebodoh itu menyia-nyiakan dirimu!?"

Kata-kata Jia meluncur tanpa bisa Hyunsoo tahan. Pemuda itu menatap sosok manis di depannya yang belum puas melampiaskan emosi. Hyunsoo mengulurkan tangan dan memanggil Jia mendekat, "Sini. Kutunjukkan padamu apa sebenarnya penyakitku."

Jia sempat ragu—ia benar-benar tak siap menerima kabar buruk—tapi secara natural menolak Hyunsoo adalah salah satu hal yang tak pernah bisa ia lakukan. 

Tangannya terasa dingin saat menyentuh telapak Hyunsoo yang lembut dan hangat. 

"Penyakitku ada di sini, Jia." Tangan Jia diletakkan di dada Hyunsoo. "Sejak bertemu denganmu, jantungku seperti kehilangan ritme kalau kau sedang berada di sekelilingku. Kadang rasanya juga sakit dan menusuk kalau ada orang lain yang mendekatimu, dan aku tak bisa berbuat apapun untuk mencegahnya."

Jia merasakan tubuhnya mengejang. Ia tahu Hyunsoo terlalu kaku untuk bisa dikatakan pandai menggombal. Jia yakin yang Hyunsoo katakan sekarang sama sekali bukan kata-kata omong kosong untuk merayunya. 

"Kau sebenarnya bisa mencegah," Jia berbisik. Air matanya menetes dan ia tak menghapus tetesan itu. "Kau hanya perlu jujur pada perasaanmu sendiri, Hyunsoo."

"Maafkan aku yang terlalu bodoh," Hyunsoo menatapnya dalam, "kau mau, kan?"

"Dengan keadaan kau terkapar sakit seperti ini? Tidak. Aku tidak mau memaafkanmu kalau kau tidak sehat. Kau harus sehat untuk bisa menyakitiku lagi…," melihat Hyunsoo yang makin pucat karena perkataannya, Jia buru-buru menambahkan, "Aku hanya bercanda. Kau jangan terlalu sensitif. Jadi sebenarnya kau sakit apa?"

"Apendisitis," jawab Hyunsoo.

"Hei, jadi bukan kanker?"

"Kau ini sedang menyumpahi aku atau bagaimana, Yoon Jia?"

"Tidak, tidak! Tentu saja tidak," Jia tertawa. Ia membiarkan Hyunsoo menarik tubuhnya mendekat untuk mendekapnya. "Jangankan untuk mendoakanmu buruk, Hyunsoo… Untuk merasa kesal padamu saja aku tak pernah bisa. Perasaan tolol seperti ini… apa namanya?"

"Cinta." Hyunsoo mengecup pucuk rambutnya, "Dan saat ini kujamin kalau kita sama."

BAB 32

 

"Astaga aku tegang sekali. Apa Jia belum kembali juga?"

"Hei Yejin, kau ini kenapa?" Minjun mendekat, menepuk pundak rekan kerjanya untuk menyadarkan, tak bagus panik pada saat yang krusial. Yejin kadang tidak terlihat profesional kalau sedang tegang. "Acara sebentar lagi dimulai. Lihat para UNION sudah datang. Untung ya mereka cuma para fans terpilih. Kalau semua UNION baik yang alim sampai yang barbar boleh masuk, kupastikan kau tak bisa pulang hidup-hidup."

"Apa maksudmu bicara seperti itu?" Yejin menoleh, tersinggung. Minjun tak pernah punya bakat untuk menyaring kata-kata. Mulutnya itu sangat licin meskipun pembawaannya kalem dan seolah pendiam. "Konsep acara kita pasti disukai oleh mereka semua. Aku masih akan bekerja di sini bahkan sampai UNICODE bubar."

"Ini bukan soal kau bekerja di sini atau tidak. Ini soal status kalian ketahuan atau tidak." Minjun menahan senyumnya. Ia suka melihat Yejin makin mengerutkan kening, sepertinya ia mulai berpikir jika hubungannya dengan Gunwoo terlalu bahaya untuk diekspose. "Oh, ya. Bagaimana dengan Jia dan Choi Junseo? Kau tahu sesuatu?"

"Ini bukan saat yang tepat untuk bergosip tentang hubungan orang!" Yejin menghardik, tapi secara natural, ia memang terlahir sebagai teman bergosip yang sangat cocok dengan Minjun, jadi Yejin tetap melanjutkan, "Junseo seharusnya melepaskan Jia. Aku tahu benar siapa yang Jia cintai dan itu bukan member UNICODE. Mereka semestinya tahu diri!"

"Wow, benarkah?" Minjun tampak senang. Ia sedikit-banyak tahu tentang Hyunsoo sejak awal. Hyunsoo adalah anak muda yang baik. Minjun akan merestui mereka tanpa ditanya. 

"Jia itu tampaknya cuek tapi dia sangat polos. Dia tidak bisa berbohong padaku dan Hyemi," bisik Yejin, "member UNICODE bukan tipe pacar yang menarik untuknya."

"Memang hanya kau yang menyukai UNICODE secara personal, yang lain hanya suka sebagai idola. Tidak lebih. Kau saja yang tidak waras—"

Yejin menghentikan kata-kata Minjun dengan sodokan siku di dada. "Diam. Itu lain."

"Minjun-ssi, Yejin-ssi, kita on air 2 menit lagi." Jinny datang sebagai informan. Sejak tadi Yejin dan Minjun memang menyepi seperti tamu tak diundang di pojokan. 

Mereka bisa mendengar para UNION berteriak seolah studio ini milik mereka. Tak ada nama yang paling dominan mereka sebutkan. Sekilas takkan ada yang bisa menebak siapa gerangan di antara member UNICODE yang paling tinggi popularitasnya.

"Semoga semuanya baik-baik saja, semoga tidak ada problem, semoga…," Yejin menangkupkan tangan di dada. Saat MC muncul di panggung—dua orang trainee yang sangat jago berbicara—semua orang bertepuk tangan, termasuk Minjun yang berkomentar bahwa MC yang wanita sangat imut.

"Sempat-sempatnya," komentar Yejin, "Hyung, kau ini sudah tua. Sadar dirilah sedikit!"

"Hei, kalian berdua, berhentilah bertengkar. Kalian mau suara kalian masuk ke siaran langsung? Bikin malu saja kalau sampai kejadian." 

Yejin dan Minjun menoleh. Park-sajangnim tak biasanya mau berkeliaran di antara para cecunguk yang menghambakan diri untuk perusahaannya. Minjun dan Yejin mengangguk, berusaha menyapa dengan sopan, tapi kali ini Celine bertanya, "Yejin, kau pacaran dengan Gunwoo, ya? Kau ini berani mati juga ternyata. Sudah bosan kerja?"

Minjun hampir menyemburkan tawa. Yejin melongo karena perkataan Celine mereka sama sekali tak terpikirkan olehnya. Namun, yang membuat aneh, Sajangnim tak terlihat benar-benar marah. Ia hanya melirik jahil, kemudian berkata lagi, "Aku tahu kalian saling mencintai sejak dulu, tapi sebagai non artist, kau harus menandatangi surat perjanjian dengan stempel resmi di atas materai karena berpacaran dengan idol."

"Aku sudah tahu soal itu," Yejin risih membahas ini sekarang. Namun, membayangkan berpisah lagi dengan Gunwoo rasanya terlalu mengerikan. Yejin tak mau jadi mayat hidup untuk yang kesekian kalinya. "Setelah acara ini, apa boleh aku meminta surat itu?"

Celine tersenyum. Ia mengulurkan tangan, merangkul Yejin mendekat. "Ternyata kau sebegitu takutnya kalau telat tanda tangan… Kenapa? Takut Gunwoo diambil orang?"

Bersamaan dengan kalimat Celine itu, satu persatu member UNICODE muncul di atas panggung. Penampilan mereka dimulai dari Jihoo yang sempat diisukan tidak jadi datang—entah bagaimana sasaeng bisa menghembuskan isu itu dengan begitu cepat lewat media sosial. Jihoo seperti pangeran es, bahkan Yejin dan Celine saja sempat terpana. Member UNICODE itu berperan jadi malaikat jatuh yang berusaha dilukai oleh huru-hara dunia.

Yejin membatin jika sebagian besar cerita yang ia susun untuk acara ulang tahun Cloud ini terinspirasi dari hubungan jatuh bangunnya bersama Gunwoo. Seharusnya, kekasihnya lah yang mengambil peran protagonis itu. Yejin menyesal karena membohongi isi hatinya.

"Dia seperti tidak memiliki masalah apapun. Sangat fokus dan totalitas. Aku seperti tidak mengenal Jihoo." Seseorang di samping mereka berbincang dengan salah satu kru. Itu adalah asisten manajer UNICODE yang selama ini lebih jarang terlihat bersama mereka daripada si manajer utama. "Bagaimana bisa dia setampan itu? Aku yang laki-laki saja terpesona dibuatnya!"

Yejin berhenti menoleh dan kembali menatap panggung. Jujur saja, semua kalimat yang mereka gunjingkan Yejin setuju. Jihoo ini tampan luar biasa. Namun, ia cukup mengerti jika Hyemi pada akhirnya tak memilihnya karena cinta adalah perasaan yang jauh lebih rumit dari sekadar menerjemahkan sebuah ketertarikan berdasarkan fisik atau popularitas semata. 

"Yejin, itu pacarmu keluar," bisik Minjun jahil.

Yejin salah tingkah. Gunwoo berperan sebagai iblis dari neraka. Yejin geli sendiri membayangkan Gunwoo pasrah-pasrah saja meskipun ia membangun image-nya sering kali dengan pandangan yang sangat subjektif.

Gunwoo menggunakan sayap besar berwarna hitam yang kontras dengan sayap putih milik Jihoo. Ceritanya mereka bertempur, ada musik yang menghentak dengan pencahayaan yang dibuat tak stabil. Semua orang di studio menahan napas. Jihoo dan Gunwoo tak tampak lagi seperti manusia bumi. Mereka terlalu tampan hingga nyaris tak terlukiskan.

"Dewa Matahari akan datang untuk menghentikan pertarungan antara baik dan buruk. Kemudian, matahari akan dipanah jatuh hingga membakar sebuah negeri yang dipimpin oleh Choi Junseo…"

"Aku sudah hapal isi skripmu karena semalam kubaca berkali-kali seolah aku yang mau pentas," Minjun menggumam. Yejin di sisinya diam. "Aku sedikit khawatir soal Junseo. Jia belum juga kembali."

"Dia tidak akan kembali," ujar Yejin, "ia akan tetap di sana bersama Nam Hyunsoo."

"Apa aku ketinggalan kisah cinta rumit lainnya selain kau dan Lee Gunwoo?" Celine bertanya, wajahnya masih santai seperti semula. "Jadi Junseo juga menyukai karyawan baru yang jadi primadona itu? Berani-beraninya dia menaruh hati pada orang yang kusukai. Sepertinya dia juga ingin dipecat seperti Yejin."

"Eh?" Minjun dan Yejin sama-sama menoleh. "Memangnya Sajangnim belum menikah?" Mereka bertanya kompak seperti koor. Saking seringnya kerja bersama, Minjun dan Yejin kadang mirip saudara kembar—berbagi sel otak bersama. 

"Usiaku tidak jauh dari kalian, anak-anak, tolonglah." Celine menghela napas. Menyedihkan sekali, gara-gara jabatannya, ia sering dianggap tua. Padahal, tiga puluh tahun saja belum ada. Kalau di usia semuda ini ia bisa jadi direktur, itu gara-gara ia adalah silver spoon dan pekerja keras. Tak ada alasan lain.

"Tidak dapat Jia, dapat Sajangnim… Oh, baiklah. Kali ini mendadak aku ingin jadi Choi Junseo," Minjun menggumam, membuat Yejin tergelak.

"Jangan sampai kau resign sebelum aku resign, Kim Minjun," candanya, "cuma kau satu-satunya orang di Cloud yang bisa membuatku tertawa."

 

***

 

"Itu dia Choi Junseo!"

Jia yang sedang mengupas jeruk, memutar kursinya. Ia hanya berdua di ruang rawat Hyunsoo sekarang. Mereka menyalakan televisi karena Jia sangat penasaran dengan hasil lemburan Yejin dan bosnya. 

"Konsep ulang tahunnya benar-benar keren. Tak ada having fun. Mereka membuat konsepnya dark dan mendalam. Yejin dan Minjun-hyung pandai memainkan simbol-simbol…"

Hyunsoo melirik Jia yang lurus menatap televisi. Sedikit aneh karena Jia sekarang justru tidak berkomentar soal Junseo. Padahal lelaki yang juga menyukainya itu sedang disorot penuh oleh kamera. Junseo lebih mirip pangeran daripada seorang raja. Hyunsoo sadar, gadis manapun—jika ia normal—seharusnya tak bisa menolak pesona sang leader UNICODE yang nyaris mematikan. 

"Dia benar-benar tampan, ya," Hyunsoo berkomentar. Ia ingin tahu reaksi Jia. Namun, ekspresi orang di sampingnya itu sama sekali tak mudah dibaca. "Apa kau setuju kalau dia sangat tampan, Jia?"

"Kalau dia jelek, Park-sajangnim tak akan meloloskannya debut," Jia tertawa kecil. Ia menyodorkan jeruk pada Hyunsoo tapi pemuda itu masih sibuk mengamati. "Oh, ayolah makan ini. Jangan lama-lama sakitnya nanti aku makin repot."

Hyunsoo menurut dan mengunyah pelan-pelan. Jeruk ini rasanya hambar, mungkin karena suasana hatinya langsung memburuk karena Choi Junseo sekarang jadi pusat perhatian. Layar televisi itu tak henti-hentinya menayangkan wajah si pemimpin UNICODE.

"Kalau kau mau pergi ke studio sekarang… sebaiknya tidak menunda waktu." Hyunsoo berkata pelan. Ia punya kepribadian tak enakan yang membuat siapapun, termasuk Jia, kadang harus dibuat bertanya-tanya. "Semua UNION ingin datang ke Cloud dan melihat penampilan UNICODE secara live, kau bisa datang dan berfoto dengan mereka setelah turun panggung. Mereka berempat tidak berdandan setampan itu setiap hari."

Jia memiringkan kepala. Ia tahu Hyunsoo banyak bicara kalau sedang kalut, tapi jujur saja Jia tak suka karena Hyunsoo terdengar seperti sedang mengusir dirinya. 

"Bagiku setiap hari semua member UNICODE tampan, karena mereka idolaku. Yang paling tampan untukku adalah Song Hajung dan aku selalu menang debat lawan siapa pun." Jia menjawab. Ia menahan diri tak mengajak Hyunsoo bertengkar karena cowok itu belum pulih betul. Nanti saja Jia kalau mau cari gara-gara. "Kalau kau, kau jarang terlihat tampan."

Itu namanya apa kalau bukan cari gara-gara? Hyunsoo menatap kesal tapi sejurus kemudian, ia mengusak rambut Jia dengan gemasnya. "Apalagi? Hina aku sepuasmu. Meskipun aku tak setampan mereka, tapi buktinya kau tetap di sini denganku."

"Itu dia," Jia mencubit pipi pemuda itu karena tak mau kalah. "Kau jelek saja aku mau. Apalagi kalau kau tampan seperti UNICODE."

"Aku akan makin tampan kalau sudah debut, lihat saja."

Hati Jia sedikit berjengit saat Hyunsoo mengatakan itu. Namun, seperti apapun Jia meragukan jika Hyunsoo akan bisa tetap menjadi Hyunsoo-nya setelah terkenal nanti, ia tetap harus mendukung karir pemuda itu. 

"Aku tahu kau akan semakin tampan," ucapnya pelan, "kalau saat itu datang, aku minta jangan lupakan aku, ya…"

"Mana mungkin," Hyunsoo menarik leher Jia mendekat untuk mengecup bibirnya. "Lagipula, menjadi trainee Cloud adalah dorongan orang tuaku. Yang kuinginkan sebenarnya adalah jadi dosen… Jangan bilang siapa-siapa ya, Jia. Aku takut dibilang durhaka, hahaha."

 

BAB 32

 

"Astaga aku tegang sekali. Apa Jia belum kembali juga?"

"Hei Yejin, kau ini kenapa?" Minjun mendekat, menepuk pundak rekan kerjanya untuk menyadarkan, tak bagus panik pada saat yang krusial. Yejin kadang tidak terlihat profesional kalau sedang tegang. "Acara sebentar lagi dimulai. Lihat para UNION sudah datang. Untung ya mereka cuma para fans terpilih. Kalau semua UNION baik yang alim sampai yang barbar boleh masuk, kupastikan kau tak bisa pulang hidup-hidup."

"Apa maksudmu bicara seperti itu?" Yejin menoleh, tersinggung. Minjun tak pernah punya bakat untuk menyaring kata-kata. Mulutnya itu sangat licin meskipun pembawaannya kalem dan seolah pendiam. "Konsep acara kita pasti disukai oleh mereka semua. Aku masih akan bekerja di sini bahkan sampai UNICODE bubar."

"Ini bukan soal kau bekerja di sini atau tidak. Ini soal status kalian ketahuan atau tidak." Minjun menahan senyumnya. Ia suka melihat Yejin makin mengerutkan kening, sepertinya ia mulai berpikir jika hubungannya dengan Gunwoo terlalu bahaya untuk diekspose. "Oh, ya. Bagaimana dengan Jia dan Choi Junseo? Kau tahu sesuatu?"

"Ini bukan saat yang tepat untuk bergosip tentang hubungan orang!" Yejin menghardik, tapi secara natural, ia memang terlahir sebagai teman bergosip yang sangat cocok dengan Minjun, jadi Yejin tetap melanjutkan, "Junseo seharusnya melepaskan Jia. Aku tahu benar siapa yang Jia cintai dan itu bukan member UNICODE. Mereka semestinya tahu diri!"

"Wow, benarkah?" Minjun tampak senang. Ia sedikit-banyak tahu tentang Hyunsoo sejak awal. Hyunsoo adalah anak muda yang baik. Minjun akan merestui mereka tanpa ditanya. 

"Jia itu tampaknya cuek tapi dia sangat polos. Dia tidak bisa berbohong padaku dan Hyemi," bisik Yejin, "member UNICODE bukan tipe pacar yang menarik untuknya."

"Memang hanya kau yang menyukai UNICODE secara personal, yang lain hanya suka sebagai idola. Tidak lebih. Kau saja yang tidak waras—"

Yejin menghentikan kata-kata Minjun dengan sodokan siku di dada. "Diam. Itu lain."

"Minjun-ssi, Yejin-ssi, kita on air 2 menit lagi." Jinny datang sebagai informan. Sejak tadi Yejin dan Minjun memang menyepi seperti tamu tak diundang di pojokan. 

Mereka bisa mendengar para UNION berteriak seolah studio ini milik mereka. Tak ada nama yang paling dominan mereka sebutkan. Sekilas takkan ada yang bisa menebak siapa gerangan di antara member UNICODE yang paling tinggi popularitasnya.

"Semoga semuanya baik-baik saja, semoga tidak ada problem, semoga…," Yejin menangkupkan tangan di dada. Saat MC muncul di panggung—dua orang trainee yang sangat jago berbicara—semua orang bertepuk tangan, termasuk Minjun yang berkomentar bahwa MC yang wanita sangat imut.

"Sempat-sempatnya," komentar Yejin, "Hyung, kau ini sudah tua. Sadar dirilah sedikit!"

"Hei, kalian berdua, berhentilah bertengkar. Kalian mau suara kalian masuk ke siaran langsung? Bikin malu saja kalau sampai kejadian." 

Yejin dan Minjun menoleh. Park-sajangnim tak biasanya mau berkeliaran di antara para cecunguk yang menghambakan diri untuk perusahaannya. Minjun dan Yejin mengangguk, berusaha menyapa dengan sopan, tapi kali ini Celine bertanya, "Yejin, kau pacaran dengan Gunwoo, ya? Kau ini berani mati juga ternyata. Sudah bosan kerja?"

Minjun hampir menyemburkan tawa. Yejin melongo karena perkataan Celine mereka sama sekali tak terpikirkan olehnya. Namun, yang membuat aneh, Sajangnim tak terlihat benar-benar marah. Ia hanya melirik jahil, kemudian berkata lagi, "Aku tahu kalian saling mencintai sejak dulu, tapi sebagai non artist, kau harus menandatangi surat perjanjian dengan stempel resmi di atas materai karena berpacaran dengan idol."

"Aku sudah tahu soal itu," Yejin risih membahas ini sekarang. Namun, membayangkan berpisah lagi dengan Gunwoo rasanya terlalu mengerikan. Yejin tak mau jadi mayat hidup untuk yang kesekian kalinya. "Setelah acara ini, apa boleh aku meminta surat itu?"

Celine tersenyum. Ia mengulurkan tangan, merangkul Yejin mendekat. "Ternyata kau sebegitu takutnya kalau telat tanda tangan… Kenapa? Takut Gunwoo diambil orang?"

Bersamaan dengan kalimat Celine itu, satu persatu member UNICODE muncul di atas panggung. Penampilan mereka dimulai dari Jihoo yang sempat diisukan tidak jadi datang—entah bagaimana sasaeng bisa menghembuskan isu itu dengan begitu cepat lewat media sosial. Jihoo seperti pangeran es, bahkan Yejin dan Celine saja sempat terpana. Member UNICODE itu berperan jadi malaikat jatuh yang berusaha dilukai oleh huru-hara dunia.

Yejin membatin jika sebagian besar cerita yang ia susun untuk acara ulang tahun Cloud ini terinspirasi dari hubungan jatuh bangunnya bersama Gunwoo. Seharusnya, kekasihnya lah yang mengambil peran protagonis itu. Yejin menyesal karena membohongi isi hatinya.

"Dia seperti tidak memiliki masalah apapun. Sangat fokus dan totalitas. Aku seperti tidak mengenal Jihoo." Seseorang di samping mereka berbincang dengan salah satu kru. Itu adalah asisten manajer UNICODE yang selama ini lebih jarang terlihat bersama mereka daripada si manajer utama. "Bagaimana bisa dia setampan itu? Aku yang laki-laki saja terpesona dibuatnya!"

Yejin berhenti menoleh dan kembali menatap panggung. Jujur saja, semua kalimat yang mereka gunjingkan Yejin setuju. Jihoo ini tampan luar biasa. Namun, ia cukup mengerti jika Hyemi pada akhirnya tak memilihnya karena cinta adalah perasaan yang jauh lebih rumit dari sekadar menerjemahkan sebuah ketertarikan berdasarkan fisik atau popularitas semata. 

"Yejin, itu pacarmu keluar," bisik Minjun jahil.

Yejin salah tingkah. Gunwoo berperan sebagai iblis dari neraka. Yejin geli sendiri membayangkan Gunwoo pasrah-pasrah saja meskipun ia membangun image-nya sering kali dengan pandangan yang sangat subjektif.

Gunwoo menggunakan sayap besar berwarna hitam yang kontras dengan sayap putih milik Jihoo. Ceritanya mereka bertempur, ada musik yang menghentak dengan pencahayaan yang dibuat tak stabil. Semua orang di studio menahan napas. Jihoo dan Gunwoo tak tampak lagi seperti manusia bumi. Mereka terlalu tampan hingga nyaris tak terlukiskan.

"Dewa Matahari akan datang untuk menghentikan pertarungan antara baik dan buruk. Kemudian, matahari akan dipanah jatuh hingga membakar sebuah negeri yang dipimpin oleh Choi Junseo…"

"Aku sudah hapal isi skripmu karena semalam kubaca berkali-kali seolah aku yang mau pentas," Minjun menggumam. Yejin di sisinya diam. "Aku sedikit khawatir soal Junseo. Jia belum juga kembali."

"Dia tidak akan kembali," ujar Yejin, "ia akan tetap di sana bersama Nam Hyunsoo."

"Apa aku ketinggalan kisah cinta rumit lainnya selain kau dan Lee Gunwoo?" Celine bertanya, wajahnya masih santai seperti semula. "Jadi Junseo juga menyukai karyawan baru yang jadi primadona itu? Berani-beraninya dia menaruh hati pada orang yang kusukai. Sepertinya dia juga ingin dipecat seperti Yejin."

"Eh?" Minjun dan Yejin sama-sama menoleh. "Memangnya Sajangnim belum menikah?" Mereka bertanya kompak seperti koor. Saking seringnya kerja bersama, Minjun dan Yejin kadang mirip saudara kembar—berbagi sel otak bersama. 

"Usiaku tidak jauh dari kalian, anak-anak, tolonglah." Celine menghela napas. Menyedihkan sekali, gara-gara jabatannya, ia sering dianggap tua. Padahal, tiga puluh tahun saja belum ada. Kalau di usia semuda ini ia bisa jadi direktur, itu gara-gara ia adalah silver spoon dan pekerja keras. Tak ada alasan lain.

"Tidak dapat Jia, dapat Sajangnim… Oh, baiklah. Kali ini mendadak aku ingin jadi Choi Junseo," Minjun menggumam, membuat Yejin tergelak.

"Jangan sampai kau resign sebelum aku resign, Kim Minjun," candanya, "cuma kau satu-satunya orang di Cloud yang bisa membuatku tertawa."

 

***

 

"Itu dia Choi Junseo!"

Jia yang sedang mengupas jeruk, memutar kursinya. Ia hanya berdua di ruang rawat Hyunsoo sekarang. Mereka menyalakan televisi karena Jia sangat penasaran dengan hasil lemburan Yejin dan bosnya. 

"Konsep ulang tahunnya benar-benar keren. Tak ada having fun. Mereka membuat konsepnya dark dan mendalam. Yejin dan Minjun-hyung pandai memainkan simbol-simbol…"

Hyunsoo melirik Jia yang lurus menatap televisi. Sedikit aneh karena Jia sekarang justru tidak berkomentar soal Junseo. Padahal lelaki yang juga menyukainya itu sedang disorot penuh oleh kamera. Junseo lebih mirip pangeran daripada seorang raja. Hyunsoo sadar, gadis manapun—jika ia normal—seharusnya tak bisa menolak pesona sang leader UNICODE yang nyaris mematikan. 

"Dia benar-benar tampan, ya," Hyunsoo berkomentar. Ia ingin tahu reaksi Jia. Namun, ekspresi orang di sampingnya itu sama sekali tak mudah dibaca. "Apa kau setuju kalau dia sangat tampan, Jia?"

"Kalau dia jelek, Park-sajangnim tak akan meloloskannya debut," Jia tertawa kecil. Ia menyodorkan jeruk pada Hyunsoo tapi pemuda itu masih sibuk mengamati. "Oh, ayolah makan ini. Jangan lama-lama sakitnya nanti aku makin repot."

Hyunsoo menurut dan mengunyah pelan-pelan. Jeruk ini rasanya hambar, mungkin karena suasana hatinya langsung memburuk karena Choi Junseo sekarang jadi pusat perhatian. Layar televisi itu tak henti-hentinya menayangkan wajah si pemimpin UNICODE.

"Kalau kau mau pergi ke studio sekarang… sebaiknya tidak menunda waktu." Hyunsoo berkata pelan. Ia punya kepribadian tak enakan yang membuat siapapun, termasuk Jia, kadang harus dibuat bertanya-tanya. "Semua UNION ingin datang ke Cloud dan melihat penampilan UNICODE secara live, kau bisa datang dan berfoto dengan mereka setelah turun panggung. Mereka berempat tidak berdandan setampan itu setiap hari."

Jia memiringkan kepala. Ia tahu Hyunsoo banyak bicara kalau sedang kalut, tapi jujur saja Jia tak suka karena Hyunsoo terdengar seperti sedang mengusir dirinya. 

"Bagiku setiap hari semua member UNICODE tampan, karena mereka idolaku. Yang paling tampan untukku adalah Song Hajung dan aku selalu menang debat lawan siapa pun." Jia menjawab. Ia menahan diri tak mengajak Hyunsoo bertengkar karena cowok itu belum pulih betul. Nanti saja Jia kalau mau cari gara-gara. "Kalau kau, kau jarang terlihat tampan."

Itu namanya apa kalau bukan cari gara-gara? Hyunsoo menatap kesal tapi sejurus kemudian, ia mengusak rambut Jia dengan gemasnya. "Apalagi? Hina aku sepuasmu. Meskipun aku tak setampan mereka, tapi buktinya kau tetap di sini denganku."

"Itu dia," Jia mencubit pipi pemuda itu karena tak mau kalah. "Kau jelek saja aku mau. Apalagi kalau kau tampan seperti UNICODE."

"Aku akan makin tampan kalau sudah debut, lihat saja."

Hati Jia sedikit berjengit saat Hyunsoo mengatakan itu. Namun, seperti apapun Jia meragukan jika Hyunsoo akan bisa tetap menjadi Hyunsoo-nya setelah terkenal nanti, ia tetap harus mendukung karir pemuda itu. 

"Aku tahu kau akan semakin tampan," ucapnya pelan, "kalau saat itu datang, aku minta jangan lupakan aku, ya…"

"Mana mungkin," Hyunsoo menarik leher Jia mendekat untuk mengecup bibirnya. "Lagipula, menjadi trainee Cloud adalah dorongan orang tuaku. Yang kuinginkan sebenarnya adalah jadi dosen… Jangan bilang siapa-siapa ya, Jia. Aku takut dibilang durhaka, hahaha."

 

***

 

"Youngbin! Siapa dia!?"

Hyemi hampir menutup telinga tapi Youngbin buru-buru menurukan tangannya agar ibunya tak tersinggung. "Hai, Eomma. Kenalkan ini teman Youngbin, namanya Kang Hyemi."

"Oh! Hyemi yang selalu kau lukis setiap hari? Astaga! Ternyata anak Eomma pintar juga! Kalau memilih calon istri sangat jago! Kau cantik sekali, Hyemi!"

Lukis? Hyemi menoleh dan menatap Youngbin penuh selidik, "Kau bisa melukis, Youngbin?"

"Sedikit saja," Youngbin berkata cepat, "cuma iseng."

"Iya, cuma iseng sampai hasil lukisannya puluhan. Dia melukismu setiap hari." Eomma Youngbin yang sangat ramah dan ekstrovert, tertawa menggoda. Wajahnya yang masih sangat cantik di usia setengah abad, membuat Hyemi yakin jika wajah tampan Youngbin diturunkan dari ibunya. "Naiklah ke atas, Hyemi. Youngbin, tunjukkan studiomu pada si cantik ini!"

Wow, bahkan dia punya studio! Hyemi sampai harus menarik Youngbin karena pemuda itu masih bergeming. "Jangan, Hyemi… aku malu. Nanti kau bisa tertawa…"

"Kenapa aku harus tertawa? Aku juga suka menggambar. Nanti kita bisa kolaborasi!"

"Jangan, Hyemi…"

Youngbin masih merengek tapi langkahnya tak bisa menahan antusiasme Hyemi. Rumah Youngbin sangat luas, mereka perlu menyusuri selasar panjang sebelum sampai ke studio yang dimaksud oleh sang nyonya rumah. Saat Youngbin membuka pintu, tak butuh waktu lama untuk Hyemi berdecak kagum. Ruangan studio itu dipenuhi oleh lukisan wajahnya.

"Youngbin… ini…"

"Tolong jangan dikomentari!" Youngbin menutup telinga. "Iya, aku tergila-gila padamu! Iya! Tolong jangan dihujat! Kau bukan netizen dan aku bukan influencer!"

"Hahaha, aku bahkan belum bicara apapun," Hyemi meraih selembar kertas dengan sketsa pensil di atas meja kayu. Di situ, ia sedang bersama Yejin dan Jia, tertawa lepas sambil menghadapi makan siang mereka. "Ah, aku jadi kangen dua berandal ini."

Youngbin memandangnya sejenak, lalu membuka laci dan menarik sebuah buku tipis. "Kau bisa bawa buku ini pulang," Youngbin berkata, "aku menggambarnya selagi menyesali kata-kata tidak sopanku tentangmu di lift waktu itu."

Hyemi menerimanya dengan mata berbinar. Youngbin menggambar berlembar-lembar. Dari mulai sosok Hyemi yang berdiri dengan wajah datar di lift—sedang mendengarkan dirinya sedang digunjing, hingga sosok Youngbin yang sedang merengek dengan Seojoon memandang kasihan padanya.

Ah, semua ini seperti baru kemarin saja. Padahal sudah terlalu banyak yang mereka lalui bersama Park Jihoo dan orang-orang lainnya di Cloud Entertainment. Hyemi jadi sedih karena ia telah memutuskan akan mengirimkan surat resign segera. Namun, ia bukan orang yang mudah goyah oleh keraguan, sehingga se-melankolis apapun perasaannya sekarang, ia akan tetap mengajukan pengunduran diri.

"Kalau kau masih ingin di Cloud, aku tidak apa-apa," seakan tahu isi pikirannya, Youngbin berkata hati-hati agar tak menyinggung perasaan Hyemi. "Kau tak perlu memikirkan aku. Kalau memang kau adalah jodohku, kau tidak mungkin direbut Jihoo meskipun kalian akan tetap satu kantor…"

"Aku ingin resign bukan semata-mata karena Jihoo," balas Hyemi, "juga bukan semata-mata karena ingin menjaga perasaanmu, Youngbin. Kau jangan terlalu percaya diri begitu."

"B-bukan itu maksudku," Youngbin buru-buru meralat, "aku hanya tak mau berhutang budi."

"Berhutang budi karena aku menjauhi Jihoo?" tanya Hyemi memastikan. "Kalaupun aku menjauhi Jihoo, itu bukan gara-gara kau, tapi karena aku mau. Jadi jangan salah sangka."

"Kalau bukan karena itu… kenapa kau ingin resign? Maaf, tapi kupikir kau ingin pergi dari kantor itu karena kau tidak nyaman kalau setiap hari harus bertemu dia."

"Aku ingin resign karena tak suka atmosfer di Cloud Entertainment," Hyemi mengerling, "mereka sangat suka bergunjing. Aku senang karena ada Yejin dan Jia, tapi kalau mereka benar-benar temanku, seharusnya di mana pun aku, kami akan tetap dekat. Aku tak perlu bersama mereka setiap hari untuk tetap menjadi teman mereka. Aku percaya Yejin dan Jia sudah cukup dewasa untuk mengatur waktu setelah kami berpisah."

Youngbin perlu waktu untuk mencerna kata-kata Hyemi. Pikiran sosok itu sangat logis hingga kadang Youngbin tak percaya orang seperti Hyemi bisa tertarik pada orang sepertinya.

"Aku menyayangimu, Youngbin. Aku ingin kita tetap dekat, di mana pun aku berada setelah ini." Hyemi meraih jemari pemuda itu, menautkannya dengan jemarinya sendiri. "Jadilah pacar yang baik meskipun aku tidak setiap hari bertemu denganmu."

"Memangnya kau mau ke mana?" tanya Youngbin, "Kalau masih belum punya ide, sepertinya aku membutuhkan sekretaris penuh waktu…"

"Wow, benarkah? Tapi aku orang data! Mana mungkin jadi sekretaris!"

"Kalau kau mau, posisi apa saja pasti akan kucarikan," Youngbin berjanji sangat serius hingga Hyemi tertawa. "Kau mau jadi tukang parkir pun bisa kuberikan di kantor kami!"

"Sembarangan!" Hyemi memukul kepala Youngbin dengan buku di tangannya. "Aku jadi tukang parkir hatimu saja bagaimana?"

"Sepertinya kalau soal itu aku bukan sekadar parkir…," Youngbin sunyum-senyum. Telunjuknya menujuk dada kiri Hyemi, tempat jantunganya berdetak, "Aku ini menetap selamanya saja di sini, kalau boleh."

"Tergantung kau bisa memberiku pekerjaan dengan gaji tinggi atau tidak." Hyemi menyeringai, kemudian kembali terkikik melihat Youngbin terkejut. "Aku hanya bercanda, Youngbin. Kau seharusnya mulai terbiasa untuk membedakan kata-kata serius dengan sindiran sarkastis, kalau memang kau ingin hidup selamanya di sisiku."

EPILOG

 

Ini seperti dejavu.

Yejin memarkir mobilnya dengan posisi yang sedikit tersembunyi. Ia tak mau ada paparazzi yang berhasil memotretnya bersama Gunwoo. Mereka memang sudah resmi pacaran sekarang, dan Yejin pun dengan senang hati telah menandatangani surat pernyataan jika—sebagai pacar seorang idol—ia tak boleh blak-blakan mengumbar hubungan mereka.

Yejin juga tak diperbolehkan memeras Gunwoo jika member UNICODE itu suatu hari melakukan sesuatu yang merugikan hubungan mereka. Beberapa pasal di surat keramat itu bahkan sangat aneh hingga Yejin membacanya sambil tertawa-tawa.

"Lewat sini," Gunwoo menarik tangan Yejin dan menujukkan pintu belakang klub. Sejak dulu, ia dan ketiga temannya memang jarang masuk lewat depan. Gunwoo sudah sangat lihai bermain kucing-kucingan hingga berkencan dengan Yejin pun, ia terlihat sangat santai.

"Tak ada yang akan memotret. Cloud memberikan pengamanan ketat untuk klub ini karena jadi langganan kita berpesta."

Yejin mengangguk. Ia berjalan sedikit berjauhan dengan Gunwoo—sempat berpikir kalau ia seharusnya iri dengan pasangan lain yang bisa bergandengan kapan pun mereka mau—tapi lagi-lagi, sebagai pacar seorang idola, Yejin tak berhak menuntut hal itu. 

"Kau mau ambil minum? Sudah ramai di sini."

"Mereka selalu membuat malam perayaan dua minggu setelah ulang tahun Cloud, tapi ini malam perayaan pertamaku datang denganmu. Biasanya, aku selalu diam di pojokan dan menebak-nebak dengan gadis mana kau akan datang. Rasanya benar-benar tidak enak."

"Tenanglah, sekarang kan aku sudah jadi milikmu," Gunwoo mencolek pipinya. "Dari dulu sebenarnya, tapi kau selalu menghindar. Apa kau tidak merasa berdosa meninjuku di asrama waktu itu? Aku bahkan jadi tontonan kedua temanmu dan semua member…"

"Ya, dan sekarang tak ada yang akan menonton kita."

"Kata siapa," sergah Gunwoo, "itu temanmu yang disukai Junseo-hyung."

"Hah? Jia?"

Gunwoo menahan senyum saat Yejin bergegas menghambur ke arah Jia yang datang sambil memapah Hyunsoo. Pemuda ini memaksa mau ikut. Katanya, teman-teman sesama trainee terlalu banyak yang menanyakan bagaimana kabarnya. 

"Jia! Jia!" teriak Yejin. "Jia! Astaga! Kukira kau menghilang selamanya dari muka bumi ini gara-gara kawin lari dengan pria tampan ini!" Yejin berseru dan memeluknya. Jia yang dihampiri hanya tertawa, kemudian ia mengangguk pelan pada Gunwoo yang membuntuti di belakang Yejin.

"Dia selalu bercerita tentang kalian berdua. Katanya kalian berdua selalu malu-malu. Saranku, kalau memang sama-sama suka, jangan takut pada Junseo-hyung. Dia seorang pria sejati. Cepat atau lambat, dia pasti bisa mengendalikan perasaannya sendiri."

Hampir sama seperti Yejin, Gunwoo juga orang yang blak-blakan. Kadang pembicaraan mereka terdengar terlalu dalam dan sensitif, tapi Jia dan Hyunsoo bisa menerima karena merasa jika wejangan dadakan Gunwoo ada benarnya. 

"Sayang yah… tidak ada Hyemi," Jia tiba-tiba menggumam. "Kudengar dia sudah mengirimkan surat resign."

"Iya," Yejin mengangguk sedih, "dia juga cerita, tapi aku akan selalu mendukungnya."

"Sama," Jia setuju. "Oh, sepertinya kita tidak boleh terlalu lama berdiri di sini. Hyunsoo sedang dalam masa pemulihan setelah operasi usus buntu. Mungkin sebaiknya kita duduk agar dia bisa istirahat."

"Oh, benarkah?" Yejin menatap Hyunsoo yang jelas sekali berpura-pura kuat karena ingin menemani Jia datang ke pesta perayaan internal ini. "Kasihan sekali kau, anak muda. Ayo Gunwoo, Jia, kita cari tempat duduk."

Mereka menemukan sofa panjang di salah satu sudut klub. Tempatnya persis menghadap kolam renang, tempat dulu Jia pernah tercebur dan ditolong oleh Choi Junseo. 

"Kau kenapa, Jia?" Hyunsoo yang duduk di sebelahnya menatap Jia yang tiba-tiba melamun. Ia memang tak memilih Junseo—itu benar—tapi bagaimana pun, Jia takkan pernah lupa jika dirinya pernah punya cerita dengan pria itu. 

"Hei, hei. Daripada bengong, bagaimana kalau kita main truth or dare? Saat kami SMA, Yejin sangat suka memainkannya sampai suatu ketika dia terpaksa harus menembakku di depan kelas gara-gara memilih dare."

Jia dan Hyunsoo sama-sama terkejut. Sementara Yejin menatap Gunwoo yang baru saja menyelesaikan kalimatnya dengan cengiran jahil. "Kau ini… Dasar ember."

Gunwoo tak peduli Yejin mengoceh, ia mengambil sebotol minuman yang belum dibuka, lalu memutarnya di atas meja. Namun, belum sempat ia menujuk Hyunsoo sebagai pemain yang "kena", dua orang datang dan protes karena tidak diajak bermain.

"Hyemi!" Jia dan Yejin berteriak girang. Mereka memeluk Hyemi bersamaan, hingga Youngbin yang berdiri di sebelahnya harus sedikit menyingkir. "Astaga, terima kasih, Tuhan! Kau masih hidup ternyata!"

"Tenang, teman-teman! Tenang!" Hyemi melepaskan pelukan Yejin dan Jia. "Tuh, kan bajuku jadi lecek! Kalian ini… sebegitu kangennya apa sampai memelukku?"

"Kangen setengah tewas!" seru Yejin, "Kami mencarimu sampai ke kolong jembatan!"

"Mana ada aku di sana," ketus Hyemi, "eh, omong-omong, kalian bermain apa?"

"Mainan kesukaan Yejin," jawab Gunwoo, "ayo gabung. Kita ulangi dari awal."

Hyemi mengangguk riang dan buru-buru menarik Youngbin. Lelaki itu duduk di samping Hyunsoo yang sedari tadi tak lepas-lepasnya memandang Jia. Jatuh cinta itu kadang memang membuat fokus seseorang jadi berubah, menciptakan gravitasi tersendiri yang tak bisa diganggu oleh siapapun, oleh suasana macam apapun.

"Yes, Yejin kena!" Gunwoo yang memutar botol tertawa. "Truth or dare?"

Yejin sedikit trauma dengan dare, jadi, "Truth."

"Oke. Siapa yang mau memberi pertanyaan?" Gunwoo menawarkan.

"Aku!" Hyemi cepat mengangkat tangan. "Kapan Yejin akan menikah dengan Gunwoo?"

"Eeeh!?" Yejin terbeliak, "Pertanyaan macam apa itu?"

"Jawab sajalah!" desak Hyemi. "Di sini tidak ada sasaeng."

"K-kapan pun Gunwoo mau…," Yejin menjawab malu, "kami masih memikirkan UNION. Tapi kami pasti akan menikah jika nanti sudah saatnya."

"Cieee!" Tak ada satupun yang tak menggoda. Gunwoo mengusak rambut Yejin hingga muka kekasihnya semakin merah padam. 

"Sudah! Sudah! Lanjut lagi mainnya." Saat Gunwoo bersiap memutar botol kembali, tangan seorang lelaki menahannya.

"Hai, pengkhianat. Kami tidak diajak main? Beraninya kau melupakan teman-temanmu setelah punya pacar."

Yang berkata adalah Choi Junseo. Jihoo dan Hajung berdiri di belakangnya. Hyemi sedikit melirik dan menunduk saat menemukan Jihoo tersenyum hangat padanya. Ini terasa aneh tapi hati Hyemi merasa lega. Entah mengapa.

"Kami juga mau ikut, ya." Hajung duduk di samping Gunwoo, sementara Jihoo mengambil tempat di samping Youngbin. "Malam ini tidak ada lagi pertengkaran. Kita damai."

Mendengar kata "damai" tanpa sadar Hyunsoo menatap Junseo, dan si senior mengangguk ramah padanya, sebelum duduk di samping Hajung. Berhadapan dengan Jia yang berada di sisi Hyunsoo.

"Baiklah, kita mulai." Yejin membuyarkan suasana canggung yang berusaha dienyahkan sebisa mungkin, ia memutar botol dan menemukan ujungnya menujuk Youngbin.

"Astaga, kau kena, Youngbin!" Hyemi menepuk paha pacarnya. "Jangan bilang-bilang kalau kita sudah jadian, ya."

"Oh, jadi kalian sudah jadian?" Itu suara Jihoo. Suasana yang semula sudah cair, kini tegang seketika. "Selamat, ya. Aku ikut senang."

Namun, kata-kata Jihoo selanjutnya, membuat ekspresi Youngbin melunak, "Terima kasih."

Youngbin tidak memilih truth karena lebih nyaman dengan dare. Hajung memintanya berteriak lantang jika ia mencintai Hyemi, dan Youngbin malah berlari ke panggung, menyabotase mic pembawa acara untuk mengumumkan bahwa sekarang ia sudah punya seseorang yang begitu ia cinta. Hyemi hampir pingsan karena malu, untung Jia menenangkannya.

"Resiko punya pacar aneh," komentar Jia yang membuat Hyemi makin malu. Apalagi ia mendengar Jihoo ikut tertawa. Hyemi ingin menghilang begitu saja kalau bisa.

"Ya sudah, hentikan opera sabun ini," kata Gunwoo, "ayo kita lanjut main."

Kali ini, putaran botol menunjuk pada Choi Junseo. "Nah. Giliranmu, Hyung."

Junseo menghela napas. Jia takut-takut menatap lelaki itu karena bagaimana pun, cerita mereka yang pelik tidak mungkin semudah itu selesai. Junseo menenggak isi gelas wine yang baru diantarkan pelayan, kemudian berkata tanpa keraguan, "Dare."

"Oke, dare. Siapa yang mau menantang Junseo-hyung?" Gunwoo memutar matanya pada semua orang. "Mungkin Hyunsoo?" tawarnya sejurus kemudian. 

"Aku…," Hyunsoo tampak bingung. Separah apapun konflik di antara mereka, Junseo adalah public figure yang sangat ia hormati. Hyunsoo bahkan sempat terobsesi bisa menjadi seperti dirinya suatu hari nanti. "Mungkin Jia saja yang akan mewakiliku, Gunwoo-sunbaenim."

"Oh, tidak bisa!" Hajung menggoyangkan telunjuknya. "Ayo, jadi laki-laki jangan penakut."

Hyunsoo tak punya pilihan lain. Gunwoo, Youngbin, bahkan Yejin sama-sama mengangguk agar ia mau melakukan permainan ini dengan fair. "Ah, baiklah. Aku menantang Junseo-sunbaenim untuk…" Semua orang menunggu. "Untuk menyatakan cinta pada orang yang dia sukai."

Aduh, Nam Hyunsoo ini benar-benar tukang cari penyakit. Hyemi dan Yejin sudah menepuk kening masing-masing. Ia tahu Hyunsoo ini orangnya selfless, tak enakan, suka melihat orang lain senang… tapi seharusnya tidak begini juga caranya.

Hubungannya dan Jia baru saja membaik. Kalau nanti hancur lagi cuma gara-gara sepotong dare, yang ada Hyemi dan Yejin lagi yang harus siap jadi tempat sampah untuk menampung kegalauan Jia.

"Apa kau sedang menantangku untuk merebut pacarmu? Aku menelepon Jia tadi pagi untuk menanyakan kondisimu dan dia mengatakan kalau sekarang kalian sudah pacaran."

Kali ini Yejin dan Hyemi tercengang. Kurang ajar sekali Yoon Jia ini. Bagaimana mungkin Junseo bisa diberitahu duluan, sementara dua sahabat yang selalu menemaninya menghadapi kekejaman hidup, justru dianggap pihak luar yang layak tahu belakangan?

"Kurasa itu tidak ada hubungannya," jawab Hyunsoo, "ini hanya permainan. Lagipula aku tidak akan semudah itu melepaskan Jia… kecuali kalau dia mau dengan Sunbaenim."

"Apa sih kau ini!" Jia mencubit paha Hyunsoo. "Jangan bicara sembarangan!"

"Aduh, sakit, Jia…," Hyunsoo pura-pura mengaduh, "aku kan baru dioperasi…"

"Oh, iya. Maaf, maaf… Sakit, ya? Maafkan aku, ya."

Hyemi dan Yejin sampai harus melihat ke lain arah agar tak kelepasan tertawa. Jia benar-benar jinak di depan Hyunsoo. Padahal di depan Junseo atau siapa pun, ia selalu mengajak bertengkar. 

"Aku sebenarnya malas merusak hubungan orang. UNION yang cantik sangat banyak dan aku seharusnya tidak berharap pada pemberi harapan palsu seperti Jia… tapi kalau kau memang sedang ingin bermain-main denganku agar menggagalkan hubungan kalian, aku akan melakukannya dengan senang hati."

Kali ini Jia menatap galak pada Junseo, "Kau jangan macam-macam."

"Tak perlu kau peringatkan seperti itu, selama ini aku sudah macam-macam denganmu."

"Hyunsoo," Jia merasa harus buru-buru menjelaskan, "jangan dengarkan dia!"

"Aku akan mendengarkannya," tapi Hyunsoo tersenyum. "Silakan lakukan dare-nya, Junseo-sunbaenim. Kau bebas mengatakan cinta pada siapa saja."

Junseo menenggak minumannya sekali lagi, lalu berkata, "Kalau begitu aku akan melakukan pengakuan pada Jia. Aku menyukaimu. Aku jatuh cinta padamu. Aku ingin menjadi pacarmu. Aku ingin kau jadi milikku. Aku tidak suka kau pacaran dengan orang lain, dengan Hyunsoo atau dengan siapapun."

Jia merasa tidak enak. "Cukup. Ini cukup…"

"Biarkan Junseo-sunbaenim selesai bicara dulu, Jia," tegur Hyunsoo, "hargai dia."

Akhirnya Jia menurut meskipun ia tetap kesal pada Junseo. "Ya sudah, lanjutkan."

"Aku tidak suka pada hubungan kalian, bukan berarti aku melarang kalian pacaran," Junseo memandang Jia tanpa kedip, sementara yang sedang jadi sasaran pengakuan, beberapa kali mendengkus karena kesal dan salah tingkah. "Aku juga tahu, dengan semua risiko yang mengancam di belakang, seharusnya aku tidak cukup egois untuk memaksamu jadi pacarku. Aku tidak tahan melihat kau diteror sasaeng dan semacamnya. Mungkin mental dan perasaanku belum sekuat Gunwoo yang memang sudah yakin ingin menjalani masa depannya dengan Yejin…"

Saat mendengar itu, Gunwoo merangkul Junseo dan mengusap pundak leader-nya.

"Jia, kuakui kau sempat membuatku gila, tapi aku tidak boleh egois. UNICODE sedang dilihat oleh banyak orang sekarang. Kami adalah grup yang sangat populer di Korea. Tidak dewasa rasanya kalau aku memaksakan diri mencintaimu kalau kerugian yang akan kau terima jauh lebih besar dibandingkan rasa bahagia. Untuk kali ini, aku melepaskanmu dan kau boleh berpacaran dengan siapa saja… Aku tidak akan mengganggu hubungan kalian."

Tangan Jia tanpa sadar terkepal. Ia tahu Junseo adalah lelaki yang impulsif, tapi tidak mungkin seorang Celine Park yang jenius dan berpengalaman begitu ceroboh hingga menempatkan orang yang tidak bijaksana di posisi sekrusial leader boygroup. Pasti ada banyak kualitas tersembunyi dalam diri Junseo yang belum Jia ketahui. Diam-diam ia berjanji akan semakin menghargai pemuda itu dan grupnya sebagai UNION. 

"Dicintai oleh idolaku awalnya seperti kejatuhan bintang…," Jia mengusap pelan air mata yang jatuh memalukan di pipinya. "Bayangkan saja, tiba-tiba lelaki yang fotonya aku share setiap hari, ku-retweet, kusimpan dalam galeri ponselku lebih sering dibandingkan fotoku sendiri, tiba-tiba datang dan mengatakan kalau dia mencintaiku. Itu sampai sekarang pun masih sulit kupercaya… Aku tak yakin kau benar-benar Junseo yang itu."

"Masih ada waktu untuk belok arah kalau kau mau," Youngbin hanya bercanda tapi Hyemi menyodok dadanya. "Yah, maaf, sayang… kan aku tidak mau melihat Jia menangis."

"Aku memang bisa saja belok arah, tapi seperti yang Junseo bilang… kalau kerugiannya lebih banyak daripada rasa bahagia yang akan kami dapatkan, untuk apa memaksakan diri?" Jia memaksakan senyum, dan senyuman tipisnya itu dibalas oleh Junseo.

"Kau akan selalu ada di hatiku, Junseo. Aku akan tetap membeli album dan menonton konser kalian. Tapi sebagaimana bintang lebih indah kalau dilihat dari jauh, kurasa konsep itu jugalah yang harus kuterapkan padamu. Kalau aku memaksakan diri menggenggam bintang yang sangat cemerlang, aku takut jari-jariku melepuh atau terbakar."

Cukup lama untuk mereka sadar dari perasaan terhanyut karena omongan panjang Jia. Yang paling cepat memberikan tepuk tangan adalah Hajung dan Youngbin. Mereka tipe-tipe pemuda jujur yang akan dengan mudah memuji tanpa punya niat terselubung.

"Aku juga akan selalu menyimpanmu dalam hatiku," ucap Junseo, "bagaimana pun, kau satu-satunya orang yang membuatku tergerak menggeser dua lagu ciptaan Gunwoo untuk diganti dengan lagu curahan hatiku tentangmu. Sayang, proposalku ditolak karena dibilang konsepnya terlalu 'gelap' untuk album kami yang sedikit lebih manis di comeback ini."

"Dia memang kurang ajar," Gunwoo menyeringai, "aku hampir tidak mau bicara padanya. Produser dan semua orang sudah setuju, tapi tiba-tiba dia minta ganti! Sialan, tidak?"

"Ya, begitulah." Junseo tersenyum lebar hingga lesung pipinya terlihat. "Intinya, aku mundur bukan berarti aku menyerah. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi kalau popularitas UNICODE sudah mereda, mungkin aku akan kembali berusaha merebut Jia dari Hyunsoo."

"Kujamin itu takkan terjadi, Sunbaenim," Hyunsoo merangkul pundak Jia. "Karena lima tahun lagi dia akan menikah denganku."

"Ah, omong kosong," Jihoo menyahut, "kau setahun lagi akan debut dan nasibmu akan sama saja dengan Junseo-hyung. Terpaksa meninggalkan kesayangan demi penggemar. Ya, kan?"

"Aku tidak yakin mau debut," sahut Hyunsoo, "kubilang pada orang tuaku, aku mau karir yang lain. Aku sedang memikirkan untuk mengundurkan diri dari Cloud Entertainment."

"Apa kau serius?" Jia tak percaya, "Tapi Hyunsoo, kau sudah sejauh ini."

"Itu baru pikiranku saja," balas Hyunsoo, "tapi apapun yang terjadi, intinya kau adalah pacarku dan apapun statusku, jangan sampai kau terluka gara-gara aku. Aku serius soal itu."

"Uuuh… manisnya. Setelah ini pasti Jia langsung menjerit di kamar mandi." Yejin dan Hyemi menyeru bersamaan. Muka Jia sudah merah padam sekarang. 

"Baiklah, ayo lanjut putaran terakhir. Semoga Yejin yang dapat," Gunwoo menatap pacarnya. "Aku juga mau kau menyatakan cinta padaku seperti mereka."

Yejin mengedikkan bahu. Botol kosong mulai berputar di meja. Doa Gunwoo sepertinya terkabul karena botol itu benar-benar menunjuk Yejin.

"Kau harus pilih truth," desak Gunwoo. "Silakan yang mau memberi pertanyaan. Aku tak mau menyabotase pacarku."

"Aku! Aku!" Hajung tunjuk jari. "Ada gosip baru tidak di Cloud? Kami sangat sibuk bekerja, siapa tahu ada berita menggemparkan yang kau tahu. Kau kan sering mengobrol dengan Sajangnim. Kata orang-orang di studio, Yejin itu salah satu anak kesayangannya."

"Ehm," telunjuk Yejin menyangga dagu, "ada, sih. Tapi boleh dibilang atau tidak, ya?"

"Boleh, dong!" seru Hyemi, "Apa? Apa? Apa?" 

Yejin tersenyum penuh arti, "Kemarin aku dan bos Jia mendengar pengakuan mengejutkan dari Celine Park tentang Choi Junseo," ekspresi Yejin jahil maksimal.

"Wih, apa tuh?" Hajung maju, ingin mendengarkan lebih jelas. "Gaji Junseo-hyung lebih besar dari kami bertiga?" cecarnya.

"Bukan soal itu," Yejin menggeleng, menatap Junseo yang tak kalah penasaran. "Kata Park-sajangnim, dia menyukai Choi Junseo! Jangan bilang-bilang ya nanti dikiranya aku tukang gosip!"

"Ya memang kau tukang gosip," celetuk Hyemi. "Tapi memangnya dia belum menikah?"

"Belum," Yejin menggeleng, "usianya paling baru beberapa tahun di atasku. Jabatannya tinggi, tapi dia belum berkeluarga. Aku sampai berpikir, untuk Jia membuat Junseo patah hati… ini sih namanya tidak bisa mendapatkan brankas uang, jadinya malah keruntuhan gunung emas."

"Kenapa perumpamaanmu terdengar sangat matre?" cibir Gunwoo.

"Ya kan kita pacaran biar aku bisa menguras hartamu," Yejin menjawab cepat. Ia bisa mendengar teman-temannya tertawa sebelum kembali menggoda Junseo.

"Paling kalian cuma beda dua tahun, Hyung," goda Jihoo, "lumayan dapat nuna."

"Benar! Lagipula dia sangat cantik. Kalau Hyemi, Jia, dan Yejin digabung jadi satu, belum tentu pesona mereka bisa menyaingi Sajangnim!" Yang bicara ini adalah Youngbin.

"Ya namanya juga beda level pendapatan," bahkan Hyunsoo ikut berkomentar, "Baiklah. Aku akan bekerja keras supaya Jia bisa datang ke klinik kecantikan yang sama dengan Park-sajangnim."

Jia tersenyum, lalu menoleh pada Junseo yang hanya bisa geleng-geleng kepala karena kegilaan teman-temannya. "Kalau kau sendiri bagaimana? Suka padanya juga, kan?"

"Aku sukanya padamu," sahut Junseo cepat. Jia sudah terbeliak tapi Junseo buru-buru menambahi kalimatnya, "Tapi benar kata dia"—Junseo menunjuk Youngbin—"Kalau dilihat-lihat, Park-sajangnim jauh lebih cantik dari kalian bertiga, jadi bolehlah kupertimbangkan."

Kalimat Junseo berbuah lemparan kacang dari Hyemi dan gebukan tas tangan dari Yejin. 

Jia ikut-ikutan dengan mencipratkan air ke muka Junseo. 

Para cowok yang lain—Hyunsoo, Jihoo, Hajung, Gunwoo, dan Youngbin—hanya bisa mengompori sambil sesekali menertawakan.

Malam ini sungguh berbeda dari malam-malam yang lain. Tak ada pertengkaran. Tak ada persaingan. Tak ada permusuhan. Acara truth or dare itu berakhir saat Gunwoo membuka sampanye, meminta semua orang mengangkat gelas mereka setinggi mungkin.

 

 

"Untuk persahabatan kita yang dimulai lagi malam ini," ucap Jia sepenuh hati. "Bersulang!"*

Tamat

TAMAT

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya CLOUD UNIVERSE (BAB 28-30)
0
0
Hyunsoo masuk rumah sakit. Junseo mengira semua itu terjadi gara-gara dirinya. Ia begitu panik sampai meninggalkan gladi bersih acara. Jia yang harus bekerja keras bersama tim untuk mempersiapkan ulang tahun Cloud Entertainment yang fenomenal, akhirnya punya kesempatan untuk menjenguk pemuda yang dicintainya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan