3145 mdpl

16
1
Deskripsi

Ketinggian Gunung Merbabu yang membawa River bertemu dengan Genta, kini justru mendorong paksa dirinya jatuh ke dasar jurang. Melebur dalam rasa sakit yang harus dia tanggung sendiri. Jatuh hati pada sosok Genta memang bukan kesalahan. Yang salah mungkin karena River jatuh terlalu dalam hingga sulit menemukan jalan keluar.

Terlebih ketika River mengetahui apa yang Genta sembunyikan darinya.

Ini free. Tapi jangan lupa reviewnya. Itu sangat berarti buat aku. Terimakasih. 

J

Senja mulai menukik turun di sebelah barat, perlahan sinarnya digantikan gelap. Meminta sang mentari untuk segera beristirahat. Dan kegelapan mengambil alih tugasnya. River, suka senja. Dia selalu menantikan datangnya senja setiap kali dia ada di ketinggian tertentu di gunung yang dia daki, seperti saat ini.

Namun, kali ini berbeda. River lebih memilih untuk memohon dengan sangat pada Tuhan— agar mentari tetap pada posisinya dan kegelapan mengalah untuk hari ini saja. Sebab, dirinya tengah dalam satu masalah di pendakiannya kali ini.

Tepatnya di Gunung Merbabu, yang memiliki ketinggian 3145 meter di atas permukaan laut.

Awalnya River meminta pada seluruh rombongannya untuk meninggalkannya. Karena, River mau menikmati pendakian yang sudah dia nanti enam bulan belakangan. Salahkan pekerjaannya dan liburnya yang hanya sehari dalam seminggu itu. River jadi tidak bisa menyisihkan waktu untuk mendaki setelah setahun lalu pendakian terakhirnya di gunung Semeru.

Sayangnya niat River untuk menikmati pendakian yang ia idamkan ini justru menjadikan boomerang untuk dirinya sendiri. River yang terlalu senang dengan matanya yang hilir mudik menikmati keindahan sekitar tidak sengaja tersandung. Tubuhnya yang tidak seimbang langsung membuatnya jatuh dan terguling ke bawah sejauh dua meter sampai tubuhnya terhenti karena menabrak pohon besar. Sayangnya bukan hanya tubuhnya saja yang terasa sakit. Kaki kanannya juga tidak bisa ia gerakkan. Mungkin terkilir. Rasanya ngilu. Saat dia merasa hanya itu yang membuatnya harus terkapar. Kenyataan lain menyambutnya, tepat saat tangan River terulur menyentuh betis kanannya yang menjadi sumber nyeri. Ada darah disana. Banyak. Kemungkinan tertusuk ranting pohon besar yang sedikit tajam saat tubuhnya berguling. Hal ini jelas berhasil membuatnya dalam masalah.

Merbabu yang terkenal gersang ini, tetaplah dataran tinggi yang memiliki suhu rendah di waktu tertentu. Contohnya, saat menjelang malam. Walaupun jaket tebal sudah melindunginya, suhu dibawah sepuluh derajat dengan luka terbuka serta sakit di tubuhnya karena menabrak batang pohon besar dan kakinya yang sulit digerakkan adalah masalah yang cukup serius untuknya.

"Ini nggak ada yang nanjak atau turun, ya?” River berbaring di tanah yang ditumbuhi sedikit rumput. Tangannya sesekali mencengram batang pohon di sampingnya guna menyalurkan sebagian sakit di beberapa titik tubuhnya yang sesekali berdenyut hebat. Kedua netranya menatap kosong langit senja dengan air mata yang sesekali jatuh dari sudut matanya saat menyadari— apa mungkin dia bisa kuat untuk beberapa saat lagi? “Sakit banget..." River masih tetap berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Ditengah rasa sakit dan dingin yang mulai mengisi, pening di kepalanya juga semakin terasa, mungkin ini juga karna benturan di kepalanya yang River tidak ketahui ketika berguling jauh ke bawah. "River lu nggak boleh lemah! Lu harus kuat!" nyatanya di kondisinya yang tidak memungkinkan, River tengah berusaha membangun kekuatan di dalam dirinya. Memberikan semangat pada dirinya sendiri. Walaupun getar dan lemas yang dia rasa semakin membuatnya takut.

Kepalanya kembali berdenyut mengerikan. Kedua netranya juga memaksanya untuk memejam. River masih ingin mencoba kuat dalam diamnya tapi tubuhnya yang terasa ringan, seakan-akan mengabaikan kekuatan yang dirinya coba salurkan. Hingga di detik kesadaran river yang mulai terenggut, rungunya terasa berdengung saat menangkap suara asing tidak jauh dari tempatnya berada. Bukannya River mendadak tuli, tapi mungkin saja ini pengaruh kesadarannya yang mulai lemah.

River bahkan dapat merasakan ada hangat yang menyelimuti tubuhnya dan sentuhan di kedua pipinya. Tapi sayangnya River sulit untuk membuka matanya. Lemah sekali. Sial.

"Hei, kalo lu denger gue, anggukin kepala! Jangan tidur dulu! Sadar! Lu harus sadar!" Itu adalah ucapan terjelas yang River tangkap setelah dengung sebelumnya menguasai indera pendengarannya. Di sisa tenaga yang River miliki, ia dengan cepat menganggukkan kepalanya. Persis seperti yang pria itu perintahkan.

Oh Iya itu suara dari seorang pria.

"Ke bawah aja ya! Gua bawa lu ke bawah. Lagian, lu nggak akan bisa ke atas, oksigen semakin tipis juga di sini. Gua gendong! Ke tenda gua aja, oke? Ada di pos empat," kata seorang pria yang kini menopang tubuh River.

Dia berbicara begitu karena tangan River yang lemah terlihat bergerak mau mengambil Trakking Pole.

Di batas kesadaran River yang jauh dari kata baik, kini dia merasa tubuhnya ringan seperti terbang di udara. Sepertinya dia sedang digendong turun oleh pria yang menolongnya. Hanya itu yang River ingat. Karena setelahnya semua gelap dan hening.


River pingsan.

****

Beruntunglah Tuhan masih berbaik hati padanya. Entah amal kebaikan apa yang pernah River perbuat. Yang jelas dia bersyukur bisa selamat dari maut. Karena, saat ini River sedang menikmati minumannya. Setelah setengah jam ia tergeletak pingsan di dalam tenda pria asing. Asing, ya? Sayangnya jika River coba kembali mengingat-ingat. Sepertinya pria yang memberikannya minuman jahe hangat berikut yang menolongnya itu, terlihat tidak begitu asing di penglihatannya dan ingatannya.

Panjang umur.

Pria itu datang.

"Lu, eh maksudnya, kamu, kerja di PT. Hugo bukan sih? Mukanya kayak nggak asing." Tanya River saat melihat pria itu datang kembali ke tenda dan terlihat sibuk mengeluarkan barang-barang dari tasnya.


Giliran pria itu yang menoleh ke arah River. Ia berpikir sejenak sambari memindai wajah River yang masih terlihat pucat— sebelum mengangguk, membenarkan apa yang River katakan tadi.

"Ah, berarti bener. Gua pernah liat lu, kayaknya lu dari divisi produksi bukan, sih? Pindahan dari cabang Bandung?"

"Ngomongnya udah normal berarti udah enak dong?" tanya pria itu yang kini sedang sibuk membuka kasur lipatnya. "Iya, gua pindahan. Lo tahu gua? Ya, emang sih gua paling menonjol dari orang-orang kantor. Secara gua paling ganteng di sana.”

Menyesal rasanya River berusha mengakrabkan diri pada pria yang sudah menolongnya.

Tapi gaboleh gitu.

Dia yang udah selametin lu River!

"Btw, boleh nggak gua numpang di tenda lu dulu? Semalam aja. Kayaknya badan gua masih lemes banget. Dingin. Anginnya juga besar banget ini dari tadi, gua nggak akan kuat kalau harus membangun tenda." River sedikit menggerakkan kakinya yang dibalut perban. Masih ngilu tapi sedikit membaik. Walaupun punggung belakangnya masih sangat sakit. Haduuuh ini nanti kerja gimana? Masa ijin? Potong gaji dong?

"Bilang aja lu mau diangetin sama gua.” Pria itu menoleh ke arah River yang tengah sibuk memindai luka kakinya. “Nggak apa-apa sih, boleh saja. Asal angetin gua balik. Biar sama-sama enak." Pria itu tersenyum sangat manis sebelum menoleh ke arah lain. Iya, manis. River yang awalnya menolak terpesona, kini hanya bisa diam dan memperhatikan gerak-gerik pria itu dalam diam. "Lu nggak bawa kantong tidur? Kalo nggak bawa, sini sama gua aja. Biar angetnya ekstra, lu hampir kena hipotermia tadi." Genta masuk ke dalam kantung tidurnya. “Maaf sejam lalu sedikit kurang ajar. Habis gua udah buntu. Temen gua juga masih pada di atas. Gua gabawa emergency blanket. Air hangat gua juga dikit lagi. Gabisa buat kompres. Jadi gua peluk—“

"G—gapapa! Udah gausah dibahas. Makasih juga udah tolong gua.” Entah kenapa pembahasan itu sedikit membuatnya salah tingkah. “Oh iya, kantung tidur gua bawa kok! Tidur aja duluan. Gua nanti.” River memilih untuk menarik tasnya. Berusaha mengambil kantung tidurnya walaupun sedikit kesulitan. Sebenarnya River sudah memakai kantung tidur. Tapi yang saat ini dia pakai sedikit basah. Tadi ketumpahan teh. Dia harus mengganti. Takut-takut kena hipo lagi karena kantung tidur yang dia pakai basah di udara yang dingin.


“Sini gua bantu,” kata pria itu yang langsung menghampiri River. Membantu secara perlahan agar tidak membuat pergerakan yang menyakiti luka. “Gausah jaim. Minta tolong aja! Kalau masih balem aja tuh mulut. Lo yang bakalan kena masalah.” Pantas terkenal di kantornya. Terrnyata memang baik. Anaknya manis dan ramah. "Lu sendirian aja di tenda?" tanya River.

"Tadinya sama temen gua, tapi dia ngalah."

Baik juga. Oke, anggap saja ini satu keberuntungan setelah dia mendapat kesialan. Jatuh, sakit, kedinginan dan tidak bisa sampai ke puncak Merbabu. Hal yang dia nanti-nanti dalam kesehariannya sebagai budak korporat.

"Makasih ya, udah mau nolongin gua. Makasih juga—"

"Sudah mau direpotin? Iya, sama-sama," potong pria itu yang sedang memejam di kantung tidurnya. Mungkin menunggu kantuk. "Sudah, tidur sana! Kalau masih mau ngobrol, gua mau minta imbalan. Lumayan 'kan, mana lagi dingin-dinginnya, nih."

Dan saat itu juga River membuang wajahnya ke arah lain. Malam ini, lelah yang menghajar dan jarak yang mereka tetapkan, membawa mereka pada kantuk. Sampai saat pagi menjelang, River memilih pulang dengan pria yang masih menaruh peduli untuk membantunya pulang. Jangan lupa, mereka satu kantor, satu kota. Jadi, bukan hal sulit untuk mereka pulang bersama.

****


Oh iya, sampai lupa. Namanya Genta.

Itu nama dari pria yang menolongnya di gunung Merbabu beberapa Minggu lalu dan pria yang nyatanya adalah rekan kerjanya di kantor.

Pertemuan mereka sejujurnya membuahkan hasil, mereka menjadi dekat. River yang saat jam istirahat selalu duduk sendiri di cafetaria kantor, kini ada Genta yang mengisi kursi sebelahnya. Walaupun sebenarnya River bukan si introvert yang tidak mau bergaul. Ia memang sering menikmati waktunya saat istirahat. Menurut River, waktu istirahat itu sakral. Makan siang yang memiliki batas waktu, harus dinikmati dengan baik.


Tapi semuanya berubah saat Genta mulai memasuki hari-harinya, termasuk jam istirahatnya juga. River bisa saja merasa jenuh atau hanya mengaduk makan siangnya jika Genta tidak ada di dekatnya. Mengeluarkan berbagai macam celoteh dari mulai keyboardnya yang suka ngadat atau sesimple ‘kesal karena kakinya gampang kesemutan’.

"Nih, caramel macchiato-nya Nona River." Genta menaruh gelas berembun itu di hadapan River yang tengah mengunyah makan siangnya. "Lihat saja kalo nanti gua menang. Gua mintanya lu beres-beres apartemen gua! Apaan seminggu ini traktirnya makan sama minuman mahal terus. Rugi bandar!" cicit Genta di sebelahnya. Sambil mencebik kesal saat River justru memberikan senyum kemenangan disela-sela kegiatan mengunyah.

Sebenarnya ada beberapa kata yang tidak terdengar jelas saat ini, sebab Genta sedang memakan kebab. Pria ini memang sering mengomel. Walaupun begitu, River tidak pernah absen untuk mengembangkan senyumnya. Karena, mendengar Genta yang masih saja kesal.
Tapi senyum River perlahan padam. Ketika isi kepalanya memutar kembali ucapan temannya beberapa hari lalu. Dia, Raya. Pembicaraan yang mampu mengobrak-abrik seluruh isi pikirannya, mencari jawaban akan pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti. Karena, dirinya sendiri pun tidak tahu harus menjawab apa.

"Lu tuh, belom terlalu kenal sama dia. Jangan terlalu ngebebasin dia buat ambil seluruh kontrol hidup dan badan lu begitu! Masa iya, tiap hari lu sama dia terus, sampe sama temen aja lu ga ada waktu. Ditambah nih…" Raya menekan tanda yang Genta beri di lehernya. “Bisa-busanya lu mau dipake sama dia. Status saja belum ada."

"Hey! Kok malah bengong, mikirin apa sih? Kesambet loh!" protes Genta saat mengetahui jika makanan milik River sejak beberapa menit lalu hanya diaduk-aduk saja.

Namun River memilih abai. Kepalanya terlanjur pening karena berbagai pertanyaan yang tiba-tiba saja memenuhi kepalanya. Salah satunya ucapan temannya. Sekeras apapun River berusaha abai. Pertanyaan itu akan tetap menyerangnya. Apalagi di waktu seperti ini. Saat Genta menepis rumor yang mencekik keduanya. Karena temannya mengejeknya yang selalu makan siang bersama River. ‘Yaelah, emang kalau makan berdua harus pacaran! Ngaco aja lu Za. Udah sana pergi!’
Benar juga. Tapi status apa yang tepat jika keduanya juga sering berbagi hangat di atas ranjang? Siapa sebenarnya River di hidup Genta?

"Gua kayaknya banyak yang belum diurus Ta, gua masuk dulu, ya?" River tidak mau meneruskan lamunannya. Dia tidak tahan. Mau ke kamar mandi. Mau menangis dulu sebelum masuk. Tapi sayangnya tangan River dicekal oleh Genta.

"Ada apa sih? Ada yang ganggu pikiran lu?" tanya Genta pada River yang bahkan tidak melihat ke arah Genta yang sedang mengajaknya berbicara.

"Nggak, gua cuma pusing sedikit. Terus, mau ada yang dikerjain juga. Takut mepet deadline. Nggak enak." River sebenarnya tidak bohong secara garis besarnya. Deadline itu memang ada, namun ia juga mau menenangkan pikirannya. Ia mencoba mencari jalan keluar, atau membiarkan hubungan mereka seperti biasanya. Bingung.

"Oke, nanti pulang ke apartemen gua ya? Gua puk-puk deh nanti biar tenang, biar enakan, atau mau dipijitin? Lu suka ‘kan, kalau gua pijitin? Jangan kayak gini." kata Genta yang kemudian sigap menghadang jalan River. Karena River mencoba pergi. "River?"

"Iya Ta, iya. Gua ke apartemen lu. Gua mau minum obat dulu." Jawab River yang memilih menunduk.

***

Pagi ini River terbangun di atas ranjang milik Genta. Kedua netra kembarnya kembali menemukan presensi Genta yang masih terlelap. Nafasnya terdengar teratur. Satu lengannya melingkar posesif ada pinggang telanjangnya. Sesekali menggeliat untuk mencari hangat. Itu karena kedua tubuh mereka masih belum mengenakan satu helai benangpun. Hanya selimut putih yang menutupi tubuh keduanya lah yang mereka miliki. Dalam posisi ini River malah tersenyum getir. Persetan dengan kekhawatirannya dan kemungkinan buruk di antara mereka. Disini River memilih untuk egois akan Gebtanya. River hanya mau Genta.

Selama mereka bersama, Genta juga miliknya. Sama seperti yang selalu Genta ucapkan, River milik Genta.

Sementara pikiran River berkecamuk kesana-kemari. Genta masih enggan membuka matanya. Deru nafasnya yang teratur masih bisa River dengar sangat jelas di jarak yang tidak berbatas seperti beberapa waktu lalu. Genta terlihat kelelahan, karena setelah mereka 'bermain-main,' Genta pergi ke ruang kerjanya. Bisa River tebak, Genta pasti belum tidur lebih dari empat jam. Pagi ini, Genta sudah harus pergi, katanya ada perlu dan rencananya besok ia akan pergi menanjak. Kembali meninggalkannya.

"Gen, bangun. Sudah siang."

Bukannya bangun, Genta lebih memilih merengkuh tubuh River. Memeluk wanitanya. Mempererat dekapnya. "Gua mau begini dulu."

River tidak mau kalah, dia juga semakin merapat. "Gua juga mau terus begini. Kita bakalan sama-sama terus 'kan? Lu nggak akan tinggalin gua ‘kan, Ta?” Cukup orang tua gua yang pergi, lu jangan.

Sayangnya Genta memilih bungkam. Walaupun kepalanya mengangguk samar. Setelahnya Gentar bermonolog sendiri di dalam hatinya. Dengan tatapnya yang berusaha memindai wajah jelita River. ‘Gua nggak bisa janjiin itu semua ke lu. Gua sedang berusaha untuk tetap di sini.’ Setelah merapalkan semua itu di dalam hatunya—  Genta mengecup puncak kepala River. Tangan River yang semula diam kini bergerak menyentuh dada Genta. Hanya sebuah sentuhan. Merasakan dengan benar jika detak  mereka kini tengah beriringan iramanya.

Bagaimana bisa gue masuk kedalam kebohongan lu Genta? Kenapa lu tega berbohong?

Genta jelas mendengar isakan dalam dekapnya. River menangis. Itu membawakan kekhawatiran tersendiri pada Genta.
Jadi, apakah River curiga?

"Kenapa menangis?" tanya Genta yang mengambil dagu River, mengarahkan wajah penuh jejak air mata itu padanya. Namun, yang Genta dapat hanyalah gelengan kepala dari River.

Satu kesimpulan yang Genta dapat. Ada rasa khawatir atau kecurigaan pada River-nya.

"Yaudah, gua mandi dulu, ya? Takut telat." Genta hendak beranjak. Tapi tangan River menghentikan pergerakannya.

"Besok lu nanjak? Jadi nggak akan datang ke acara anniversary temen lu?" tanya River seperti sedang memastikan.

Genta menggeleng. "Nggak, lu juga nggak ikut, nggak diundang sama si Juniar. Gua juga nggak mau lah. Males gua juga. Apalagi yang diundang kepala divisi dan orang penting semua. Nggak seru." Genta kembali membubuhkan kecupan di kening River. "Lusa gua balik kok, jangan sedih. Jelek!"

River hanya memberikan senyuman. Genta juga sudah pergi ke kamar mandi. Bersiap-siap. Dan di sinilah River hanya bisa merutuki nasibnya dalam diam.

*****

Sebuah pesta klasik tapi masih menunjukkan mewah lewat dekorasi, kini terpampang nyata di penglihatan River. Di sana, beberapa orang sedang menikmati jamuan. Ada yang berbincang, duduk bersantai di beberapa spot dan tentunya beberapa juga sedang menikmati acara musik yang disediakan. Terlihat sekali pesta orang berada yang pastinya tidak main-main menggelontorkan dananya.

Tiba-tiba saja ada pria dengan setelan tuxedo hitam dengan tinggi yang cukup menjulang mendekatinya. Ia memakai kacamata dan rambut yang disugar ke belakang. Benar-benar rapih dan elegant . Setelah River ingat-ingat, ternyata pria utu yang meminta River datang ke pesta yang Juniar gelar— yang tidak lain adalah pemimpin perusahaan dimana River bekerja. Dia juga merupakan teman dari Lintang atau yang biasa River panggil Genta. Nama lengkapnya, Lintang Genta Bumi.

"Ayo ke dalam. Gua temenin. Kebetulan gua nggak bareng pasangan. Lu pasti canggung kalo di sini sendirian." Rasanya tidak perlu menolak ajakan pria itu. River juga merasa beruntung ditemani. Daripada lontang-lantung sendiri.

Dan kini mereka sudah ada di pusat pesta, setelah memberikan selamat pada Juniar dan istrinya.

"Mau minum apa? Gua ambilin. Sekalian. Tapi kalo mau bertemu, dia ada di arah jam tiga. Sepertinya baru keluar." Pandu berdiri di depan River. Tangannya yang dihiasi jam tangan mahal kini ditenggelamkan di dalam kantung celananya. Sedangkan tangan kanannya memegang minuman yang dia putar-putar agar tercampur dengan baik. "Tapi jangan buat keributan. Pesta ini sangat penting untuk Juniar. Jangan lupa, dia juga yang membantu kamu."

Netranya yang tadi berkeliling melihat sekitar, kini berhenti tepat di mana seseorang yang tidak asing dalam penglihatannya. Ia berdiri tidak jauh darinya. Di sana, River bisa dengan jelas melihat senyum Genta mengembang bahagia. Senyum yang selalu River kagumi. Indah sekali dan menenangkan, rambutnya tertata rapi, memakai tuxedo hitam yang memberikan kesan berwibawa lengkap dengan seseorang yang dia genggam tangannya. Wanita dengan balutan dress hitam, terlihat sangat anggun dan menawan. Rambutnya memiliki panjang sepinggang, serta senyum manis yang disisipkan kala berbincang. Terlihat seperti pasangan serasi dan berkelas.

"Sorry, tapi ini adalah cara Juniar memberi tahu lu, kalau yang lu lakuin sama Lintang itu sebenernya kesalahan. Gua sama Juniar sudah selalu memperingatkan Lintang, atau yang biasa lu sebut Genta. Tapi dia nggak mau denger. Sekarang lu harus tau." Pandu sudah ada di sampingnya. Memberikan segelas orange juice. "Lintang itu, sudah punya istri."

"Gua nggak salah, dan nggak akan merasa bersalah." Mata River sudah tidak jelas melihat ke depan. Buram. Air matanya menggenang, tapi enggan turun. River tidak mau terlihat lemah di pandang orang yang menghancurkannya.

Dia melangkah. Diikuti juga dengan Pandu. Dengan jemarinya yang berkali-kali menghapus air mata yang hendak jatuh. Riasannya tidak boleh luntur. Tangisnya tidak boleh jatuh.

“Eh Widya, udah lama ga ikut kumpul nih. Sibuk banget kayaknya. Apa Genta yang gamau bawa kamu nih pas kumpul? Padahal anak-anak nanyain loh.” Pandu membuka suara terlebih dahulu guna membiarkan Genta memproses apa yang terjadi. Kasihan. Sudah pucat.

"S—siapa ini Pan? Gebetan?” Lintang atau yang River selalu panggil Genta terlihat gelagapan. “Oh iya, kenalin saya Genta Lintang Bumi. Ini,” Genta menoleh ke arah Widya sejenak sebelum kembali melihat ke arah River yang air mukanya terlihat tenang dan dingin. “Ini istri saya. Namanya Widya." Genta cepat-cepat bicara seperti itu pada River yang hendak membuka mulut. Anggap saja ini salah satu cara Genta memberikan peringatan pada River untuk tidak bicara macam-macam di kondisi saat ini.

"Saya River," kata River tanpa memperdulikan tangan Genta yang terulur di hadapannya. River lebih memilih menjabat tangan Widya. "Senang berkenalan dengan Anda. Kalian terlihat mesra, cocok sekali. Semoga bahagia selalu.” River mulai tidak kuasa menahan sesak langsung melirik ke arah Pandu. "Aku permisi ke toilet dulu, ya.”

Anggukan Pandu membawa River pergi dari neraka yang Genta perlihatkan padanya.

Kaki River yang memijak menjauh dari pribadi Genta kini membawanya pada tangis yang berusaha diredam paksa. Ternyata menahan tangis rasanya sesakit ini. Hatinya seperti terbakar. Oksigen yang ingin masuk seperti tersedat di kerongkongan. Menggumpal dan menutupi jalan masuk. Sialan sekali rasanya. Karena, hari ini River harus menangisi pria itu. Sedangkan pria yang sudah menghancurkannya tengah berbahagia memperkenalkan istrinya di publik.

"River, maaf." suara Genta terdengar memenuhi rungunya. Membuat River yang hendak pergi, kini berhenti pada pijakan terakhirnya.

"Lebih baik nggak usah bicara omong kosong, Genta! Lu seharusnya tau, semua yang keluar dari mulut lu sekarang cuma bikin sakit aja buat gua! Rasanya terlalu muak.” River dengan cepat menghapus air matanya yang tiba-tiba saja jatuh.

Genta menghela nafasnya. "Oke, sekarang apa mau lu? Marah? Untuk apa? Kita bahkan ga punya hubungan, kan? Kita nikmatin hubungan kita! Kita sama-sama mau. Gua ga pernah maksa lu ada di dekat gua. Kita saling tarik menarik. Karena, kita butuh. Dalam segi apapun.”

"Tapi kenapa harus bohong? Kenapa lu harus bohong!" tanya River yang masih meredam emosinya yang sebenarnya sudah meledak di dalam dirinya. Takut ada yang mendengar.

"Bohong? Nggak ada kebohongan di sini, gua nggak pernah merasa berbohong! Bukannya aneh kalau tiba-tiba saya memperkenalkan diri saya? Status saya? Kepribadian saya? Atau apapun itu. Sekali lagi. Kita hanya bersenang-senang River. Jangan terlalu berlebihan.”

River memejamkan matanya, pedih. Untaian kata Genta itu bak menghunus langsung ulu hatinya. Sakit rasanya. Tidak seratus persen River bisa membenarkan, tapi yang dikatakan Genta tidak juga salah. Mereka tidak terikat hubungan apapun. River yang harus sadar. Ternyata disini River-lah yang bodoh, karena sudah jatuh pada Genta. Pria yang menganggap dirinya hanyalah tempat untuk bersenang-senang.

Saat melihat, mendengar, dan meresapi baik-baik takdir yang diperlihatkan Tuhan padanya, River kini tau jika Genta yang selama ini bersamanya, Genta lima bulan itu tidak lebih dari setengah untuknya.

"Gua nggak mau nyembunyiin. Gua cuma mau lu tahu, kalo lu, pernah menjadi Papahnya! Pernah! Bukan akan menjadi Papahnya." River memberikan dua testpack dengan dua garis merah di kantung toxedo Genta juga selembar note.

"River, gua nggak bisa."

"Gua juga ga akan izinin lu jadi Papahnya. Karena menurut gua, kebohongan itu ibarat cinta yang mati. Nggak akan pernah bisa bangkit lagi. Kaku dan dingin. Segera harus dikubur agar tidak menjadi bangkai yang merugikan. Dan semua itu…" River menarik nafasnya sebelum kembali mengucap. "Lu, orangnya!"

"River..."

"Stop panggil nama gua. Karena, kita cukup sampai di sini. Ingat!" River memusatkan netranya pada gelap netra milik Genta yang dulu selalu dia puji keindahannya. "Anggap hubungan ini dan kedekatan kita nggak pernah terjadi. Kembali ke kehidupan lu, Genta. Karna gua juga nggak mau jadi orang gila yang merebut suami orang. Hiduplah dengan baik, gua juga akan hidup jauh lebih baik dari sekarang. Lupakan semua hal yang belum selesai di antara kita mulai sekarang dan seterusnya, kita ga lebih dari dua orang asing yang kebetulan singgah di tempat yang sama. Selamat tinggal."

Hidup selalu memiliki alasan, tetapi River seakan tidak lagi memiliki alasan untuk tinggal lebih lama di tempat yang hanya memberikannya luka. Dia pergi. Membawa segumpal daging yang ada di dalam rahimnya. Gumpalan daging yang nanti akan menyebutnya Mama.

Sementara di tempat semula, Genta hanya bisa memejamkan matanya. Entah kenapa selamat tinggal yang River ucapkan berhasil membuat sesak dadanya. Pada akhirnya, wanitanya pergi. Meninggalkan Genta dengan sejuta sesalnya. Apalagi saat selembar note kecil yang sempat River berikan kini Genta buka.

‘Hai, Mungkin saat lu buka kertas ini kita tidak akan ada dalam hubungan yang baik-baik saja. Bahkan jauh dari kata baik. Tapi Genta. Surat ini dan testpack ini semata-mata bukan bahan untuk gua mengemis tanggung jawab dari lu. Semua yang ada di saku lu ini adalah bukti kalau lu pernah jahatin dua manusia. Istri lu dan anak kandung lu. Selamat hidup dalam neraka penyesalan Genta.’

Kenapa sakit sekali? []

Dari ebook sebelumnya, ini udah aku tambahin sedikit-sedikit. Aku benerin juga dikit. Tapi sayangnya aku belom revisi tulisannya semua. Kayak italic dll. Soalnya udah kemaleman. Aku juga ngantuk. Nanti aku revisi kalau inget hehe.

oh iya, jangan lupa ripyuuunya!

ditungguin.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Obey, me!!
9
0
“Manggala, bisa 'kan nurut?” Cerita lengkapnya ada di twt @khizzle4
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan