
Kehidupan itu rasanya seperti permen nano-nano, semua rasa diadu padu jadi satu bernama hidup. Apalagi jika menjadi mahasiswa di usia peralihan, mengeluh malu, mencoba bertahan rasanya nggak sanggup.
Ikuti kisah 7 mahasiswa penghuni kos-kosan kepunyaan Pak Raden. Keseharian mereka menghadapi dunia perkuliahan hingga kehangatan keluarga Pak Raden yang membantu mereka menghadai berbagai masalah. Love, Life And Laugh.
BAB 1 : Kerusuhan Pagi Pondok Pak Raden
Suara mesin pompa air mulai terdengar kala jam bandul di ruang tengah berdentang 5 kali, selepas pulang dari masjid, Ranti dan Sarah mulai sibuk di dapur. Raden mengajak Abimana dan Lek Jani untuk jalan-jalan sekalian ke pasar untuk membeli bahan makanan mentah untuk sarapan. Dengan mobil tua milik Raden, ketiga laki-laki dewasa itu menyusuri pekatnya pagi Yogyakarta. Aruna yang sudah menanggalkan sarungnya, menelusuri koridor menuju kamar Raka yang terletak di dekat tangga. Penuh semangat, Aruna mengetuk pintu kamar mengajak laki-laki humoris itu untuk membuat keributan.
"Run, aku tuh enggak solat, lagi PMS, kapan kamu ngertinya, sih?" Raka langsung berceloteh panjang begitu membuka pintu, wajahnya terlihat kusut dengan hidung memerah, Aruna hanya menyeringai menduga-duga bahwa Raka baru saja menyelamatkan kucing lagi.
"Iya tahu. Subuhnya udah lewat, ayok bangunin mas-mas yang lain. Mau tak ajak joging keliling kompleks."
"Litereli, sekarang masih gelap." Raka melotot, tidak berminat dengan ajakan Aruna.
"Ish! Aku bilangin Bunda sama Eyang, nih. Biar nanti mas-mas nggak dapat jatah nasi uduk sama gorengan anget karena males bangun pagi." Aruna yang mendapat penolakan, memberi penawaran lain sembari berjalan menjauh untuk turun ke lantai satu.
"Ish! Mainnya sama jatah sarapan, tunggu dulu. Ini Mas Raka mau bantuin. Dasar bocil!" Raka terus menggerutu,mengundang tawa kecil Aruna. Anak laki-laki itu kemudian menyerahkan sebuah panci peyot dan tutupnya, lantas meminta raka memukulnya sekeras mungkin.
"Sahuuur! Bangun udah pagi!"
"Mas-mas penghuni kosan Pak Raden, banguuun!"
Aruna berteriak sekuat tenaga, membuat penguni kos yang terjaga menutup telinganya dengan bantal. Tahu betul ulah siapa yang membuat kebisingan di pagi hari.
"Aruna! Kamu lagi bandel kenapa, sih. Kalau berisik gitu lagi, nggak ada jatah nasi uduk kamu pagi ini! Turun cepet! Kamu bersih-bersih halaman sana!" Teriakan Sarah yang berkacak pinggang di ruang tengah lantai satu membuat aruna terdiam.
"Mas Raka yang ngajak, adek cuma ikut-ikutan. Jangan kurangi jatahnya adek, ya." Aruna yang melihat sorot galak sarah bergegas turun, sedangkan Raka yang sedang mencerna keadaan hanya bisa melongo.
"Mbak, litereli, aku nggak salah." Raka menatap ke arah Sarah yang masih terlihat garang, seperti kucing betina yang habis melahirkan.
"Mending kamu bangunin Devan, Faiz sama Gilang. Mereka ada kelas pagi, biar mereka mandi duluan."
"Siap, Mbak." Raka tersenyum lebar, meletakkan panci andalan Aruna ke kolong gazebo keramik lantai dua. Melaksanakan perintah sarah dengan langkah riang, lantas membayangkan kasur empuk untuk melanjutkan tidurnya.
***
Begitu matahari semakin beranjak naik, suara di bangunan berlantai dua dengan tambahan rooftop itu semakin bertambah. Suara mesin pompa air masih terus terdengar, ditambah suara guyuran air dari anak kos yang memiliki kelas pagi, suara mesin mobil tua Pak Raden yang selesai belanja di pasar, hingga suara tawa yang bersahutan. Aroma bumbu masakan semakin menggugah selera, membuat Raka urung untuk tidur dan Raja yang baru memarkirkan mobilnya di garasi bergegas masuk, rasa lelah setelah jam panjangnya seolah hilang begitu aroma masakan menguar di hidungnya.
"Mas Raja pulang!" Aruna yang baru selesai membersihkan halaman dan menyiram tanaman di teras bergegas menghampiri Raja, pemuda yang sebentar lagi selesai menjalani masa co-ass itu turut tersenyum menyambut Aruna yang mode hiperaktifnya sedang aktif.
"Ish! Belum mandi kamu." Raja pura-pura menjauh, berniat mengusili Aruna yang langsung cemberut.
"Ish! Mas juga dari kemarin belum mandi!" Aruna mengerucutkan bibirnya, merajuk sebab Raja yang menggodanya.
"Mandi, dong."
"Emang sempat? Katanya mahasiswa koas tuh sibuk banget."
"Iya, mandi darah." Raja terkekeh saat melihat Aruna yang langsung menjauh dan melotot ke arahnya.
"Ish! Mas Raja! Nanti nggak dikasih jatah nasi uduk sama Bunda tahu rasa."
"Udah, jangan manyun. Mas mau mandi dulu, biar seger sama kumannya hilang semua, biar kamu bisa peluk-peluk gemas. Jarang-jarang juga pulang lebih awal."
"Oke. Mandi yang bersih! Biar nggak ada bekas darah."
Raja hanya terkekeh, terhibur dengan respon Aruna, meskipun cerdas, tetapi sisi polos khas anak-anaknya masih ada secara alami. Raja melangkah menuju lantai dua, menelusuri koridor menuju kamarnya yang terletak di tengah, tepat di sebelah kamar milik Aruna yang pintunya memiliki warna paling beda. Raja menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu kamar aruna, melihat detail gambar yang terlukis di atas cat putih yang menjadi dasar.
"Tumben pulangnya lebih awal." Raka yang selesai merawat kucing jalanan yang dibawanya mendekat ke arah Raja, hidung dan matanya masih memerah, tetapi senyumannya begitu lebar.
"Iya. Karena besok bakal full di rumah sakit," jawab Raja sembari mengeluarkan ponselnya, memotret pintu kamar aruna.
"Owalah gitu, titipanku kebeli kan, Mas ?" tanya Raka sembari mengusap hidungnya yang gatal.
"Kebeli. Lagian, kamu nemu dimana lagi kucingnya? Udah tahu alergi, tapi masih aja dirawat." Raja memasukkan ponselnya ke saku, kemudian merogoh tas dan mengambil kantung plastik putih yang berisi obat alergi titipan Raka.
"Alasanku nggak keren,sih. Kasihan aja lihat mereka yang nggak bisa minta tolong. Sekalian belajar bahasa hewan, siapa tahu bisa kayak Nabi Sulaiman."
"Klasik. Alasanmu nggak pernah berubah, ya."
"Pertanyaannya juga nggak berubah, kenapa jawabanku harus berubah?" Raka mengerling usil, sedangkan Raja hanya mengembuskan napas, mencoba bersabar dengan tanggapan Raka yang selalu diselingi tawa kecil itu.
"Masih mencari Tuhan?" Raja refleks melontarkan pertanyaan itu begitu menemukan satu ilustrasi di pintu kamar Aruna.
"Masih. Kata Aruna, aku jadi kayak Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan. Jangan-jangan aku reinkarnasinya Nabi Ibrahim." Raka memasang wajah serius, keningnya sengaja dikerutkan dalam-dalam, jarinya mengetuk dagu, membuat Raja menepuk dahinya pelan.
"Salah aku nanya ke kamu. Jawabannya nggak pernah memuaskan."
"Litereli, itu karena Mas Raja nggak dapat jawaban yang diinginkan. Udahlah, beberes aja sana, sebelum si krucil Aruna ngerusuh. Makasih obatnya, Mas. Nih, uangnya." Raka langsung kembali ke kamarnya begitu Raja menerima uang, sedangkan Raja mengembuskan napas panjang sembari menatap ke arah pintu kamar Raka yang memiliki stiker kucing. Raja kemudian kembali ke kamarnya, memasukkan kunci dan mendorong pintu kamar dengan stiker stetoskop itu perlahan, bergegas meletakkan tasnya sembari menunggu suara guyuran air di salah satu kamar mandi usai.
***
Makanan tersaji di ruang tengah dengan dua bakul nasi uduk dan beragam pilihan lauk. Sudah menjadi kebiasaan jika Raden dan Ranti mengajak anak-anak kosnya untuk sarapan dan makan malam bersama. Sarapan bersama adalah kewajiban, sedangkan makan malam adalah sunah. Mengingat jadwal mereka yang tak selalu sama, tetapi setidaknya Raden dan Ranti menginginkan satu momen kebersamaan meski di sekali waktu. Satu per satu mahasiswa itu turun ke lantai satu, duduk di kursi dan mengambil jatah sarapannya.
"Dev, makannya dikit banget?" Sarah menegur saat mendapati piring Devan yang berisi sedikit nasi dan lauk.
"Lagi diet, Mbak. Berat badan Devan nambah sekilo." Devan menjawab sembari bergegas menghabiskan sarapan, Ia harus segera sampai di kampus sebelum jalanan semakin padat.
"Sok diet, deh. Makan yang banyak, jadi arsitek tuh butuh tenaga banyak." Raka menimpali sembari mengambil banyak nasi dari bakul, hal itu membuat Aruna yang duduk di sampingnya langsung memukul lengan Raka.
"Ish! Jangan rakus!"
"Pelit!"
"Dasar Qarun!" cibir aruna dengan tatapan tajam diarahkan ke Raka.
"Berantem mulu dari pagi, heran udah kayak bocil di rumahku aja." Gilang angkat suara sembari menarik aruna untuk menjauh, sedangkan Devan yang menjadi pemantik perdebatan tidak menanggapi dan bergegas menghabiskan saraannya. Mengambil kotak bekal jatahnya dan bergegas ke halaman, Ia terlambat untuk satu janji.
"Lagian Mas Rakanya juga ngerusuh mulu. Jangan banyak-banyak ambilnya, aku nggak kebagian nanti." Aldo mengurangi nasi di piring Raka, membuat si pemilik piring melotot.
Faiz yang sedari tadi makan dalam diam, menyelesaikan sarapan dan menenteng biola. Berpamitan kepada yang lebih tua dan mengambil bekal jatahnya, segera pergi sebelum kerusuhan di meja makan semakin anarkis. Mahasiswa Seni Musik itu meninggalkan area kos dengan motor matic kesayangannya.
"Sat!" Raka memekik saat Satya juga ikut mengambil nasi di piringnya, sedangkan Raja yang melihat itu hanya geleng-geleng, tidak habis pikir dengan kelakuan teman-teman kosnya yang terkadang di luar nalar. Raden, Ranti, Sarah, Abimana dan Lek Jani yang melihat keributan itu hanya menggeleng, tidak berminat untuk menengahi karena itu adalah hal yang percuma.
"Adek, ributnya lanjut nanti. Abis ini mandi, siap-siap ke sekolah." Sarah menegur Aruna yang masih sibuk menggoda Raka, perempuan itu membawa Aruna mendekat dan mengawasi makan, memasang tatapan galak saat Aruna mencoba mengusili anak-anak kos.
"Cil, berangkat dulu. Makan yang banyak, tapi jangan rakus kayak Raka." Gilang yang sudah selesai sarapan mengacak gemas rambut Aruna yang masih kusut, mengundang delikan tidak terima oleh Aruna. Gilang hanya terkekeh, lekas berpamitan dan mengambil jatah bekalnya, menghampiri motor bebek kesayangannya.
"Mas Gil! Awas ya!" Aruna memekik setelah menelan makanannya, mengundang delikan galak Sarah.
"Raka, Satya sama Aldo, makan dengan tenang, jangan ribut mulu." Raja pada akhirnya menengahi, membuat ketiga mahasiswa itu menurut dan berhenti merusuh. Salah satu alasan kenapa Raden, Ranti, Sarah dan Abimana enggan menengahi, sebab Raja bisa melakukan tugas itu.
Usai sarapan, Aldo dan Satya membantu Sarah dan Ranti membereskan meja makan sekaligus mencuci piring, sedangkan Raja sudah rebah di kasur, membayar hutang tidur semalam. Raka sudah sibuk dengan ember cucian satu minggunya. Raden memilih naik ke rooftop, mengurus burung-burung peliharaannya, ditemani Lek Jani yang mengurus tanaman. Aruna dan Abimana mandi, bersiap untuk ke sekolah baru. Bangunan dua lantai yang sejak pagi rusuh itu mulai hening saat penghuninya mulai melakukan kesibukan masing-masing.
TBC
Cerita ini adalah sequel dari Socialphobia yang karyanya bisa dibaca di wattpad @Khicand215
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
