Merengkuh yang Rapuh - Jatuh Cinta itu Sederhana

0
0
Deskripsi

Kehidupan Jonathan dan Yohani semakin lengkap dengan kehadiran anak diantara mereka. Putra Sulung mereka bernama Noah dan Putra Keduanya yang Istimewa bernama Albi. 

 

Jonathan tidak bisa melunturkan senyumannya, ia menggenggam erat-erat tangan Yohani, perempuan yang pagi tadi resmi menjadi istrinya setelah acara pemberkatan. Setelah pertemuan pertama di acara rilis bukunya yang ke-sepuluh, Jonathan mengejar cinta Yohani, meminta secara resmi kepada keluarga besar perempuan itu agar Yohani menjadi istrinya dan tentu saja Ia sangat mudah menghadapi Johan yang mau tidak mau melepas adik kembarnya untuk menikah. Yohani yang sejak awal sudah mengagumi karya Jonathan, kini juga mengagumi Jonathan dan menerima pinangan laki-laki itu tanpa banyak pertimbangan, terdengar impulsif, tetapi Yohani hanya merasa sudah jatuh cinta dengan Jonathan. 

Jonathan terkekeh saat mengingat perjuangannya, Ia bawa tangan Yohani yang Ia pegang, mengecup punggung tangan Yohani yang terasa hangat. 

"Sumpah, aku cinta banget sama kamu." Jonathan tidak akan pernah bosan mengatakannya, bahwa meski Ia sendiri tidak memahami makna cinta yang dikatakan banyak orang, Ia hanya percaya dengan cinta yang Ia rasakan. 

"Aku tahu, aku juga cinta banget sama kamu." Yohani tidak kalah antusias, perempuan itu selalu luluh di hadapan Jonathan, sebab mencintai Jonathan adalah hal yang mudah. 

"Ah sial, harusnya aku dulu yang ngelamar Yashinta, kan, aku yang jatuh cinta duluan." Bagas memotong pembicaraan mesra Jonathan dan Yohani, berjalan di pelaminan dengan Dhani di belakangnya, tertawa melihat wajah kusut Bagas yang melihat Jonathan di pelaminan, tersenyum seolah tidak akan ada lagi luka menghampiri. 

"Bukan soal yang cinta duluan, tapi yang siap duluan." Jonathan membalas dengan nada mengejek, membuat Bagas semakin uring-uringan. 

"Kenapa juga Johan ngerestui, biasanya juga over." Bagas masih menggerutu, membuat Yohani yang mendengarnya terkekeh, Ia sering mendengar cerita tentang Bagas dari Johan, kakak kembarnya yang sangat protektif. 

"Aku sogok pakai cewek soalnya, liat, Mas Johan lagi sama Tamara, sahabat dekatku." Yohani ikut menjawab, turut terhibur dengan wajah kusut Bagas. 

"Ngedumel mulu kamu, Gas. Aku yang jomlo aja santai." Dhani ikut mengompori, membuat Bagas melotot.

"Lah, kamu kan pacarnya koas." Bagas berujar tanpa beban, membuat Dhani yang melupakan tugas co-assnya mendelik, Ia baru saja bebas dari beban co-ass, dan mendadak ingat bahwa besok Ia akan di rumah sakit dua sif karena sifnya hari ini digantikan temannya. 

"Semangat Mas Calon Dokter, jangan lupa ambil spesialisnya." Jonathan ikut menggoda, membuat Dhani menepuk keningnya pelan, Ia salah ambil langkah ikut mengompori Bagas. 

"Udah, sana kalian turun, gantian sama yang lain. Nanti fotonya kalau udah ada Mas Johan sama Tamara." Yohani memberi gestur mengusir, dan Jonathan menyetujui ide istrinya itu, membuat wajah Bagas semakin tertekuk, sedangkan Dhani semringah karena setelah ini akan bertemu makanan.

"Ada nasi kebuli, Gas. Siapa cepat dia dapat." Jonathan memberi kalimat penghiburan, menyebut menu favorit Bagas. Tanpa pikir panjang, Bagas lekas turun, mencari stand nasi kebuli, meninggalkan Dhani yang menggeleng pelan dan Jonathan yang tertawa melihat tingkah Bagas. Jika saja orang tahu apa profesi Bagas, maka pasti tidak akan ada yang menyangka bahwa itu adalah Bagas yang sama. 

 

***

Kehidupan pernikahan Jonathan berjalan bahagia. Yohani dibebaskan untuk berkarir, selama semuanya baik dan sudah dipikirkan matang, Jonathan akan merestui. Kehidupan yang berjalan selaras hingga Yohani mengandung anak pertama mereka, yang kemudian lahir dengan sempurna di antara Jonathan dan Yohani yang penuh kehangatan. Jonathan tidak sedikitpun merutuki kehidupannya, sejak kecil hidup bersama orang tua yang bergelimang harta dan kasih sayang, mendapatkan pendidikan karakter dan moral yang baik, lantas memiliki karir yang begitu mulus. Apalagi dengan bantuan Yohani yang pekerjaannya sebagai developer aplikasi dan website, membuat sayap perusahaannya semakin luas. Jika dulu penerbitannya dikenal sedikit orang, maka sekarang sudah berkembang semakin besar. Kehidupan Jonathan begitu sempurna. 

Jonathan baru selesai melakukan pertemuan dengan developer, terkait dengan pembangunan kafe buku di Gunung Kidul. Ia menenteng bungkusan martabak yang Ia beli di area Seturan, pesanan sang istri yang katanya sedang mengidam. Putra pertamanya sudah berusia tiga tahun, sedang aktif dan lincahnya, sehingga Ia tidak heran kala melihat mainan berserakan di ruang tamu begitu Ia membuka pintu. Jonathan melepas sepatu, melipat lengan kemejanya dan bergerak membereskan beragam mainan yang Ia tahu milik anak pertamanya. 

"Noah, bajunya dipakai dulu, jangan lari dong, Bunda bawa adek soalnya." Suara lembut Yohani membuat Jonathan mengalihkan pandangan, Ia melihat putra sulungnya berlari kecil ke arahhya, tubuhnya telanjang tanpa sehelai baju, menerjang untuk meminta pelukan.

"Ayah!" 

"Hayo, Mas Noah usil, ya ? Kenapa nggak mau pakai baju, sayang?" Jonathan mencium pipi Noah, membuat balita itu kegirangan. 

"Panas, Yah. Panas." Noah menjawab sembari mengipaskan kedua tangannya, sedangkan Jonathan terkekeh, memilih menghampiri Yohani yang duduk di sofa, istrinya itu kelelahan. Jonathan mencium kening Yohani, kemudian mengelus perut buncit Yohani, kandungannya sudah hampir memasuki usia 9 bulan.

"Tidak boleh, Ayah tidak boleh." 

"Kenapa? Kan,  Ayah kangen adek." 

"Tidak boleh, Ayah kangen Noah aja." 

"Iya, Ayah cuma punya Noah. Sekarang pakai dulu bajunya, ya." Jonathan menurunkan Noah dari gendongan, menerima setelan baju yang diberikan Yohani. 

"Maaf, ya, Ayah. Rumah lagi berantakan, Mbak Isa ambil cuti soalnya, dan Noah lagi aktif-aktifnya, Bunda nggak sempat masak juga, adeknya lagi caper banget nendang-nendang." Yohani meringis saat merasakan kontraksi lagi, Ia begitu lelah hari ini. 

"Maaf,ya, Bun. Nanti kalau Mbak Isa cutinya lama, Ayah kerja dari rumah aja. Ayah udah bawain martabak sama roti maryam, nanti makanan beratnya pesan online aja." Jonathan kembali menggendong Noah, mengelus punggung kecil itu agar lekas terlelap. 

"Iya, Yah. Makasih, ya." Yohani meringis, membuat Jonathan mengernyit, Ia lekas meletakkan Noah di karpet bulu, bergegas menghampiri Yohani yang terlihat semakin lemah. 

"Han, kamu masih sadar, kan?" Jonathan menepuk pipi Yohani saat perempuan itu memejamkan mata.

"Mas Jo, sakit banget." Yohani merasa semakin melayang, rasa sakit dan lelah bercampur menjadi satu. Hingga Jonathan menyadari sesuatu mengalir dari bagian kaki istrinya. Jonathan gemetar, meraih tangan Yohani yang terkulai untuk digenggam.

"Han, jangan tidur dulu, tetap sadar." Jonathan mencoba untuk tenang, menarik ponsel dari saku dan bergegas menelfon Johan. 

"Jo, ketuban Hani pecah dan dia nyaris nggak sadar, boleh minta tolong ke rumah buat jagain Noah, aku mau bawa Hani ke rumah sakit." 

Setelah mendapat jawaban, Jonathan membawa Yohani dalam gendongannya, bergegas meletakkan Yohani di mobil, mengunci pintu utama dan meletakkan di karpet, kemudian mengemudi dengan kecepatan nyaris maksimal. Jonathan masih waras dan mencoba tenang, sebelah tangannya menggenggam erat tangan yohani yang terkulai, Ia meringis saat bukan hanya air yang membasahi tubuh Yohani, darah juga mengalir deras. 

"Bertahan, Han. Buat Albi." 

Jonathan merasa semuanya terlalu cepat, Ia lekas menggendong yohani memasuki IGD, membiarkan dokter melakukan penanganan. Jonathan gemetar, mengurus segala administrasi dengan perasaan tak karuan.

"Mohon maaf, kami harus mendapat persetujuan untuk tindakan operasi sesar. Kondisi Bu Hani nggak memungkinkan untuk persalinan normal, sedangkan bayinya harus segera dikeluarkan sebelum menelan lebih banyak cairan ketuban dan darah." 

Jonathan hanya mengangguk, mengiyakan segala prosedur tanpa pikir panjang. Ia hanya ingin keduanya selamat. 

"Selamatkan keduanya, lakukan yang terbaik." Pada akhirnya Jonathan hanya menunggu dengan pasrah, kakinya tak henti gemetar, berulang kali terhentak di lantai, tidak Ia pedulikan kemejanya yang masih kotor terkena darah. 

 

**

"Nathan!" 

Panggilan itu membuat Jonathan menoleh, Ia merasa lega saat melihat Johan, Dhani dan Bagas menghampirinya. Jonathan lunglai begitu Johan merangkulnya. 

"Maafin aku, Johan, karena nggak bisa jaga Hani dengan baik." 

"Ini semua udah ketentuan. Noah di rumah Ibu sama Bapak, dijagain sama Tamara. Kamu di sini tenang, kita bertiga akan selalu ada buat kamu." 

Johan menguatkan pundak Jonathan, bersama dengan Bagas dan Dhani yang turut menunggu. Jonathan terharu, meski harusnya Ia tidak terkejut, karena ketiga sahabatnya ada saat Noah lahir dan sekarang mereka juga ada. 

Jonathan lekas berdiri begitu pintu ruang operasi dibuka, Ia tidak mendengar tangisan bayi, membuatnya cemas. 

"Pak Nathan, istri dan anak Anda berhasil diselamatkan. Hanya saja belum bisa dijenguk untuk saat ini. Bu Hani harus masuk recovery room, sedangkan bayinya harus dirawat di NICU karena kondisinya sangat lemah. Kami benar-benar minta maaf untuk itu. Bu Hani bisa dijenguk setelah dipindah ke ruang rawat, sedangkan bayinya untuk sementara masih belum, tetapi Anda masih bisa melihatnya dari jauh. Untuk bayinya akan ditangani oleh dokter anak langsung, anda bisa berkomunikasi langsung terkait perkembangan bayinya." 

"Terima kasih, dokter." Jonathan tidak harus bagaimana, Ia tidak tahu harus merespon bagaimana. 

"Mereka menemani Anda lagi ternyata." 

"Iya."

"Anda beruntung memiliki sahabat seperti mereka." 

"Tentu saja." 

"Oh iya, saya beri tahu bahwa Dokter Dhani incaran ners dan dokter muda, tetapi hanya satu yang memikat hatinya. Anda akan menemuinya di bagian anak. Oh iya, selamat atas kelahiran putra keduanya, Pak Nathan." 

Jonathan mengangguk, mengucapkan terima kasih sekali lagi, Ia kemudian melangkah menghampiri ketiga sahabatnya yang terlelap tidak nyaman di kursi, membangunkan mereka untuk bisa pulang, sedangkan Ia akan mengurus administrasi tambahan terkait kamar rawat.

"Udah lahir?" tanya Johan sembari menguap, mengusir rasa kantuknya. 

"Udah. Tapi belum bisa dijenguk. Hani di ruang recovery, bayinya di NICU." 

"Nath, kamu nggak apa-apa?" Dhani mendekat, Ia paham bahwa sesuatu yang buruk pasti telah terjadi. 

"Aku gatau, belum ketemu sama dokter anaknya." 

"Oke, nanti aku antar ke ruang anak, kita temenin kamu, oke?" Dhani mencoba menenangkan, meskipun firasatnya berkata lain.

"Semuanya akan baik-baik aja, kan?" Jonathan bertanya dengan gamang, hatinya berdesir. 

Tidak ada yang menjawab, bahkan untuk Bagas yang biasanya melelehkan suasana. Jonathan sendiri tidak mampu mengartikan perasaannya, Ia tidak tahu apa yang dirasakan saat ini. Sebab selama ini, kata sedih hampir tidak pernah mampir dalam kehidupannya.

Jonathan mengembuskan napas panjang, membasuh lembut jemari Yohani yang masih terkulai, rasa bersalah menjalar dalam dada, membuatnya merasakan sesak. Bayangan putra keduanya yang terpejam di dalam inkubator dengan banyak selang dan kabel membuatnya semakin pedih. Banyak kata seharusnya ada di dalam pikiran, tentang apa yang seharusnya tidak Ia lakukan sehingga ia tidak perlu merasakan kepedihan. 

 

***

 

"Mas Nathan." Suara lirih dan serak Yohani membangunkan lamunan Jonathan, laki-laki itu tersenyum menyambut hangat Yohani yang baru kembali dari alam bawah sadar. 

"Iya, Han. Mas di sini, Mas udah pencet bel, tinggal nunggu Dokter Resti datang. Kamu udah ngerasa enakan?" 

"Lumayan, capeknya berkurang, tapi kok kayak ada yang aneh, ya." Yohani meraba bagian perut, panik begitu menyadari bahwa perutnya tidak lagi membuncit. 

"Mas, Albi dimana?" Yohani panik, Ia berusaha bangkit, tetapi lekas ditahan oleh Jonathan.

"Kamu tenang, Albi udah lahir." 

"Tapi belum waktunya, Mas. Albi baik-baik aja,kan?" 

"Han, tenang, ya. Dengerin Mas dulu." 

"Kalau Albi udah lahir, terus dimana dia? Dulu Noah udah bisa bareng aku waktu lahir, Albi dimana?" Yohani tidak bisa mengurangi rasa paniknya, Ia memaksakan bangkit, meski setelahnya meringis karena jahitan di perutnya. Jonathan meminta Yohani kembali berbaring, laki-laki itu menggenggam erat tangan istrinya. 

"Albi lahir prematur, Han. Sekarang Albi dalam pengawasan dokter di ruang NICU. Albi juga keracunan ketuban yang masuk ke paru-paru dan saluran pencernaannya. Berat badan Albi juga belum cukup, kamu tenang, ya. Dokter sudah melakukan yang terbaik, dan aku berjanji bahwa Albi akan segera bisa kita peluk." 

"Aku ibu yang buruk." 

"Han, nggak boleh ngomong gitu." 

"Albi kayak gitu karena aku nggak bisa menjaganya dengan baik, aku nekad tetep kerja, aku sombong bisa menghandle semuanya. Maafin aku, maaf." Yohani tidak bisa menahan tangis, Jonathan berusaha menenangkan, memberi banyak kata penenang. 

"Sabar, sayang. Tuhan itu baik." Jonathan membawa Yohani dalam dekapan, membiarkan istrinya menumpahkan seluruh kesakitannya. Yohani masih terisak bahkan saat dokter datang untuk memeriksa, masih meracau bahwa dia merupakan ibu yang buruk. 

Yohani baru bisa tenang setelah kedua orang tuanya datang bersama Noah yang sudah rewel menanyakan keberadaan kedua orang tuanya. Jonathan menggendong noah, memakaikan Noah masker dan memastikan Noah tidak akan tertular penyakit yang ada di rumah sakit. Lekas keluar menuju taman rumah sakit yang lebih lapang. 

"Ayah sayang Noah?" Noah bertanya sembari menatap Jonathan, melihat wajah lelah ayahnya.

"Sayang, dong. Maaf, ya, Mas Noah Ayah tinggal." Jonathan mencium kening Noah, mengelusnya pelan penuh rasa bersalah.

"Bunda kenapa nangis? Terus dipeluk-peluk Eyang Uti." Tanya Noah saat sekilas Ia melihat Yohani langsung menangis di pelukan Eyang Utinya. 

"Bunda lagi sakit, Sayang." 

"Adek dimana? Udah nggak sembunyi di perut Bunda?" Noah kembali bertanya, balita itu memang menuruni kecerdasan Yohani, tumbuh kembangnya lebih cepat dibanding anak sebayanya.

Jonathan menghela napas panjang, kemudian mengeluarkan ponsel untuk menunjukkan foto. Ia memperlihatkan foto putra keduanya yang masih betah memejamkan mata, dokter bilang pernapasannya belum stabil. 

"Adek juga sakit?" 

"Iya." 

"Ayah, adek kasian, ya." Noah menatap lurus foto bayi mungil di dalam kotak, hingga tak lama kemudian Noah menangis, membuat Jonathan lekas memeluk untuk menenangkan. 

"Ayah, Mas Noah mau ketemu adek, mau cium-cium biar cepet sembuh." Noah menyampaikan keinginannnya sembari menangis terisak, balita itu memang perasa. 

"Iya, nanti Mas Noah cium-cium adek sepuasnya." Jonathan tidak menyangka akhirnya Noah menerima adiknya, mengingat saat putra keduanya masih di dalam kandungan, Noah benar-benar tidak ingin memiliki adik.

 

TBC 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Merengkuh yang Rapuh - Mas Noah, Pakde. Bukan Noah
0
0
Kehidupan Pernikahan Yohani dan Jonathan mulai mendapatkan ujian. Keduanya harus menerima kenyataan tentang penyakit putra keduanya.  Akankah keduanya bisa menerima ?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan