Pacaran Setelah Kewajiban Kuliah Selesai

0
0
Deskripsi

Setelah bertahun-tahun gue ada dalam proses dekat dan mencoba mencocokkan diri sama orang, memikirkan standarisasi sama evaluasi diri, mempertanyakan apakah sosok cowok yang gue mau itu beneran ada di dunia atau enggak, akhirnya fase ini tiba juga; gue pacaran. Tepatnya, pacaran pas banget ketika kewajiban gue sebagai anak untuk belajar (read: berkuliah) udah selesai.

Apa aja yang berbeda?

 

Sejujurnya, gue bukanlah tipikal anak yang terbuka pada orangtua karena orangtua guepun termasuk ke dalam tipe orangtua konservatif yang tidak seterbuka itu menyambut setiap cerita dan keluh kesah kehidupan anaknya. Kalo gue simplifikasi lagi, orangtua gue gak terlalu peduli-peduli amat ke hal-hal diluar kewajiban utama anaknya (kehidupan sekolah, Kesehatan, dan kewajiban beragama). Jadi meskipun pertemanan dan percintaan merupakan aspek yang akan selalu ada ketika seorang anak menginjak fase remaja menuju dewasa awal, tapi mereka menganggap kedua hal itu ada diluar urusan dan tanggung jawabnya. 

Meski begitu, gue tetep mencoba terbuka. Usaha untuk terbuka ini tentunya tidak mudah, tapi nggak sulit juga. Mengingat ketimpangan perbedaan generasi yang cukup jauh, gue sebagai pihak yang mengetahui segala hal yang terjadi lebih banyak dengan kemampuan dan tenaga lebih prima daripada mereka, berusaha menjadi pihak yang memaklumi dan berusaha memperbaiki. Atau bahkan, berusaha melakukan terobosan dengan mencoba terbuka dan berbagi cerita (emang jiwa-jiwa naif heroiknyatuh adaaa aja). 

Gue inget pertama kali cerita gue deket sama cowok dan akhirnya pacaran itu ketika gue SMA. Sebenarnya waktu SMP juga orangtua gue udah mulai curiga, khususnya mamah. Karena pada saat itu gue selalu meminta mereka angkut boneka-boneka berbulu yang gede banget untuk diamankan (alias dibawa pulang dan dijauhkan dari gue) karena gue punya alergi sama yang bulu-bulu. Gue yakin banget merekatuh pada saat itu tau bahwa anaknya ini dapet boneka itu dari cowok yang berusaha deketin dia. Cuma mereka memilih diam aja karena guenya juga gak ngomong apa-apa. Belum lagi surat-surat gue yang segunung dan coklat yang selalu ada aja stoknya di lemari pondok pada masanya (iya gue smp anak pondok cuy wkwkw). Karena faktor di pondok, gue rasa mereka juga cukup percaya ke gue dan sistem pesantren bahwa ya segimana ada muncul perasaan-perasaan itu, setidaknya masih terjaga oleh aturan ketat yang berlaku di pondok pada saat itu. 

Kemudian menginjak SMA, karena pacar gue pada saat itu temen sekelas sekaligus sahabat gue juga dan gue anaknya sakit-sakitan, jadinya ketika gue sakit mereka yang ngurus apa-apa dan langsung komunikasi sama mama. Disitulah gue mulai akhirnya secara terbuka cerita. Bilang gitulah kalo gue punya pacar. 

Responnya sama kayak orangtua-orangtua konservatif nanggung pada umumnya, “Ya terserah kamu yang penting gak ganggu pelajaran/sekolah”. Cerita gue pada saat itupun gak terlalu digubris yang gimana-gimana, jadinya gue memilih untuk bilang secukupnya dan menginformasikan aja bahwa gue punya pacar.

Selama kuliah, gue sepi cerita selain cerita mengenai gimana keluh-kesah kuliah online dan susahnya tugas semester lima. Menjelang lulus kemaren, mamah mulai agak nanya-nanya soal pacar bahkan berandai-andai request kerjaan pacar gue nantinya apaan. Gue Cuma tanggepin pake ketawa dan minta doain aja. Mungkin ini cara Tuhan memberikan gue yang udah gak ada keinginan hidup ini ambisi-ambisi baru kali; jalur keinginan mama. Percakapan soal pacar dan pasangan itu gak pernah berlanjut, dan guepun gak memaksa dunia mengenai kenapa gue dari awal kuliah nyampe lulus gak punya pacar apalagi nyampe nyalahin zodiak meskipun gue bukan gemini. Rasanya emang pada saat itu belum waktunya aja. Kalopun punya, gue ngerasa bakal banyak mengabaikan dia karena energi gue yang habis terkuras di mikir tugas-tugas gue yang segunung. Gue juga gak mempertanyakan apakah diri gue terlalu low quality makanya gue gak laku, karena gue tau bahwa gue worth-it bagi orang yang tepat. Emang saat itu perkara belum ketemu orangnya aja makanya gak pacaran.

Terus kemaren, setelah sidang dan di pertengahan revisi penuh tekanan itu, gue install dan swipe kanan-kiri bumble. Kalo lagi kalut gitu tuh emang topik pembicaraan pasti ada aja yang muncul. Orang-orang yang match mulai gue chat satu-satu. Yang responnya sama asiknya kayak gue mulai gue sortir lagi. Nyampe akhirnya, pacar gue yang saat ini nih cara ngalusnya lumayan mulus. Dari film, mulai pindah platform. Banyak ngobrol, ketemu, ngobrol lagi, ketemu, dan akhirnya jadian. Sangat sat-set dan straight-forward sekali. Menghemat banyak waktu, energi, dan emosi-emosi lain yang nggak perlu dalam proses pendekatan. 

Gue sempet punya momen menertawakan segala hal yang terjadi di kehidupan gue tahun ini sih. Rasanya kayak duniatuh lucu aja dalam mempermainkan kehidupan seseorang. Tiba-tiba entah darimana muncul satu sosok cowok yang tadinya asing gak gue kenal sama sekali jadi orang yang paling sering gue hubungi. Yang awalnya gue bangun tidur buka spotify atau tiktok sekarang buka whatsapp dan kadang auto langsung call. Biasanya gue nungguin film tayang di bioskoptuh dengerin lagu atau baca buku sekarang sambil ngobrol atau foto-foto. 

Selain itu, yang lebih penting dari hal-hal manis dilakuin berdua tadi adalah respon mamah yang udah berubah. Yang awalnya pasti diawali dengan nasehat, sekarang langsung nanya-nanyain. Orangnya dimana, umurnya berapa, kerjanya apa, dsb dsb. Belom lagi dilanjut imajinasi beliau yang melebar jauh kemana-mana meskipun gue udah memberikan disclaimer bahwa gue belum mau serius dulu dalam waktu dekat ini. 

Sahabat-sahabat dekat gue juga mulai menanggapi dengan cara berbeda di fase hidup gue yang sekarang ini perihal berita bahwa gue punya pacar. Hal-hal ini amat sangat baru dan diluar prediksi gue. Selama ini gue mempersiapkan diri untuk punya pasangan di usia lebih tua dari sekarang dan tetap menjalani kehidupan gue sebagaimana mestinya dengan bucin cowok-cowok anime dan idol-idol korea. Tapi ternyata kehidupan punya jawaban yang sebaliknya wkwkw.

Mengenai cerita bucin episode lainnya akan gue ceritain di cerita yang berbeda. Di judul yang ini cukup nyampe sini aja.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Jurnal
Selanjutnya Anti-Hero
0
0
Kebanggaan diri yang berlebihan, takut dengan intimasi, keras kepala, susah menerima kritikan, sungguh kombinasi yang lengkap dalam diri satu orang untuk menjadi kandidat orang menyebalkan yang nyampe kapanpun gak akan pernah bisa diajak gabung dalam sebuah pertemanan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan