Pasti Ada Alasannya Mengapa Penulis Tetap Ada

6
2
Deskripsi

Beberapa bulan yang lalu gue menyadari ada perubahan di Gramedia. Persis di sebelah Gramedia Pondok Indah Mal, tiba-tiba dibangun café yang tersambung ke toko bukunya. Gue langsung mengabarkan ini ke temen-temen dengan heboh. Buat gue yang pemalas, ini konsep yang keren abis. Gue bisa beli buku sekaligus dapat tempat baca bukunya tanpa harus mikir mau ke mana lagi.

“Bisa jadi gitu, tapi bisa hal lain,” balas Gideon di grup Whatsapp setelah gue berpamer ria. “Bisa aja dia mau ngubah model bisnisnya...

Beberapa bulan yang lalu gue menyadari ada perubahan di Gramedia. Persis di sebelah Gramedia Pondok Indah Mal, tiba-tiba dibangun café yang tersambung ke toko bukunya. Gue langsung mengabarkan ini ke temen-temen dengan heboh. Buat gue yang pemalas, ini konsep yang keren abis. Gue bisa beli buku sekaligus dapat tempat baca bukunya tanpa harus mikir mau ke mana lagi.

“Bisa jadi gitu, tapi bisa hal lain,” balas Gideon di grup Whatsapp setelah gue berpamer ria. “Bisa aja dia mau ngubah model bisnisnya buat narik pengunjung.”

Asumsi Gideon bisa jadi benar atau salah. Pembahasan di grup berhenti seiring gue yang masuk ke café. Gue mau baca buku Latihan Tidur yang baru aja gue beli di sebelah.

Gue mengangkat tangan, memanggil pramusaji. “Mas, biasa ya!”

“ANDA KAN BARU PERTAMA KALI KE SINI HEY!”

"Oiya..."

Anehnya, seiring berjalannya waktu, gue merasa posisi rak di Gramedia nggak sama lagi. Pikiran pertama gue mungkin sama kayak kamu. Oh, tata letaknya diubah biar suasananya segar dan terasa baru. Tapi, gue baru ngeh kalau di beberapa toko buku yang gue datangin, tahu-tahu menjual peralatan outdoor. Gue bahkan pernah ke Gramedia BSD dan ngeliat dia jualan tenda camping.

Ya, Anda tidak salah baca, Sahabat. Tenda camping. Di toko buku.

Karena penasaran, gue samperin itu tenda camping warna biru. Gue buka resletingnya dan masukin kepala gue. Siapa tahu aja itu tenda sebenernya nggak dijual. Tapi emang lagi ada Fiersa Besari lagi nginep aja.

Berhubung nggak ada Fiersa Besari (menurut lo?), gue coba tanya ke mas-mas yang jaga.

“Mas, ini tenda camping-nya dijual?”

“Coba tanya hatimu skali lagiiiiii~”

Lah, malah mas-masnya yang Fiersa Besari.

Sungguh absurd sekali tulisan ini sodara!

Intinya, segala hal ini membawa gue kepada satu kesimpulan: ada yang berubah dengan industri buku.

Gue nggak tahu apakah perubahan ini membawa kabar baik atau buruk. Tapi buat gue begini: buku, adalah salah satu bentuk media hiburan. Form of entertainment. Sama kayak bioskop, langganan lagu di Spotify, Netflix, langganan koran, pentas seni, ikut kelas olahraga, dan berbagai media hiburan lain yang terus bermunculan. Artinya, kompetitor buku semakin banyak. Artinya, pilihan orang untuk menghabiskan uang lima puluh ribu semakin luas. Untuk membeli sebuah buku, kita harus membayar opportunity cost yang beragam.

Dari sisi penulis, masalah yang muncul beda lagi.

Gue coba mulai yang paling basic, image. Seorang penulis bukanlah image yang cukup keren untuk sebuah profesi. Karena output dari penulis berupa tulisan (ya iya tong!), pandangan yang beredar di masyarakat adalah “menulis itu gampang”. Apa susahnya, sih, nulis? Lagipula semua informasi, kan, udah ada. Kalau penulis butuh riset, tinggal buka google, dan masalahnya selesai. Hal ini berimbas pada satu hal: upah yang minim.

Dalam lingkup kerja profesional, posisi penulis bisa dikatakan agak miris. Ketika di awal kita sudah mendapatkan standar upah yang rendah, karir penulis di sebuah perusahaan bisa dengan mudah mentok begitu aja. Kalau itu yang terjadi, nggak ada yang bisa dia lakukan lagi. Bagi anak-anak desain, mungkin ada yang namanya lead designer. Tapi sangat susah untuk menemukan lead writer.

Artinya apa? Udah miskin, susah naek jabatan pula. Huhuhu.

Di sisi lain, jika kamu memutuskan menjadi seorang penulis novel, kamu membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikan satu buku. Bisa 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun. Itupun belum tentu diterima penerbit. Empat tahun lalu gue pernah coba mengirimkan satu naskah ke penerbit. Dan mereka, karena begitu banyak naskah yang masuk, baru bisa memberikan kabar 3 bulan setelah naskah gue kirim.

Dan iya, naskah gue nggak tembus. Mari kita nangis berjamaah.

Belum lagi potongan pajak berlipat yang diterima buku. Pasti ada alasannya mengapa Tere Liye dan Eka Kurniawan sampai sebegitunya tentang hal ini. Dalam writer talk yang dibuat Ernest Prakasa, Raditya Dika bilang, “Sekarang aja buku-buku gue perlu nunggu beberapa bulan sampai royalti gue bisa dicairin. FYI, supaya bisa dicairin royalti buku harus lebih dari 250 ribu perak!”

Terlepas dari buku-bukunya Raditya Dika yang udah lawas, tetap aja kalimat itu bikin calon penulis bergidik.

Dibandingkan profesi lain, penulis juga lebih susah untuk “ngamen”. Seorang penyanyi, misalnya, yang bisa ngamen secara harfiah. Atau desainer yang bisa membuka commission sesuai keinginan pemesan. Buat ngelakuin itu, penulis butuh effort yang lebihNggak mungkin juga kita bilang, “Hari ini lo ulang tahun? Nih, gue tulisin ucapan. Kalo pendek 25 ribu, panjang 50 ribu!”

Yang ada digamparin bolak-balik.

Pasti ada alasannya kenapa penulis masuk ke dalam salah satu profesi yang paling depresif. Kebanyakan penulis merupakan lone wolf. Kehidupan seorang penulis adalah kehidupan seorang penyendiri. Bagi beberapa penulis, bisa jadi proses menulis membuatnya lupa akan hal-hal di sekitarnya kayak makan, atau tidur, atau bersosialisasi. Maka, ada kemungkinan kondisi fisik atau mentalnya terganggu.

Meski begitu, pasti adalah alasannya kenapa penulis tetap ada.

Maka, sebagai penulis, yang gue perlukan hanya memutar otak lebih jauh. (Oke, kayaknya di sini mulai ketahuan deh arah tulisan ini). Dengan adanya platform seperti Karyakarsa ini, penulis diberikan wadah menuangkan karya-karya tulisnya. Di sisi lain, pembaca bisa memberikan dukungan kepada penulis secara langsung. Interaksi antara penulis dan pembaca juga semakin rekat karena ada konten-konten eksklusif yang ditujukan kepada mereka yang memberikan dukungan tersebut.

Sederhananya: penulis diberi kesempatan untuk hidup dari karyanya.

Buat kamu yang belum kenal gue, bisa ikutin aja halaman Karyakarsa gue. Tenang aja. Di sini akan banyak konten yang bisa diakses secara gratis. Buat kamu yang udah tahu siapa gue dan pengin memberikan dukungan, kamu bisa bebas memilih: memberikan dukungan setiap bulan, atau sumbangan lepas, atau sawer seikhlasnya melalui Saweria.

Bantu gue terus menulis dan punya Nintendo Switch lewat dukunganmu!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Blog
Selanjutnya Apa Isi Proyek Menulis Ch.?
3
0
Beberapa hari semenjak work from home, orang di sekitar gue menggaungkan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk produktif. Inilah kesempatannya. Mereka memberikan contoh dengan Newton yang menemukan teori gravitasi ketika Inggris dilanda pandemi.Sialnya, gue bukan Newton dan beberapa yang lain meminta gue untuk santai saja. Yang kita hadapi adalah pandemi dan krisis dan tidak perlu berlomba menjadi yang paling produktif.  Beruntung gue pulang dari kosan membawa harddisk. Gue pun iseng membuka tulisan-tulisan lama yang ada di sana. Mulai dari ebook Keriba-Keribo tahun 2014 dan Tunggang Langgang 2016. Meskipun aktivitas gue di kantor juga sebagai penulis, tapi rasanya kangen juga bisa menulis bebas kayak gitu.Gue kangen punya perasaan mikirin tulisan sepanjang hari. Gue kangen tidur larut sendirian. Berkutat dengan kalimat-kalimat yang gue rangkai. Gue kangen bangun dan mikirin gimana caranya melanjutkan tulisan gue yang kemarin. Membacanya lagi, lalu ketawa dari jokes yang gue ciptakan sendiri. Gue kangen sok-sokan mendesain cover (yang mana itu keputusan buruk). Gue jadi ingat bagaimana perasaan itu mendorong gue untuk membuat cerpen Grey. Perasaan pengin cepat-cepat pulang ke kosan untuk melanjutkan tulisan. Sampai akhirnya Grey menjadi cerpen pendek yang nggak pendek. :pPada akhirnya, gue memutuskan untuk membuat ebook lagi.Tentu, setelah perjalanan panjang itu semua, gue pengin bikin satu mainan yang seru lagi. Dan iya, kali ini gue akan bekerjasama dengan desainer benaran (lol). Bagaimanapun juga, saat ini gue sudah punya penghasilan dan tidak muda lagi dan Nyokap mulai nanyain cucu. Bentar, ke mana arahnya tulisan ini?Intinya, gue pengin ini menjadi ebook yang berbeda dari ebook gue sebelumnya. Gue juga pasti bakalan lebih serius dalam penggarapan. Baik dari segi tulisan, desain, ilustrasi, keikutsertaan pembaca, dan lainnya, dan lainnya lagi.Maka, sebagaimana yang gue tulis di bio, halaman Karyakarsa ini akan menjadi tempat gue menceritakan perjalanan tentang karya tulis gue yang paling baru. Gue akan buka-bukaan semuanya di sini.Sampai saat ini, gue belum punya mock up title untuk ebook ini. Gue masih menyebutnya dengan “Proyek Ch.” Berasal dari “chorus”, bagian yang biasanya berulang pada sebuah lagu. Tapi, karena nggak sreg sama kata “chorus”, akhirnya gue potong aja jadi Ch. doang.Kalau Keriba-Keribo adalah tentang hidup bego-begoan gue dan Tunggang Langgang adalah bagaimana seseorang bertahan di habitat yang salah, cerita-cerita dalam Proyek Ch. adalah tentang milestone. Setiap dari kita pasti mengalami kejadian-kejadian yang mengubah hidup. Mungkin kita merasa suatu hal erlalu “sinetron” untuk ada di kehidupan nyata, sampai kita mengalaminya sendiri. Mungkin, kalau anak gue bertanya tentang hidup gue, kisah ini lah yang akan gue ceritakan. Kita semua pasti punya kakek/nenek yang selalu mengulang cerita yang sama tentang hidupnya. Dan itulah Proyek Ch. Saat gue menyusun daftar bab dari ebook ini, di dalamnya akan ada 16 cerita lepas. Dan iya, ini masih bisa berubah. Bisa kurang, atau malah bertambah.Beberapa cerita dalam proyek Ch. adalah pertama kali jadian sama cewek posesif, menjadi laki-laki yang nggak peka, penyakit pneumothorax yang gue alami, pengalaman gue dan Bokap, pacaran seminggu, sampai kondisi Covid-19 ini.Jadi, bersiaplah.Kita bikin mainan baru lagi sama-sama.  Ps: gemes banget euy pengin cepet-cepet ngerampungin ini! Tapi gak pengin diburu-buru juga.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan