Bacain Puisi Joko Pinurbo

3
0
Deskripsi

Konten ini gratis untuk umum, dan lebih lengkap dari versi Spotify.

Di podcast ini gue bacain 10 puisi Joko Pinurbo, dari 3 buku yang berbeda. Iya, gue juga gatau kenapa tiba-tiba sotoy begini anjiirrr.

bacain puisi joko pinurbo - karyakarsa version.mp3

Semua puisi karya Joko Pinurbo.

Dari buku Salah Piknik:

Kursi Tunggu

Langit biru ikut nelangsa menyaksikan kursi biru
menganggur saja di trotiar kota, menunggu kekasih
yang berjanji akan datang mendudukinya.

"Ke mana sohibmu yang matanya biru itu? Semoga
dia masih waras," sapa langit biru kepada kursi biru.

Pandemi sudah terlalu lama. Rindu tidak banyak
berguna. Bahasa kadang mati rasa. Ucapan "makasih
banget ya atas segala dukungan dan doa semoga sehat
bahagia selalu tetap kreatif produktif kapan-kapan
kita jumpa ngopi bareng ngobrol asyik dalam suasana
yang jos" dibalas KO dengan “sama-sama”.

Hanya seekor burung biru dan seekor sepi rajin
bercengkerama di atas kursi biru di trotoar kota, 
bergosip tentang nasib manusia yang diharubiru dosa.

Bocah Baik

Bocah yang oleh temannya
sering dianggap goblok itu
tahu banget cara membangun
pagi yang baik: bangun tidur
terus menggantungkan
cita-citanya di tali jemuran.

Curhat Kepada Ibu

Hidup ini hanya singgah makan dan minum, ya Bu.
Betapa lekas waktu berlalu. Rasanya baru kemarin
Ibu mengantar saya ke sekolah, sekarang tahu-tahu
kepala saya mulai beruban.

Ah, enggak. Bagi Ibu hidup ini hanya mampir masak,
cuci piring dan gelas. Sejak mengandungmu Ibu ribet
masak, cuci piring dan gelas. Sampai sekarang masih
masak, cuci piring dan gelas.

Hidup ini isinya cuma kredit dan belanja ya, Bu.
kredit ini kredit itu, belanja ini belanja itu. Capek, Bu.

Masa sih? Sejak dulu Ibu enggak pernah kredit. Ibu
hanya berusaha memenuhi kebutuhanmu, apa pun
caranya. Belanja juga untuk memenuhi kebutuhanmu.

Hidup ini ternyata tak seindah bulan ya, Bu. Banyak
masalah, banyak kejutan gak mutu. Hidup ini kadang
seperti kain pel yang lecek dan sobek-sobek.

Ah, sejak dulu hidup ini indah dan mendebarkan
dari bulan ke bulan. Bulan ini tekor berapa ya? Bulan
depan tekor gak ya? Tekor itu bagian dari seni hidup.

Bu, kata Chairil, hidup ini hanya menunda kekalahan. 
Ngeri sekali ya, Bu.

Oh ya? Sampai kapan pun aku tak akan kalah. Tidak
akan pernah kalah. Camkan!

Bu, benarkah surga berada di telapak kaki ibu?

Benar. Valid. No debat.

Nyerah deh curhat sama Ibu.

Ya sudah, curhat sama Bapakmu sana.

Iklan Peranti Tidur

Sudah saatnya kau paham
ada masalah
yang tak akan
bisa diselesaikan
dan tidak perlu diselesaikan.

Yang bisa
menyelesaikan masalahmu
ialah tidur.

Hanya tidur yang dapat
membuatmu
rela menerima
bahwa dirimu adalah masalah.

Kesepian Kita

Kesepian kita mampu beradaptasi dengan
perkembangan zaman sehingga muncul berbagai
bentuk kesepian baru yang menunjukkan nuansa
yang berbeda dengan yang kita kenal sebelumnya.
Namun, bentuk-bentuk baru kesepian tersebut
agaknya lebih merupakan produk sosial daripada
hasil pergulatan eksistensial. Dalam bukunya
Digitalisasi Kesepian, Dobosky menyatakan bahwa
penetrasi teknologi informasi dan komunikasi,
yang diikuti dengan digitalisasi dalam berbagai
bidang, telah memicu lahirnya pseudokesepian.
Penyebab utama pseudokesepian ialah adiksi
yang berlebihan terhadap hasrat berkomunikasi,
berinteraksi, dan menampilkan citra diri. Kondisi
adiktif ini kemudian menciptakan keringkihan
dan kelesuan mental. Manusia mudah merasa
fana manakala hasratnya itu tidak mendapatkan
penyaluran, pemenuhan, dan respons seperti
yang dibayangkan dan diharapkan. Itulah kiranya
latar psikososial yang, disadari atau tidak, telah
membubuhkan sifat tertentu pada berbagai
ciptaan dalam khazanah kesepian mutakhir kita.

Siti Rezeki

Malam
Lembur
Hujan
Dingin
Covid
Mager
Lapar
Berilah kami rezeki pada hari ini…

Saya pesan makanan lewat ojol.
Bang ojol bilang siap dan minta saya
sabar menunggu.

Bang ojol tidak juga nongol. Asu.

Bang, kok lama. Perut saya nagih.
Maaf, Mbak Siti, makanan yang Mbak
pesan barusan saya santap. Enak.
Saya lapar. Seharian sepi. Lemas.

Ya sudah, saya beri dia terima kasih,
jempol dua, bintang lima.

Dari buku Perjamuan Khong Guan:

Ayah Khong Guan

Ayah sedang
khusyuk menikmati
remah-remah
sisa kenangan
dalam kaleng
Khong Guan
ketika rumahnya
yang sunyi
disambangi petugas:
"Selamat malam.
Apakah kondisi
kejiwaan Anda
aman terkendali?"

Ayah menjawab,
"Maaf, saya
sedang
berbahagia.
Negara
dilarang
masuk
ke dalam hati saya."

Keluarga Khong Guan

Banyak orang penasaran
mengapa sosok ayah
dalam keluarga Khong Guan
tak pernah tampak di meja makan?

Kata anak laki-lakinya,
"Ayahku sedang
menjadi bahasa Indonesia
yang terlunta di antara
bahasa asing dan bahasa jalanan."

Anak perempuannya
menyahut, "Ayahku
sedang menjadi nasionalisme
yang bingung dan bimbang."

Si ibu angkat bicara,
"Ayahmu sedang menjadi
koran cetak yang kian
ditinggalkan pembaca dan iklan."

"Semoga Ayah tetap
terbit dari timur, ya, Bu," ujar
kedua anak yang pintar itu.

"Bodo amat ayahmu
mau terbit dari mana,"balas si ibu.
"Yang penting bisa pulang
dan makan bersama."

Doa Orang SIbuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya

Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah nomorMu.

Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor
yang tak pernah kausapa.

Dari buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi:

Telepon Genggam

Di pesta pernikahan temannya
ia berkenalan dengan perempuan
yang kebetulan menghampirinya.
Mata mengincar mata, merangkum ruang.
Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya?
Mata: kristal waktu yang tembus pandang.

Di tengah hingar mereka berjabat tangan,
berdebar-debar, bertukar nama dan nomor,
menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji.
Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.

Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan
tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas
malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot
malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur,
tahu-tahu sudah di kamar mandi.
Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.

Masih terngiang denting gelas, lenting piano
dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya
tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti
meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya,
menjadi sistem sepi yang tak akan habis diurainya.

Ia mondar-mandir saja di dalam rumah,
bolak-balik antara toilet dan ruang tamu,
menunggu kabar dari seberang, sambil tetap
digenggamnya benda mungil yang sangat disayang:
surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul
hanya tulalit yang membuat sakitnya
makin berdenyit. Sesekali tersambung juga,
namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu
halo halo bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya
ke kepalanya, lalu diciumnya.

Kabar dari seberang tak kunjung datang,
ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan
membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang,
masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya
ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas
dari cengkeram. Telepon genggam:
surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan.
ia berdebar membayangkan perempuan itu
mengucap salam: Tidurlah, sayang, sudah malam.
Kau tak akan  pernah kutinggalkan. Ternyata cuma
cemooh dari seseorang yang tak ia kenal:
Gile, tidur aja pake jas segala. Emang mau mati?

Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan
dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali
ia terima pesan, itu pun cuma iseng:
Selamat, Anda mendapatkan hadiah undian
mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda
untuk dicocokkan dengan kodoknya.

Antara tertidur dan terjaga, antara harap
dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba
berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu
ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau
tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu
sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo
di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.

Di luar hujan telah turun. Terdengar suara
peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja
karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu.
Ketika untuk terakhir kali ia coba menghubungi
nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat
layar telepon gengggamnya memancarkan
gambar gerimis mengguyur senja.

Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas
dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti.
Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, 
padahal sangat butuh. ia betulkan jasnya,
genggam erat surga kecilnya, lalu terpejam,
terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya
yang ingin tetap tampak perkasa.

Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi
menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba
memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis
tak putus-putusnya. Nyaring, lengking,
lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja,
terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya
meronta-ronta dalam cengkeraman tangannya.

Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat
seorang anak lelaki kecil pulang dari main
layang-layang di padang lapang dan mendapatkan
rumahnya sudah kosong dan lengang.
Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan
di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada
seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu
dan binar bisu, sedang risau menunggu.

Seperti saudara kembar yang ingin memeluknya
dalam haru, mengajaknya bermain di bawah
pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.

--

Backsound:

Serenity - Riddiman

i dont wanna feel - Riddiman

chaos - Riddiman

Mixtape - Riddiman

caught in the rain - Riddiman

biscuit - lukrembo
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Podcast
Selanjutnya Memori - Mengejar Bulan
1
0
Vlog yang gue bikin ketika berusaha mengejar gerhana bulan sambil camping, tanggal 26 mei kemarin. Semoga suka! \(w)/ --
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan