senyum risa.

0
0
Deskripsi

“Jangan minta maaf,” keluh Nada. “Kenapa kamu harus minta maaf? Semua itu bukan salahmu.”

Mereka tidak putus. Nada tidak menjauhinya. Malah sekarang mata Nada selalu mengikuti Risa. Selalu mengawasinya.

Mereka belajar pelan-pelan. Sentuhan-sentuhan kecil. Supaya Risa bisa belajar menjadi normal. Belajar mencintai. Belajar memaafkan masa lalu yang jika terus-terusan dipelihara, hanya akan membuatnya semakin menderita.

“Nyalakan lampunya,” pinta Risa.

“Aku ingin melihat kamu.”

Risa mempertemukan kening mereka.

“Aku ingin mengingat sore ini selamanya.”

Ada satu manga yang sangat tidak Risa sukai. Risa membaca manga itu waktu dia kelas satu SMA. Waktu Risa sedang bosan-bosannya. Orang suka mengatakan kalau Risa itu beruntung. Dia memiliki segala sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Uang, kecantikan, badan kurus langsing yang menawan, kebahagiaan. Risa memiliki segalanya. 

Mereka tidak salah. Risa memiliki segalanya. Makanya sebisa mungkin dia selalu berusaha menjadi orang yang bersyukur. 

“Mau kamu lepas sendiri, atau aku lepasin?”

Risa menatap Nada yang duduk di hadapannya. Cowok tinggi besar yang suka membungkuk itu menatap Risa lamat dengan matanya yang gelap. Mereka berdua duduk di kasur. Di kamar Nada yang tidak seberapa besar. Choki duduk di jendela. Menghakimi mereka berdua tanpa suara.

Buat apa seorang laki-laki dan seorang gadis muda duduk bersama di ranjang dengan jendela tertutup?

Oh, jendela. Itu sedikit mengingatkan Risa pada manga yang tidak dia suka. 

“Bukain,” ucap Risa pelan. Dia menurunkan pandangan. “Nanti—kita gantian…”

Nada berkedip. “Oke…”

Nada beringsut maju. Gerakannya ragu. Apalagi ketika perlahan Risa mengangkat kepala. Perlu menengadah untuk menatap Nada yang jauh lebih tinggi.

Hari ini, untuk pertama kalinya Nada melihat Risa dengan pakaian biasa. Bukan seragam sekolah. Terusan katun berenda yang panjang hingga hampir menyentuh mata kaki. Dipadu sweater rajutan yang terlalu panas untuk udara Jakarta, tapi enak-enak saja dipakai Risa karena gadis itu sangat sensitif terhadap suhu dingin. 

Risa, si putri anggrek sekolah mereka. Nada, si genderuwo albino yang sering dianggap tak kasat mata. Media pasti akan heboh kalau tahu putri bungsu keluarga Manura berpacaran dengan rakyat jelata. 

“Aku boleh pegang?” Nada menyentuh pita putih yang mengikat kepangan surai ungu Risa.

Risa mengangguk lambat. 

Ketika Nada menarik pita itu, Risa mengenang pertemuan pertama mereka di tangga. Saat Risa tidak sengaja mendorong Nada hingga cowok itu hampir kehilangan hapenya. 

Kepangan Risa diurai pelan-pelan. Risa menemukan dirinya mengulurkan tangan. Telunjuknya menyentuh lutut Nada yang masih dibungkus kain. Mengetuk-ngetuk lutut Nada sementara matanya juga menangkap bagaimana tangan besar Nada meraih sejumput rambutnya lalu membiarkan helai surai ungu itu meluncur jatuh. 

“Kamu harum,” Nada berbisik. Risa bergumam. 

Pita lainnya ditarik lepas. Setelah itu apa? Oh, iya, Nada itu laki-laki pemalas. Tapi, Cuma dia yang tidak menelanjangi Risa dengan tatapan matanya. Tidak seperti laki-laki lain. Nada sama sekali tidak tertarik pada Risa. Atau setidaknya, awalnya Risa kira begitu. Sampai ketika mereka jadian, Nada berkata kalau selama ini dia selalu mengamati Risa diam-diam. Dia tidak mendekati Risa karena Risa selalu dikerubungi lebah.

Mereka bukan teman sekelas. Tapi kelas mereka bersebelahan. Risa sering melihat Nada sendirian. Tidak punya teman tapi tidak terganggu. Risa, yang terbiasa dikelilingi lebah berwajah manusia yang gemar tersenyum palsu, jadi iri kalau melihat Nada. Makanya ketika dia berhasil menyelinap menghindari gerombolan lebah-lebah itu, diam-diam Risa akan mencari Nada. Oh! Risa menemukan Nada di tangga gedung tidak terpakai di sekolah mereka yang katanya akan dirubuhkan. Risa juga menemukan Nada di rooftop sekolah kalau kelas sedang kosong. Padahal sekolah mereka yang terdiri dari empat lantai ini tidak memiliki lift. Soalnya bangunan peninggalan Belanda. Mendaki tangga memang melelahkan. Tapi buat Risa yang belajar menyukai kesunyian karena Nada, ada ketenangan tersendiri saat melihat Nada bermain game di dalam sebuah ruang kelas tidak terpakai. Sama sekali tidak takut akan kemungkinan dihampiri kuntilanak bule. 

Risa meloloskan tawa. Lucu juga kalau diingat-ingat. 

“Ada apa?” tanya Nada heran. “Geli?”

Risa menggeleng pelan. Kepangannya sudah terurai semua. Tapi rambutnya masih terikat. 

“Nggak. Aku cuma keingetan sesuatu yang lucu,” Risa menarik senyum. Jemarinya mengelus rahang Nada yang tegas dan kokoh. 

Disentuh begitu, Nada bergidik. Cowok itu merendah. Puncak kepala Risa dicium lembut. 

“Kamu yakin?” bisik Nada di rambut Risa.

“Hm?” 

“Apa yang akan kita lakukan setelah ini,” Nada menegakkan tubuhnya kembali. Dia menatap Risa lamat-lamat. Poni Risa disisir. 

“Kalau kamu nggak nyaman kita bisa berhenti,” Nada meraih jemari kurus Risa. Hidung risa dikecup.

“Risa?”

Manga yang tidak Risa suka itu, judulnya Oyasumi Punpun. Risa membaca manga itu tidak lama sebelum dia bertemu Nada. Saat Nada dan Risa berkenalan, boleh dikatakan isi kepala Risa masih berantakan karena membaca komik itu. 

Selama SMA ini Risa berusaha membiasakan dirinya agar tidak kaku saat mengkonsumsi konten berbahasa Inggris. Ketika sedang bosan di kamar atau supaya tidak sepi ketika sedang belajar, Risa akan memutar video-video di YouTube tentang banyak hal. Kadang sejarah-sejarah kelam. Kadang isu-isu terkini. Tidak jarang juga pembahasan mengenai buku atau film. Hari itu, fitur autoplay di YouTube Risa memutar video berjudul Goodnight Punpun: A Despairing Cycle. Selamat Malam Punpun, sebuah lingkaran penuh keputusasaan. Sejak video itu diputar, Risa merasa kalau video itu sepertinya akan terkesan pribadi. Jadi Risa memutuskan untuk membaca kolom komentarnya. Salah satu komentar di video itu membuat Risa bingung. 

Kamu membuat video ini seakan kamu benar-benar tidak ingin orang lain membaca manga itu.

Risa mengernyit, kenapa? Pikirnya. 

Sejak kecil Risa selalu disebut anak pintar. Anak emas dengan kepandaian dan kedewasaan melebihi anak-anak disekitarnya. Risa juga memiliki keberanian dan kecerdasan diatas rata-rata. Makanya orang-orang merumorkan dia akan menjadi wakil atau bahkan ketua OSIS beberapa bulan lagi. 

Oh, dan kalian belum lupa, kan? Risa sedang bosan. Risa pikir orang-orang di kolom komentar melebih-lebihkan. Jadi Risa membaca manga itu, dan dalam prosesnya, menyesali keputusannya yang sombong. 

Salah satu adegan yang menghantui Risa hingga kini adalah bagaimana manga itu membuat seks terasa sangat menjijikkan. Ada banyak adegan seks disana. Semuanya membuat Risa tidak nyaman. Belum termasuk kenangan lama tentang bagaimana, laki-laki pertama yang pernah mengutarakan cinta pada Risa adalah wali kelasnya di salah satu sekolah dasar elit berstandar Internasional. 

Risa masih tersenyum. Risa masih tertawa. Tapi jujur saja, manga itu menghantuinya dengan cara yang berbeda. 

Risa remaja normal (atau setidaknya itu yang ingin dia percaya). Dia juga iri ketika temannya ada yang bercerita tentang pacar. Dia juga ingin merasakan apa itu cinta. Dicium, dipeluk dan diperlakukan seperti permata. Risa ingin merasakannya.

Tapi—

“Risa, kalau sudah besar nanti, menikah sama bapak ya?”

“Putrimu cantik sekali Raka. Kunikahkan dengan putraku saja, gimana? Nanti perusahaan kita bisa menjalin kerjasama,” kata seorang pria gempal yang hampir dipendam di kuburan. Anaknya yang dia maksud sudah punya istri.

“Cium Pak Guru dulu, Risa,” seorang pria berwajah buram menyeringai. “Nanti kalau kamu cium bapak, nilaimu bapak naikkan sampai seratus.”

“Risa itu nggak pernah punya pacar kan ya? Menurutmu kenapa?”

“Mungkin karena cowok yang suka sama dia kebanyakan. Risa jadi nggak tahu mau milih yang mana.”

“Atau… mungkin karena dia udah nggak perawan?” sekelompok gadis itu terkesiap. “Kalian tahu sendiri, kan? Pak Sumaryanto suka megang-megang Risa.”

“Sakitnya Cuma sebentar Risa,” pria berwajah buram lainnya melepaskan dasi yang ia kenakan. “Nggak apa-apa. Jangan takut.”

Pemerkosaan, gairah seksual yang tidak terbendung, perselingkuhan dan ketidaksetiaan. Oyasumi Punpun terasa sangat dekat karena Risa pernah mengalami hal-hal menakutkan yang manga itu ceritakan. Sisi gelap manusia. Dunia yang sangat depresi. Dunia tanpa kebahagiaan. Para pengecut yang semakin keji ketika mereka menjadi berani. 

Mereka bilang, otak orang yang kecanduan pornografi itu tidak pernah sama lagi. Sama halnya dengan isi kepala mereka yang pernah diperkosa. 

Semuanya, menyakitkan sekali. 

“Seharusnya aku yang bilang begitu,” Risa menarik senyum tipis. “Apakah kamu baik-baik saja dengan perempuan yang sudah pernah dipakai seperti aku?”

Nada terdiam. Selama beberapa saat, Nada hanya memandangi Risa. Membuat Risa menunduk. Semakin kehilangan kepercayaan diri.

Tapi tiba-tiba dagunya diraih. Mata violet Risa bertemu mata Nada yang begitu gelap. Begitu kelam dan dipenuhi kilat amarah. Mata yang biasanya sayu, ogah-ogahan dan penuh kemalasan itu berapi-api. 

“Jangan berkata seperti itu lagi,” Nada berucap rendah. “Jangan berbicara seakan kamu itu barang yang bisa dibuang Risa. Kamu bukan barang. Kamu manusia.”

Risa tertegun. Matanya berembun. Dia tersenyum. Tertawa. Tertawa sambil menangis, lalu benar-benar menangis. 

Nada memeluknya. Tidak bergeming saat Risa memukul-mukul dadanya. 

“Manusia dengan segala kekotorannya Nada,” Risa terisak. “Aku jijik….”

Nada mengeratkan pelukannya. Berharap dengan begitu dia bisa meredam kepahitan Risa.

Mereka bertemu ketika masih kelas sepuluh. Sekarang mereka sudah kelas dua belas. Bermula dari rasa penasaran Risa. Diikuti rasa penasaran dan keheranan yang tumbuh di dada Nada. Waktu-waktu penuh keheningan di gedung sekolah tidak terpakai. Bekal makanan bikinan rumah yang Risa bagi. Ketertarikan Risa pada sepak bola. Lalu entah bagaimana, Nada yang pemalas ingin mencoba bermain sepak bola karena ingin Risa hanya melihatnya. Bukan cowok-cowok bule berbadan sispek yang suka pamer otot (padahal tidak perlu. Mata Risa selalu ada pada Nada).

Setahun lebih berpacaran. Bersembunyi dibalik bayang-bayang dan lirikan mata penuh rahasia. Kecupan polos di pipi yang Nada inisiasi (karena Risa terlalu manis) disambut mata terbelalak penuh ngeri yang membuat Nada pucat pasi. 

Kejujuran Risa baru tersampaikan belum lama ini. Di gedung sekolah tidak terpakai yang belum juga dirubuhkan karena ternyata hantunya tidak terima. Di tempat yang sama ketika mereka pertama kali bertukar bekal. Risa menceritakan pemerkosaan yang melukainya sampai sekarang. 

“Aku nggak tahu apakah itu bisa disebut pemerkosaan,” Risa menatap lurus kedepan. “Aku juga orgasme. Terus video yang aku tonton tentang pelaporan kasus pemerkosaan, menampilkan bapak-bapak yang berkata kalau perempuan toh enak-enak aja diperkosa. Menikmati, katanya. Aku nggak paham. Aku nggak pernah bilang siapa-siapa karena aku takut. Terus entah mungkin itu mekanisme perlindungan diriku atau entah apa, aku sering lupa-lupa ingat soal itu.”

Risa memiringkan kepalanya sedikit, “tapi aku bakal keingatan kalau disentuh laki-laki. Mungkin itu hal baik. Karena aku jadi semakin selektif ketika dideketin laki-laki. Tapi… sama kamu rasanya berbeda.”

Risa menatap Nada yang sejak tadi mendengarkan sampai nyaris lupa bernafas.

“Ketika nggak sengaja bersentuhan sama tanganmu aku deg-degan. Aku nggak keingetan kejadian itu. Aku malah gugup. Terus yang aku pikirin Cuma kamu. Kamu yang cara makannya lucu. Tanganmu yang dingin tapi besar. Kamu yang mirip kukang karena suka tidur dan males gerak. Nggak biasanya aku merasa kayak begitu,” Risa menunduk sedikit.

“Aku tahu aku udah nggak normal lagi sejak aku memahami apa yang sebenarnya terjadi padaku. Ketidaknormalan itu tidak bisa dipendam selamanya Nada. Mereka pasti akan mencari jalan untuk menunjukkan diri pada dunia dengan cara-cara yang lebih kreatif dan lebih menyakitkan. Seperti kemarin ketika kamu mencium pipiku. Tapi, bagaimanapun juga aku nggak mungkin seperti ini selamanya, kan? Nggak mungkin aku takut sama laki-laki selamanya, kan? Makanya aku suka ada disekitar kamu. Aku merasa… normal… seakan aku kembali menjadi diriku yang dulu. Sebelum semua kepahitan itu menimpaku.

“Toh, semua itu nggak akan terjadi kalau aku nggak lemah. Kalau aku bisa melawan. Kalau aja waktu itu aku memukul kepalanya dengan palu atau vas kaca. Atau buku—”

“Kalau kamu gagal menyakiti dia, dia akan balas menyakitimu dengan cara yang lebih parah,” Nada memotong. Tidak tahan lagi. “Dia tahu fisikmu lemah. Dia memanfaatkan itu. Kamu anak-anak. Dia orang dewasa. Itu bukan salahmu. Sungguh. Risa, berhenti menyalahkan dirimu sendiri.”

Risa menoleh kaget. Nada selalu malas bicara. Malas mengutarakan pendapatnya. Apalagi sampai menaikkan nada suaranya begitu. 

Nada kelihatan benar-benar putus asa. 

“Maaf…”

“Jangan minta maaf,” keluh Nada. “Kenapa kamu harus minta maaf? Semua itu bukan salahmu.”

Mereka tidak putus. Nada tidak menjauhinya. Malah sekarang mata Nada selalu mengikuti Risa. Selalu mengawasinya. 

Mereka belajar pelan-pelan. Sentuhan-sentuhan kecil. Supaya Risa bisa belajar menjadi normal. Belajar mencintai. Belajar memaafkan masa lalu yang jika terus-terusan dipelihara, hanya akan membuatnya semakin menderita.

Jari bertemu jari. Telapak tangan Nada disentuh perlahan. Hidung Risa dijawil pelan. Telinga Nada disentuh ragu. Poni Risa disisir lembut. Tautan tangan pertama mereka juga dilakukan secara perlahan. Di gedung berhantu yang sama. Didepan jendela tua yang sudah rusak. Mata Nada tidak pernah melepaskan mata violet Risa. Pelan-pelan, jemari mereka bertautan di udara. Lalu saling menggenggam erat. 

“Kamu takut enggak?”

Risa menggeleng pelan. Matanya masih terpaku pada Nada. Nada yang apatis mengulas senyum kecil. Itu juga pertama kalinya kening Risa dicium. Lembut sekali. Disertai bisikan pintar yang membuat Risa bersemu hebat.

Nafas Nada tercekat. Perlahan dia memisahkan pelukan mereka. Air mata Risa diseka. Nada meraih tisu disebelah Choki dan menyeka ingus Risa. Risa merengek malu. Merebut tisu itu dari tangan Nada. Ingin beringsut mundur tapi ditahan Nada.

“Jangan jauh-jauh,” Risa menatap Nada bingung. “Kalau kamu kejauhan nanti aku nggak bisa memeluk kamu.”

Risa mendengus, “tangan kamu panjang. Jangan merendah begitu.”

“Kamu kan tahu aku semageran apa.”

Risa tertawa pelan. Air matanya masih mengalir tapi ketika Risa menyingkirkan tisunya, dia sudah bisa tersenyum. 

Risa sesenggukan sedikit, “maaf. Aku jadi merusak suasana.”

Nada menggeleng, “nggak kok. Aku yang duluan bahas soal itu. Maaf.”

Sekarang Risa yang menggeleng. Senyum manisnya kembali. Dia memejamkan mata saat keningnya dicium Nada. Lalu pelipisnya. Matanya. Pipinya. Turun ke dagu. Naik ke telinga. Kemudian leher—Risa bergidik geli. Pundak Nada dipegangi. 

Saat Nada menjilat lehernya, tatapan Risa tidak sengaja jatuh pada Choki. 

“…dilihatin Choki…”

Nada menyentakkan kepala, “hah?”

Cowok itu melongo sebentar. Menaikkan alis, lalu mengernyit sebelum menatap kaktus berbentuk kelinci di jendelanya. Lalu dia kembali menatap Risa. Jelas-jelas kelihatan frustasi. Tapi saat melihat Risa menutupi mulutnya sambil tergelak pelan, Nada sadar kalau dia sedang digoda. 

“Risa…”

“Maaf-maaf,” Risa tertawa lagi saat Nada kembali beringsut maju. Tangannya kembali berpegangan pada pundak Nada. “Ya ampun, kamu lucu banget.”

Risa tersenyum malu, “tapi aku beneran malu dilihatin Choki…”

“Choki nggak punya mata. Jangan ngajak berantem Risa.”

Tawa Risa kembali mengudara.

Dengan hati-hati, Nada melepas ikat rambut Risa. surai ungu Risa sekarang tergerai sepenuhnya. Jatuh hingga melewati pinggang. Begitu halus dan harum. Nada selalu menyukai aroma rambut Risa. Rambut Risa diciumi. Sejumput dia raih dan dia cium tanpa mengalihkan matanya dari Risa. 

Nada membiarkan benang-benang ungu lembut itu jatuh. Sweater rajut Risa disentuh. 

“Boleh aku lepas?”

Risa menatap lamat mata Nada. Ia mengangguk pelan. 

Nada meraih ujung sweater Risa. Ditarik pelan-pelan hingga melewati kepala pacarnya. Rambut Risa jatuh mengenai pundak telanjang yang ringkih. Sedikit berantakan tapi entah bagaimana malah membuat Risa semakin cantik. Risa mengenakan terusan tanpa lengan. Nada bisa melihat tulang selangka Risa yang dihias kalung emas berbandul hati. Manis sekali.

Puncak kepala Risa dicium lagi. 

“Gantian kamu,” Nada menyapu bibirnya di kening Risa. Risa mengangguk pelan. 

Resleting jaket Nada tidak dikaitkan. Jadi Risa menyentuh pundak Nada. Menurunkan kain itu perlahan hingga Nada bisa menarik keluar jemarinya. Dibalik jaket itu, Nada mengenakan hoodie berlengan pendek. Risa termenung. Nada banyak berubah sejak terjun ke dunia sepak bola. Nada yang pemalas dipaksa melakukan banyak aktivitas fisik. Pundaknya keras. tubuhnya liat dengan otot. Risa meraba dada Nada. Lalu menatap pacarnya yang bernafas rendah. Kening Risa dicium lagi.

Risa berlutut. Ujung hoodie Nada diraih, lalu Risa menariknya perlahan hingga kepala Nada lolos. Saat Risa meletakkan hoodie itu di sisi lain kasur, untuk pertama kalinya dia melihat tubuh polos Nada. Kulit pucat Nada. Kokoh dan besar.

Mirip beruang kutub, batin Risa saat tangan Nada kembali melingkupinya. Risa berpegangan pada lengan telanjang Nada. Menggambar lingkaran-lingkaran acak sambil mendengarkan nafas Nada yang semakin berat. 

Ketika membaca manga Oyasumi Punpun, Risa amat jijik melihat Punpun dan Aiko bersetubuh di kamar dengan jendela yang dibiarkan terbuka. Risa tidak bisa melupakan mual yang melingkupinya saat Aiko dan Punpun melakukan seks di tengah hutan belantara, setelah Aiko berusaha menusuk Punpun dengan pisau. Dia juga tidak bisa melupakan bagaimana Punpun membuka kemeja yang Aiko kenakan didepan apartemennya. Tanpa mempedulikan orang lain akan melihat tubuh Aiko. Setelah melakukan seks, mereka saling mengungkapkan cinta. 

Sungguh? Apakah itu bisa disebut cinta? Kenapa dunia tempat Punpun hidup begitu pahit, sinting dan pesimis?

Kenapa… mereka membuat cinta terlihat dan terasa begitu menyakitkan?

Risa bersandar pada bahu Nada. Mengamati Nada meraih sebatang cokelat berwarna merah jambu dari jendela. Tepat disebelah Choki yang malang. 

“Cokelat…?”

“Mm,” Nada membuka bungkus cokelat itu. “Rasa stroberi. Kamu mau?”

Risa mengangguk. Menerima sepotong dari Nada lalu mengulumnya perlahan.

Risa menutupi mulut, “ada potongan stroberinya.”

“Stroberi kering,” Nada menyeka sudut bibir Risa. “Aku beli itu di bakery deket sekolah. Biasanya kalo kesana kita Cuma beli roti. Ternyata cokelat homemade mereka enak.”

Risa tersenyum kecil. Cinta, pikirnya tanpa mengalihkan pandangan dari Nada yang menata bungkus cokelat itu lalu meletakkannya disebelah Choki. Jemari Nada kembali menggamit jemari Risa yang lebih kecil. Memainkannya sambil menatap Risa. 

Mata Nada jatuh pada bibir Risa. Tapi tidak mengatakan apa-apa. 

Risa mengepalkan jemarinya. Pandangannya dialihkan sebentar. Lalu dia menatap Nada, jemarinya sendiri, lalu Nada lagi. 

Risa mengangguk. Mata Nada membola.

“Beneran…?”

Risa tersenyum. Jemari Nada diraih. Ditautkan lagi dengan miliknya. 

Siapa yang duluan mendekat? Nada tentunya. Risa mana berani. Nada sempat berhenti ketika wajah mereka sudah dekat. Meneliti paras Risa. Merasa was-was takut dia akan menakuti Risa. Tapi ketika tidak menemukan emosi negatif itu, Nada melanjutkan. Saat bibir mereka hampir bersentuhan, Nada dan Risa bertatapan. Berbagi udara. Mencari keyakinan. Ketika Risa melihat Nada perlahan menutup matanya, Risa meniru. Kali ini mereka sama-sama bergerak. 

Ciuman pertama mereka, terasa seperti cokelat berperisa stroberi. 

Manis.

Tubuh Risa kurus. Ringkih dan mungil. Mudah disembunyikan dibalik rengkuhan Nada. Nada berusaha menjaga binatang buas di kepalanya agar tidak mengambil alih. Agar tidak menyakiti Risa. Nada sedikit tidak bisa berpikir jernih ketika teringat kalau ini bukan ciuman pertama Risa. Yang pertama bagi Risa adalah seorang laki-laki beristri, berkepala empat. Pengalaman pertama yang Risa ceritakan sembari membenci dirinya sendiri. 

Makanya Nada ingin ciuman mereka manis. 

Nada merengkuh Risa. Rambut Risa terasa begitu lembut dan menggelitik. Nada memisahkan ciuman mereka sebentar. Rambut Risa disingkap ke belakang telinga, lalu Nada kembali mencumbu anggrek ungu yang merintih kewalahan itu. 

Tangan Risa di punggungnya terasa membakar.

Panjang dan penuh percobaan. Ketika Risa berhenti Nada akan mengejar. Ketika Nada menarik nafas, Risa akan merengek. Setelah beberapa saat, mereka sama-sama berhenti. Sama-sama terengah dan saling memandang. Tangan Risa di dada Nada. Tangan Nada di pinggang Risa. 

Cinta.

Risa menyentuh bibir Nada. Dielus pelan, lalu mereka berciuman lagi. 

Jangan katakan kalimat itu disini. 

Risa melenguh saat tengkuknya diciumi. Nada terengah saat merasakan rambutnya diacak-acak. Risa memberanikan diri untuk mencium telinga Nada. Nada membalasnya dengan gigitan pelan di telinga Risa. Pipi Risa diciumi. Ciuman itu merambat dan kembali ke bibir. Tapi hanya ciuman singkat, sebelum mereka kembali berbagi udara yang sama. 

Nada menyeka air mata yang menggantung di sudut mata violet Risa.

“Kenapa menangis?”

Air mata yang lain malah jatuh. Tapi Risa tersenyum. Dagu Nada dielus, lalu dikecup.

Nada menyentuh pita yang mengikat pakaian Risa. Dahi Risa dikecup. Lalu matanya, hidungnya, bibirnya. 

“Boleh?” bisik Nada.

Risa memegangi lengan Nada. Ia mengangguk pelan.

Nada beringsut mundur. Kini dia melihat tubuh dan wajah Risa yang bersemu. Risa duduk di tempat tidurnya. Berpegangan pada jemari Nada. Mencari pegangan dan keberanian. 

Nada menemukan dirinya mencium punggung tangan Risa. Risa bergidik. Dia menahan pakaiannya yang di bagian dada ketika Nada meraih pita bajunya. Sosok Aiko yang ditelanjangi Punpun di teras apartemen terlintas di pikirannya. Wajah Risa memucat. 

Nada menyadari takut yang membayangi mata pacarnya. Tangan Nada membeku, lalu ia tarik. Panik menyelimuti wajah Risa. Sebelum digantikan oleh keterkejutan saat Nada melepas sabuk, lalu celananya tanpa mengalihkan pandangan dari Risa. 

“Na—Nada….”

Nada menyugar rambutnya. Dia berhenti ketika hanya tersisa boxernya saja yang masih terpasang. 

Nada mengulurkan tangan. 

Tadi, mereka ketemuan di taman jam berapa ya? Jam sepuluh kalau tidak salah. Risa menunggu Nada di taman. Buya, pelayan yang sudah merawat Risa sejak kecil mengamati mereka dari mobil. Memberi anggukan singkat pada Nada begitu mereka bertatapan. Risa yang manis. Risa yang begitu indah. Risa si putri anggrek, yang bisa-bisanya menaruh mata pada yeti jawa seperti Nada. 

“Jakarta mendung polusi seperti biasa,” begitu sapa Nada. 

Risa mengerjap. Kepalanya dimiringkan. Dia tersenyum dan mengangguk ringan. Menyambut tangan Nada ketika cowok itu mengulurkan. 

Sekarang pun begitu. Nada penasaran apakah Risa akan menyambut uluran tangannya tanpa ragu seperti tadi.

“Berdiri, Risa.”

Risa kelihatan ragu. Pakaiannya masih terpasang apik. Nada pikir Risa hendak menolak. Tapi perlahan, Risa menurunkan kakinya. Tangannya balas terulur. Kecil dan kurus jika dibandingkan dengan jemari Nada. Nada sontak menggenggam jemari Risa dan membantu pacarnya berdiri. 

Nada tidak mau Risa menderita lebih banyak lagi. Tidak mau juga Risa bersedih. 

Nada meraih tangan Risa yang lain. Jemarinya diciumi satu persatu. Lalu mata Nada menatap Risa lamat. 

“….atau, kamu mau coba membukanya sendiri?”

Risa terdiam. Dia menunduk. 

“Nggak apa-apa kalau sambil berbalik. Senyamannya Risa aja.”

Risa menarik tangannya dari Nada. Air matanya yang entah sejak kapan menggenang diseka. 

“Nada…”

Apakah Risa ingin berhenti? “Hm?”

“Boleh… bisakah kamu menciumku?”

Nada tertegun. Kenapa? Ada apa? Pikir Nada. Tapi tidak ada yang tersuarakan dan dia mengambil satu langkah maju. Risa memegangi lengannya lagi. Nada merendah. Bibir Risa dicium lembut. Cuma sebentar. Lalu dihujani kecupan beberapa kali. Cukup sampai Risa menarik senyum. 

“Terimakasih,” bisik Risa sebelum mengambil beberapa langkah mundur, lalu memunggungi Nada. 

Nada disambut helai rambut ungu Risa yang halus. Jatuh melewati pinggang. Menutupi renda-renda manis yang sangat serasi dengan kepribadian Risa. 

Risa melakukannya dengan lambat. 

Talinya ditarik lepas satu-satu. Nada menahan nafas ketika kain itu jatuh. Termangu di kaki Risa yang perlahan menurunkan celana dalamnya. Risa meraih rambutnya. Mengumpulkan helai ungu cantik itu dan disampirkan ke salah satu bahu. Mempertontokan punggung telanjang yang ringkih pada Nada. Gadis itu tidak lantas berbalik. Risa menyisir rambutnya. Menunggu dan mendengarkan suara Nada yang turut bergerak. Melepaskan satu-satunya kain yang tersisa di tubuhnya.  

Risa berjengit ketika pundaknya disentuh.

Hari baru menjelang sore ketika Risa dan Nada sampai di asrama tempat Nada tinggal. Pukul berapa ya? Setengah tiga sore? Semestinya Jakarta itu terik. Tapi langit Jakarta selalu dirundung awan polusi. Selama tinggal di kota ini Nada nyaris tidak pernah melihat awan biru. Sangat berbeda kalau dibandingkan dengan Rancaekek, kota kecil tempat Nada berasal. Seharusnya saat ini ada cahaya sore yang menyelinap masuk. Tapi yang ada hanya gelap. Gorden kamar Nada tertutup rapat. Sumber pencahayaan begitu sedikit. Tapi meski begitu, Risa bisa melihat siluet bayangan Nada yang besar menaunginya. 

Pukul berapa sekarang? Apakah sudah mendekati pukul empat?

“Risa… tatap aku?”

Risa menautkan jemarinya di dada. Pelan-pelan berbalik tanpa suara dan menengadah untuk menatap Nada—yang langsung mencium bibirnya. 

Ciuman ini memburu. Tidak lembut seperti sebelum-sebelumnya. Risa bisa merasakan amarah dalam setiap gerakan Nada. Tubuhnya dipeluk. Kulit telanjang mereka bersentuhan. Rambutnya terasa menggelitik. Tangan Nada amat panas. 

“Nada—,” rintih Risa saat ciuman mereka terlepas. 

“Risa,” wajah Risa dihujani ciuman. “Risa—”

Risa mengalungkan lengannya di leher Nada. Tidak melawan saat Nada membaringkan tubuhnya di kasur.

Nada, adalah harta karun yang Risa temukan tanpa sengaja. Sementara bagi Nada, Risa selalu istimewa, karena dia adalah orang pertama yang tertarik pada dedemit albino seperti Nada.

Surai ungu Risa tersebar di kasur. Membuat Risa semakin mirip bunga anggrek. 

Risa memejamkan mata. Bibir Nada dikecup.

“Nyalakan lampunya,” pinta Risa. Pipi Nada dielus. 

“Aku ingin melihat kamu.”

Risa mempertemukan kening mereka. 

“Aku ingin mengingat sore ini selamanya.”

….

Perisai Mutiara Manura, Risa Manurai, Putri anggrek. Apapun kamu memanggilnya, adalah gadis yang begitu kalkulatif dan cerdas. Risa memiliki seorang kakak laki-laki yang sebentar lagi akan mewarisi Manura Corp. Tetapi Risa masih harus belajar banyak tentang bisnis, untuk mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan yang bisa saja terjadi di waktu yang akan datang. 

Semua orang melihatnya sebagai putri anggrek. Tidak ada yang melihatnya sebagai Risa. Mereka mengingat Risa sebagai putri keluarga Manura. Hadiah incaran setiap pria yang ingin menaikkan kasta mereka.

Tapi Nada berbeda. 

Tubuh mereka basah oleh peluh. Tidak berjarak. Saling menempel dan merengkuh. Risa berbaring menghadap tembok. Nada memeluknya dari belakang. Jemari mereka bertautan. Pundak Risa diciumi. 

“Ada yang sakit?” bisik Nada di telinganya. Risa menggeleng lemah. 

“Kamu baik-baik aja?”

Risa mengangguk lambat. Kepala Risa dicium.

“Risa, tatap aku,” bisik Nada di rambutnya. 

Risa menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Pelan-pelan, dia berbalik. Membiarkan Nada menyembunyikan dirinya dalam rengkuhannya lagi. Kening Risa dikecup. 

Risa merasa dicintai. 

Nada mematikan lampu kamarnya. Sebelum menarik selimut dan kembali berbaring bersama Risa. 

Risa tertawa pelan, “kata Nenek, sore-sore nggak boleh tidur.”

“Sebentar aja,” rambut Risa disingkap kebelakang telinga. “Istirahat dulu. Kamu capek.”

Risa merapat pada Nada, “kamu enggak?”

Risa melihat senyum langka di wajah Nada, “kalo begini aja aku capek, gimana aku mau jadi atlet sepak bola profesional?”

Risa tertawa lagi. 

Kening Risa kembali dikecup, “istirahat sebentar Risa. Jam tujuh nanti, aku antar kamu ketemu Buya.”

Risa mendusel pada leher Nada. Membiarkan Nada merapatkan tubuh mereka. 

“Oke…”

….

Risa menangis. Sebelum berpikir untuk tidur bersama Risa, Nada sudah melakukan penelitian kecil. Mereka bilang, perempuan muda memiliki kecenderungan untuk mengencangkan tubuh mereka saat penetrasi dilakukan. Itu respon alami. Kalau laki-laki tidak berhati-hati, perempuan itu bisa terluka hingga berdarah. Sejak mendengar cerita pemerkosaan yang Risa alami, Nada sudah membaca banyak artikel dan jurnal. Tentang bagaimana gadis yang diperkosa bisa mengasosiasikan seks dengan rasa sakit. 

Lalu Nada teringat Risa yang berbicara tentang ingin menjadi normal. Makanya, Nada ingin yang pertama bagi mereka ini istimewa. Nada ingin Risa tidak kesakitan. Nada ingin Risa mengingatnya sebagai kehangatan. Tapi Risa menangis. Dan ketika ditanya apakah sakit atau tidak, Risa Cuma menggeleng.

Ya Tuhan. Nada tidak ingin Risa memaksakan diri. Tapi Risa memeluk Nada erat-erat. 

Apa yang harus Nada lakukan? Apa yang harus Nada lakukan untuk bunga anggreknya yang halus ini?

Apa yang harus Nada lakukan supaya Risa bahagia, dan meninggalkan masa lalunya yang pahit?

“Udah?” tanya Nada pada Risa yang sedang memperbaiki kepangan rambutnya di kamar mandi.

“Sebentar,” Risa mengeluarkan eyeshadow palette, lipcream dan lipgloss. Mewarnai kelopak matanya dengan rona merah jambu hangat dan memulas bibirnya dengan warna buah persik. 

“Itu buruk,” kata Nada. 

“Kenapa? Berantakan, kah?”

“Bukan itu,” Nada mencebik. “Aku nggak bisa mencium kamu. Kalau kamu aku cium nanti lipstikmu berantakan lagi.”

Risa berkedip. Mengerjap beberapa kali, lalu terkekeh. 

“Ya sudah kalau begitu. Puasa dulu.”

Nada semakin kesal. “Aku kira kamu bakal membiarkan aku mencium kamu dulu. Terus lipstiknya dibenerin.”

“Nggak. Kamu sudah banyak mencium aku hari ini,” Risa tersenyum. Kerah jaket Nada diperbaiki. Lalu dia berlalu ke pintu depan lebih dulu. Langkahnya sedikit tertatih. 

“Risa, sakit?” bisik Nada didepan pintu kamar. Jemari Risa digamit. 

Risa balas menggenggam tangannya, “perih. Tapi kayaknya besok udah nggak apa-apa.”

“….maaf ya? Aku terlalu kasar.”

Risa tersenyum. Pipi Nada dicubit. 

Ketika bergumul di ranjang tadi, Risa berusaha menahan suaranya. Nada juga. Mereka tidak bisa terlalu keras karena Nada dan Risa berada di asrama. Sial, batin Nada. Kalau aja mereka melakukannya di tempat lain. Di hotel, atau di rumah Nada di Rancaekek, Risa tidak perlu menahan suaranya mati-matian seperti ini.

Nada ingin mendengar suara Risa. Tapi dia lebih tidak ingin mendengar Risa menangis.

“Pertandingan melawan SMA 17 Depok nanti… kamu datang, kan?”

“Tentu,” Risa mengeratkan tautan jemari mereka. “Aku pengen menonton kamu.”

“Kamu akan melihat aku menang.”

Risa tersenyum, “kamu selalu menang.”

Apakah tautan tangan mereka bisa lebih erat lagi? Nada tidak ingin berpisah dengan Risa. Tapi sudah malam. Risa tidak boleh pulang larut. Semua demi kebaikan Risa juga. Semakin malam Jakarta semakin berbahaya. 

Buya dan limosin Risa menunggu di sisi lain taman. Risa berjalan beberapa langkah ke depan. Jemari mereka masih terikat. 

“Aku pulang dulu ya?”

“Aku nggak mau kamu pulang.”

Risa tersenyum kecil. Dan meski Nada berkata begitu, genggaman tangan mereka tetap ia longgarkan. 

“Hati-hati,” bisik Nada saat Risa hendak berbalik. Risa menatap pacarnya. Mengangguk pelan tanpa menghilangkan senyumnya yang cantik. 

Nada diam di taman sampai mobil Risa menghilang dari pandangan. Jakarta panas sekali. Udaranya pengap dan penuh polusi.

Tapi Nada masih bisa mencium aroma parfum Risa. Wangi bunga melati.

Fin.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya medali emas untuk angklung.
0
0
Nada memiliki seorang adik perempuan bernama Angklung. Sejak kecil Angklung memiliki tubuh yang lemah. Nafsu makannya selalu buruk. Badannya kurus dan sering sakit-sakitan. Kepanasan atau kehujanan sedikit langsung tumbang. Demam, anemia, flu, you name it. Nada tidak boleh pulang ke rumah, bertemu Angklung, dan memberitahu adiknya kalau dia kalah. Kalau Angklung bisa jadi rangking satu pararel padahal tubuhnya lemah dan ringkih, maka Nada tidak punya alasan untuk tidak menjadi pemenang. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan