
Saat melukis, Langit menjadi orang lain. Matanya yang manis terlihat berbeda. Lebih berapi-api dan emosional. Tera tidak bisa mendeskripiskannya. Sampai hari ini. Hari dimana setelah tiga tahun mengenal Langit, untuk pertama kalinya Tera melihat Langit menangis.

Tera memiliki seorang teman sekelas bernama Langit. Dia gadis ceria yang hampir sepanjang waktu selalu terlihat bahagia. Tera tidak bisa memahami Langit. Seringkali Tera iri karena Langit terlihat seakan dia nggak punya masalah hidup. Mereka berdua tergabung di UKM Lukis. Jadi meskipun mereka satu kelas, Tera baru berinteraksi dengan Langit ketika mereka sama-sama mewakili universitas dalam lomba-lomba melukis. Interaksi mereka juga tidak banyak. Paling sebatas Langit bertanya tentang ini dan itu mengenai lukisan Tera. Tera hampir tidak pernah memulai percakapan lebih dulu.
Diluar menjadi seseorang yang ceria, aktif, dan pintar di kelas, Langit juga sangat rajin melukis. Saat melukis, Langit menjadi orang lain. Matanya yang manis terlihat berbeda. Lebih berapi-api dan emosional. Tera tidak bisa mendeskripiskannya. Sampai hari ini. Hari dimana setelah tiga tahun mengenal Langit, untuk pertama kalinya Tera melihat Langit menangis.
“Ah, maaf,” Langit yang semula menoleh terkejut ketika mendapati Tera berdiri disebelah kanvas membuang muka. Menyeka kasar air matanya beberapa kali. “Aku kira udah enggak ada orang.”
Tera yang juga sama tekejutnya dengan Langit menghembuskan nafas. Mengeluarkan tisu dan menyerahkannya pada Langit yang terperanjat kaget. Tapi tetap menerima tisu itu.
“Duduk Langit.”
Langit menurut. Duduk di kursi yang ditarik Tera sementara Tera duduk dikursi yang lain, disebelah Langit. Niat Tera yang semula Cuma mau mengambil buku sketsanya yang tertinggal di sekre UKM Lukis jadi urung. Dipandangnya Langit yang sesenggukan. Berusaha menghentikan tangisnya tapi kesulitan. Tera menelan ludah. Dia tidak pernah menghadapi orang menangis sendiri sebelumnya.
“Maafin aku,” Ucap Langit serak. “Maaf...”
“...Kamu minta maaf untuk apa?” Tera meringis. Dia terdengar kejam. “Maksudku— kamu nggak melakukan sesuatu yang membuat kamu harus minta maaf. Menangis itu manusiawi.” Tera menurunkan pandangannya. “Nangis aja kalau itu memang bisa membuat kamu lega.”
Tera mendengar Langit tercekat, lalu anak itu menangis lagi. Berapa menit lamanya? Tera tidak menghintung. Tidak begitu lama, tapi terdengar menyedihkan seakan Langit sudah lama menahan sesak didadanya. Baru ketika tangis Langit mereda, Tera memberanikan diri untuk bertanya. Sekaligus menarik kata-katanya bahwa Langit adalah orang yang tidak punya masalah hidup. Dari bagaimana Langit kesusahan meredakan tangisannya, pasti sudah lama, lama sekali Langit menahan apapun itu yang membebani hatinya.
“Aku udah suka menggambar dan melukis sejak kecil. Tapi baru berani rajin latihan dan mendedikasikan waktuku buat melukis waktu kuliah. Sebelum-sebelumnya malah nggak pernah,” Langit menyeka air matanya yang hendak jatuh. “Mungkin karena sekarang aku jauh dari rumah. Orang-orang rumah nggak suka sama hobi menggambarku. Sama lagian... lagian gambarku nggak sebagus itu. Lukisanku nggak ada yang bagus. Makanya nggak pernah menang lomba.” Air mata Langit kembali deras.
“Selama tiga tahun ini aku udah ikut banyak lomba melukis. Tapi nggak ada satupun yang menang Tera. Aku takut. Aku memang melukis untuk menyenangkan diriku sendiri. Tapi melukis juga udah menjadi identitas aku. Munafik banget kalau aku bilang aku nggak berharap lukisanku diapresiasi. Dan menang lomba itu adalah bentuk apresiasi tertinggi aku buat diriku sendiri. Kemarin.... kemarin IPK-ku turun karena beberapa hal. Tapi lebih banyak karena aku stress Tera. Bapak sama Mbakku nggak percaya. Mereka kira IPK-ku turun karena aku lebih banyak menghabsikan waktu buat melukis daripada belajar. Padahal malah melukis yang membuat aku tetap waras....
“Dulu-dulu waktu aku masih semangat-semangatnya melukis, banyak banget yang menghina lukisan sama hobi aku. Buang-buang waktu. Terus enggak ada yang bagus. Baru waktu kuliah ini banyak yang mulai memuji lukisanku Tera. Tapi bahkan pujian-pujian itu nggak cukup buat meyakinkan diri aku sendiri kalau lukisanku emang bagus. Aku terlalu sering mendengar lukisanku dijelek-jelekin makanya kadang aku takut mereka bilang lukisanku bagus karena kasihan sama aku. Bukan karena lukisanku emang bagus. Buktinya—buktinya aku nggak pernah menang lomba.
“Rasanya buruk banget Tera,” Langit terisak. “Ngerasa nggak mampu di sesuatu yang paling kamu bisa itu buruk banget. Apa—apa aku bener-bener seburuk itu? Aku nggak tahu harus merasakan apa lagi soal diriku sendiri. Aku pengen percaya aku bisa tapi buktinya aku bahkan nggak bisa membuat diriku sendiri bangga.”
Tangan Tera bergerak kaku. Punggung ringkih Langit diusap pelan. Langit mirip kucing. Dia berjengit pelan ketika jemari Tera menyentuh punggungnya namun tidak menjauh.
“Langit aku.... juga enggak pernah menganggap lukisanku bagus,” Tera terperanjat sedikit saat Langit menatapnya dengan mata bulat yang merah dan berkaca-kaca. “Memang aku suka melukis dan menggambar. Aku tahu kalau akan selalu ada orang yang lebih berbakat dibanding aku. Dan aku nggak masalah sama itu. Aku pengen melukis menjadi sesuatu yang aku nikmati, bahkan ketika aku lomba.” Tera menarik tangannya. “Kalau aku melakukan apa yang kamu lakukan, bisa-bisa aku benci sama diriku sendiri.”
“Tapi benci sama diri sendiri itu perlu Tera. Kalau... kalau aku nggak membenci diirku sendiri aku nggak akan tahu kesalahan yang harus aku koreksi apa.”
“Introspeksi diri itu nggak perlu menyertakan perasaan benci sama diri kamu sendiri Langit. Yang ada malah setahuku, orang yang benci sama dirinya sendiri justru kesulitan tumbuh.”
Perkataan Tera membuat Langit terdiam.
“Langit, aku nggak akan menyuruh kamu untuk menyayangi diri kamu sendiri karena jujur aja, aku merasa mencintai diri sendiri itu bodoh,” Tera menarik senyum tipis. “Di mataku, kamu hanya perlu menerima dirimu sendiri. Baik dan buruknya. Kelebihan dan kekurangannya. Diterima saja. Ketika kamu mampu menerima diri kamu sendiri, tumbuh akan menjadi lebih mudah.”
Tera menatap lukisan Langit. Sebuah pemandangan bawah dibawah samudra biru. Langit suka melukis samudra. Entah hanya pemandangan laut ketika sedang tenang. Ombak yang bergejolak. Termbu karang warna-warni, ikan-ikan mengagumkan yang menghuninya, atau sekedar warna biru penuh gradasi seperti ini.
“Padahal lukisanmu sebagus ini,” kata Tera. “Tiga tahun itu bukan waktu sebentar langit. Nggak ada manusia yang nggak tumbuh dalam waktu tiga tahun. Apalagi kamu yang melukis setiap hari. Orang-orang mengapresiasi lukisanmu kecuali dirimu sendiri.”
Langit tercekat. Menunduk tanpa menanggapi.
Tera menggaruk bagian belakang kepalanya. Merasa dia sudah berkata terlalu banyak. Dia mengeluarkan benda lainnya daridalam tas. Sekotak susu, pulpen dan post it. Dia menulis beberapa kalimat disana sebelum meletakkannya di pangkuan Langit kemudian pergi. Diluar gedung PKM, Tera memandang jendela yang menjadi tempat sekre UKM Lukis berada. Merenungkan apakah dia membantu atau malah membuat Langit semakin pundung. Tera menggeleng. Dia manusia biasa. Alih-alih membangkitkan semangat orang dengan kata-kata penyemangat palsu, Tera lebih memilih memampangkan realita didepan mereka. Dan realita yang Tera tunjukkan pada Langit bukan realita yang pahit. Tera tidak berbohong, kok.Lukisan Langit memang sangat bagus. Langit hanya perlu sedikit bersabar.
Besoknya Langit sudah ceria lagi. Jejak-jejak menangisnya sudah tidak ada. Tera memilih tidak berkomentar ketika Langit yang awalnya suka melukis didekat jendela pindah tempat disebelahnya. Mereka bertukar senyum tapi tidak bertukar kata. Dua minggu kemudian, diam-diam Tera menghela nafas lega saat pembina UKM Lukis menyampaikan pengumuman yang membuat UKM seni fakultas itu gempar.
“Selamat Langiiiiiit!” Galuh, ketua UKM Lukis menarik Langit kedalam pelukannya. Langit sendiri hanya menangis di pelukan Galuh. Tidak yakin pada kemampuannya untuk merangkai kata-kata.
Tera memandangi teman-temannya dari sisi pendopo yang lain. UKM Lukis ini terbilang baru di fakultas mereka. Usianya baru tiga tahun. Terbentuk tepat ketika Tera dan Langit menjadi mahasiswa baru. Prestasi yang Langit toreh hari ini bukan hanya menjadi kebanggaan untuk Langit sendiri. Tapi juga untuk UKM yang baru berhasil mencetak beberapa seniman juara di beberapa lomba melukis nasional.
Tera ingin memberi Langit ucapan selamat, tapi orang-orang masih mengerubungi Langit yang menangis dan bersemu merah. Jadi Tera hanya menonton dari jauh.
Baru beberapa hari setelahnya, Tera dan Langit bertemu lagi di ruang sekre. Kali ini Tera yang lembur melanjutkan lukisannya. Sebuah pemandangan langit dan awan sore berwarna oranye, ungu dan merah jambu. Tidak seperti Langit yang menyukai samudra dan segala misterinya, Tera suka melukis angkasa.
“Tera melukis angkasa?” Tanya Langit begitu dia berdiri disebelah Tera yang pakaiannya dikotori bercak-bercak cat minyak. Tera mengangguk. Langit manggut-manggut.
“Kalau melukis angkasa seperti ini.... Tera membayangkan apa?”
“Burung. Aku membayangkan diriku sebagai burung. Apa yang aku lihat kalau aku bisa terbang jauh diatas langit. Sama.... sama seperti kamu ketika menggambar pemandangan bawah laut. Kamu pernah bilang kalau kamu membayangkan diri kamu sendiri sebagai ikan paus, kan?”
Ucapan Tera membuat Langit tertawa. Gadis itu tidak menyanggah.
“Tera.”
“Hm?”
“Terimakasih ya,” Langit menghembuskan nafas pelan. “Kalau bukan karena Tera, aku nggak akan pernah memenangkan lomba melukis yang kemarin.”
Tera mengerjap seraya mengalihkan pandangannya dari Langit. “Kamu ngomong apa sih. Yang membuat kamu menang itu kemampuanmu. Aku lega. Soalnya dengan begini kamu nggak akan minder lagi.”
“Aku masih minder, tapi aku berusaha mengingat-ingat kata-kata Tera.” Langit mengeluarkan sekotak susu dari dalam tasnya. Setelah itu dia berlalu pergi. Tera tidak sempat melihat bagaimana ekspresi yang dipasang Langit. Dia juga berusaha tidak memikirkan post it yang tertempel di kotak susu itu.
Besoknya, Tera dibuat kehabisan kata-kata saat melihat lukisan Langit yang dipajang di salah satu pameran lukisan bersama lukisan-lukisan pemenang lomba yang lain. Samudra menghampar di garis temu panjang yang mempertemukannya dengan horizon. Tapi lebih dari itu, yang membuat orang-orang terkesima adalah lentera-lentera terang yang berterbangan di angkasa.
Judul lukisan itu “Terbang yang tinggi api-api mimpiku.”
“Judulnya familiar ya?”
Tera tersentak dan menoleh. Langit berdiri disebelahnya sambil tersenyum.
“Aku udah bilang, kan? Aku nggak akan pernah memenangkan lomba melukis ini kalau bukan karena kamu.”
Tera dan Langit bertatapan. Tera ingin memalingkan matanya dari Langit. Tapi susah sekali.
“Mimpi-mimpi itu terbang tinggi di angkasa, Langit. Tapi kalau itu kamu, bahkan jika mereka terbang menembus surga sekalipun, aku yakin kamu bisa menggapai mereka.”
“Hih! Kenapa kamu hafal segala!?”
“Loh, kamu hafal juga ternyata?”
“Aku yang nulis! Gimana aku nggak hafal!?”
Langit tergelak pelan. Adu mulut kecil itu mengundang kerutan di kening teman-teman mereka. Tapi kebanyakan nggak begitu peduli. Lebih banyak yang fokus memandangi dan menerka makna lukisan Langit. Tapi buat Tera, makna lukisan itu jelas.
Berani. Berani untuk menerima dirimu sendiri. Buruknya, baiknya. Kelebihan dan kekurangannya. Luka dan kepahitannya.
Mata Tera tidak lepas dari Langit yang ditarik Galuh menjauh. Senyumnya manis sekali.
Kebahagiaan dan tawanya.
fin.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
