
Perempuan itu, nama depannya Napoleon. Nama yang pasti membuat orang-orang mengangkat alis ketika pembacaan absensi karena yang mengangkat tangan malah perempuan. Dia orang Indonesia. Sama sepertiku. Mahasiswa berdarah asing yang belajar di Belanda. Bedanya, aku dibesarkan disini sejak SMP mengingat Ayahku berdarah Belanda, sementara dia awardee program pertukaran pelajar Indonesia. Duluar dugaanku bahasa belandanya cukup bagus walau patah-patah. Aku bertemu dengannya di kelas sejarah. Tubuhnya...
Perempuan itu, nama depannya Napoleon. Nama yang pasti membuat orang-orang mengangkat alis ketika pembacaan absensi karena yang mengangkat tangan malah perempuan. Dia orang Indonesia. Sama sepertiku. Mahasiswa berdarah asing yang belajar di Belanda. Bedanya, aku dibesarkan disini sejak SMP mengingat Ayahku berdarah Belanda, sementara dia awardee program pertukaran pelajar Indonesia. Duluar dugaanku bahasa belandanya cukup bagus walau patah-patah. Aku bertemu dengannya di kelas sejarah. Tubuhnya yang kecil terlihat sangat menonjol sekaligus tenggelam di lautan manusia berbadan jangkung. Orang belanda itu tinggi rata-rata laki-lakinya seratus delapan puluh enam sentimeter, aku sendiri sebagai blasteran Belanda terhitung dibawah rata-rata karena Cuma seratus delapan puluh tiga. Tapi itu saja di Indonesia aku sudah merasa seperti raksasa. Sejujurnya, aku penasaran apakah Napoleon kewalahan dengan tinggi badannya yang terbilang cebol untuk ukuran ras kaukasia. Kadang aku kasian melihat dia keliatan tersesat dan kebingungan tanpa alasan karena rekan awardee Indonesia yang diterima di Leiden tidak banyak. Kalaupun ada major yang mereka ambil berbeda. Biarpun begitu, aku nggak berani mengajak dia bicara sampai ketika aku melihat dia kesulitan meraih buku di rak yang tempatnya cukup tinggi.
Tanpa bicara, aku mengambilkan buku tua itu untuknya. Dadaku menyentuh punggungnya. Dan disitu, aku mencium aroma manis dan lembut yang asing di hidungku. Aroma itu membuatku terpana. Sama terpananya dengan dia yang tercengang menemukan aku berdiri menjulang dibelakangnya.
“em... ini.” Aku menyerahkan buku itu.
Dia terbelalak, “....kamu bisa bahasa indonesia?”
“itu yang pertama kamu tanyain?”
Wajah cengonya menggemaskan. Napoleon memeluk buku itu di dadanya dan kebingungan setengah mati. Dia panik, bener-bener bingung nggak tau harus ngomong apa. Aku terkejut bisa menemukan orang yang mudah dibaca kayak dia. Isi kepalanya tertulis semua di muka.
“ma-makasih banyak...”
“sama-sama,” aku mengusak-usak hidung, aroma manis tadi masih menghantui indra penciumanku.
Napoleon mundur sampai punggungnya menabrak rak buku. Dia menunduk, menggumamkan permisi lalu melipir pergi. Meninggalkan aku yang menatapi punggung sempitnya sampai menghilang dibalik pintu perpustakaan. Itu pertama kalinya aku menemukan perempuan yang aroma parfumnya manis dan lembut. Manisnya tidak seperti kue. Aku hampir yakin itu aroma bunga yang tidak seperti aroma bunga. Jarang-jarang ada bunga yang aromanya manis.
“ma, bunga apa yang baunya manis?” aku bertanya pada Mama begitu sampai di rumah. Mama sedang sibuk menyiapkan makan malam ketika aku tiba di dapur.
Mama mengerjap. Mama heran aku tiba-tiba bertanya tapi tetap menjawab, “bunga manis? Apa ya... emang ada? Manis yang kayak gimana?”
“kayak kue, tapi kalo dicium tuh kita tau itu bau bunga.”
“Mama belum pernah denger ada bunga yang kayak gitu,” kening Mama berkerut. Setelah pertanyaanku menemui jalan buntu, aku memutuskan untuk melupakan pertanyaan itu dan pergi ke kamar. Berbaring di tempat tidurku, memandangi langit-langit kamar sambil merenungkan kehidupan dan mengira-ngira bunga apa yang menjadi aroma parfum Napoleon.
Humor juga sebenarnya, ada orang bernama Napoleon yang memakai parfum manis. Napoleon si pemimpin revolusi Prancis pasti sedang berguling-guling di kuburannya sekarang. Lagian siapa pula yang memberi nama anak perempuan mereka Napoleon?
Besoknya, aku menemukan Napoleon sudah tiba di kelas dan duduk di bangku paling belakang. Aku duduk disebelahnya. Napoleon terperanjat kaget yang hanya kubalas dengan anggukan.
“halo.” Aku menyapa.
“ha-halo...” dari tempatku duduk aku bisa mencium aroma manis yang lembut itu lagi. Aku tidak bisa mengenyahkannya dari kepalaku. Aromanya asing, tapi enak. Jadi kuingat-ingat terus. Berada disebelah Napoleon dan mencium wangi itu lagi sebenarnya membuat kepalaku agak terbang.
Napoleon lantas mengembalikan atensinya pada sebuah buku tua di meja. Buku itu diberi banyak penanda. Kuamati, sudah terbaca hampir separuhnya. Padahal buku itu baru dipinjam kemarin. Disaat-saat seperti inilah aku suka badanku yang tinggi. Aku mencuri pandang buku yang Napoleon baca dari atas. Disana aku melihat pembahasan soal bunga melati putih. Dimana bunga itu bisa ditemukan dan kepercayaan apa saja yang membayangi bunga itu.
Ah, disitu aku berpikir, mungkin pemikiranku yang terus tertuju pada bunga saat mencium aroma parfum Napoleon dan buku bunga yang sedang dia baca mungkin bukan kebetulan.
Sejak itu aku dan Napoleon selalu duduk sebelahan. Kami Cuma saling menyapa, nggap pernah mengobrol. Selama empat hari aku duduk disebelah Napoleon, aku mulai memperhatikan banyak detail-detail kecil dari gadis yang aromanya manis tapi lembut itu. Napoleon sepertinya suka bunga. Dia selalu memakai sesuatu yang ada aksen bunganya. Apapun itu. Buku catatan yang sampulnya bunga sakura dan berwarna merah muda. Empat pita rambut berbeda yang sama-sama memiliki hiasan bunga ―ada yang motif kainnya bunga, ada yang pitanya agak besar terus dibordir motif bunga―, jepit rambut yang juga dihiasi bordir bunga, gaun katun yang seringkali ada motif dan aksen bunganya. Apapun yang bisa kamu pikirkan. Kehadiran bunga pada Napoleon tidak berlebihan. Normal. Tapi untuk aku yang tinggal di Belanda dan orang-orangnya kurang suka benda-benda bermotif ramai dan ekspresif, hal itu jelas baru. Napoleon sering mengabaikan aku. Kadang aku merasa dia menganggap aku udara sepanjang kelas dan baru memperhatikan eksistensiku waktu kelas selesai. Sebagai laki-laki tampan yang sering membuat perempuan tersipu, aku tersinggung.
Keterdiaman damai antara aku dan Napoleon pecah di hari keenam. Napoleon datang ke kelas mengenakan gaun katun klasik selutut yang berenda. Rambutnya diikat separuh dengan pita berhias bordiran bunga matahari. Segalanya baik-baik saja sampai hidungku mencium aroma asing.
“kamu ganti parfum?” tanpa kusadari aku sudah bertanya spontan.
Buku catatan dalam genggaman Napoleon terjatuh, mata hitamnya terbelalak.
“maaf?”
Sudah kepalang basah, gasin aja. “kamu ganti parfum?”
Napoleon nggak langsung menjawab. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas yang masih sepi. Seolah memastikan kalau aku memang bicara sama dia dan nggak salah orang.
“iya,” Napoleon terbatuk. Aku nggak tau kenapa dia keliatan nggak nyaman ketika menyebutkan parfum melati. “em... mumpung lagi di Belanda juga kan? Kalo di Indonesia aku nggak bisa pake parfum melati kecuali kalo aku punya niat buat pura-pura jadi hantu.”
“pura-pura jadi hantu?”
“di Indonesia, kalo kita nyium bunga melati artinya didekat kita ada setan. Kalo enggak sesajen atau apapun itu.”
“sesajen itu apa?”
“semacam tradisi persembahan. Ritual menyembah roh leluhur dan hantu. Aku juga nggak begitu paham.”
“padahal bau melati enak kok. Sama kalian malah dipake buat ritual hantu. Sayang.”
Napoleon tertawa kecil, “kamu bisa bahasa Indonesia tapi nggak tau sesajen sama bau melati yang bisa narik hantu. Emang disana umumnya kayak gitu. Bunga biasa dipake sebagai pelengkap ritual. Walaupun disetiap ritual bunganya beda-beda, tapi seringnya bunga melati pasti ada. Terus ya... memang ada kepercayaan lokal soal kuntilanak yang tanda-tanda kedatangannya bau melati.”
Pembicaraan ini menarik. Aku udah lama tinggal di Belanda dan kalaupun pulang ke Jakarta ketemunya sama keluargaku yang anti mistis. Di Indonesia, kami punya rumah di kawasan orang sibuk, jadi nggak punya waktu atau teman mengobrol untuk memperhatikan hal-hal kayak bau melati atau hantu. Aku sontak membuka hp dan bertanya pada guru sejuta umat, internet. Disana aku menemukan sosok kuntilanak yang dimaksud Napoleon. Setan wanita buruk rupa berpakaian putih yang katanya suka menghisap darah ibu hamil.
Napoleon melongok ke ponselku lalu tergelak, “lah sama kamu dicari!”
“aku penasaran,” tukasku. Masih mencari-cari di google soal penjelasan bau melati dan kuntilanak.
Napoleon menahan tawa. Menutupi wajahya dengan lengan panjang pakaiannya. Setelah berhasil mengendalikan kegeliannya, Napoleon berkata, “mereka warnanya ada banyak loh.”
“bunganya?”
“bukan. Kuntilanaknya.”
“hah?” aku tidak habis pikir. Buat apa setan satu jenis warnanya ada banyak? Kenapa leluhur separuh darahku yang Indonesia tidak kreatif? Kenapa ketika ada banyak wanita yang meninggal dengan alasan tidak wajar mereka malah menjadi hantu yang bisa digeneralisir?
Seakan membaca isi hatiku yang kujeritkan lewat tatapan mata, Napoleon tersenyum lembut. Menjelaskan perbedaan kuntilanak padaku bak guru menjelaskan satu tambah satu pada anak TK, “kuntilanak itu beda warna karena alasan kematian, usia dan kekuatan mereka. Kalo yang merah biasanya yang waktu mati masih menyimpan dendam, yang kuning itu karena punya nafsu tinggi pas jadi manusia terus meninggal nggak wajar, yang putih... aku kurang tau, kalau yang hitam itu biasanya ratu kuntilanak.”
“...mereka punya ratu?”
“punya,” Napoleon tersenyum geli mendengar pertanyaanku yang pasti terdengar bodoh. Ia menyambung, “ratu kuntilanak itu biasanya yang umurnya paling tua terus paling kuat juga. Di buku yang aku baca, biasanya kalo kuntilanak itu tampilannya serem ―kayak punya lidah panjang, rambut berantakan segala macem― ratu kuntilanak itu cantik banget. Mereka pake mahkota,” Napoleon menepuk nepuk puncak kepalanya, “biasanya yang jadi kuntilanak hitam itu yang hidup di zaman dulu banget, terus pas semasa hidup mereka mempraktikkan ilmu hitam. Ada yang sampe membunuh banyak orang, memakan anaknya sendiri. Banyak dosa dan perbuatan kejinya.”
Aku mendengarkan lamat-lamat sebelum memutuskan, kalau kejahatan ratu kuntilanak itu tidak menjadikan wangi bunga melati pantas untuk digunakan sebagai aroma paten para hantu wanita berjenis serupa beda ragam itu. Aku menggeleng tidak habis pikir, tapi tetap mencari gambar kuntilanak hitam di google.
“coba kamu buka youtube aja. Cari Kisah Tanah Jawa. Mereka suka bahas soal begituan.” Napoleon mendekat sedikit. Aroma parfum bunga melati menyeruak. Wangi. Aku memiringkan Hpku supaya Napoleon bisa melihat layarnya juga. Yang tidak Napoleon sadari adalah, ketika seorang pria jawa bertutur kata halus bercerita soal sejarah kelam sebuah benteng bernama Benteng Pendem, mataku tidak tertuju pada layar tapi pada wajahnya yang dipoles bedak tipis dan perona yang membuat tatapan matanya menjadi halus.
Aku menemukan diriku berujar, “Kita belum kenalan”
Napoleon mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. Kami bertatapan. Mata hijauku bertemu matanya yang sehitam arang. Wajah kami dekat. Seharusnya aku merasa tidak nyaman karena merundukkan kepalaku sedemikian rupa, tapi aku tidak bisa memalingkan pandanganku dari Napoleon.
“kamu dulu,” Ia berkata pelan.
“Sabarthan Novelius Winchester.”
“Sabar?”
Aku mengernyit. Napoleon malah membuat namaku terdengar kampungan. Mirip nama bapak-bapak penjual nasi goreng pengkolan di Manggarai. “Arthan.”
“Oh... Arthan,” Napoleon mengulang namaku. Bak mengecap namaku di lidahnya supaya lebih familiar.
“Kamu?”
“Napoleon Lagu Laburnum.”
Lagu.
Aku menggerakkan mulut. Mengecap nama itu di lisanku tanpa menyuarakan. Nama yang pastinya bakal sulit diucapkan oleh orang belanda karena pelafalan huruf G kami agak berbeda. Lagu. Sebuah karya yang menggabungkan seni suara dan seni bahasa. Melibatkan melodi dan warna suara penyanyi. Sebuah karya yang hadir dari curahan emosi seorang musisi.
Nama depannya menggelikan. Tapi nama tengah dan nama belakangnya indah.
Setelah itu, pertemananku dan Lagu mengalir begitu saja. Lagu lebih akrab dipanggil dengan nama tengah. Kecuali di Belanda, orang sering nggak peduli sama nama depannya. Toh orang Indonesia memang kurang tau sejarah. Mereka nggak menganggap nama Napoleon itu big deal. Anggapannya paling nama-nama klasik atau nama aneh yang dikasih orang tua ke anak biar keren. Aku sering menghabiskan waktu dengan Lagu ―teman-temanku memicingkan mata dan menuduh aku melupakan mereka karena dapet gebetan baru―. Kalau aku sih, bilang ke diriku sendiri kalau Lagu kasihan misal ditinggal sendirian. Dia sering canggung waktu berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya. Waktu kutanya kenapa, Lagu menjawab kalau dia merasa terintimidasi aja. Orang-orang disini tingginya di atas rata-rata. Dia pendek. Jadi ada rasa takut di alam bawah sadar Lagu yang susah dihilangkan.
Saat aku sadar, kami udah sering kemana-mana berdua. Aku menjelma jadi tourguide Leiden untuk Lagu. Lagu nggak meminta. Aku yang menawarkan. Mungkin dia merasa nyaman karena akhirnya punya kenalan orang lokal yang fasih berbahasa indonesia. Kubawa dia ke tempat-tempat kuno di kotaku dan menunjukkan padang bunga yang menjadi komoditas kebanggaan kami. Lagu suka bunga. Makanya dia memilih Leiden dan Belanda. Lagu paling bahagia ketika dia kubawa ke padang bunga setelah kami sibuk mengerjakan tugas. Tidak seperti kebanyakan orang yang meminta berfoto di tempat-tempat aesthetic lalu mengunggahnya ke instagram. Lagu hampir tidak pernah menyentuh ponselnya selama kami di luar. Dia mengamati bunga dengan mata. Menelan hamparan bunga warna-warni dengan pandangannya. Menurutku itu mengagumkan. Masih ada orang yang bisa menghargai keindahan alam tanpa keinginan untuk mengunggahnya ke dunia maya. Tidak mencampurkan realita palsu sosial media dengan realita tempat dia hidup dengan sesama manusia.
Aku membuat teman-temanku heran dengan menghabiskan waktu lebih banyak bersama perempuan asing yang belum lama ini kukenal. Biasanya kalau malam aku bakal menyempatkan waktu ke kafe pamanku di sudut kota Leiden dan ngeband bersama mereka. Tapi belakangan ini aku jarang berkunjung karena ingin menemani Lagu.
“yang mana sih Napoleon itu,” Achilles berceletuk waktu kami makan di kafetaria. Mereka menyoraki aku pengkhianat begitu aku datang dan duduk di meja mereka. Giliran gebetanku nggak ada, baru nyari mereka.
“yang pendek banget terus rambutnya panjang sampai sini,” Percival menepuk-nepuk pinggangnya.
“emang cantik banget ya?”
“menurut aku sih enggak. Emang selera Sabarthan aja yang perlu dipertanyakan.”
Aku mengabaikan mereka. Melempar kentang goreng ke muka Achilles sebelum dia bicara lebih banyak soal aku dan Lagu.
Di bulan kedua pertemanan kami, aku mengajak Lagu ke tempat yang lebih jauh. Bukan lagi di wilayah Leiden, tapi ke sebuah desa bernama Lisse. Mereka menjuluki Lisse desa bunga. Ada tempat bernama De Zwarte Tulp Museum disana. Lagu benar-benar senang. Aku menggenggam tangannya karena takut dia akan hilang. Sesuai dugaanku, Lagu segera menarik aku ke Museum Tulip Hitam. Museum ini merupakan tempat yang tepat bagi orang yang suka bunga seperti Lagu. Mereka menyimpan koleksi bersejarah dalam perjalanan perkembangan bunga-bunga di Belanda. Yang paling banyak dibahas bunga tulip tentunya. Bunga kebanggan kami. Aku sibuk mengamati bunga-bunga yang diawetkan didalam botol kaca berisi cairan kimia ketika aku menyadari Lagu tidak ada disampingku. Saat kucari-cari, aku menemukan Lagu berdiri di depan pintu besar yang terbuka dan diterpa cahaya berwarna kuning. Tadinya kukira itu cahaya matahari yang dibiaskan oleh tirai kuning, tapi ketika aku sampai disana, dihadapan kami membentang lorong panjang yang terbuat dari bunga-bunga goudenregen. Spesies bunga kuning yang cabang dan bunganya agak mirip wisteria. Sehingga di beberapa tempat seperti di museum ini, mereka bisa ditata sedemikian rupa membentuk lorong atau langit-langit yang dihujani bunga.
Lagu termangu disana. Wajahnya menorehkan rasa tidak percaya, tapi juga kesedihan. Ada sendu di matanya waktu dia berjalan ke lorong bunga kuning itu dan meraih sekuntum yang gugur ke tanah.
“goudenregen,” kataku. Dia menoleh. “ini namanya bunga goudenregen.”
“the golden rain tree,” Lagu mengucapkannya dengan fasih. “di Inggris mereka disebut begitu.
“kamu tau banyak soal bunga ya.”
“enggak juga, aku Cuma mempelajari yang aku suka.” Lagu berjalan didepanku. Tidak menunggu aku karena sepertinya dia tau aku bakal mengikuti.
“kamu suka bunga ini? Ibuku nggak suka,” aku mengusak-usak hidung. Mengingat wajah berkerut Ibuku tiap kali melihat pohon goudenregen di halaman rumah adiknya. “mungkin karena yang dirumah bibiku nggak ditata serapi ini. Mama suka bilang goudenregen jelek. Nanam bunga di taman kok yang do’anya nggak baik, gitu katanya.”
“bunga hujan emas punya makna ganda. Makanya, kalo ada orang yang ngerti bahasa bunga tapi pengen membingungkan orang lain, mereka biasanya mengirim bunga ini sebagai hadiah.”
“memang artinya apa?”
Lagu berhenti melangkah. Dia berbalik, mematri pandangannya padaku. Sorot matanya tidak bisa kubaca walau di bibirnya terukir senyum lembut.
“they’re poisonous flowers that stand for pensive beauty... and forsaken.”
Lagu memberi jeda dalam jawabannya. Aku menyadari sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Dia kembali melangkah sebelum aku sempat bertanya lagi. Masih mengamati bunga-bunga cantik yang bergelantungan mirip hujan yang airnya berwarna emas.
“apa mereka punya nama lain?”
“mm. Pohon rantai emas. The golden chain tree, cytise, goldregen.”
“beside that?”
“laburnum,” Lagu menjawab tanpa menoleh. Tangannya bertautan di belakang punggung. Bertemu helai rambutnya yang jatuh dan bergoyang setiap kali dia melangkah. Dia tidak berbalik lagi bahkan sampai kami tiba di ujung lorong. Seakan dia tidak mau aku melihat bagaimana wajah yang dia pasang meski suaranya terdengar ceria.
They’re poisonous flowers that stand for pensive beauty and forsaken.
Lagu masih tertawa dan tersenyum dalam sisa perjalanan kami di Lisse. Dia tertidur di pundakku. Meninggalkan aku merenungkan Lagu dan bunga Laburnum. Lagu dan Laburnum itu kombinasi nama yang aneh buat orang Indonesia. Walaupun orang Indonesia secara umum punya kecenderungan pemberian nama yang udah dari sananya aneh dan tanpa aturan, tapi tetap saja, Lagu Laburnum itu ada di level eksentrik yang nggak bisa aku cerna.
Lagu nggak protes waktu aku menggenggam tangannya sepanjang perjalanan kami ke asrama tempat Lagu menetap selama di Belanda. Didepan asrama, kami bertatapan. Ada banyak yang pengen aku tanyain ke Lagu. Kenapa kamu tau banyak soal bunga? Kenapa bunga hujan emas membuat kamu sedih? Kenapa penjelasan kamu nggak masuk akal? Kenapa kamu harus se-emosional itu hanya karena bunga? Apa itu karena nama? Atau hanya karena kamu itu kelewat sentimentil saja?
Lagu menunggu. Dia tau aku ingin mengatakan sesuatu dan diam disebelahku. Menunggu aku punya keberanian untuk mengutarakan isi kepalaku. Tapi aku menggeleng. Merendah dan mencium lembut kening Lagu yang menegang dalam genggamanku.
“goedenacht.”
...
“kamu habis ditolak ya?”
Aku mendelik. Achilles segera bersimpuh, membuat gestur memohon ampun.
Percival tergelak, “tumben kepikiran buat dateng. Apa aku harus bilang long time no see? Kita baru mau nyari vokalis baru loh. Vokalis band ini sibuk ngejar-ngejar perempuan sampe manggung aja diskip.”
“tolong lah, baru juga dua bulan.”
“baru dua bulan pantatmu. Dua bulan itu aku yang Cuma bisa ngedrum mojok nggak bisa manggung. Percy main piano sendiri kayak orang sinting. Bubar aja bubar. Vokalis kita udah dapet pacar.”
“mentang-mentang kita manggung di kafe pamanmu. Yaudahlah, kalau kita bubar kamu masih bisa kerja jadi pelayan disini. Biarkan aku dan Achilles menikmati pengangguran.”
“kalian semua temen-temen nggak berguna.” Aku menyalakan mic dan menghadap pengunjung kafe. Mengambil ancang-ancang untuk bernyanyi sembari menunggu ketukan stik drum Achilles. Dia bisa aja nyari kerja sampingan nge-drum buat band lain selama aku nggak ada tapi milih mojok kayak orang nggak punya hidup. Itu pilihannya.
Stik drum diketuk, piano berdenting, gitar kupetik.
Kafe bernama Tot Straks milik pamanku ini buka sampai tengah malam. Kami sudah bernyanyi disini sejak band kami terbentuk di SMA. Aku, Achilles dan Percival. Tiga serangkai tolol ―kata Mama― yang hobi membuat orang tua kami sakit kepala dengan kenakalan kami. Ketololan kami ternyata bisa diobati setelah kami mengenal dunia musik. Kami jadi punya penghasilan sendiri, jajaran perempuan yang menunggu untuk dipacari dan pelampiasan emosi.
Sebenarnya, diantara kami bertiga, Cuma aku yang masih baru di dunia musik. Aku bermain gitar karena dorongan dari Percival dan Achilles. Katanya aku sampah. Paling sampah diantara kami bertiga. Sebagai tiga serangkai seharusnya kami punya bakat yang sama. Aku menukas kalau kami punya bakat serupa di bidang olahraga ―bahkan kalo udah ngomongin olahraga, aku lebih jago dari mereka― tapi mereka nggak mau denger dan merecoki aku terus soal belajar gitar. Karena telingaku pengang, aku menurut. Aku belajar gitar dibawah cercaan dan hinaan teman-temanku yang brengsek tapi loyal dan bermanfaat. Setelah itu aku mengejutkan semua orang dan diriku sendiri dengan nyanyianku.
“kamu ternyata nggak begitu sampah.” Achilles menyeka air mata ghaibnya. Pura-pura terharu.
“Cuma kalian yang nyebut aku sampah.”
“nggak. Mama kamu juga.”
“Mamaku itu setan―”
“TANTE-TANTE! ARTHAN BARU AJA MANGGIL TANTE SETAN!”
“KALIAN EMANG TEMEN TEMEN BRENGSEK!”
“AKU NGGAK NGOMONG APA-APA DARI TADI HEH!”
Mereka brengsek. Tapi mereka sahabatku. Jadi setelah bernyanyi sampai mulutku rasanya udah mulai berbusa, kami duduk di meja pojok dekat jendela. Tempat kesukaan kami yang diberi tanda untuk staff oleh pamanku.
“aku habis ngajak Lagu jalan-jalan ke Lisse.”
“Bukannya dia Napoleon?”
“Panggilannya Lagu ―jangan coba-coba diucapin! Kalau kalian yang ngucap nama dia jadi kedengaran aneh.”
“Napoleon,” Achilles menatapku dengan mata berbinar. Aku memandang Achilles jijik.
“―terserah. Kemarin aku ngajak Lagu ke Lisse soalnya dia suka bunga. Terus disana kita ngeliat bunga goudenregen. Goudenregen itu artinya sama kayak nama belakang Lagu, terus dia jadi sedih.”
“....nama belakang pacar kamu goudenregen?”
“nama belakangnya Laburnum, tapi kalo disini kita nyebut tanaman itu goudenregen ―terus aku sama dia belum pacaran.”
Achilles terbatuk, “uhuk-uhuk. Belum.”
Percival membuat suara ah... sambil manggut-manggut, “yang jadi masalah apa?”
“dia keliatan rumit pas kita ngomongin bunga itu. Aku pikir mungkin ada kaitannya sama nama dia,” aku menggendikkan bahu. “nggak tau. Aku juga bingung. Dia tau banyak soal bunga, jadi mungkin bunga ada arti pentingnya buat dia. Atau dia emang Cuma suka bunga dan artinya aja? Aku bingung!”
“santai. Banyak perempuan di dunia ini yang mau sama kamu. Kalau nggak ada Napoleon Bonaparte nanti kita cari Daendles.”
Aku mengambil ancang-ancang untuk melempar gelas. Achilles meringkuk.
“menurutku harusnya itu bukan sesuatu yang harus kamu pikirin sih,” Percival yang tumben sedang waras berceletuk. “respon dia emang kedengaran agak dramatis buat aku. Tapi bukan yang... sampe harus ngebikin kamu overthingking. Ya mungkin itu ada kaitannya sama nama dia, tapi ya kan udah gitu aja? Nggak mempengaruhi eksistensi atau identitas dia sebagai individu. Kecuali kalau kamu mau aku ingatkan,” Percival menyesap americanonya yang pahit kemudian menatap aku lamat-lamat, “kamu lagi ngejar mahasiswa pertukaran pelajar yang nggak bakal ada di Belanda empat bulan lagi.”
“aku blasteran indonesia-belanda. Di Indonesia aku punya rumah.”
“kamu mau ngejar dia sampe ke Indonesia?”
“kenapa enggak?”
Percival tertawa mencemooh, “emang dia mau kamu kejar? Maksudku, enggak semua perempuan suka perjuangan laki-laki yang kayak gitu. Banyak yang malah menganggap perbuatan yang udah ada di kepala kamu itu mendramatisir. Pahami dulu orangnya kayak gimana. Jangan sekonyong-konyong tiba-tiba bilang mau ngejar dia sampe Indonesia. Kalau ternyata di Indonesia dia udah punya pacar?”
“dia masih single. Dia perempuan baik. Mending dicoba dulu baru menyerah.”
“aku nggak peduli perempuan mana yang kamu kejar selama kamu realistis,”Percival mengaluarkan rokok, memantik batang tembakau itu lalu menyesapnya dalam-dalam. Ia menghembuskan asap rokok ke wajahku, “aku males ngeliat kamu kacau gara-gara wanita.”
Perkataan Percival bukan tanpa alasan. Aku pernah pacaran waktu SMA. Dia perempuan tercantik di sekolahku tapi nggak yang terbaik. Dia selingkuh dengan laki-laki dari sekolah lain. Yang membuat Percival dan Achilles khawatir soal hubunganku dengan perempuan adalah sekalinya aku suka sama orang, mereka bakal aku perjuangin mati-matian. Aku ini suka perempuan lembut. Mereka yang keliatan seperti bunga yang rapuh. Yang membuat aku pengen melindungi mereka dan menjauhkan mereka dari marabahaya. Maria, mantanku waktu SMA itu perempuan yang seperti itu. Dia bukannya menipuku dengan paras dan perangainya yang halus, akunya saja yang kebanyakan bermimpi bisa punya kisah cinta seindah novel. Ekspetasiku hancur, aku disakiti dan aku terluka.
Mamaku bukan perempuan lembut. Beliau keras, sama kerasnya dengan Papaku. Bukan berarti Mama bukan Mama yang baik. Mama punya kekurangan dan kelebihan. Salah satu kekurangannya adalah tempramen tinggi dan lidah asal kecap yang memberiku pengalaman traumatis semasa kecil. Aku baru bisa terbiasa dan mampu menghadapi lisan penuh kritik Mama waktu SMA kelas tiga. Pun Mama juga mulai reda dan menyadari kesalahannya. Itu butuh proses yang lama. Lama dan menyakitkan. Waktu Mama dan Papa sering memarahi aku soal apapun dan mengkritik segala sesuatu tentang diriku, pelarianku adalah novel.
Novel-novel romansa itu genre kesukaanku. Aku suka membayangkan hidup di masa depan bersama keluarga kecilku yang sederhana tapi bahagia. Aku ingin menjadi Ayah yang bijak dan punya pasangan yang bisa menjadi pendukung dengan hati dan perangai mereka yang lembut. Mereka yang bertutur kata halus pada anak-anak. Tidak seperti Ibuku yang sedikit-sedikit marah. Mama bukannya jahat. Mama dibesarkan begitu. Mama Cuma tau apa yang diajari orang tuaya. Mama tidak salah. Tapi Mama yang tidak bisa disalahkan itu juga yang menyakitiku. Ketidaktahuan Mama memberi aku luka. Dan keinginanku untuk hidup lebih baik juga melukaiku.
Aku tidak bicara lagi. Merenungkan kata-kata Percival.
Sesampainya di rumah, aku merasakan deja vu waktu berbaring di tempat tidurku. Dua bulan yang lalu aku melakukan hal yang sama. Bukan merenungkan perkataan Percival tapi merenungkan aroma manis dan lembut Lagu. Setelah aku bilang padanya aku suka parfumnya yang manis dan lembut sebelum ganti parfum melati, dia tertawa pelan dan berkata kalau itu aroma bunga cherryblossom. Aromanya manis dan lembut. Seperti tipikal perempuan yang kerap menarik perhatianku.
Bunga cherryblossom, bunga merah jambu itu kecil dan rapuh. Halus dan lembut. Seperti Lagu. Mungkin itu yang membuat aku tertarik padanya sejak awal. Aku merasa, dia membutuhkan seseorang untuk dijadikan pegangan tapi tidak punya dan tidak berani meminta.
Aku ingin tau kenapa dia sedih. Memikirkan aku menyukainya tapi aku bahkan tidak tau arti namanya membuat harga diriku sebagai laki-laki terasa diinjak-injak.
Aku mengusak wajahku frustasi. Dosis novel romansa yang kubaca sepertinya harus dikurangi.
....
“kemarin kamu kemana?”
“kafe pamanku. Kenapa?”
Aku menangkap Lagu menghela nafas, keliatan lega. Dia duduk didepanku. Tangannya bertautan di balik meja panjang perpustakaan yang memisahkan kami.
“kenapa Lagu?” aku bertanya. Tidak enak melihat Lagu bersikap tidak nyaman ketika kami berdua.
“kamu... geli ya?”
Keningku berkerut, “geli?”
“iya... kemarin yang soal bunga laburnum. Aku ngerasa dramatis banget. Maaf kalau kamu geli....”
Sontak aku menggeleng panik. Aku melihat sekeliling dan menghembuskan nafas lega ketika sadar perpustakaan jam segini masih sepi. Aku pindah duduk di sebelah Lagu yang terperanjat kaget. Aku tersenyum kecut. Rasanya seperti kembali ke masa dimana kami Cuma tau muka dan belum kenalan. Lagu tegang sekali disekitarku.
“nggak, aku nggak geli. Aku Cuma ngerasa aneh―,” Lagu ketakutan mendengar perkataanku, “―bukan, bukan kamu yang aneh. Aku ngerasa aneh aja ada orang tua ada yang ngasih nama anaknya nama sesedih itu. Kalau aku jadi kamu mungkin aku bakal sedih juga.”
Lagu tercenung. Tatapannya perlahan jatuh dan kepalanya tertunduk, “....kamu sedih?”
“iya. Aku sedih. Semalem aku ketemu temen-temenku buat tanya, aku yang panik dan khawatir soal kamu yang sedih pas ngomongin bunga itu bijak atau enggak, aku harus bersikap kayak gimana dan segala macemnya. Aku bingung.”
“...kamu khawatir?”
“iya.”
“kenapa?”
“soalnya kamu suka bunga terus kamu juga tau banyak soal makna dan manfaat mereka apa,” aku bingung bagaimana menjelaskannya dengan bahasa manusia. Ucapanku pasti terdengar ngawur sekali. “gimana ya, pokoknya aku nggak suka aja ngeliat kamu sedih gara-gara nama sama bunga. Dari sikapmu keliatan jelas kemarin. Alasan kesedihan seseorang nggak mungkin sedangkal itu kan? Apalagi orang kayak kamu.”
Diluar dugaanku, ucapanku yang berantakan dan latah ternyata mengundang senyum di wajah Lagu. Ia tertawa pelan.
“iya... artinya memang lebih dari itu.” Dia menunduk lagi. Awalnya aku bingung, sampai aku menemukan semu di pipi Lagu.
Aku jadi salah tingkah. Wajahku rasanya panas. Aku duduk tegak. Mematri pandanganku ke meja alih-alih ke lagu yang sepertinya juga nggak tau harus berbuat apa setelah percakapan kami. Suara gemerisik daun pohon maplediluar perpustakaan mengisi diam diantara kami sampai Lagu bersuara.
“terimakasih banyak ya. Baru kali ini ada orang yang peduli dan memikirkan arti namaku sampe kayak gitu.”
Aku menatap Lagu yang kini membuka-buka bukunya. Menganggap percakapan kami selesai. Sayangnya aku nggak punya pemikiran yang sama dengan Lagu.
“kalau begitu kasih tau aku.” Lagu menoleh, mendongak menatap aku yang lebih tinggi dengan mata hitam bulatnya yang mirip mata rusa. Aku melanjutkan, “kasih tau aku arti dan cerita dibalik nama kamu.”
Lagu tersenyum tipis, dia menelengkan kepalanya sedikit. “itu cerita yang berharga buat aku,” dia mengembalikan pandangannya pada buku. “tapi mungkin... aku bakal cerita kalau kamu juga nyeritain atau ngasih aku sesuatu yang berharga buat kamu.”
....
“apa sesuatu yang berharga buat aku? Nyawaku?”
Achilles tersedak. Batuk-batuk hebat sampai Percival harus menepuk-nepuk punggungnya dan mencekoki sobat tololku itu dengan air. Aku tidak terkesan.
“kenapa―kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?” Mata merah dan berkaca-kaca Achilles membuat pertanyaan yang dia lontarkan terdengar dramatis. Mirip adegan klimaks opera sabun, “kamu―kamu nggak―”
“apa sih, aku nggak ada niat buat bunuh diri.”
“siapa yang bilang kamu mau bunuh diri!?”
“ngaca Achilles, ngaca! Lainkali kalau ngomong tuh coba sambil ngaca di kaca biar kamu liat, kalau isi kepala kamu itu semuanya tertulis di muka kamu yang sebelas dua belas sama bekantan!”
“bekan―apa?”
“bekantan,” Percival menjawab. “itu monyet asli pulau Kalimantan, Indonesia. Nama lainnya monyet belanda.”
Achilles melotot. Menudingku dengan jari-jar panjangnya yang sekurus jarum karung, “menghina separuh darah leluhurmu! Imigran gelap!”
“mohon maaf aku imigran legal. Ada dokumennya.”
“tadi kamu tanya apa? Hal yang berharga buat kamu? Memangnya kamu punya sesuatu yang berharga?”
“tadinya aku sempet mikir kalau hal yang berharga buat aku itu kalian, tapi nggak jadi. Kalian titisan iblis.”
Achilles memegangi dadanya bak sehabis ditusuk belati. Percival menggeleng tidak habis pikir, “Napoleon lagi ya?”
Aku tidak menjawab.
“coba kasih afternoon tea set―”
“belum sempet ngasih, yang ada aku malah djadiin daging cincang sama Mama.”
“afternoon tea set Mama kamu kan senilai sama nyawa dan cintamu buat Napoleon,” Pecival terkekeh. “kamu ini kayaknya serius banget ya?” Percival mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari.
Aku terdiam. Memikirkan soal nama. Laburnum. Napoleon Lagu Laburnum. Entah apa arti dan tujuan nama depan Napoleon yang humor setengah mati itu. Yang membuat Lagu kedengaran lucu dalam pembicaraanku bersama dua kurcaci raksasa yang kusebut sahabat ini. “gimana kalo lagu?”
“hah?”
“Liedje. Lagu kalau dalam bahasa belanda itu Liedje.”
“ah..., paham-paham. Kayaknya, kalau emang nama sebegitunya penting buat Napoleon, harusnya kamu bisa membuat dia terkesan dengan ngebuatin dia lagu yang bicara soal cinta kamu buat dia,” Percival menaik turunkan alisnya. “kita bantu. Soalnya kamu ngeselin kalau lagi galau mikirin Napoleon. Tapi aku masih nggak pro kamu nembak dia dalam waktu dekat ini. Buatin lagu aja. Nggak semua orang dapet kesempatan dibikinin lagu sama kamu. Kita aja enggak. Tapi kamu tetep jangan gegabah langsung bilang suka.”
“omongan kamu ngeselin tapi pendapatmu ada benarnya.”
Aku nggak langsung menulis lagu untuk Lagu. Aneh... mengucapkannya aneh. Aku belum menulis arasemen musiknya karena aku pengen memastikan dulu soal arti nama untuk Lagu.
“arti Napoleon?”
Aku mengangguk.
“...kamu kayaknya penasaran banget ya?”
Aku mengangguk lagi. Lagu tersenyum kecil.
“kalau Napoleon nggak begitu istimewa sebenarnya. Orang tuaku baca-baca soal Napoleon Bonaparte. Oh, dia itu ternyata kaisar prancis revolusioner yang pendek loh. Kayaknya hebat. Jadi aku diberi nama Napoleon supaya jadi orang yang pekerja keras dan sehebat Napoleon Bonaparte,” senyum di wajah Lagu kian manis. Kontras dengan nada bicaranya yang entah kenapa terdengar pedas, “yah walau etos kerjaku nggak ada mirip-miripnya sama Napoleon Bonaparte, kenapa memangnya?”
“....pengen tau aja.”
“oh... tapi ada kok bunga yang panggilan dalam bahasa prancisnya Napoleon.”
“eh beneran?”
Lagu mengangguk. Senyumnya manis. Setelah itu dia melenggang pergi sembari melambai singkat padaku. Isi hati Lagu sejak kami pulang dari Lisse sukar ditebak. Dia masih tersenyum dan tertawa tapi bahasa tubuhnya menjeritkan emosi lain.
Aku menghabiskan banyak waktu mendekam di kamar sampai Mama sempat khawatir. Beliau baru tenang waktu melihat aku sibuk dengan gitar, pulpen dan kertas. Mama mungkin pemarah dan keras. Tapi Mama tetap Mama. Waktu aku jengah dan mengalami krisis eksitensi, Mama datang membawakan segelas cokelat panas dan manisan.
“makasih ma.”
“lagi bikin lagu ya?”
“mm.”
“kalian mau ikut pentas?”
“nggak, pengen nyoba bikin aja.”
“oh...,” Mama nampak nggak membeli alasanku soalnya aku jarang punya motivasi buat menulis lagu sendiri. Pertama kali aku menulis lagu itu nggak selesai karena untuk Maria. Yang kedua selesai untuk kepentingan lomba dan teman-temanku. Achilles dan Percival memang bodoh disaat yang salah. Bilangnya mereka nggak pernah kubuatkan lagu padahal lagu kedua yang kutulis dan bercerita soal perjalanan dari kampung halaman ke kota itu kutulis untuk mereka. Lagu itu banyak berbicara tentang rekan sejawat yang menemani si penyanyi dalam perjalanan hidupnya. Menghilangkan sepi dan mengisi keheningan dengan tawa. Otak mereka memilih konslet untuk hal-hal semacam itu.
“ma.”
“iya?”
“Mama pernah nggak dibuatin lagu sama Papa?”
“nggak lah. Papa kamu bukan tipe orang yang kayak gitu. Lagian yang bisa bermusik di keluarga ini Cuma kamu.”
Aku terkekeh mendengarnya. Mama melotot. “kenapa? Kamu lagi ngebikinin lagu buat perempuan ya.”
Aku mengangguk jujur. Mama sedikit tercengang. Ia menghela nafas, “hati-hati. Terakhir kamu bikin lagu buat perempuan, dia malah nggak jadi sama kamu.”
“yang ini... aku mau nyelesaiin aja ma. Dia suka atau enggak, nggak apa-apa. Yang penting hatiku lega.”
Mama mencibir, “anak muda jaman sekarang geli bahasanya.”
Aku nyengir. Setelah Mama pergi, aku dibuat termangu karena bingung mau menulis lagu yang seperti apa. Selain itu, apakah nanti Lagu mau mendengarkan nyanyianku atau tidak, bagaimana pendapatnya jika dia melihatku bernyanyi. Apakah dia akan suka atau malah jijik. Walaupun Lagu sering bersemu dan tersipu malu didekatku. Walaupun aku juga pernah mencium kening dan pipinya beberapa kali, Lagu selalu pasif. Dia nggak pernah membalas perlakuanku selain genggaman tangan kami. Aku merasa ganjil. Aku takut kalau Cuma aku yang berniat memperjuangkan hubungan kami yang nampaknya, seperti kata Percival, nggak ditakdirkan untuk berjalan sampai menemui akhir yang baik.
Napoleon Lagu Laburnum. Hebat juga dia bisa tau ada bunga yang sebutan bahasa prancisnya napoleon. Kalau nama Lagu yang rumit itu pemberian orang tuanya, aku rasa ketertarikan Lagu pada bunga juga Lagu dapat dari orang tuanya. Orang tua yang sama yang memberi Lagu nama dari bunga beracun bermakna ganda. A pensive beauty and forsaken. Kecantikan tidak nyata dan yang ditinggalkan. Do’a yang mana? Orang tua Lagu berharap anaknya tumbuh mencerminkan apa? Menghidupi makna yang mana? Kecantikan yang tidak nyata atau yang ditinggalkan?
...
“kamu nggak mau tanya arti namaku apa?”
Lagu mengerjap, “Sabarthan itu kalau nggak salah nama yang disebut dalam Kisah Rasul Santo Filipus bukan?”
Aku cemberut, “namaku pasaran banget ya?”
“nggak kok. Aku baru bertemu satu orang yang namanya Sabarthan. Kalau Sabar banyak.”
Kami berhenti didepan asrama Lagu. Bangunan tua bertingkat empat itu dihiasi cahaya temaram. Aku mencium keningnya dan menelan aroma bunga sakura yang Lagu kenakan. Aku penasaran, apa yang Lagu rasakan waktu aku mencium kening dan pipinya? Apakah Lagu terpikirkan untuk melakukan hal serupa, atau Lagu memilih menganggap semua itu tidak pernah terjadi seperti yang dia lakukan selama ini? Apakah Lagu berniat melupakannya sejak awal? Aku ingin meminta Lagu mencium pipiku untuk memastikan perasaannya. Tapi didalam sana, aku yakin Lagu pasti akan menjawab permintaanku dengan gelengan kepala dan seulas senyum pahit.
“goedenacht.”
Lagu mengangguk pelan. Dia menggumamkan hal serupa lalu pergi ke asrama. Sebelum membuka pintu, dia menoleh sekali lagi padaku yang masih berdiri diluar gerbang. Tatapan matanya rumit. Dia ingin mengatakan sesuatu. Tapi urung. Akhirnya Lagu Cuma tersenyum kecil.
Aku masih berdiri disana waktu Lagu sudah menghilang dari pandanganku. Merenungkan perkataan Percival.
Memangnya Lagu mau aku perjuangkan?
Aku menggeleng. Hati manusia itu bisa berubah. Perubahannya ke arah mana, tergantung stimulan yang kita kasih dari luar. Aku pengen Lagu berubah pikiran dan memperjuangkan aku juga. Aku pengen dia tau kalau kita itu nggak mustahil.
Keesokan harinya, aku mengajak Lagu pergi ke padang bunga lagi. Cuma jalan kaki biasa supaya dia kena sinar matahari yang sedang mengunjungi Leiden. Kami punya padang bunga matahari. Lagu senang. Melihatnya sama tinggi dengan bunga-bunga kuning itu terlalu menggemaskan. Musim panas yang biasanya aku benci tidak lagi terasa terik. Salah satu alasan kenapa aku lebih betah di Leiden dibanding Jakarta adalah panas. Di Jakarta, aku lebih betah mengendap di kamarku yang ber-ac ketimbang keluar dan jalan-jalan. Lagipula di Jakarta kita bisa jalan-jalan kemana? Semuanya gedung-gedung pencangkar langit atau sungai dan kawasan kumuh yang penuh sampah. Musim panas di Belanda tidak pernah separah hari-hari normal di Jakarta, tapi itu pun sudah bisa membuat aku misuh-misuh tidak tahan. Lagu, orang yang dibesarkan di negara tropis seumur hidupnya tentu menganggap musim panas disini tak ubahnya sama dengan hari-hari normal di kampung halamannya.
“di Indonesia nggak banyak bunga?” aku bertanya ketika kami beristirahat di bawah pohon. Memandangi hamparan karpet kuning bunga matahari dan kincir angin raksasa yang menjadi trade mark negeri ini.
“banyak kok. Tapi ya komoditas bunga yang biasa tumbuh di negara tropis. Bunga-bunga yang aku suka kadang nggak tumbuh disana.”
“seperti laburnum dan cherry blossom?”
“mm,” Lagu mengangguk. “wisteria, dogwood, everlasting flower. Banyak. Bunga-bunga tropis di Indonesia banyak yang cantik. Tapi pengetahuan kami soal bunga diputus oleh penjajahan. Banyak dari kami yang udah nggak tau bunga mana yang bisa dimakan dan bisa dijadiin obat. Bunga apa yang artinya merepresentasikan ini dan itu. Kecuali kita belajar sendiri atau kebetulan tumbuh di masyarakat adat, kita nggak akan pernah tau.”
“kalo kamu gimana? Pengetahuan kamu tentang bunga kamu pelajari sendiri?”
Lagu menggeleng pelan. Senyum di wajahnya samar-samar berubah getir, “nggak juga. Sebagian aku tau dari ayahku.”
Ayahnya. Jika aku benar, Ayah Lagu yang menyematkan laburnum sebagai nama belakang Lagu. Aku ingin tanya kenapa, tapi melihat Lagu yang berusaha tersenyum dan nampak tidak terpengaruh membuat aku menelan kembali kata-kata yang sudah aku susun.
“Lagu.”
“hm?”
“Sepengetahuanku, bunga itu selalu identik dengan perempuan. Menurut kamu gimana?”
“ah... iya. Perempuan itu seharusnya cantik. Kecantikan perempuan nggak bisa dibandingkan dengan apapun kecuali bunga dalam beberapa budaya tertentu. Bunga-bunga di setiap daerah yang berbeda kadang dijadikan simbol perempuan karena kecantikan dan kelembutan mereka. Kalau di Indonesia, aku sering dengernya wanita itu harus seperti bunga mawar. Cantik tapi berduri. Cantik tapi sulit digapai.”
Aku tertawa kaku mendengarnya. Peribahasa bunga mawar yang sering banget beredar di Indonesia. Dari sekian banyak bunga, kebanyakan orang Indonesia Cuma tau mawar dan melati. Melati si puspa bangsa dan mawar si tanda cinta.
“menurut kamu, kenapa orang Indonesia nggak menghargai bunga?”
“kata ayahku, karena kita punya banyak bunga. Saking banyaknya, kita sampai nggak merasa mereka istimewa,” Lagu tersenyum tipis. “bunga juga menjadi salah satu alasan kenapa kita dijajah. Kenanga, bunga-bunga harum lainnya yang Cuma tumbuh di Asia atau di negara tropis yang tanahnya subur seperti Indonesia. Kita tumbuh bersama mereka. Melihat mereka tumbuh liar dimana-mana.”
“harusnya, kalau tumbuh berdampingan malah kita lebih tau.”
“kenyataannya nggak begitu.”
Suara gemerisik angin dan dedaunan yang bersinggungan mengisi keheningan menenangkan antara aku dan Lagu. Lagu bisa bercerita tentang bunga sampai berjam-jam. Pengetahuannya memang seluas itu. Waktu kupuji, dia berterimakasih namun merendah dengan mengatakan pengetahuannya tentang bunga itu tidak berguna. Padahal dalam setiap pernyataannya, dia selalu menyinggung kalau dia menyayangkan budaya dan pengetahuan lokal yang terputus oleh penjajahan. Betapa bangsanya acap kali tidak menghargai apa yang mereka miliki. Malah merusak dan dirusak dengan ambisi ekonomi yang terus menerus melenyapkan hutan tempat bunga-bunga liar tumbuh. To think that she knows which one is the poisonous flowers and which one that can be used as medicine is insane.Memikirkan kalau separuh darahku adalah bangsa yang merenggut pengetahuan dan tradisi bunga yang Lagu sayangi membuatku mual.
“kamu jangan mikir aneh-aneh,” Lagu berucap tanpa menatapku. “aku memang sering menyebutkan penjajahan. Tapi kamu nggak bertanggung jawab atas perbuatan kakek, nenek, atau generasi bangsamu yang terdahulu. Yang udah terjadi, nggak bisa diperbaiki. Yang bisa kita lakukan adalah memastikan kalau semua itu nggak akan terulang lagi.”
Lagu nggak mengerti. Disini, bunga adalah segalanya buat kami. Kebanggan kami, identitas kami. Disana, bunga yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan bangsa yang selama ratusan tahun hidup menghormati alam malah menjadi tanaman liar tanpa nama. Disini sejarah bunga kami tulis dan kami pelajari. Kami bangun museum supaya dunia tau betapa bunga itu berharga bagi kami. Disana, bunga tidak lebih dari tanaman liar tanpa sejarah.
Kami pulang waktu matahari mulai terbenam. Di perjalanan menuju halte, aku bertanya, “kalau wanita itu cantiknya digambarkan oleh bunga, menurutmu... kamu digambarkan oleh bunga apa?”
Pertanyaanku tidak langsung dijawab. Tatapan Lagu jauh memandang ke jalanan yang dilalui pejalan kaki. Sempat kukira dia tidak akan menjawab.
“as much as i don’t like laburnum, i feel pity for them,” suara Lagu pelan, hampir tersapu angin sore yang sejuk. “siapa yang menentukan makna mereka? Memberi arti ganda yang membuat orang sering salah paham itu dosa. Orang-orang nggak menyukai mereka tanpa alasan,” Lagu tertawa pelan. “mungkin laburnum. Kami berbagi nama. Mereka tanaman yang nggak semengagumkan wisteria padahal mirip. Sama beracun, tapi wisteria lebih dicintai. Kenapa? Aku nggak tau. Mungkin karena nggak semua orang menemukan laburnum cantik walau mereka berdiri untuk kecantikan yang tidak nyata.”
Aku terdiam. Melangkah di sebelah Lagu tanpa suara selama beberapa waktu. Merenungkan perkataannya tentang laburnum. Siapa yang menentukan makna mereka katanya. Di telingaku itu kedengarannya seperti Lagu bertanya pada dirinya sendiri dan orang-orang yang kadang suka melabeli satu sama lain. Menentukan makna eksistensi seseorang yang mungkin tidak mereka ketahui sudah melaui apa dalam perjalanan hidupnya. Tidak semua orang menganggap laburnum cantik, orang-orang nggak menyukai mereka tanpa alasan.
“tadinya aku sempet ngira kamu bakal jawab bunga sakura. Kamu kayaknya suka banget sama mereka,” dan mereka juga cocok sama kamu. Kecil, rapuh dan lembut.
Lagu menggeleng, “mereka terlalu cantik. Aku nggak bisa membandingkan diriku sendiri sama mereka.”
Di bus, Lagu tertidur bersandar di pundakku. Malamnya, aku mencari-cari soal bunga sakura di internet. Aku menemukan kalau bunga sakura adalah simbol perempuan di Jepang. Simbol kelahiran kembali. Simbol kelembutan, kecantikan dan kasih sayang yang acapkali Cuma bisa dituangkan oleh perempuan.
Perasaanku rumit. Batinku tidak enak. Aku terlalu besar kepala. Aku nggak tau aku bisa menuntaskan lagu yang kutulis untuk Lagu atau enggak.
....
“Winchester!”
Aku menoleh, menemukan Eliana Kresta berlari kecil ke arahku. Di belakangnya ada segerombolan perempuan lain yang memandang aku dan Eliana penuh semangat. Begitu tiba di depanku, Eliana bersemu hebat. Dia menoleh ragu ke teman-temannya yang segera mengepalkan tangan. Menyemangati Eliana.
Eliana mendongak menatapku, lalu bercicit malu-malu, “itu...,” dia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Aku baru sadar kalau dari tadi Eliana menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Mirip Lagu kalau dia kuajak jalan. Bedanya, Eliana mengeluarkan tas karton berwarna biru dan menyodorkannya padaku.
“ini...”
“beberapa hari lagi kamu ulang tahun kan,” Eliana tersenyum kikuk, “aku kasih hadiah duluan ya. Soalnya di hari ulang tahunmu aku bakal pergi ke luar kota.”
“ah―”
“aku pergi duluan!” Eliana melipir pergi setelah aku menerima tas karton biru itu. Aku bahkan belum sempat bilang terimakasih. Teman-teman Eliana segera mengerumuni gadis itu. Dia keliatan agak emosional. Aku tidak bisa melihat wajahnya yang membungkuk sebelum tegak kembali. Teman-teman Eliana mengatakan tidak apa-apa, menenangkan Eliana yang entah emosional karena apa.
“Arthan.”
Aku terlonjak kaget. Lagu berdiri disebelahku. Memeluk buku dan mengenakan gaun katun lainnya yang kali ini berwarna cokelat muda. Lagu dan aku bertatapan. Lalu pandangan Lagu jatuh ke tas karton di tanganku, sebelum matanya tertuju pada Eliana dan teman-temannya yang mencuri-curi pandang ke arah kami. Lagu menatap aku lagi, kemudian berjalan pergi.
“Lagu? Lagu? Tunggu!”
Mudah bagiku untuk mengejar langkah Lagu yang pergi ke perpustakaan universitas. Lagu tidak berhenti.
“kamu kenapa?”
“nggak apa-apa.”
“kamu ngambek.”
“nggak.”
“kamu ngambek.”
“aku nggak punya alasan buat ngambek atau kesel sama kamu.”
“kamu ngambek karena aku dapet hadiah dari perempuan lain.” Langkah Lagu terhenti.
“aku nggak punya hak untuk melarang kamu menerima hadiah dari siapa. Aku bahkan nggak kenal perempuan yang tadi.”
“namanya Eliana Kresta. Mahasiswa seni musik,” aku nggak melewatkan Lagu yang berjengit ketika aku menyebut musik. Wajahnya semakin tidak enak dipandang.
“buat apa kamu ngasih tau aku?”
“karena kamu pengen tau?”
“aku enggak.” Lagu keliatan seperti kucing yang telinga dan sekujur bulunya berdiri. Menahan diri agar tidak mendesis berbahaya. Aku pengen bilang, ngaku aja kalo ngambek tapi nanti bisa-bisa Lagu makin ngambek. Jadi aku meraih tangannya dan menggenggam tangan kurus Lagu erat-erat sebelum Lagu menghempaskan tanganku.
“kamu ngapain?”
“ke kafe pamanku yuk?”
“nggak mau.”
“ya elah. Aku traktir.”
“lepas.”
Aku pura-pura tidak dengar. Malah menarik tangan Lagu yang jelas tidak bisa melepaskan diri karena perbedaan kekuatan kami. Dengan tubuh sekecil itu, aku bisa mengangkat badan Lagu seperti karung gandum kalau aku mau. Lagu nggak ngomong apa-apa tapi dia berusaha menarik-narik tangannya dari genggamanku. Setelah berkali-kali usahanya sia-sia, Lagu akhirnya menyerah. Mengikuti langkahku sambil bersungut-sungut. Kami mengundang tatapan dari orang-orang disekitar kami karena aku keliatan seperti penculik yang menyeret anak polos yang tidak berdaya.
Tot Straks biasanya ramai di jam-jam makan siang, tapi hari ini kafe yang sudah berdiri sejak tahun dua ribu sepuluh itu cukup sepi. Orang-orang suka makan disini karena makanan buatan bibiku enak. Selain itu pamanku juga pandai meracik minuman. Pun setelah lulus kuliah, sepupuku memilih untuk kerja di kafe ini membantu meracik minuman dan makanan mengikuti trend. Memperbarui menu makanan dan minuman sepanjang waktu. Aku sudah yakin Lagu bakal suka kafe ini karena di halaman depannya, kafe ini punya banyak kaleng-kaleng berisi tanaman yang terawat. Didalam juga sama. Hawanya kalem dan tenang. Cocok untuk belajar atau Cuma sekedar menikmati secangkir teh sendiri.
Aku menarik Lagu ke meja yang biasa menjadi tempat aku nongkrong bersama Percival dan Achilles. Lagu keliatan ragu untuk duduk karena ada papan bertulisan “untuk staff” bertenger di meja.
“ah,” aku mengambil lalu meletakkan papan itu di jendela. Lagu menatap aku takut, “gapapa. Santai aja. Ini kafe pamanku.”
“....”
“aku kerja disini oke? Meja ini direservasi buat aku sama temen-temenku.”
Baru setelah itu Lagu duduk didepanku. Tidak lama, sepupuku, Rosaline menghampiri meja sambil tersenyum jahil.
“Arthan!”
“Rosaline.”
“mau pesan apa?” Rosaline mengeluarkan buku catatannya sambil melirik penuh arti ke Lagu.
“shortcakenya dua. Minumnya...―kamu alergi susu nggak?” Lagu menggeleng pelan. “minuman thailand yang pernah kamu bikinin buat aku ya. Dua.”
“oke. Bayarnya dua kali lipat ya.”
“Rosaline, aku sepupumu.”
“tiga kali lipat!”
Aku menghela nafas. Rosaline berlalu sambil terkikik-kikik mirip penyihir.
Lagu membisu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe sebelum mengembalikan matanya padaku. Pandangannya turun ke tas karton yang diberikan Eliana.
“oh, kubuka ya.” Lagu tetap diam ketika aku mengeluarkan kado Eliana. Sebuah headphone bluetooth dan sekotak biskuit keju. Aku tercengang memandangi hadiah itu. Headphone bluetooth ini pasti mahal karena mereknya cukup terkenal.
“...kamu main band?”
Aku mendongak. Saat aku sibuk menimang headphone bluetooth hadiah Eliana, Lagu meraih sepucuk surat yang aku lewatkan. Surat itu terbuka di tangan Lagu. Ia menyerahkan surat itu padaku dengan ekspresi rumit.
Untuk Sabarthan N. Winchester
Sebelumnya, aku pengen berterimakasih karena kamu udah bernyanyi di panggung bersama teman-teman kamu di pentas seni universitas kita dua tahun yang lalu. Aku berteman sama Achilles. Dia bilang, kamu yang nulis lagu itu. Aku merantau dari Rotterdam kesini dan buat aku itu nggak mudah. Jadi aku terharu waktu kamu nulis tentang rumah dan perjalanan pulang. Aku bener-bener berterimakasih. Selamat ulang tahun ya. Maaf aku baru kali ini berani ngasih hadiah ke kamu. Aku malu dan nggak berani ngedeketin kamu. Kamu bener-bener keren. Aku harap, aku bisa melihat kamu bernyanyi lagi suatu hari nanti. Nyanyian kamu itu juga yang membuat aku suka sama kamu. Maaf aku nggak berani ngomong langsung. Aku takut ditolak. Kalau kusampaikan lewat surat, rasanya lebih tenang karena aku nggak tau respon seperti apa yang bakal kamu berikan. Semoga di usiamu yang ke dua puluh dua, Sabarthan menjadi pribadi yang lebih baik dan dimudahkan menggapai mimpi.
Salam, Eliana Kresta.
“oh...”
Aku belum sempat bicara karena Rosaline menyela kami dengan nampan berisi thai tea hijau dan dua piring shortcake. Lagu langsung memakan kuenya dalam diam sedangkan aku memakan kueku sambil menatapi Lagu.
Lagu keliatan tenang. Tapi dia makan pelan-pelan. Seakan mengulur waktu supaya tidak perlu mengobrol denganku.
Aku menelan kueku, “tadi kamu tanya aku main band ya?” aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe sampai aku menemukan panggung yang aku cari. Aku menunjuk panggung itu. “aku biasa nyanyi disini sama temen-temenku di panggung itu. Aku main gitar sambil nyanyi, Achilles drum, Percival piano.”
“...bukan band resmi?”
“kenapa? Kamu kecewa?”
Lagu menggeleng, “nggak. Aku kaget aja.”
Aku nyengir, “aku nggak keliatan kayak orang yang bisa nyanyi ya?”
Lagu tersenyum tipis, “nggak juga. Kamu ganteng, pasti banyak penggemarnya.”
Aku tersedak. Terbatuk-batuk keras mendengar pujian yang jarang Lagu lontarkan. “nggak-nggak. Aku biasa aja.” Aku mengipasi wajahku yang panas lalu menegak thai teaku banyak-banyak.
Aku melewatkan wajah tanpa senyum Lagu.
....
Lagu nggak pernah mendengarkan musik. Waktu pinjam hpnya, aku nggak menemukan spotify atau aplikasi musik lainnya. Waktu kutanya lagu kesukaannya apa, Lagu menatap aku lama dan menggeleng pelan. Berkata dia lebih suka ngedengerin podcast, audiobook atau nonton video di youtube daripada ngedengerin musik. Aku agak kecewa, tapi dia tetap kubercandai. Nggak ada orang yang nggak suka musik di dunia ini. Apalagi orang yang dinamai orang tuanya Lagu.
Lagu tersenyum mendengar candaan-candaanku. Dia diam dan mendengarkan aku nyerocos tentang lagu dan musik-musik yang aku suka. Waktu kutawari dia mau mendengarkan aku bermain gitar atau enggak. Lagu menatapku lama sebelum menggeleng pelan. Ada senyum lembut di wajahnya. Tapi senyum itu tidak sampai mata. Jadi Lagu bukan orang yang se-tertarik itu pada musik.
Karenanya, aku yang semula pesimis tidak bisa melanjutkan lagu yang kutulis untuk gadis yang kusukai, seketika bersemangat lagi karena sudah menemukan motivasi. Aku akan membuat Lagu jatuh cinta pada musik! Seperti musik menjadi tali pengikat antara aku, Achilles dan Percival. Musik juga yang menyentuh hati kedua orang tuaku dan berhasil membuat mereka lunak. Lagu dan musik memang sekuat itu. Mereka eksistensi yang seharusnya berupa udara tapi luar biasa kuat sampai bisa menyentuh dan mengubah hati seseorang.
“not bad,” Percival berceletuk waktu dia melongok, melihat lirik yang aku tulis. “kamu niat banget. This is your best lyric so far.”
Aku mencibir. “pujianmu itu merendahkan atau menghina?”
Percival tersenyum lebar, “jangan terlalu percaya diri. Kamu nggak sehebat itu sobat.”
Achilles dan Percival membantuku. Lagu ini tidak bisa sempurna tanpa iringan drum dan melodi piano.
....
“ini. Maaf aku Cuma bisa memberi itu.” Lagu berucap lambat-lambat. Ia menyerahkan tas karton merah muda padaku. Lagu tersenyum tipis, “selamat ulang tahun. Lagu pergi sebelum aku sempat mencium pipinya karena terlalu senang. Mungkin seperti Eliana, dia takut melihat reaksiku seperti apa.
Setibanya aku di rumah. Aku membuka kado dari Lagu. Ada muffler merah gelap didalamnya. Muffler yang dirajut dengan hati-hati oleh tangan yang telaten. Aku tau muffler itu buatan tangan karena Mama juga merajut beberapa muffler yang aku punya. Selain muffler, Lagu juga memberiku potret padang bunga kecil yang dilukis dengan cat air. Gaya lukisannya tidak asing. Aku pernah melihatnya lukisan-lukisan Lagu yang ia sematkan di buku sebagai pembatas. Terakhir ada pembatas buku yang dihiasi bunga-bunga kering. Tidak ada surat. Adanya kartu ucapan ulang tahun. Tapi buatku, itu sudah lebih dari cukup.
Aku ingin Lagu tau kalau kita itu tidak mustahil. Semua ini Lagu buat dengan tangan. Aku mengenali bunga-bunga yang kami beli bersama ketika kami jalan-jalan.
Percival pernah bertanya, memangnya Lagu mau aku perjuangkan? Dulu aku mengabaikan pertanyaannya. Sekarang aku sudah tau jawabannya.
Dia mau.
Aku mengetikkan pesan di ponselku, lalu berbaring menatap langit-langit kamar dengan senyum merekah di wajahku. Aku memejamkan mata. Menghitung dalam hati sambil menunggu. Di hitungan ke seratus dua puluh, ponselku berdenting.
Lagu, nanti malam aku mau ngerayain ulang tahun di kafe paman.
Tapi Achilles sama Percival sibuk, jadi mereka nggak bisa nemenin.
Kamu bisa dateng nggak?
17.06
Read
Boleh. Jam berapa?
17.08
Aku tersenyum lebar. Setelah membalas pesan Lagu, aku buru-buru mengambil handuk dan turun ke kamar mandi. Mama mengomeliku karena derap langkahku yang menuruni tangga terlalu berisik. Tapi aku tidak bisa menahan diri.
Lagu datang mengenakan gaun putih polos dipadu jaket lepis biru terang. Aku segera menarik Lagu untuk duduk di mejaku yang biasa. Keningnya kucium lama.
“makasih banyak ya udah dateng.”
Lagu tercengang, lalu ia mengangguk pelan. Aku mencium puncak kepalanya lalu berkata ingin ke kamar mandi sebentar walau realitanya tidak. Lampu diatas panggung sengaja dimatikan seperti biasa sebelum aku dan teman-temanku tampil. Achilles dan Percival sudah menungguku. Achilles menjawil-jawil lenganku sementar Percival Cuma menggeleng dan tersenyum tipis. Mereka tidak seperti teman-teman Eliana yang menyemangati secara terbuka, support mental yang mereka berikan jauh sebelum itu. Musik ini tidak akan selesai jika bukan karena campur tangan Achilles dan Percival.
Ketika aku sudah di panggung, lampu dinyalakan. Aku melihat iris Lagu membola. Kami bersitatap. Aku tersenyum padanya. Aku ingin bilang Lagu ini kutulis untuk dia, tapi tidak. Lagu tidak akan kemana-mana. Aku bisa memberitahu Lagu setelah laguku selesai.
Aku bertatapan dengan Achilles. Pemuda bersurai pirang itu mengangguk. Mengetuk-ngetuk stik drumnya yang kemudian diikuti dengan alunan piano Percival yang lembut.
Jika cinta bisa melampaui segalanya
Aku tidak berpikir hari itu akan datang
Aku penasaran apakah dunia kita berbeda
Aku merasa kamu terlalu jauh dariku
Tapi sekarang aku bisa merasakanmu
Kamu memberi panas pada bunga yang layu
Cukup untuk merubah duniaku, seperti keajaiban
Hanya kamu yang ada di mataku
Jika aku menutup mata, kamu akan ada disisiku
Agar bisa melampaui segalanya
Mari kita buang masa lalu kita
Setelah mengucapkan sampai jumpa
Aku melihat kebelakang dan kamu tertawa
Saat berpikir berapa lama kamu akan ada disana
Jika mungkin, aku tidak ingin pulang
Karena aku merasa kamu sangat jauh dariku
Padahal hanya berjarak satu jengkal
Aku kira aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi
Aku salah
Hanya kamu yang ada di mataku
Hanya kamu yang ada di mataku
Jika aku menutup mata, kamu akan ada disisiku
Agar bisa melampaui segalanya
Mari kita buang masa lalu kita
Jangan menatapku seperti itu
Mari saling merengkuh sampai kita berjumpa lagi
Bahkan jika kita bingung atau bertengkar
Semua itu tidak akan memisahkan kita
Hanya kamu yang ada di mataku
Hanya kamu yang ada di mataku
Jika aku menutup mata, kamu akan ada disisiku
Agar bisa melampaui segalanya
Mari kita buang masa lalu kita
Tepuk tangan menggema ketika alunan piano Percival mengakhiri penampilan kami. Aku tersenyum lebar melihat respon positif dari para penonton yang sebenarnya Cuma pengunjung rutin di kafe Pamanku. Tapi ketika pandanganku menyapu kafe, aku tidak menemukan Lagu. Jujur saja, aku panik.
Setelah menerima ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku yang lain yang turut hadir di kafe malam itu, aku mencari Lagu. Perempuan Indonesia itu kutemukan di luar. Di bangku jalan di samping kafe. Duduk disana dengan kepala tertunduk.
“Lagu,” aku memanggil. Kulihat bahunya tersentak. Dia mendengarku, tapi tidak menyahut.
Aku berjalan mendekat. Aku sempat was-was takut Lagu kesambet setan budak Indonesia yang diboyong ke Belanda. Banyak kasus kerasukan seperti itu disini. Sebab tatapan mata Lagu kosong seakan dia masih berusaha menemukan kewarasan dan kesadarannya kembali.
Aku duduk disebelah lagu. Memandanginya lama, “kamu... nggak apa-apa?”
Lagu mengangguk pelan. Masih menatap lurus ke kekosongan jalan.
“serius? Aku takut kamu disambet setan budak indonesia. Disini banyak tau.”
Ucapanku membuat tawa Lagu pecah. Itu pertama kalinya aku mendengar Lagu tertawa lepas. Lagu menutupi mulutnya sebelum menatapku. Masih tertawa. Kutunggu tawanya reda sambil tersenyum. Lagu baik-baik saja.
“kamu.... kamu bener-bener sesuatu,” Lagu tersenyum simpul sambil menatapku. Ada air mata di iris hitamnya, bekas tawa yang tadi baru dia lontarkan.
“...lagunya jelek ya?”
“nggak kok bagus-bagus.”
“tapi kamu nggak ada disana.”
“yang tepuk tangan buat kamu udah banyak.” Aku merengut mendengar jawabannya. Lagu tersenyum tipis, ia menghela nafas, “kamu menang. Jadi... kamu pengen tau cerita dibalik namaku?”
Senyum merekah di wajahku, aku mengangguk.
Aku sudah menyampaikannya di laguku, mari kita membuang masa lalu kita. Nama pemberian orang tua adalah bagian dari masa lalu yang membentuk seseorang di masa kini. Menurutku, nama memberi manusia identitas ―berkebalikan dengan pandangan Percival―. Ketika berbicara tentang seseorang, yang pertama kita ingat itu nama. Makanya aku pengen tau.
Tapi sepanjang cerita Lagu mengalir, aku harap aku nggak memiliki rasa ingin tahu itu. Aku harap aku nggak pernah bertanya. Aku harap aku nggak pernah menggali masa lalu yang menyakiti Lagu dan kemudian, menyakitiku.
....
Bagi Lagu, bunga itu berharga karena mereka bisa mengutarakan perasaan tanpa kata. Ayah Lagu yang dulunya pernah menjadi vokalis band indie semasa muda gemar menamai lagu-lagunya dengan nama bunga.
Walau Lagu bilang ke Sabarthan kalau nama depannya itu Napoleon karena orang tuanya menemukan Napoleon itu keren, sebenarnya ceritanya lebih dari itu. Lagu itu orang yang dibenci Ibu dan disayangi Ayah. Pria tampan yang tubuhnya penuh tato dan punya nyanyian merdu itu gemar mabuk-mabukan. Pria yang sama yang lebih sering teler daripada sadar. Pria yang seharusnya melindungi Lagu tapi malah memaksa Lagu tumbuh dewasa lebih cepat.
Di buku lirik ayahnya, Napoleon punya makna ganda seperti Laburnum. Napoleon adalah sebutan bagi bunga Yarrow Milfoil. Bunga liar eropa cantik yang di buku catatan Ayahnya berwarna putih. Bunga yang disebut Napoleon dalam bahasa prancis ini punya banyak arti. Cinta, kesembuhan, kekuatan. Apapun yang bisa kamu pikirkan. Jika ada yang Lagu sukai dari namanya mungkin adalah kata pertama yang merepresentasikan cinta Ayah padanya dan kesembuhan yang diharapkan Ayah.
Semua orang berkata kalau nama Lagu itu aneh. Siapa pula orang tua gila yang memberi nama anaknya Lagu? Buat Ayah, lagu lebih dari itu. Lagu adalah cinta dan hidup ayah. Masa muda Ayah dihabiskan untuk bernyanyi dan menulis lagu. Pun gemilang keindahan yang singkat itu diakhiri pula oleh gubahan lagu.
Ceritanya klasik. Di konser band atau konser musik lokal lainnya, nggak semua orang yang datang itu waras dan baik-baik. Di konser terakhir Ayah, ada perempuan cantik berperangai halus yang kebetulan datang bersama temannya, dan ada Ayah, si vokalis band tampan yang mempesona. Disamping mereka, ada pula gerombolan manusia penikmat musik yang turut menggemari alkohol. Minuman keras ditegak, kesadaran tenggelam. Perempuan cantik itu ibu Lagu. Wanita yang cuma pernah bertemu Ayahnya sekali. Kemudian hancur, kembali bersama anak, lalu pergi dan tidak pernah kembali lagi. Dia pergi entah kemana. Ayah tidak tau. Ayah menerima Lagu, karena jika bukan Ayah, siapa lagi yang mau?
Wajah wanita itu Cuma hadir dua kali dalam hidup ayah. Dia menghilang setelah malam penuh dosa yang meruntuhkan dunia Ayah, lalu kembali bersama Lagu dalam gendongan.
Then the angel asked her
What her name was
She said i have none
Then he asked how can this be
My mother never gave me one
Itu penggalan lirik lagu yang Ayah beri nama Laburnum. Lagu tentang putrinya yang datang tanpa nama. Ditinggalkan dan tidak dimaafkan. Padahal dia sendiri juga tidak minta dilahirkan ke dunia. Seharusnya buku lirik itu buku terlarang. Tapi Ayah mabuk hampir sepanjang waktu. Tidak sadarkan diri di sofa atau muntah-muntah di kamar mandi karena hangover. Rahasia yang mau Ayah bawa mati sekarang bukan rahasia lagi.
Ayah tidak pernah bilang dia benci Lagu. Beliau selalu berusaha menjadi Ayah yang baik. Catatan, musik dan penamaan hati-hatinya yang berkata begitu. Bukan benci, lebih ke... luka. Ayah menyimpan luka dan keputusasaan setelah tidur bersama wanita yang meninggalinya seorang putri. Putri yang bak anak kembar dengan wanita itu. Sama-sama cantik dan berperangai lembut. Yang setiap kali Ayah menatapnya hanya akan diingatkan pada malam dimana dunia Ayah runtuh. Lagu pura-pura tidak tahu. Sama seperti Ayah yang berusaha menjadi anak yang baik untuk Lagu, Lagu berusaha menjadi anak yang baik untuk Ayah. Walaupun Lagu menghancurkan hidup Ayah, hidup wanita yang seharusnya bisa Lagu panggil Ibu, dan hidup Lagu sendiri.
Jadi Lagu tumbuh. Tidak ingin menyukai musik. Tidak pernah benar-benar menikmati musik, dan mengabaikan keberadaan gitar akustik dan piano tua di rumah mereka. Lagu tidak pernah menyentuh instrumen musik Ayah, Ayah tidak berkomentar. Sebenarnya ironis. Orang yang diberi nama Lagu justru orang yang sama sekali tidak ingin berurusan dengan dunia musik.
Laburnum, seperti yang Lagu katakan pada Sabarthan, juga menjadi salah satu alasan kenapa Lagu menganggap bunga sebagai eksistensi yang berharga. Ayah ingin Lagu tumbuh menjadi wanita cantik yang mustahil ada. Seperti wanita yang selalu menghantui mimpi buruk Ayah. A pensive beauty. Tapi Ayah juga ingin Lagu tidak pernah lupa kalau dia itu ditinggalkan. Do’a dan kutukan. Ayah memang sepintar dan sebrengsek itu.
Ayah ingin dia tumbuh seperti Ibu yang tidak pernah Lagu kenal, tapi Ayah juga ingin Lagu tetap ingat kalau dia itu anak haram. Anak yang tidak diakui dan dibuang ibunya sendiri.
Topik tentang Ibu sering diangkat dalam acara dakwah pagi di Televisi maupun di acara Tabligh Akbar lainnya di Indonesia. Kadang Lagu merasa kalau orang Indonesia itu terlalu terobsesi untuk mengagungkan posisi Ibu yang sebetulnya ya manusia, mereka bisa berbuat salah. Mereka juga bisa menjadi iblis. Mereka bukan malaikat.
Mereka bisa membuang darah daging mereka sendiri. Kasus itu banyak terjadi. Tapi orang-orang pura-pura tidak tahu. Mereka berdalih, ah itu karena ibunya masih anak dibawah umur. Padahal banyak kasus dimana si ibu sudah dewasa tapi tetap melakukan hal serupa. Terutama jika anak itu seperti Lagu. Tidak diinginkan. Dalam sejarah, berapa banyak anak seperti Lagu yang lahir ke dunia kemudian dibunuh karena mereka adalah kesalahan? Berapa banyak dari pembunuh mereka yang merupakan si ibu yang sudah mengandung mereka selama sembilan bulan? Dilahirkan untuk dibunuh, dilahirkan hanya untuk ditinggalkan. Kalau itu Lagu yang sepanjang hidupnya dicemooh karena tidak punya Ibu dan menatap iri anak-anak yang dipeluk dan diciumi ibunya, lebih baik Lagu tidak usah lahir ke dunia sejak awal. Tidak melakukan praktik aborsi itu common sense. Bukan perbuatan mulia. Bukan sesuatu yang harus dipuji. Jika kamu manusia yang bermoral, kamu nggak akan membunuh manusia lainnya, apalagi bayi yang tidak berdosa. Lagu tidak tahu dia harus bersyukur atau mengutuk dunia karena dilahirkan. Lagu sungguh tidak tahu. Kadang Lagu berpikir kalau mungkin wanita yang melahirkannya itu menghadirkan Lagu ke dunia supaya Lagu bisa dikutuk. Supaya Lagu membayar dosa yang tidak pernah dia minta. Dilahirkan ke dunia sebagai anak haram.
Karena Lagu tidak punya Ibu, orang-orang merasa menghina dan merendahkannya itu pantas. Karena Lagu hanya punya Ayah, orang-orang langsung berpikir kalau seketika Lagu itu cacat. Tidak ada yang mengajarinya bagaimana menjadi wanita yang baik. Bahkan mengutuk nanti Lagu akan bernasib sama seperti Ibunya yang lebih baik mati. Mewanti-wanti anak-anak mereka agar tidak mendekati Lagu yang tidak punya Ibu dan dibesarkan oleh pemabuk.
Mereka nggak akan bisa memahami rasa sakit hati Lagu. Kecuali kamu mengalami kekejaman itu sendiri, kamu nggak akan pernah bisa memahami kebencian seorang anak pada Ibu mereka.
Biarpun Ayah menyimpan rasa sakit hati dan luka setiap kali menatap Lagu. Ayah tidak membuang Lagu. Biarpun Ayah mabuk dan tidak sadar hampir sepanjang waktu, Ayah selalu berusaha menjadi Ayah yang baik ketika Ayah nggak teler. Ayah tidak membuang Lagu. Pria itu malah mendorong Lagu untuk terus belajar. Berusaha menyembunyikan masa lalu Lagu untuk melindungi hati Lagu yang tidak tahu apa-apa. Ada catatan dibawah lagu Laburnum yang Ayah tulis dan juga yang menjadi alasan kenapa Lagu tahu lagu itu tentang dirinya.
Lagu nggak salah. Dia nggak minta dilahirkan. Dia nggak berdosa.
....
Lagu tersenyum. Tidak ada air mata setelah dia bercerita panjang soal masa lalunya. Soal siapa dia. Soal namanya, soal orang tuanya yang pincang. Soal Ibu yang tidak pernah dia kenal. Soal dia yang sakiti banyak orang gara-gara sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa setenang itu. Seakan lukanya tidak menyakitkan dan tidak bisa diobati. Luka yang ada karena ketidakhadiran orang tua itu tidak sembuh.
“sekarang Ayahmu gimana? Kamu ada di Belanda, yang merawat dia siapa?”
“Ayah udah nggak ada. Meninggal semester lalu,” Lagu berucap ringan. “Alkohol nggak bagus buat tubuh manusia. Apalagi pecandu seperti Ayah, umurnya nggak akan panjang. Makanya aku dateng kesini. Aku nggak bisa tinggal di tempat dimana Ayah nggak ada. Aku pengen ngelupain Ayah. Kalau Ayah masih ada, aku nggak akan disini.”
“tapi aku ngingetin kamu sama Ayah kamu, iya kan?”
Lagu nggak langsung menjawab. Dia melamun sebentar. Merenungkan entah apa sebelum menggeleng, “nggak. Kamu bukan Ayah. Kamu adalah kamu. Kalian dua individu yang berbeda. Cuma... ketika kamu di atas panggung dan bernyanyi, aku jadi mikir, apa Ayah juga kayak gitu waktu muda?”
Aku diam.
“sekarang kamu bebas. Kamu boleh pergi. Aku bukan perempuan yang kamu harapkan,” Lagu tersenyum tipis. “aku bukan perempuan manis dan lembut dari keluarga baik-baik seperti yang selama ini kamu kira,” Lagu menghembuskan nafas setelah menariknya dalam-dalam. Ia berdiri, “maaf udah merusak malam ulang tahun kamu dengan cerita hidupku Sabarthan.”
“aku nggak pernah bilang begitu,” aku menyela omongan Lagu. Aku ikut berdiri. Tinggi menjulang dihadapan Lagu yang bersiap pergi. “aku nggak pernah bilang aku mau pergi.”
Lagu tidak menanggapi. Dia memandangiku dengan tatapan mata tidak terbaca dan senyum tipis yang masih bisa terpatri disana setelah cerita panjang nan menyakitkan yang dia sampaikan.
“Lagu aku―”
“makasih banyak lagunya,” Lagu memotong ucapanku. “terimakasih banyak. Itu hadiah terbaik yang pernah orang kasih ke aku.” Lagu menunduk. “tapi aku nggak bisa. Jadi tolong jangan bilang apa-apa. Kamu layak mendapatkan yang terbaik. Aku bukan seseorang yang pantas kamu perjuangin, jadi tolong jangan...―” suara Lagu tercekat. Bahunya bergetar, “―...jangan-jangan bilang apa-apa...”
Aku tidak bisa melihat ekspresinya. Aku tidak bisa melihat wajah Lagu biarpun aku ingin. Aku tau Lagu menangis karena isakannya yang mati-matian ditahan tetap lolos. Aku benci diriku yang tidak menahan Lagu ketika dia berlalu pergi. Aku benci diriku yang Cuma bisa memandang punggung Lagu yang terus berjalan sampai tidak nampak lagi. Aku benci diriku, yang membenarkan ucapan Lagu.
...
Malam itu aku kembali ke kafe. Jelas keliatan tidak baik-baik saja. Percival dan Achilles yang sepertinya sudah siap-siap memaki-maki aku langsung menelan cercaan mereka. Mengantar aku pulang dan menemani aku di kamar. Mereka nggak ngomong apa-apa. Mengobrol ringan sambil mengawasi aku yang diam sepanjang waktu. Nggak ada pertanyaan soal Napoleon dan nggak ada pertanyaan kenapa aku sehampa itu.
Besoknya Lagu nggak kuliah. Itu perbuatan gegabah yang aku tau nggak akan dilakukan Lagu kecuali dia benar-benar nggak sanggup. Terutama karena Lagu itu mahasiswa pertukaran pelajar, tanggung jawabnya untuk mengikuti kuliah lebih besar dibanding kami yang mahasiswa biasa.
Lagu nggak mau ketemu aku.
Kami ketemu di kelas sejarah yang ada dua kali seminggu. Di hari kedua Lagu masuk. Dia nggak menyapa aku dan nggak duduk di sebelahku. Begitu terus sampai sebulan.
Percival dan Achilles akhirnya jengah melihat aku yang nggak ada perkembangan. Masih sering ngelamun dengan pikiran yang nggak pada tempatnya.
“bro,” Achilles memanggil. Aku bergumam.
“cerita.”
“nggak.”
“atau kamu mau aku nyamperin Napoleon dan tanya langsung ke orangnya?” aku mendelik. “makanya cerita!”
“Arthan, kamu nggak bisa begini terus. Ini udah rekor. Sebulan loh kamu jadi orang pendiam. Mamamu aja sampai nelfon aku, nanyain kamu kenapa.” Percival menimpali. “mending dulu kamu nangis dan galau waktu sama Maria. Ya emang laki-laki sejati itu pantang menangis, tapi ketimbang ngeliat kamu kosong kayak orang dirasukin setan selama sebulan, mending aku ngeliat kamu nangis!”
“...kalian berlebihan.”
“heh, mulutmu!” Achilles menuding wajahku. “serius ya. Kalo kamu nggak cerita aku bakal nyamperin Napoleon dan tanya sendiri masalahnya apa!”
“kalo kamu nyamperin dia nanti masalahnya bakal tambah ruwet.”
Achilles gatal ingin mencekik leherku. Lihat tangannya yang meremas-remas udara. “Sabarthan Winchester i swear―”
“mau denger ceritanya dari aku?” suara keempat menyela Achilles. Kami bertiga menoleh serempak. Menemukan Rosaline di ambang pintu rooftop kafe Ayahnya. Membawa nampan berisi empat gelas thai tea hijau.
“maksudmu?”
“sorry Arthan,” Rosaline meletakkan gelas itu di meja yang kami kerubungi. “malam itu aku keluar buat nyari kamu. Aku nggak sengaja denger ceritanya.” Katanya sembari menarik kursi lain dan duduk disebelah Percival.
Mataku memicing tidak suka, “sejauh mana?”
“semuanya. Aku disana waktu dia bilang kamu menang.”
Aku terdiam. Setelah itu aku memutar kursiku memunggungi mereka bertiga. Perbuatan yang diartikan Rosaline sebagai silahkan karena setelah itu dia menyampaikan cerita Lagu. Rosaline itu darahnya murni Indonesia. Ibunya adik Mamaku. Kedua orang tuanya tinggal di Belanda waktu kuliah dan memutuskan untuk pindah kewarganegaraan setelah menemukan pekerjaan yang mapan disini. Makanya masakan Ibu Rosaline terkenal enak, ada cita rasa yang Cuma bisa disampaikan oleh orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Cita rasa penuh nostalgia hasil percampuran budaya yang mengingatkan sebagian orang pada periode lama ketika Indonesia masih Hindia Belanda, seenggaknya itu yang dibilang Ayahku. Mereka membuka kafe ini setelah mendengar dari banyak orang kalau makanan dan minuman racikan paman dan bibiku seenak itu. Dan benar saja, dengan penataan tempat yang cermat, menu makanan nikmat dan sekarang musisi lepas yang memukau telinga, pengunjung yang niatnya datang sekali akhirnya banyak yang menjadi pelanggan setia. Kenapa bukan rumah makan? Mungkin orang bakal bertanya begitu. Jawabannya, kalau rumah makan nanti orang yang membutuhkan waktu untuk merenung tidak punya tempat. Rumah makan ada banyak di Leiden. Kafe pun demikian. Tapi kafe dengan menu sekelas rumah makan dan suasana menenangkan? Cuma Tot Straks.
Ketika Rosaline selesai. Achilles dan Percival membisu. Aku enggan berbalik untuk melihat wajah mereka. Mendengar ulang cerita hidup Rosaline sudah cukup membuat aku ngilu.
“kamu nggak curiga dia bohong?” Achilles bersuara.
“buat apa dia bohong?” Aku balas bertanya.
Achilles menggendikkan bahu, “ya... siapa tau? Buat nyari simpati kamu mungkin.”
“cerita semacam itu, kalau orang lain pasti bakal mikir dua kali buat ngejar dia lagi.”
“kayak yang kamu lakukan sekarang?”
Aku tidak menjawab tapi hatiku membenarkan.
“buat apa mengarang cerita serumit dan sesedih itu?” Rosaline mendengus. “kutukan yang dia bilang itu bener kok. Well, bukan kutukan dalam arti harfiah. Tapi gimana orang-orang mengultimatum hidup anak-anak broken home. Mereka yang dibesarkan di keluarga yang nggak normal, nggak akan pernah bisa membangun keluarga yang normal.”
Percival mendengus. Aku bisa merasakan tatapannya menusuk punggungku, “berlawanan sama mimpimu ya Arthan.”
“tapi itu nggak adil... iya kan? Kalo gitu Napoleon bener. Mending nggak usah dilahirkan sekalian. Bayangin, lahir di keluarga yang cacat terus ngedenger dari orang-orang kalau kamu pasti nggak akan bisa punya keluarga yang sehat.”
Tidak ada yang menyanggah ucapan Achilles.
“Arthan, gimana? Kamu nggak mau komentar?” Tanya Percival.
“aku bisa komentar apa?”
“kamu nggak takut kita nyebarin cerita ini ke orang-orang?”
“sebenarnya aku pengen bunuh kalian kalo kalian berani ngelakuin itu. Tapi kayaknya Lagu nggak peduli cerita ini disebarin atau enggak.”
“iya juga. Dia nggak akan cerita kalau dia peduli. Dia bisa aja bersikap dan pura-pura nggak punya masa lalu gitu terus jalan aja sama Arthan.” Achilles membenarkan.
“... kamu sendiri gimana Achilles. Orang tuamu cerai kan?”
Achilles tidak langsung menjawab. Pemuda bersurai pirang itu mengaduk-aduk thai teanya seraya menjawab, “jujur aja aku marah sama omongan mereka soal anak broken home. Aku ngerti sakitnya gimana. Kayak kita nggak boleh memimpikan hal yang paling kita inginkan. Sesuatu yang nggak pernah kita miliki dan pengen kita perjuangin,” Achilles menghela nafas. “aku bersyukur nggak pernah ada yang ngutuk aku kayak gitu. Apa yang aku alami nggak seberat dia. Kamu sendiri gimana Arthan, kamu mau berhenti atau tetap ngejar dia?”
“dulu Percy pernah ngomong, emang dia mau aku perjuangin?”
“menurutku, sebenernya dia mau. Makanya kamu berani nyelesaiin lagu itu buat dia kan?” aku tersentak mendengar ucapan Achilles, “kamu nggak bego-bego amat Arthan. Aku tau kamu bisa ngebaca orang walau nggak sepinter aku,” Achilles menertawakan ucapannya sendiri. “kamu denger Napoleon. Dia pengen yang terbaik buat kamu. Yang terbaik menurut dia itu bukan dia. Dia nggak berani menjadi orang yang kamu perjuangkan karena dia merasa nggak pantas. Dia takut membuat kamu kecewa. Dia bener kan? Kamu udah punya ekspetasi tentang dia dari awal.”
“tapi dia emang sebaik itu. Dia―”
“―kayak perempuan yang selama ini kamu impikan. Nggak ada yang sempurna di dunia ini Arthan. Sayangnya dia bener. Dia yang ada di kepala kamu itu too good to be true. Kalau dia punya perangai seperti perempuan yang selama ini kamu impikan, berarti dia hebat masih bisa tumbuh seperti itu ketika dunia mengutuk dia pasti tumbuh sebaliknya,” Achilles meregangkan tangan. Ia mendongak, menatap langit sore yang berwarna jingga keungunan diatas kami. “aku pikir... kalian mungkin punya mimpi yang sama. Tinggal kamu bersedia mewujudkan mimpi itu bersama dia atau enggak.”
Hembus angin pembuka musim semi menggoyangkan lonceng angin yang dipasang Ayah Rosaline di tiang jemuran tak jauh dari kami. Menciptakan bunyi denting manis yang mengingatkan aku pada tawa Lagu.
“kamu hebat Sabarthan,” Ucap Achilles. “lagumu bisa membuat orang yang hidupnya dihancurkan oleh lagu bilang makasih dan memuji lagu kamu bagus.”
“itu bukan laguku. Lagu kalian juga. Aku nggak akan bermusik kalau bukan karena kalian.”
Percival tersenyum tipis. Achilles tergelak. Ia menutupi matanya dengan lengan. “yah, kita orang-orang tolol yang hebat.”
...
Terhitung sudah hampir dua bulan aku nggak bicara sama Lagu. Dia nggak mengirimi aku pesan. Nggak mencuri-curi pandang ke arah aku selama di kelas. Kami kembali ke titik dimana kami Cuma tau muka, tau nama. Titik yang membuat aku gila.
Lagu, kamu ada waktu?
Aku pengen ngobrol.
10.12
Sent
Aku melirik Lagu yang duduk di bangku paling ujung. Hp perempuan itu diatas meja. Lagu langsung membuka ponselnya dan setelah membaca pesanku, dia mencari-cari aku. Kami bertemu pandang setelah sekian lama. Ada keraguan di mata Lagu sebelum dia mengalihkan pandangannya dariku. Aku menunggu.
Mau ngobrol kapan?
10.22
Habis kelas?
10.22
Read
Boleh
10.30
Bel berbunyi nggak lama setelah pesan Lagu terkirim. Aku merapikan barang-barangku lambat-lambat. Begitu juga Lagu. Kami dua orang terakhir yang masih ada di kelas bahkan dosen kami, Professor Rigel pun sudah keluar kelas.
Aku menghampiri Lagu. Tanpa kata meraih dan menggandeng tangan Lagu. Membawanya ke padang bunga matahari yang terakhir kami kunjungi sebelum ulang tahunku. Di bus, Lagu menatap keluar jendela sepanjang waktu. Enggan bertemu pandang apalagi bercakap-cakap denganku. Sesampainya kami disana, kami duduk di bangku yang sama ketika kami berkunjung kemari. Dibawah pohon maple besar yang rimbun. Tidak ada yang bicara untuk beberapa lama.
“kamu apa kabar?” aku bertanya lebih dulu.
“...baik. Kamu?”
“baik. Udah hampir dua bulan kita nggak ngobrol.”
“mm.” Lagu mengangguk.
Gemerisik daun mengisi diam yang kami pelihara. Lagu memandangi hamparan bunga-bunga kuning yang warnanya menyilaukan mata. Begitu juga aku.
“maaf waktu itu aku nggak ngejar kamu.”
“kamu nggak perlu minta maaf. Kamu nggak berbuat salah. Aku yang udah mendramatisir keadaan.”
“kamu Cuma berkata jujur kok. Ketakutan yang kamu punya itu wajar.”
“harusnya kita nggak deket sejak awal.”
“jangan ngomong begitu,” suaraku disela gonggongan anjing gunung bernese milik Pak Rudolf, pemilik padang bunga ini. “aku nggak menyesali pertemuan kita.”
Lagu berkedip pelan. Ia menundukkan pandangan, “aku iya.”
Gonggongan anjing hiperaktif yang dinamai Sammy itu terdengar lagi. Kali ini bersahutan dengan suara Pak Rudolf. Entah apa yang sedang meraka lakukan di sisi lain padang bunga ini karena mereka tidak terlihat.
“aku nggak peduli,” aku mengepalkan tangan. “aku nggak peduli masa lalu kamu kayak gimana.”
Lagu menggeleng.
“aku nggak bohong.”
“aku percaya. Yang nggak bisa meyakinkan diri disini itu aku. You deserve someone better.”
“well i can’t if it’s not you either,” aku menghela nafas. “aku pengen tanya kenapa nggak bisa, tapi pasti kamu nggak mau jawab. Iya kan?”
Lagu tidak menjawab.
“kalo gitu kita masih jadi teman?”
Lagu menghembuskan nafasnya yang tercekat, “emang kamu nggak akan canggung... setelah semua ini?”
“kamu sendiri sejak awal emang udah berniat hubungan kita nggak kemana-mana juga. Udah berusaha ngelupain perlakuan lebih yang aku kasih ke kamu. Kalo kamu bisa, aku bisa.” Walaupun sebenarnya, Lagu lebih ke berusaha dibanding bisa. Pada akhirnya dia gagal bersikap seolah nggak terjadi apa-apa dan kelepasan cemburu ketika aku dikasih hadiah sama perempuan lain. Kelepasan sedih waktu akhirnya dia nyeritain apa yang menghalangi dia buat memperjuangkan aku. Tapi ini yang Lagu minta, untuk menjaga kewarasan dan hatinya yang masih hancur. Yang masih belum siap terluka dan kehilangan lagi.
Padahal menjadi teman pun jika sama berharganya seperti kekasih sama saja. Lagu nggak akan melupakan aku semudah itu. Pada akhirnya Lagu tetap akan terluka lagi karena seseorang dari hidupnya yang berharga lagi-lagi diambil. Dipisahkan bentangan luas samudra. Dipisahkan zona waktu yang membuat langit yang kami tatap tidak lagi serupa.
Aku tau Lagu menyadarinya. Jika dia memang ingin aku berpaling ke perempuan lain dia bakal pergi dan nggak mengiyakan permintaanku. Tapi Lagu dan aku itu sama-sama serakah. Jadi dia mengangguk dan berusaha mengulas senyum. Lengkungan bulan sabit turut merekah di wajahku walau rasanya tetap menyakitkan.
Kami tidak sepenuhnya kembali seperti sediakala. Aku terus menghitung hari. Dua bulan. Setelah itu hanya Tuhan yang tau apakah kami bisa bertemu lagi atau berpisah selamanya. Lagu lebih banyak tersenyum, membuatnya tertawa menjadi tantangan sulit. Aku tidak lagi banyak bercanda. Lebih banyak berusaha bersikap dewasa dan tenang yang mana itu membuatku keliatan seperti orang yang pendiam. Bukan karena aku ingin sok keren, tapi karena aku nggak tau harus ngomong apa. Aku Cuma ingin ada di sebelah Lagu. Selama aku bisa menyentuh tangannya dan menyingkap rambutnya ke belakang telinga, buat aku itu sudah lebih dari cukup. Di minggu kedua kami berbaikan, Lagu tidur di pundakku lagi. Aku mengajaknya ke padang bunga dan kali ini, setiap kami berkunjung ke tempat yang berbeda aku bersikeras untuk memotret Lagu. Dalam ingatanku dan di kamera ponselku.
“aku nggak suka foto-foto...”
“justru karena kamu nggak suka makanya kamu kusuruh ―geser sedikit, kincir anginnya ketutupan.”
Lagu tidak mengatakan apa-apa dan Cuma menatapku waktu aku mengenakan muffler hadiahnya. Semakin hari, tanpa kami sadari, kami semakin terbuka pada satu sama lain. Lagu orang yang ceroboh. Aku orang yang nggak peka. Lagu suka membaca, aku suka bermain gitar dan bercinta dengan game sampai pagi. Lagu tidak bisa minum kopi, demikian pula aku.
“kamu... intoleransi kafein?”
“nggak. Aku nggak suka aja. Mereka pahit.”
“kan ada kopi yang nggak terlalu pahit?”
“nggak merubah kenyataan kalau mereka itu pahit.”
Di bulan kelima Lagu di Belanda, kami mengunjungi Lisse lagi. Kami kembali ke Museum Tulip Hitam dengan perasaan campur aduk. Aku menarik Lagu ke lorong bunga laburnum dan meminta salah seorang pengunjung memotret kami. Awalnya Lagu ragu, tapi ketika aku meremas tangannya dia menurut.
Aku memperkenalkan Lagu ke teman-temanku. Achilles menoel-noel dan menggoda Lagu terus. Percival Cuma tersenyum tipis. Rosaline tidak kalah heboh. Di bulan kelima Lagu menetap di Belanda, perkumpulan kecil kami di Tot Straks ditambah dengan kehadiran Lagu. Dia nggak pergi lagi ketika aku bernyanyi di panggung. Ada perasaan campur aduk di tatapan matanya tiap kali aku menyanyikan lagu Membuang Masa Lalu yang aku tulis untuknya. Awalnya, lirik terakhir itu kutulis sebagai pelengkap karena aku rasa Lagu butuh sesuatu untuk meyakinkan dia supaya mau percaya dan bercerita padaku. Tapi setelah aku tau realitanya, aku ingin berpegangan pada lirik terakhir di laguku. Aku ingin Lagu tau kalau aku serius tentang membuang masa lalu yang menyakitinya hingga dewasa. Lagu berusaha tumbuh seakan tidak terpengaruh oleh apa yang dia alami. Padahal kenyataannya tidak, lukanya tidak sembuh. Mereka Cuma dipendam dan disembunyikan.
“itu namanya tumbuh dewasa,” Percival menghembuskan asap rokoknya ke wajahku waktu aku meminta pendapatnya, “ketika kamu tumbuh dewasa, kamu dihadapkan dengan realita dimana kenyataannya, orang-orang nggak peduli sama kamu. Mereka nggak peduli kamu sehancur apa. Kalau mereka melihat kehancuranmu, responnya dua, merasa direpotkan atau merasa diuntungkan. Dunia nggak butuh orang lemah Sabarthan.”
Achilles dan Lagu itu agak mirip. Mereka sama-sama tumbuh di keluarga cacat. Sama-sama suka merendah atas apa yang mereka alami. Banyak yang lebih menderita dibanding mereka, itu adalah argumen yang bakal mereka angkat. Mereka Cuma akan membenarkan luka yang mereka punya ketika dirasa luka itu bisa menjauhkan seseorang dari hidup mereka. Untuk tujuan baik dan buruk. Seperti yang Lagu lakukan padaku dan seperti yang Achilles lakukan pada gadis yang menyukainya waktu SMA. Dengan cara pandang terhadap dunia yang sama, wajar mereka bisa dekat. Perbedaannya Cuma, Achilles ada di level lain dalam berpura-pura nggak mengalami apa-apa. Dia laki-laki periang yang seringkali bersikap tolol sampai orang-orang lupa kalau dia ini punya hidup yang malang. Lagu di sisi lain, tersenyum hampir sepanjang waktu dan berhati-hati dalam bertutur kata untuk menjaga diri supaya dia tidak kelepasan bicara. Mereka orang-orang yang tahu dunia ini nggak semuanya pelangi dan permen kapas. Kesamaan pengalaman mereka kadang membuat aku iri karena ada hal-hal tentang Lagu yang Cuma bisa dipahami Achilles.
Dua minggu sebelum semester ini berakhir, kami mengadakan acara tahunan untuk perpisahan mahasiswa pertukaran pelajar. Sebuah pertunjukan seni. Biarpun Lagu sering hadir dan menonton kami bernyanyi di kafe, kami bertiga menyembunyikan lagu lainnya yang aku tulis untuk Lagu.
Aku melihat Eliana di lautan penonton. Dia menyenggol-nyenggol kawannya sesama mahasiswa musik yang tadi baru saja menampilkan alunan musik angklung khas Indonesia. Aku meliriknya sebentar, sebelum mencari-cari Lagu. Tidak ketemu. Baiklah, tidak apa-apa. Ini penampilan kolaborasi dengan mahasiswa dari major musik yang fokus di dunia orkestra. Arasemen lagunya sempat membuat aku gugup, tapi Percival dan Achilles meyakinkan aku kalau tidak apa-apa, laguku selalu berhasil. Dan kali ini ada banyak orang yang membantu. Aku tidak boleh takut.
Pandanganku menyapu penonton sekali lagi, lalu aku memejamkan mata. Membiarkan Percival mengiringi nyanyianku dengan melodi pianonya.
Di dunia yang memberi makan kebohongan
Kebohongan terdengar seperti kejujuran
Yang kamu lakukan Cuma tersenyum samar
Karena kejujuran yang sesungguhnya terdengar seperti kebohongan
Terbiasa bosan ketika terlalu banyak bergerak
Kegirangan ketika aku terkena demam
Anehnya aku senang
Aku berlari dan menghampiri ibuku
Aku penasaran apa yang akan terjadi ketika dua jiwa
Yang berbeda bentuk dan warna, menjadi satu
Berapa banyak hati yang harus aku miliki untuk meraih tanganmu
Dan menyimpan dirimu kedalam diriku
Sekarang manusia sudah meninggalkan Bumi dan pergi ke Mars
Tapi kamu terasa sangat jauh dariku
Yang Cuma terpisah dua puluh sentimeter
Bahumu yang terlalu kecil
Menanggung takdir yang begitu berat
“biarkan aku,” aku mengulurkan tangan
Tapi tanganku tergelincir dan kembali ke pemiliknya
Ketika kamu memalingkan matamu dariku
Sel di tubuhku kembali terlelap
Apa yang membangunkan mereka?
Berapa banyak hati yang harus aku miliki untuk memberitahumu apa yang sesungguhnya aku rasakan?
Sekarang manusia sudah menciptakan kecerdasan yang lebih pintar dari jenis kita
Tapi, kata-kataku masih terpaku dan terus berputar-putar
Bisakah kita mengambil sepuluh menit kehidupan dari seluruh umat manusia
Dan memberikannya padamu
Atau mungkin membagi separuh hidupku yang tersisa
Dan memberikan separuhnya padamu
Lalu dalam hitungan ketiga, kita bisa pergi ke kehidupan selanjutnya
Berapa banyak hati yang harus aku miliki untuk meraih tanganmu
Dan menyimpan dirimu kedalam diriku
Sekarang manusia sudah meninggalkan Bumi dan pergi ke Mars
Tapi kamu terasa sangat jauh dariku
Yang Cuma terpisah dua puluh sentimeter
Dengarkan hatiku menjerit sekeras yang dia bisa
“Kamu adalah arti hidupku di dunia ini”
Ketika laguku selesai, tepuk tangan bergema. Bersahut-sahutan diiringi siulan orang-orang. Aku membuka mataku yang semula terpejam dan menemukan perempuan yang aku cari. Berdiri cukup jauh tapi sosoknya bisa kulihat dengan jelas. Ada air mata di pipinya. Tidak seperti sebelumnya dimana dia terpaku dan tercenung setelah aku bernyanyi, Lagu menunjukkan emosinya dengan jujur. Bagi orang lain mungkin lagu ini hanya lagu pahit romansa biasa. Tapi bagi kami berdua lagu ini lebih dari itu.
Lagu sudah merenggut banyak hal darimu, iya kan? Penderitaanmu dimulai dengan lagu, jadi biarkan aku mengakhiri kesedihanmu dengan lagu.
Aku melihat Lagu turun dari tempatnya berdiri. Lalu perlahan menghilang dari pandanganku. Ketika aku turun dari panggung dan bertanya ke teman-temannya sesama awardee. Mereka bilang Lagu pulang duluan karena tidak enak badan.
Yah, tujuanku mungkin mengakhiri kesedihannya dan membuat dia tau siapa dia dalam hidupku. Tapi sepertinya aku malah membuatnya semakin sedih.
Lagu tidak mengomentari lagu yang aku bawakan di pertunjukan seni ketika kami bertemu lagi. Dia bersikap seolah dia nggak menangis waktu melihat aku bernyanyi. Aku membiarkan. Sampai tiba hari dimana para mahasiswa awardee akan kembali ke Indonesia. Aku, Achilles, Percival dan Rosaline menyampaikan perpisahan kami di depan asrama Lagu bersama banyak mahasiswa lain yang menjalin pertemanan dengan awardee pertukaran pelajar dari Indonesia. Saat ketiga temanku selesai, aku Cuma memandangi Lagu yang menghampiriku. Kami bertatapan, dia tidak tersenyum. Tanpa kata, dia mengulurkan tangannya melingkari pinggangku. Memelukku ragu-ragu. Aku tidak bisa melihat wajahnya tapi aku membalas pelukan Lagu. Lebih erat karena aku tidak tahu kapan kami bisa bertemu lagi. Mungkin tidak akan pernah. Siapa yang tahu bagaimana nasib kami setelah ini. Siapa yang tahu takdir seperti apa yang Tuhan siapkan untuk kami berdua. Aku tidak menangis, Lagu pun tidak. Tidak ada kata yang terucap dari lisan kami. Lagu membenamkan wajahnya di dadaku, aku meringkuk di tengkuknya. Menghirup dalam-dalam aroma cherry blossom dari tubuh Lagu. Kami sama-sama tau jika salah seorang dari kami mengucapkan sesuatu, ketegaran yang kami bangun akan runtuh.
Pelukan kami terlepas waktu penanggung jawab mahasiswa Indonesia mengatakan kalau mereka akan segera berangkat. Aku menyempatkan diri untuk terakhir kalinya mencium kening Lagu.
Aku ingin bertanya apakah kami bisa bertemu lagi. Tapi lidahku. Jadi pelan-pelan, kubiarkan Lagu melepaskan pelukannya dan berjalan menjauh.
“aku baru sadar kita udah bukan bocah lagi ya.” Achilles berceletuk waktu kami berjalan pulang. “dulu waktu Arthan patah hati dia nangis dan galau berhari-hari. Sekarang dia bahkan nggak bisa nangis. Sobatku sudah jadi laki-laki sejati.”
Rosaline menepuk punggungku. Percival tidak berkomentar. Kalimat Achilles maknanya ganda seperti bunga laburnum. Saking sakitnya, aku sampai tidak bisa menangis.
.....
Aku tidak pernah absen mengunjungi Museum Bunga Tulip Hitam. Koleksi sejarah bunga di tempat itu selalu diperbarui mengikuti penelitian para sejarawan. Tentunya, yang paling banyak dibahas itu bunga tulip. Bunga yang bisa kamu temukan dimana-mana di negara ini. Sayangnya, saking aku udah banyak ngeliat bunga tulip, aku nggak menemukan tulip istimewa lagi. Makna tulip sederhana. Yang membedakan paling warna-warna mereka yang banyak sekali sampai dikembangkan variasinya dengan cairan kimia.
Yang aku cari itu bunga kuning serupa rantai yang menggantung di langit-langit salah satu lorong di museum ini. Aku pernah ingin menanam bunga itu di rumah, Mama mencak-mencak. Katanya, Bibimu yang pintar merawat bunga saja nggak bisa menata tanaman itu, kamu jangan sok mau nanam tanaman yang susah dirawat ya! Ya... Mama itu yang bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapihan rumah, jadi aku nggak bisa membantah.
Siang itu nggak begitu terik. Penghujung musim semi soalnya. Terik pun udara dingin udah mulai menggigit. Jadi setelah tersenyum pada respesionis museum yang ramah, aku melangkah menuju lorong yang selama ini selalu menjadi guilty pleasure bagiku. Tempat itu menyakitiku, tapi juga memberiku ketenangan tersendiri. Mengingatkanku pada aku yang dulu. Yang masih latah, muda, tak berakal dan lepas.
Cahaya kuning sinar matahari yang dibiaskan kelopak bunga laburnum menimpa wajahku. Mataku menyipit, berusaha menyesuaikan diri. Lalu menggelengkan kepala dan mengerjap-ngerjapkan mataku. Cahaya yang dibiaskan bunga laburnum selalu aneh. Kuningnya kuning lembut. Tapi bukan kuning yang ramah mati seperti matahari sore.
Aku baru berjalan beberapa langkah ketika aku membeku.
Tak jauh dariku, berdiri perempuan bersurai hitam yang rambutnya disatukan oleh pita polos berhiaskan bordiran bunga matahari. Perempuan itu memunggungiku. Ia memakai heels yang membuatnya keliatan lebih tinggi. Gaya berpakaiannya anggun dan manis, namun ada sesuatu dari auranya yang menjeritkan kedewasaan.
Aku baru saja akan berbalik dan melangkah pergi karena takut berhalusinasi ketika suara pijakan kakiku pada daun kering membuat perempuan itu menoleh.
Dia masih seperti dulu. Masih cantik dan lembut. Hanya saja kali ini dia tidak mengingatkanku pada cherry blossom, namun laburnum. Bunga hujan emas yang kupandangi ketika aku teringat perempuan dari masa laluku.
Usianya bertambah. Begitu juga aku. Ada polesan pewarna merah di bibirnya yang mengingatkanku kalau beberapa tahun sudah berlalu. Empat tahun aku bolak-balik ke tempat ini dan mengais kenangan yang tidak ingin aku lupakan. Empat tahun penuh kemalangan karena aku menolak melupakan.
Aku dan dia berhadapan. Sama-sama terperangah. Jika dia hanya halusinasi seharusnya dia hilang ketika aku berkedip. Tapi dia masih disana.
Jadi aku mengulas senyum. Ada keterkejutan, kelegaan dan rasa tidak percaya di matanya sebelum senyum turut merekah di wajah Lagu.
fin.
Catatan:
Tot Straks: Sampai jumpa lagi
Lagu Menghapus Masa Lalu: Yuuri – Mizukiri
Lagu Pertunjukan Seni: Radwimps – Uurobito
Lagu dan Sabarthan berpisah waktu umur mereka dua puluh satu, mereka ketemu lagi di usia dua puluh lima.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
