kunang-kunang dan bintang kejora.

0
0
Deskripsi

Setiap kali berkunjung ke kos Bumi, Lintang bisa mendengar suara petikan gitar dari lorong menuju kamar pacarnya. Tapi jangan salah, Bumi bukan mahasiswa musik. Bumi mahasiswa sejarah. Banyak yang bingung kenapa Bumi bisa memilih sejarah alih-alih musik. Padahal dia pandai sekali bermusik. Banyak yang menyayangkan. Mereka bilang Bumi menyia-nyiakan bakatnya. Padahal, biarpun bukan mahasiswa musik, Bumi tetap rajin berkarya. Cowok itu menghadiri beragam pertunjukan musik. Tampil disana, atau menjadi...

Setiap kali berkunjung ke kos Bumi, Lintang bisa mendengar suara petikan gitar dari lorong menuju kamar pacarnya. Tapi jangan salah, Bumi bukan mahasiswa musik. Bumi mahasiswa sejarah. Banyak yang bingung kenapa Bumi bisa memilih sejarah alih-alih musik. Padahal dia pandai sekali bermusik. Banyak yang menyayangkan. Mereka bilang Bumi menyia-nyiakan bakatnya. Padahal, biarpun bukan mahasiswa musik, Bumi tetap rajin berkarya. Cowok itu menghadiri beragam pertunjukan musik. Tampil disana, atau menjadi pengiring beragam pertunjukan seni lainnya. Lebih dari sekedar bermain gitar, Bumi yang merupaka putra dari musisi dan penari tradisional, juga bisa memainkan alat-alat musik seperti gamelan, suling dan angklung. Orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan keputusan Bumi untuk mengambil sejarah. Dan toh, hanya karena dia tidak mengambil jurusan musik, bukan berarti kehidupan bermusik Bumi selesai disana. 

Mereka hanya tidak tahu kalau mimpi Bumi itu lebih dari sekedar menjadi musisi terkenal. Lebih tinggi dari bernyanyi untuk mendapatkan uang. Para pejuang yang impiannya berat dan berharga seperti Bumi, biasaya lebih memilih diam. Terlalu sibuk memikirkan dan mewujudkan sampai tidak kepikiran berkoar-koar pada orang-orang.   

“Lagu baru...?” tanya Lintang pelan.

Bumi menoleh. Menemukan Lintang berdiri di ambang pintu kamarnya. Dibelakang gadis bersurai panjang itu, Bumi bisa melihat semak-semak kenikir yang berada didepan teras. Bergoyang mengikuti hembusan angin menyelinap kencang kekamarnya. Atmosfirnya terlihat gelap. Diluar mendung. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.

“Bawa payung?”

“Bawa,” Lintang melepas sepatunya dan melangkah masuk. “Kamu belum menjawab pertanyaanku.”

“Nggak tahu. Mungkin,” Bumi menatap keluar jendela sisi kamarnya yang lain. “Tadi aku reflek mengambil gitar waktu mendengar suara daun bertemu genteng. Dihembus angin. Suaranya cantik.”

Lintang menatap pacarnya lama. Gadis kurus itu diam-diam menghembuskan nafas. Meraih meja di kolong ranjang, membukanya, lalu mulai merapikan makanan yang dia bawa sementara Bumi mulai memetik gitarnya lagi.

“Bumi...”

“Hm?”

“Makan dulu. Kamu semakin kurus.”

“Mm. Sebentar,” Bumi menatap keluar jendela lagi. “Tunggu hujannya turun dulu.”

Lintang turut melihat keluar jendela. Ikut menunggu.

Bumi menepati janjinya. Tepat ketika hujan turun, cowok itu meletakkan gitarnya dan merapat pada meja makan. Disana sudah ada seblak, nasi, dan oseng kangkung. Bukan makanan mewah. Tapi enak. Makanan-makanan kesukaan Bumi.  

Bumi makannya lambat. Pelan-pelan sambil sesekali melihat hujan yang turun deras sampai Lintang harus menutup pintu supaya airnya tidak masuk ke kamar. Tidak heran Bumi kurus. Kesehatannya sendiri tidak pernah menjadi prioritas. Kepala Bumi disesaki impian-impiannya. Nampak dari kamar Bumi yang penuh buku-buku besar nan memusingkan. Isinya banyak berbicara tentang sejarah kebudayaan. Banyak diantaranya yang merupakan terjemahan serat-serat jawa, atau karya jurnalisme maupun penelitian tentang kebudayaan Indonesia, terutama yang ruang lingkupnya masih Yogyakarta. 

Bumi dan Lintang itu teman sekelas. Mereka udah saling kenal sejak satu kelompok PKKMB jurusan. Tapi hubungan mereka baru merapat ketika di kelas sejarah kebudayaan, Bumi dan Lintang kerap menjadi penanya yang paling aktif. Jika dalam satu sesi tanya-jawab ada tiga jatah bagi tiga orang penanya, dua diantaranya pasti Lintang dan Bumi. Yang satu gadis pelukis penggila buku asli Jogja. Yang lain cowok perantau dari Grobogan. Kurus, tinggi dan selalu memakai jaket-jaket besar, jeans belel juga kaos yang nggak kalah besar. Untung Bumi masih ingat untuk datang ke kampus memakai sepatu. Jika tidak dia akan diusir dari kelas sebelum sempat mengucapkan Assalamualaikum. Bumi itu pendiam diluar kelas. Tatapan matanya sering menerawang. Pikirannya selalu dipenuhi sesuatu. Tapi senyumnya lembut. Serasi dengan rambutnya yang ikal berantakan. Sekar, teman dekat Lintang, pernah berkata kalau satu-satunya yang menganggap Bumi ganteng di kelas itu Cuma Lintang. Sekar seakan tengah berusaha menegaskan kalau anggapan Lintang itu setara dengan diagnosa kanker ganas. Sekar terlalu melebih-lebihkan. Bumi tidak seburuk itu. Walaupun memang, kesan pertama orang-orang pada Bumi itu ngeselin. Habisnya beban pertanyaan yang membuat kelas mereka pusing itu ya dari Bumi. Prasangka mereka baru berubah ketika Bumi tampil di acara penutup tahun yang diadakan BEM universitas. Permainan gitar dan nyanyiannya yang tenang dan syahdu memukau semua orang. Yang membuat penampilan itu semakin mengejutkan adalah, karena Bumi berasal dari jurusan Ilmu Sejarah yang terkenal banyak mencetak berandalan nakal sekaligus sarjana-sarjana madesu. Banyak yang nggak tahu Bumi siapa. Nyanyian, petikan gitar dan jaket belelnya sontak menciptakan kegaduhan di seantero UNY. Makin mengejutkan lagi ketika Bumi menolak bergabung BEM atau himpunan mahasiswa. Cowok itu mungkin satu-satunya manusia yang selamat setelah menolak tawaran bergabung divisi minat bakat Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah dibawah asuhan Mas Pras yang konon-katanya pandai bermain ilmu hitam. Lebih gilanya lagi, Bumi bahkan menjadi adik tingkat kesayangan Mas Pras. Setelah mereka pacaran, Lintang jadi tahu kalau Bumi sering diundang Mas Pras ke angkringan untuk bernyanyi disana. Dibayar tentunya. Dengan makanan dan kopi gratis untuk Bumi, juga untuk Lintang setelah mereka jadian.

Mata Lintang jatuh pada lengan Bumi. Dibalik lengan hoodie yang menggantung itu ada tulang dibalut kulit. Kurus sekali. Lintang mengulurkan tangan. Menyeka potongan kecap dari oseng kangkung yang menempel di sudut bibir Bumi. 

“Kamu udah 20 tahun,” Lintang berucap lirih, “tapi makanmu masih kayak anak kecil.”

Bumi tersenyum dengan mulutnya yang penuh. Lanjut menyeruput kwetiau tanpa mempedulikan kuah seblak yang berceceran disekitar mulutnya. 

“Kamu nggak makan?” tanya Bumi.

“Udah. Sebelum kesini aku makan duluan.”

Bumi manggut-manggut. Tapi tetap menyendok potongan bakso, kol dan sedikit kwetiau. Menyodorkannya pada Lintang yang menerima suapan itu sambil tersenyum kecil. 

Lintang mundur sedikit dari meja. Jaga-jaga untuk menghindar kalau-kalau Bumi ingin menyuapinya lagi. Lintang khusus memasak semua itu untuk Bumi yang lebih memilih menghabiskan uangnya untuk beli buku alih-alih makan. Lintang tidak habis pikir.

Lintang memeluk kakinya. Memandangi Bumi yang tengah menghabiskan separuh dari sepiring besar seblak yang dibawakan Lintang. 

“Bumi.”

“Hm?”

“Gimana kabar anak-anak di sanggar?”

“Anak-anak sanggar?” Bumi menelan nasi dan kangkungnya. “Baik. Kamu harus main kesana lagi. Mereka kangen diajari melukis sama kamu. Katanya kamu lebih baik dibanding Pak Pojan. Pak Pojan kalo ngajarin ngelukis bikin ngantuk katanya.” Pak Pojan itu pelukis sepuh di kampung yang kalau luang suka menyempatkan diri mengajari anak-anak sanggar melukis. 

Lintang menyembunyikan separuh wajahnya dibalik lipatan tangan, “kamu juga jangan lupa kalau masih ada tiga semester perkuliahan yang harus kamu selesaikan.” 

“Aman.”

“Sama jaga kesehatan. Kalau berat badanmu turun lebih dari ini kamu bisa sakit. Kalau kamu sakit nanti sanggar nggak bisa jalan.”

Bumi cengengesan dengan mulutnya penuh. Dia manggut-manggut lagi. 

Tawanya tidak menangkan Lintang yang tahu bagaimana Bumi Cuma tidur tiga jam sehari. Bahkan ini pertama kalinya mereka bertemu setelah dua bulan. Bumi sibuk membagi waktunya untuk mengurus sanggar, kuliah, belajar dan penelitian sejarah. Juni, teman satu kos Bumi yang sering Lintang titipi makanan untuk Bumi juga berkata, kalau bukan karena Lintang, mungkin udah sejak lama Bumi dijemput Tuhan. 

Dibanding menjadi musisi terkenal, Bumi lebih ingin menciptakan generasi baru yang tahu seperti apa asal-usul mereka. Sanggar Wirasena yang Bumi bangun bersama teman-temannya dengan visi-misi serupa, bertujuan untuk memberikan edukasi seputar sejarah, kebudayaan dan tradisi. Biarpun namanya sanggar, disana juga ada pertunjukan dongeng dan latihan silat rutin. Dan setelah tiga tahun berjalan, sanggar itu menjadi ramai oleh anak-anak yang dititipkan disana saat orang tuanya bekerja supaya mereka ada teman dan memperoleh pelajaran baru. Selain Bumi yang mengajar musik tradisional dengan angklung dan gamelan, ada Kabut, mahasiswi jurusan tetangga yang pandai mendongeng. Setiap hari kamis dan senin anak-anak akan dikumpulkan di pendopo reyot di didepan rumah yang menjadi bangunan utama sanggar. Anak-anak duduk lesehan dibawah. Sementara Kabut berkisah tentang kehebatan leluhur-leluhur mereka melalui pengisahan yang lucu dan menegangkan. Menggunakan peranti boneka dan pemandangan latar yang dilukis sendiri oleh Lintang. Latarnya diganti-ganti sesuai tema cerita. Tak jarang orang-orang sanggar akan meminta Lintang membuat lukisan baru ketika Kabut ingin menampilkan cerita dengan atmosfir berbeda. Selain cerita kepahlawanan, Kabut juga mengisahkan cerita-cerita hantu. Ditemani boneka-boneka hantu permen (pocong), nona putih (kuntilanak), yeti hitam (genderuwo), dan hantu-hantu lainnya. Cerita-cerita hantu itu tidak hanya menyeramkan, tetapi juga lucu dan mendidik. Menurut testimoni para orang tua yang mulai mengajak orang tua-orang tua lain agar turut menitipkan anak mereka di sanggar, cerita-cerita hantu Kabut memiliki pengaruh luar biasa. Sejak Kabut berkisah tentang setan kepala gelinding yang suka mengikuti anak-anak yang bermain setelah adzan maghrib, anak-anak kampung jadi jarang ada yang keluar setelah senja tiba. Mereka juga jadi lebih rajin mandi dan menjaga kebersihan semenjak Kabut menceritakan para genderuwo yang menyukai kekotoran. Bahwa anak-anak yang nggak suka mandi itu jadi favorit genderuwo yang gemar menghirup aroma badan jorok, penuh daki, dan keringat. 

Selain Kabut, ada Nadindra, penari tradisional yang cantik sekali seperti bidadari kahyangan. Setiap kali Lintang berkunjung kesana, Nadindra pasti dikelilingi anak-anak perempuan yang mendengarkannya bercerita entah tentang apa. Kemudian mereka akan belajar menari dibawah bimbingan Nadindra. Bumi bilang, dia nggak menyangka Nadindra mengajukan diri untuk mengajar di sanggar tanpa reputasi ini. Suatu hari tiba-tiba cewek itu nongol dan bertanya apakah mereka membutuhkan guru tari. Bahkan setelah Bumi menjelaskan kalau mereka mengajar dengan gaji seadanya, Nadindra tetap tersenyum dan bertanya kapan dia bisa mulai mengajar. Tak hanya tari tradisional yang sudah ada, Nadindra juga suka berkreasi. Pada suatu momen ketika mereka mengadakan acara pagelaran seni untuk anak-anak (semacam pentas seni), anak-anak Nadindra tampil mengenakan gaun-gaun dari kain batik. Bunga-bunga menghiasi rambut mereka. Mereka menarikan tarian kolaborasi antara tari tradisional Indonesia dan tari-tari luar dengan latar musik skandinavia yang seru, menyenangkan, juga mengejutkan orang-orang karena pertunjukan itu sangat tidak biasa. 

Ada juga Mirdin. Cowok tinggi, bermata belo yang jarang bersuara tapi menjadi favorit anak laki-laki karena dia macho dan lakik sekali. Mirdin mengajar silat bersama teman-temannya dari UKM Silat UGM. Kalau Mirdin tidak bisa datang, akan ada orang lain dari UKM Silat yang sebelas dua belas sama Mirdin. Bumi bahkan harus memindahkan jadwal latihan tari anak-anak kelas Nadindra karena anak-anak cowok itu berisik sekali saat latihan Silat. Mirdin yang bicaranya irit akan berseru-seru galak. Menyuruh anak-anak itu ikut berseru-seru sampai ngos-ngosan. Mengobarkan api semangat mereka kala meninju-ninju dan menendang udara. Musik yang Nadindra putar sampai tenggelam saking hebohnya teriakan mereka. 

Terakhir, ada satu cowok lagi. Purba namanya. Dia cowok tidak seberapa tinggi yang berkulit cokelat, berambut cepak, lembut dan baik hati. Purba berasal dari keluarga abdi dalem yang melayani keraton Yogyakarta sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV sampai sekarang. Bumi pernah berkata kalau Purba adalah inti sanggar. Dia mengajar kebudayaan dan tradisi Indonesia (utamanya Jawa), disamping hal-hal yang berkaitan dengan seni. Entah bagaimana, Purba berhasil membuat pelajaran bahasa Jawa menarik. Dia membuat anak-anak senang belajar menulis aksara Jawa. Dan mungkin karena mereka mengagumi Purba, anak-anak itu mulai meniru cara bicara Purba yang kromo dan halus pada orang-orang disekitarnya. Purba juga mengajar sejarah dengan cara yang lebih formal sebab dia meminta anak-anak agar tetap mencatat penjelasannya. Supaya mereka senantiasa ingat, katanya.

Bumi mengambil kata Wirasena dari buku Laut Bercerita. Sekumpulan pemberani. Di buku hariannya, Bumi menulis kalau Wirasena disini, para pemberani ini, sebenarnya lebih ditujukan pada para pengajar yang jumlahnya terbatas dan dibebani tugas berat untuk mewariskan pengetahuan mereka akan budaya, tradisi dan sejarah pada generasi muda. Itu bukan hal mudah, tentu saja. Terlebih di zaman dimana semuanya dituntut progresif. Bahwa hal-hal yang berkaitan dengan tradisi itu dibilang kolot. Menghambat. Mengekang kemajuan zaman. Setiap kali mereka mengadakan kumpul-kumpul untuk membahas kendala dan kemajuan anak-anak, Bumi selalu mengingatkan bahwa yang mereka hadapi disini adalah zaman. Sebuah bangsa yang identitasnya dikikis dan dirusak modernisasi. Yang mengerikannya terus didorong untuk menjadi budak-budak penguasa. Hidup tanpa budaya. Bernafas tanpa sejarah. Dan hidup tanpa tahu siapa sesungguhnya mereka. Tarian-tarian itu mungkin terlihat konyol. Musik-musik itu mungkin kedengaran ketinggalan zaman. Dongeng-dongeng itu mungkin terdengar bodoh, dan seruan mereka saat latihan silat mungkin terdengar sinting. Tetapi itu bagian dari identitas mereka. Kita hidup di masa dimana manusia merasa setara Tuhan. Bahwa para leluhur itu dungu padahal sejatinya tidak. Sebuah tradisi tidak akan diciptakan tanpa pertimbangan. Seonggok budaya tidak akan muncul begitu saja dari udara. Dan sekumpulan manusia itu tidak bisa disebut bangsa jika mereka tidak memiliki sejarah. 

“Bangsa-bangsa besar.... kalau kalian melihat Jepang yang selalu menghadirkan inovasi baru setiap tahunnya. Israel—orang-orang yahudi yang menjadi salah satu bangsa paling cerdas di dunia. Korea Selatan dan penyebaran hallyuyang mendunia. Cina—Tiongkok yang sampai sekarang budaya kunonya masih diagungkan. Suku asli Amerika, orang-orang Indian, orang-orang Yunani, Abad Pencerahan—Renaissance. Kemajuan-kemajuan itu, semuanya tidak lepas dari budaya. Budaya seperti apa yang mereka miliki. Yang tumbuh diantara mereka semua. 

“Di Dutch East Indies, Belanda menciptakan budaya dan tradisi baru yang menekan orang-orang  pribumi,” Bumi menatap teman-temannya. Ia mengangkat tangannya. Mengacungkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manis.

“Budaya,” jari telunjuk turun. “Tradisi,” jari tengah mengikuti. “Sejarah,” tangan Bumi terkepal.

“Ketiganya adalah bagian dari identitas kita. Jika bisa aku ingin mengajarkan lebih banyak tentang Indonesia. Tapi ilmuku masih terbatas dan Nusantara begitu luas. Tapi bahkan, jika aku hanya bisa mengajari mereka budaya dan tradisi Jawa, anak-anak itu, anak-anak suku Jawa, setidaknya mereka tahu mereka berasal dari mana, siapa mereka dan betapa indahnya dunia yang diwariskan leluhur kita.”

Malam itu, di pendopo reyot yang nampak seakan ia bisa runtuh kapan saja, Bumi memandang guru-guru muda itu lamat-lamat. Emosi membuncah di matanya. Penuh dan berat. Suaranya penuh permohonan dan kesedihan ketika dia tersenyum lemah.

“Kita ini kecil. Kuku-kuku orang mati yang menjelma menjadi kunang-kunang di pematangan sawah. Anak-anak itu bintang kejora. Ini pengabdian kita. Bentuk pertanggung jawaban kita pada para pendahulu yang sedang mengawasi kita dari atas. Saudara-saudaraku, hal-hal yang menurut kalian tidak seberapa, ilmu kalian, sejarah, budaya dan tradisi yang kita sampaikan itu berharga,” nafas Bumi tercekat. “Aku tidak mau anak-anak itu menjadi robot tanpa nyawa dihadapan para penguasa. Mayat yang hidup hanya untuk bekerja pada mereka.”

Bumi menghembuskan nafas.

“Masa depan seperti itu, lebih baik aku mati daripada harus menyaksikannya terjadi.”

Iya. Itu mimpi Bumi. Menciptakan generasi baru yang lebih paham sejarah dan tradisi dibanding generasinya sendiri, yang dibombardir budaya-budaya asing tanpa identitas dan tanpa makna berarti. Yang Cuma dijadikan konsumen tanpa nyawa. Komoditas tanpa hati. Orang-orang mati yang hidup bagai zombie. Yang mengira kalau hidup di dunia modern itu semuanya pelangi dan hello kitty. Orang-orang yang Cuma tahu selfie dan melabeli dirinya sendiri tanpa benar-benar memiliki mimpi.

Bumi menantang sebuah generasi yang delapan puluh persennya mungkin sudah menjadi boneka penguasa. Melawan mereka dengan generasi baru yang berusaha ia persiapkan sebaik mungkin. 

Orang-orang jahat itu, Bumi memilih cara paling sederhana untuk melawan mereka. Cara paling bisu dan paling hening. Cara paling tidak tertebak. 

Tetapi disaat yang sama juga, cara paling berat.

Memikirkannya membuat dada Lintang sesak. Gadis itu bangkit. Berpindah duduk dari yang semula dihadapan Bumi menjadi disebelah kekasihnya. Bumi bilang dia menyukai Lintang sejak ia melihat Lintang melukis bunga wijaya kusuma. Bunga yang konon katanya bisa menghidupkan orang mati. Lukisanmu bernyawa, kata Bumi. Dan tidak semua lukisan bisa memiliki nyawa. Makanya lukisan Lintang istimewa. Makanya Lintang berharga. Karena dia melukis dengan hati. Dengan ketulusan dan dengan rasa bahwa bunga wijaya kusuma itu bukan sekedar bunga. Melainkan salah satu harta karun berharga milik Indonesia yang kini kisah dan legendanya mulai terkubur gelombang budaya gila dunia barat. 

Bumi melongo. Cowok itu kebingungan saat melihat ekspresi rumit di wajah Lintang. Tapi gadis itu berusaha tersenyum. Kuah seblak yang mengotori sekitar mulut Bumi diseka dengan lembut. Lintang menatap Bumi lamat-lamat.

“Aku tahu kamu punya mimpi yang sangat besar,” mata Bumi membulat samar. Senyum Lintang berubah sedih.

“Tapi Bumi, kamu harus ingat, kalau kamu nggak boleh mengorbankan dirimu sendiri. Ingat baik-baik, sanggar nggak akan jalan kalau kamu nggak ada. Bekerja keras itu baik, tapi kamu juga harus realistis. Kamu bukan komputer yang bisa menyala terus selama tersambung listrik. Manusia butuh makan dan istirahat,” pipi Bumi ditangkup. Lintang memohon. 

“Kamu harus merawat dirimu baik-baik Bumi.”

Bumi berkedip pelan. Perlahan, cowok itu menarik senyum. Dia mengangguk. 

“Iya. Jangan khawatir.”

“Kamu udah sering bicara begitu tapi tetap lupa makan dan kurang tidur.”

“Aku punya kamu.”

“Aku nggak akan selalu ada disini.”

“Aku punya kamu,” Bumi bersikeras. Jemari Lintang dipipinya disentuh. Matanya tidak lepas dari Lintang. “Kalau bukan karena kamu.... mungkin aku nggak akan seberani ini....”

Lintang kehilangan kata-kata. Gadis itu diam di tempatnya. Tidak bergeming saat Bumi mendekat. Menyingkap helai rambutnya ke belakang telinga dan perlahan mengikis jarak diantara mereka. 

Percakapan mereka menggantung. Iya, kan? Setelah ini Bumi akan mengorbankan dirinya lagi, kan?

Ciuman Bumi terasa sedikit menyakitkan. Bumi ingin Lintang berhenti cemas. Tapi mustahil kalau bahkan jawaban yang Bumi beri penuh teka-teki membingungkan. Bahkan jika Bumi mencintai Lintang dengan seluruh jiwa dan raganya, dunia Bumi tetap bintang-bintang itu. Para bintang kejora yang akan menentukan masa depan negeri ini. 

Saat bibir mereka berbisah. Air mata Lintang meleleh. Bumi menyekanya, tapi tidak bertanya kenapa Lintang menangis. 

Bagaimana jika pada akhirnya perjuangan mereka sia-sia?

Bagaimana jika generasi baru itu tidak pernah ada?

Bagaimana jika pada akhirnya bangsa ini tetap akan menjadi bangsa tanpa sejarah?

Ada banyak sekali bagaimana yang ingin Lintang tanyakan pada Bumi. Tapi akhirnya dia memilih menyimpan semua itu sendiri. Mengangguk pada harapan dan mimpi Bumi. 

Biarpun nyaris mustahil, harapan tetaplah harapan.

Entah terwujud atau tidak, bukan hanya Tuhan yang menentukan, tetapi juga kita. 

fin.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya lagu sabarthan.
0
0
Perempuan itu, nama depannya Napoleon. Nama yang pasti membuat orang-orang mengangkat alis ketika pembacaan absensi karena yang mengangkat tangan malah perempuan. Dia orang Indonesia. Sama sepertiku. Mahasiswa berdarah asing yang belajar di Belanda. Bedanya, aku dibesarkan disini sejak SMP mengingat Ayahku berdarah Belanda, sementara dia awardee program pertukaran pelajar Indonesia. Duluar dugaanku bahasa belandanya cukup bagus walau patah-patah. Aku bertemu dengannya di kelas sejarah. Tubuhnya yang kecil terlihat sangat menonjol sekaligus tenggelam di lautan manusia berbadan jangkung. Orang belanda itu tinggi rata-rata laki-lakinya seratus delapan puluh enam sentimeter, aku sendiri sebagai blasteran Belanda terhitung dibawah rata-rata karena Cuma seratus delapan puluh tiga. Tapi itu saja di Indonesia aku sudah merasa seperti raksasa. Sejujurnya, aku penasaran apakah Napoleon kewalahan dengan tinggi badannya yang terbilang cebol untuk ukuran ras kaukasia. Kadang aku kasian melihat dia keliatan tersesat dan kebingungan tanpa alasan karena rekan awardee Indonesia yang diterima di Leiden tidak banyak. Kalaupun ada major yang mereka ambil berbeda. Biarpun begitu, aku nggak berani mengajak dia bicara sampai ketika aku melihat dia kesulitan meraih buku di rak yang tempatnya cukup tinggi.Tanpa bicara, aku mengambilkan buku tua itu untuknya. Dadaku menyentuh punggungnya. Dan disitu, aku mencium aroma manis dan lembut yang asing di hidungku. Aroma itu membuatku terpana. Sama terpananya dengan dia yang tercengang menemukan aku berdiri menjulang dibelakangnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan