kenang dan sekolah kecil di kaki gunung merapi.

1
0
Deskripsi

Kenang dan teman-teman satu kelompoknya terbiasa tinggal di kota. Sekalipun mereka sering berkunjung ke Kaliurang, tinggal di Merapi bukan perkara menyenangkan. Kenang masih ingat bagaimana mereka semua ketakutan saat melihat Merapi dari dekat. Begitu gagah dan begitu mengerikan. Keberanian Kenang baru kembali saat melihat tatapan penuh tanya di wajah anak-anak yang mengintip dari balik pintu kelas. Tabiat mereka yang malu-malu ketika dihampiri. Juga suara-suara kecil dan tangan-tangan mungil yang...

“Bu Kenang datang! Bu Kenang datang!”

Suara anak-anak bersahutan dari arah yang Kenang tuju. Sekolah kecil di kaki gunung merapi ini tidak begitu ramai. Kenang dan teman-teman sekelompoknya terlempar ke sekolah ini karena mereka tidak kebagian kuota sekolah yang di kota. Naik-turun gunung setiap hari untuk mengajar di sekolah itu amat berat. Saat pertama kali datang pun, Kenang dan teman-temannya juga dibuat panas dingin karena gunung Merapi begitu dekat. Tepat disebelah bangunan sekolah, gunung Merapi mengintip. Mengawasi mereka setiap saat. Asapnya mengepul. Siap memuntahkan lava mendidih kapan saja. Mading sekolah penuh poster mitigasi bencana juga sama sekali tidak membantu. Gempa dan wedhus gembel bisa tiba-tiba menerpa mereka ketika sedang mengajar. Indyra, ketua tim Kampus Mengajar mereka nampak menggumamkan do’a setiap kali matanya melirik ke arah gunung Merapi. Teman-teman Kenang juga sama. Apakah Kenang lebih pemberani? Tentu saja tidak. Kenang juga bingung kenapa dia bisa ada disini. Menyusuri lorong kelas tidak seberapa bagus menuju sebuah aula reyot di sudut lain sekolah.

Kenang tidak sedang mengajar di kelas reguler. Hari sudah sore. Pukul satu siang tadi semua siswa sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Sebagian kembali lagi ke aula sekolah yang reyot pada pukul tiga sore untuk menghadiri kelas tambahan sederhana yang Kenang adakan.

“Bu Kenang! Bu Kenang! Itu apa? Bu Kenang pegang apa?” tanya seorang anak bernama Wibi yang ingusnya sering meler. Dia duduk paling depan di karpet yang melapisi lantai aula. Kenang merendah, ingus Wibi diseka. 

“Apa coba?” Kenang tersenyum kecil. Setelah wajah Wibi bersih, Kenang berdiri. Mengeraskan suara sambil mengangkat benda yang ia pegang. Sebuah boneka peraga. Alat bercerita yang biasa digunakan para dalang dan terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan lalu diwarnai.

Cah! ono seng genah po ra iki ngarane opo?[1]

“Bagong!” seru seorang bocah gendut bernama Aziz dari belakang.

Bagong iku opo e?[2]” tanya Nasir yang duduk disebelah Wibi. Sementara Wibi termangu sebentar sebelum berseru girang.

“Ibu! Ibu! Bu Kenang! Wibi tahu! Wayang—wayang! Itu namanya Wayang!”

“Benar! Ini namanya wayang,” Kenang memajukan wayang berbentuk pria gembul itu pada anak-anak yang hadir. Mereka semua memandangi wayang itu dengan mata berbinar. Kenang tersenyum kecil. Lalu tatapannya jatuh pada Aziz yang merengut kesal. 

“Wibi benar, Aziz juga benar. Wayang itu banyak macamnya. Wayang yang ini bernama Bagong.”

“Oooooooh,” anak-anak berseru kompak. 

Kenang tertawa kecil sambil menghampiri Aziz yang seketika sumringah ketika diberi sebungkus donat kecil. Wibi pun demikian. Dia melonjak-lonjak senang. Donatnya dibagi dua agar bisa dimakan bersama Nasir. Melihat keberadaan donat itu, anak-anak lain makin bersemangat mendengarkan cerita Kenang yang mulai berkisah tentang Punakawan, empat tokoh wayang asli dari cerita Indonesia. Dibantu beberapa pemuda desa, Kenang menancapkan keempat wayang punakawan itu di sebuah pelepah pisang. Membawanya merapat pada papan tulis lalu menulis nama tokoh-tokoh wayang tersebut. Memperkenalkan mereka satu persatu dan meminta anak-anak mengulangi apa yang ia katakan beberapa kali. 

“Sekarang,” Kenang menghapus nama-nama punakawan yang tadi dia tulis. “Ibu mau kalian menulis namanya Bagong, Semar, Gareng sama Petruk. Yang bisa nanti ibu kasih…..,” Kenang merunduk. Bersembunyi dibalik meja sebentar untuk membuat anak-anak itu penasaran, lalu tiba-tiba melompat muncul. 

“Tada! Donat-donat yang ada gambar upin-ipinnya!”

“MAUUUU!!! MAU-MAU-MAU!” anak-anak itu seketika heboh karena donat-donatnya lebih besar dari yang tadi diperoleh Wibi dan Aziz.

Nulise piye? Bagong I nulise piye?[3]

“Be-a-ba, ba. Ge-o-go, go—salah nasir, kebalik. Itu bukan be. Itu de.”

Kenang tertawa pelan. Berjongkok menonton Wibi yang mengajari Nasir menulis.

Dalam pelaksanaan Kampus Mengajar, Kenang merancang program indvidu bernama Kenangan Kenari. Sederhananya, Kenangan Kenari itu memori seindah kicau burung kenari yang Kenang harap, akan tersemat dalam ingatan murid-muridnya hingga mereka dewasa. Kenangan itu hadir dalam rupa belajar membaca dan menulis dengan metode-metode kreatif. Kenang merancang program ini karena tidak sedikit anak-anak di SD Kiyaran yang masih kesulitan membaca dan menulis. Bahkan ada anak-anak kelas empat dan lima yang masih mengeja ketika membaca. Untungnya, Kenang bisa melaksanakan program ini tanpa masalah. Setelah memantabkan tekadnya, Kenang memutuskan untuk ngekos di Desa Kiyaran sampai Kampus Mengajar selesai. Awalnya teman-teman Kenang ragu meninggalkan Kenang di kampung itu sendirian. Tapi setelah melihat kesungguhan Kenang dan kebaikan warga sekitar, mereka pun mengangguk lambat. Sambil tetap mengingatkan agar Kenang selalu mengabari jika terjadi sesuatu di Merapi. Kadang teman-temannya akan pulang larut supaya bisa membantu Kenang mengajari anak-anak. Kalau kecapekan yang perempuan akan menginap di kos Kenang dan baru pulang ke kota keesokan harinya.

Kenang dan teman-teman satu kelompoknya terbiasa tinggal di kota. Sekalipun mereka sering berkunjung ke Kaliurang, tinggal di Merapi bukan perkara menyenangkan. Kenang masih ingat bagaimana mereka semua ketakutan saat melihat Merapi dari dekat. Begitu gagah dan begitu mengerikan. Keberanian Kenang baru kembali saat melihat tatapan penuh tanya di wajah anak-anak yang mengintip dari balik pintu kelas. Tabiat mereka yang malu-malu ketika dihampiri. Juga suara-suara kecil dan tangan-tangan mungil yang menggapai jemari kurus Kenang. Meneliti kuku-kuku Kenang yang dihiasi lukisan bunga matahari dan bunga kenanga. Hasil tangan-tangan terampil salon kuku.

“Kuku kakak ada bunganya.”

“Ada bunganya. Bunga apa? Mawar?”

Udu. Iki melati, kan yo?[4]

Kenang tersenyum kecil. “Bukan. Ini bunga matahari dan bunga kenanga.”

Dua kepala yang sejak tadi menunduk untuk menimang jemari Kenang, kini menoleh bersamaan. 

“Bunga matahari?” — “Ini bunga kenanga?” kedua gadis kecil itu serempak bertanya.

Mereka manis sekali. 

Kebanyakan anak yang mengalami kendala membaca dan menulis itu, bisa disebut korban pandemi covid-19. Pandemi memaksa orang-orang membatasi aktivitas sosial berujung learning loss pada sebagian anak-anak. Seharusnya anak-anak sudah lancar membaca ketika mereka kelas tiga SD. Tapi pandemi yang terjadi ketika mereka kelas satu atau kelas dua merubah banyak hal. Apalagi karena para guru harus mengejar materi dan tidak bisa memberi mereka kelas privat, akhirnya anak-anak itu tetap mengikuti kelas tetapi tidak bisa benar-benar memahami pelajaran. Kalau kemampuan membaca dan menulisnya tidak segera diperbaiki, nanti mereka akan tertatih-tatih melalui ujian-ujian kelas enam dan dunia sekolah menangah yang penugasannya sudah mulai menyusahkan. 

Bercerita menggunakan wayang hanya salah satu cara Kenang mengajak mereka belajar membaca dan menulis. Di lain waktu, Kenang akan mengajak mereka jalan-jalan disekitar sekolah. Ketika melihat sesuatu yang Kenang rasa menarik, Kenang akan berhenti berjalan dan meminta mereka menulis nama apapun yang ia tunjuk. Karena di rombongan murid Kenang selalu ada anak yang kemampuan membaca dan menulisnya masih burukKenang akan mengeja kata tersebut huruf demi huruf, kosakata demi kosakata. Pernah suatu hari mereka berpapasan dengan seorang bapak-bapak yang baru pulang dari sawah, menggendong sekeranjang besar rumput untuk ternak di rumah. 

Kenang berseru, “ayo kalo ketemu bapak di jalan bilang apa?”

“Halo bapak!” beo rombongan kecilnya serentak. 

“Kalau udah sore bilang apa?”

“Selamat sore bapak!”

Pria renta itu agak kaget. Tapi sontak menorehkan senyum. Balas melambai pada anak-anak yang berlalu sambil menyerukan dadah. Jika sudah begitu, setibanya di aula sekolah Kenang akan memeriksa tulisan mereka. Memberi mereka nilai dan jajanan yang mereka bawa pulang seraya melompat ke pelukan orang tua mereka yang datang menjemput. 

Sore itu semua anak pulang membawa sebungkus donat dan sebuah pensil baru. Pelajaran hari ini agak sulit karena menurut Kenang, wayang tidak semenarik kartun. Untungnya, tadi Kenang berhasil memusatkan perhatian anak-anak dan membuat kelas menarik. Kenang juga menyiapkan hadiah yang agak mahal seperti pensil supaya mereka lebih termotivasi. Kenang melambai pelan pada murid-muridnya dari aula. Mengamati ayah Wibi, seorang ahli vulkanologi yang tengah membantu Nasir menaiki jok belakang motor. Wibi duduk di depan. Melambai heboh pada gurunya sampai motor ayahnya menghilang dari pandangan Kenang. Dulu Wibi pernah tinggal di kota. Makanya bahasa Indonesia anak itu lancar. 

Mata Kenang mengerling pada gunung yang berdiri tangguh disebelah sekolah. Ia teringat ide mengajari baca tulis dengan bahan mitigasi bencana. Mungkin Kenang bisa mengajari anak-anak itu tentang gempa dengan praktik-praktik sederhana. Kenang sudah kepikiran ingin mencetak gambar gunung Merapi besar lalu memberitahu anak-anak itu tentang bahaya yang mengintai mereka. Tunggu, tidak. Itu ide buruk. Kalau sampai anak-anak itu minta pindah rumah ke orang tua mereka Kenang bisa didemo. 

Kenang menghela nafas. Menyingkap helai rambutnya ke belakang telinga lalu berbalik. Dia harus pulang. Sore sudah semakin larut. Besok pagi masih ada kelas yang harus dia ajar dan Kenangan Kenari beserta hadiah-hadiah yang harus dia siapkan.

Masih berbulan-bulan lagi sampai Kenang bisa pulang ke kota. Jauh dari kepulan asap Merapi beserta keagungannya yang penuh misteri. 

Fin.


 


[1] Anak-anak! Ada yang tahu nggak ini namanya apa?

[2] Bagong itu apa?

[3] Nulisnya gimana? Bagong itu nulisnya gimana?

[4] Bukan. Ini melati kan ya?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya cahaya biru kami.
0
0
Sia tidak supel seperti Manis. Tidak kaya raya seperti Sastra. Tidak ramah dan pandai bertutur kata seperti Badai. Dan terutama, sama sekali tidak ada cerdas-cerdasnya jika dibandingkan dengan Guntur. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan