cerita tentang lumpia.

0
0
Deskripsi

Untuk pertama kalinya sejak Kenang tinggal sendiri, Kenang merasakan buka puasa di kota perantauan tanpa ditemani sepi. Celoteh anak-anak begitu ramai. Sekali dua kali ditimpali teguran dan suara frustasi Andrea yang berusaha menenangkan semuanya. Yang paling menonjol itu ocehan Bulan. Karena Bulan ada di pelukan Kenang. Makan belepotan sambil sesekali mengangkat lumpianya ke Kenang,. Menjerit waktu Kenang betulan memakannya. 

Kenang senang.

Kenang suka anak-anak. Sangat suka malah. Karena tumbuh di keluarga yang dinamikanya kurang sehat, Kenang selalu bermimpi memiliki keluarga kecil yang bahagia. Manusia punya definisi bahagia mereka sendiri-sendiri. Kenang tidak pernah menceritakan impian kecilnya pada siapapun. Kenang tahu impian semacam itu bakal diterpa ombak feminisme dan acapkali dipandang rendah. Menjadi ibu rumah tangga itu bukan profesi yang membanggakan. Tidak menghasilkan uang atau prestasi. Begitulah pandangan manusia masa kini. Tragis rasanya karena di hidup Kenang, ketiadaan sosok ibu itulah yang membuat Kenang hancur dan terluka. Menjadi ibu rumah tangga itu tidak penting, katanya. Memiliki anak itu menyusahkan, katanya. Kenang jadi berandai, apakah mereka tidak pernah sekali saja, membayangkan memiliki anak yang akan menjadi sahabat sehidup semati mereka? Mencintai mereka tanpa syarat. Melompat kesana kemari seperti anjing kecil yang minta dipuji. Bahkan membayangkannya saja Kenang bisa senyum-senyum sendiri. Sejak Kenang memutuskan kalau puncak tertinggi kebahagiaan di hidupnya adalah keluarga, Kenang selalu berkata dalam hati kalau kelak suaminya adalah matahari, dan bulan itu anak-anak mereka. Kenang ingin menjadi angkasa tempat mereka pulang.

Yah. Itu kalau Tuhan berkehendak memberi Kenang suami dan keluarga sih. Melihat di usianya yang mendekati dua puluh lima begini dan belum punya kekasih, Kenang jadi skeptis. 

“Uh!” Seorang anak laki-laki terjatuh di rumput. Tak jauh dari bangku taman tempat Kenang melamun. 

Kenang sontak berdiri. Menghampiri si bocah kecil berpipi gempal yang mengerjap-ngerjap bingung tapi tidak menangis. Kenang membantunya berdiri.

“Adik kecil nggak apa-apa?” Kenang bertanya selembut mungkin. 

Anak kecil itu menatap Kenang dengan mata bulatnya yang penuh binar bintang kejora. Duh, Kenang selalu lemah sama anak-anak.

“Uh!” Katanya lagi. Masih memandangi Kenang. Kenang terperangah sebentar sebelum mengulas senyum.

“Ibu dimana?”

Anak itu mendengung. Memiringkan kepala tapi tidak menjawab. 

“Mm... kalau Ayah?” Tidak ada jawaban. Mata bulat si gembil ―Kenang memutuskan untuk menamainya si gembil― berkedip sekali. Mendenguskan uh lagi kemudian merengek dalam pegangan Kenang. Tangannya terulur. Berusaha menggapai-gapai Kenang. Itu gerakan familiar keponakan Kenang yang minta digendong. Jadi Kenang menggendongnya setelah agak panik tidak tahu harus berbuat apa. Saat si gembil aman di pelukannya, anak kecil itu melepaskan suara ceria campuran tawa dan pekik. 

Kenang meringis. Perlahan berdiri bersama si gembil. Menepuk nepuk punggung si gembil yang mulai mengoceh tidak jelas. Kenang bingung. Matanya mengedar ke sekeliling taman. Cuma ada dia dan si gembil. Nggak ada tanda-tanda pasangan muda atau wanita dewasa yang biasanya datang ke taman bersama anak-anak mereka. Kening Kenang berkerut khawatir. 

“Gembil... kamu kuantar ke kantor polisi ya?”

Rengekan tidak suka menjawab Kenang. Kaki si gembil menghentak-hentak. Kenang hampir kehilangan keseimbangan karena tingkah si gembil. 

“Iya-iya, aku nggak akan bawa kamu ke kantor polisi,” Kenang memperbaiki posisi gendongannya. Membawa si gembil untuk bertatapan dengan dirinya, “Tapi aku harus cari orang tuamu dimana.... mereka pasti khawatir sekarang.” 

“Meh!” Kata si gembil. Mata Kenang membola. Lengkungan bulan sabit terbit di wajahnya. Kenang meloloskan tawa. 

“Aduh. Kamu gemes banget.” Kenang mencium pipi si gembil. “Ayo. Kita lihat-lihat dulu ya di sekitar sini.”

Kenang memutuskan untuk berjalan-jalan di area sekitar taman. Taman ini berbentuk lingkaran. Di sekelilingnya tumbuh pohon-pohon bunga tabebuya merah jambu. Pemandangan bunga tabebuya itu mirip bunga sakura. Gembil mengulurkan tangannya untuk meraih bunga-bunga yang bisa dia gapai. Kenang meladeni Gembil. Tapi begitu melihat Gembil melahap bunga itu, Kenang membuangnya. Gembil merengek. Kenang menggeleng pelan.

“Pahit.” Kenang berujar pelan. “Nggak enak.”

Gembil mencebik. Kenang tersenyum kecil. Bangku-bangku taman hari ini kosong. Kenang benar soal dia menghabiskan waktu di taman itu sendiri. Gembil bisa sampai disana masih menjadi pertanyaan. Kenang jadi takut. Kalau anak ini terpisah dari orang tuanya yang ternyata udah pergi jauh gimana? Atau jangan-jangan anak ini dibuang? 

Ah. Siapa yang tega membuang anak semanis Gembil?

Kenang mengeratkan pelukannya pada Gembil. Setelah tanya-tanya ke pedagang jajan disekitar taman dan mengitari taman beserta daerah di sekitarnya yang tumben-tumbennya sepi pengunjung, Kenang merasa pencariannya sia-sia.

Kenang menatap Gembil di pelukannya yang terlelap kelelahan. Duh... gimana ya? Batin Kenang. Kenang menghela nafas. Merasa nggak menemukan jalan keluar, Kenang memutuskan untuk pulang. Dari taman ke kantor polisi itu harus naik ojek online. Seenggaknya sepuluh atau lima belas menit kalau macet. Kenang ingin membawa Gembil ke kantor polisi. Tapi tadi Kenang udah lihat-lihat sesuatu yang bisa dijadikan tanda pengenal Gembil, dan nggak ada. Nggak ada informasi soal orang tua dan semacamnya. Kenang jadi takut.

Kenang menepuk pelan punggung Gembil yang mendengkur halus, “Gembil ikut aku ke rumah ya? Nanti atau besok aku telfon kantor polisi dan melaporkan kamu sebagai anak hilang.”

Kenang menyusuri jalan setapak menuju toko bunga sekaligus rumahnya yang tidak jauh dari taman. Toko bunga Kenang hampir tidak pernah tutup. Buka setiap hari. Kalopun tutup, itu kalo Kenang lagi butuh waktu sendiri. Dan nggak sampe seharian. Kenang punya keluarga. Tapi hanya kakak dan bibi. Keduanya tentu sibuk dengan kehidupan masing-masing. Bibi Sia dengan suami dan anak-anaknya yang masih kecil. Kak Lion dengan karir militernya yang masih harus diperjuangkan. Kenang tidak ingin merecoki mereka dengan sendu dan sepi dalam hidup Kenang.

Kenang mengeratkan pelukannya pada tubuh Gembil. Usianya berapa ya? Bicaranya belum jelas. Masih berupa suara-suara aneh. Belum yang sampai merangkai kata-kata. Tapi udah bisa jalan. Pipinya tembem, berarti Gembil anak yang terawat. Gembil nggak memenuhi kriteria anak yang dibuang. 

Mendekati toko bunganya, Kenang melihat mobil pick up pengantar barang yang dipenuhi kasur. Ruko disebelah Kenang yang biasanya kosong ternyata sudah ada yang membeli. Kenang melihat dua anak kecil lari keluar dari rumah disusul suara bentakan perempuan.

“Kuma! Kulfi! Sini! Kalian belom boleh main! Mau ilang kayak Bulan!?” Seorang perempuan tinggi kurus keluar dari ruko. Berkacak pinggang. Menatap galak anak laki-laki dan perempuan yang meringkuk takut.

“Kita mau cari Bulan!” Kata si anak laki-laki.

“Iya mau cari Bulan!” Timpal si anak perempuan.

“Ngaco kalian! Anak kecil kayak kalian bisa apa!? Masuk! Ntar kalo kalian ikutan ilang aku yang repot!”

Kedua anak itu merengut. Menurut masuk ke ruko sambil mengerucutkan bibir. Begitu keduanya masuk ke ruko, wajah si perempuan tinggi berubah khawatir. Pandangannya mengedar. Mencari sesuatu. Sesekali dia bicara dengan petugas angkutan barang. Tapi setelah itu dia berjalan-jalan disekitar ruko. Kerutan di dahinya dalam. Perempuan itu menggigiti kukunya sampai matanya bertemu mata Kenang. Dia terperangah. 

“Bulan?”

Kenang mengerjap. Berdiri gugup di tempatnya saat perempuan tinggi itu menghampiri Kenang. Matanya nggak tertuju pada Kenang. Melainkan pada anak kecil dalam gendongannya. Tanpa sadar, Kenang mengeratkan pelukannya pada Gembil. Mengambil satu langkah mundur. Perempuan ini sangat tinggi. Nggak seperti kebanyakan perempuan indonesia. Kenang Cuma setinggi bahunya. Gaya berpakaiannya kelaki-lakian. Hoodie besar dan celana longgar. Kalau bukan karena rambut panjang dan suaranya yang agak melengking walau masih terhitung berat, mungkin Kenang akan mengira dia laki-laki.

“Maaf Mbak, Mbak nemu anak ini dimana?” Ia bertanya begitu tiba didepan Kenang.

Kenang nggak langsung menjawab. Mempertanyakan penggunaan kata nemu seakan Gembil itu barang. Menatap perempuan dihadapannya dengan tatapan curiga bercampur khawatir. Perempuan itu sepertinya menyadari arti tatapan Kenang karena dia menghela nafas. Mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya dan menunjukkannya pada Kenang. Kenang menatap kartu dan perempuan itu bergantian. 

Andrea Husna
            27 tahun
            Panti Asuhan Wirasena
            Jalan Gatotkaca. No 45. 59172
            Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

Kenang mengerjap. Bergantian menatap kartu itu dan perempuan itu lagi sebelum matanya menangkap papan diatas pintu ruko. Panti Asuhan Wirasena.

“Panti... asuhan?”

“Iya. Perkenalkan saya Andrea Husna. Saya kakak angkat Bulan.”

Kenang berkedip pelan. “Bulan?” Kenang memisahkan tangan Gembil yang mencengkram kain blousenya. Menatap Gembil lekat. “Namanya Bulan?”

Andrea mengangguk. 

Kenang tercengang. “Bulan... yatim piatu?”

Andrea kelihatan bingung, tapi dia mengangguk lagi.

Hati Kenang mencelos. “...Kok bisa?” Kenang bergumam pada dirinya sendiri. Tapi gumaman itu didengar Andrea. 

“Mbak pernah denger kecelakaan pesawat Garuda Air 320?”

Kenang mengangguk pelan. Itu kecelakaan pesawat yang terjadi belum lama ini. Pesawat Garuda Air 320 jatuh menabrak pegunungan Kras di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Nggak ada penumpang yang selamat. Semua penumpang termasuk para kru pesawat dan pilot meninggal di tempat. Ada yang meninggal karena benturan, sisanya dicurigai tewas karena kebakaran. 

“Orang tua Bulan penumpang pesawat itu,” Sambung Andrea. Mulut Kenang menganga. Andrea menambahkan, “Karena nggak ada kerabat yang mau merawat Bulan, Bulan diserahkan ke panti sama rekan kerja orang tuanya.”

Nggak ada. Nggak ada yang mau merawat anak semanis dan sekecil Bulan? Kenang kembali menatap Bulan yang menggeliat sedikit sebelum kembali tertidur. Meneteskan iler di blouse Kenang. 

Kenapa mereka tega?

Kenang akhirnya memberikan Bulan pada Andrea. Kenang kira, setelah itu hubungannya dengan Bulan selesai disana. Tapi perkiraan Kenang salah. Bulan tidak melupakan Kenang. Anak itu melompat dan memeluk kaki Kenang waktu Kenang sedang menata bunga-bunga di halaman depan. Andrea nggak bisa melakukan apa-apa selain minta maaf karena sudah merecoki Kenang. 

“Nggak kok. Nggak apa-apa. Aku suka anak-anak,” Ujar Kenang seraya mengusap kepala Bulan. Pandangan Kenang mengerling ke kepala-kepala mungil yang menyembul dari balik pintu panti. Andrea turut menoleh ke belakang. Kepala-kepala itu menghilang diikuti suara langkah ribut dan celotehan anak-anak.

Kenang tersenyum kecil, “Kamu merawat mereka sendiri?”

“Mm. Sama adik laki-lakiku sih. Tapi dia kerja di luar kota.”

“Ah... pulangnya?”

“Sekarang lagi puasa. Paling nanti seminggu sebelum lebaran baru pulang.”

Kenang manggut-manggut. Baru kali itu dia dengar ada laki-laki yang jadi pengasuh panti. Adiknya Andrea orang hebat. 

Andrea itu bisa dibilang tipikal ibu dan kakak yang tegas. Usianya sudah hampir tiga puluh. Kenang jadi nggak kesepian dan merasa aneh karena masih single ketika tau Andrea belum menikah. Anak-anak sekolah di SD yang agak jauh dari Panti. Tapi nilai plusnya, SD itu gratis. Pelan-pelan, Kenang mulai mengenal semua anak di panti. Totalnya ada delapan. Nggak banyak. Bulan paling muda. Paling tua Kulfi dan Kuma. Usia mereka sepuluh tahun. Selain mereka bertiga ada Fredo, Linggar, Luna, Fauzan, dan Made. Mereka nggak boleh keseringan main ke toko Kenang. Andrea nggak mau anak-anak merecoki Kenang yang sibuk melayani pelanggan. Minus Bulan yang masih kecil. Jadi dia bisa duduk anteng di toko sambil teriak-teriak minta perhatian. Pelanggan Kenang sampai mengira Bulan itu anak Kenang. 

Sebelumnya, Kenang selalu makan sendiri. Sahur dan buka sendiri. Memasak untuk dirinya sendiri. Kenang punya kehidupan yang baik. Dia tidak sulit secara finansial. Suami bibinya dan Lion sering mengirimi Kenang uang tambahan. Kenang punya rumah yang nyaman dan toko yang tidak sepi pembeli. Walaupun begitu, Kenang sering merasa kesepian karena dia bukan orang yang pandai berkawan. Ketika ada undangan buka bersama dan semacamnya, Kenang jarang hadir karena nggak tau bagaimana menghadapi orang. Manusia dewasa itu bukan anak-anak. Mereka memperhatikan gerak-gerikmu. Meneliti tingkahmu. Mencari kekurangan dan kelebihanmu untuk dihakimi. Kenang tidak suka itu. Sia pernah meminta Kenang main ke rumahnya. Kenang belum mengiyakan permintaan Sia karena tokonya tidak bisa ditinggal. Selain itu, Kenang juga nggak mau merecoki Sia yang sibuk mengurus keluarganya.

Kenang tentu kangen Sia dan Lion. Makanya setiap kali Kenang disesaki rindu, Kenang memasak. Lumpia adalah makanan yang sering Sia buat. Waktu Kenang masih kecil, Sia selalu membuat banyak lumpia. Meletakkannya didalam kotak tupperware, disimpan di freezer, lalu digoreng setiap kali mereka butuh lauk. Lumpia juga makanan pertama yang berhasil dibuat Kenang. Walaupun Kenang lebih banyak bantu-bantu. Kenang masih ingat waktu dia pertama kali menghaluskan daging, mencampur daging dan sayur untuk isian, membungkus lumpia kemudian menggorengnya berdasarkan arahan Sia. 

Di awal ramadhan kemarin, Kenang memasak banyak lumpia untu stok seminggu. Di awal minggu kedua ramadhan, stok lumpia Kenang sudah menipis. Jadi Kenang harus membuatnya lagi. 

Hah! Sia pernah berkomentar, kamu kok bisa gitu ya, nggak gendut padahal makan lumpia goreng setiap hari.

“Halo Kenang.”

Kenang terperanjat. Hampir menjatuhkan bungkusan mie bihun di tangannya. Kenang menoleh. Menemukan Andrea berdiri disebelahnya. Luna dan Fauzan melambai dari sisi Andrea. Tangan keduanya memegang plastik besar.

“Halo An. Lagi belanja?”

“Yoi. Kamu juga?”

Kenang mengangguk. Balas melambai pada Luna dan Fauzan. Andrea mencondongkan tubuhnya. Melihat banyak bungkusan kulit lumpia di tas belanja Kenang.

“Widih. Banyak bener kulit lumpianya. Mau jualan?”

Kenang tertawa pelan, “Nggak kok. Aku emang suka masak banyak lumpia. Buat stok.”

“Lumpia?” Tanya Fauzan. Luna juga membulatkan mata.

“Lumpia? Kak Kenang mau bikin lumpia?”

“Ojan mau lumpia.”

“Una juga mau lumpia.”

Andrea mendelik, “Nggak. Kalian makan kangkung aja suka nggak dihabisin. Apalagi makan lumpia. Udah-udah Kak Kenang kalo masak lumpia isinya kembang kol. Kalo mau makan lumpia khatam dulu makan kangkungnya.” Luna dan Fauzan merengek. 

Kenang tersenyum kecil mengamati Andrea dan anak-anak asuhnya. Andrea pamit lebih dulu karena masih banyak bahan makanan yang harus dibeli untuk sembilan orang.

Luna dan Fauzan tentu tidak serius. Tapi sore itu Kenang tetap membeli lebih banyak kulit lumpia dan bahan-bahan isiannya. 

Tiga hari kemudian, Andrea dikejutkan dengan Kenang yang memberikan dua kotak tupperware besar berisi lumpia. Andrea terperangah. Seketika diingatkan ke pertemuan dia dan Kenang beberapa hari yang lalu.

“Kenang―aduh... Luna sama Fauzan nggak serius. Ini―”

“Udah nggak apa-apa. Ini nggak seberapa kok. Lumpianya juga kecil-kecil.”

“Tapi―”

“Andrea. Aku udah bikin banyak-banyak loh,” Kenang tersenyum manis. “Lagian lumpia buatanku nggak seenak itu. Terima ya? Sama tolong jangan bilang ini dari aku ya?”

Andrea termangu. Nggak lama, dia akhirnya menerima kotak-kotak lumpia itu dan menggumamkan terimakasih. Kenang mengangguk. Setelah itu menghilang dibalik pintu tokonya.

Andrea bingung. Mungkin Kenang orang yang udah biasa masak. Tapi dibuatkan lumpia sebanyak ini secara Cuma-Cuma, Andrea tetap ngerasa nggak enak. 

“Andrea itu lumpia darimana!?” Pekik Luna waktu melihat Andrea masuk membawa lumpia.

Andrea melotot, “Jangan deket-deket!”

“Nanti kita makan pake lumpia!?” Luna melompat-lompat girang. Mengabaikan teguran Andrea. Andrea memutar mata. Tapi nggak bisa menahan senyum yang terbit di wajahnya. 

Malam itu waktu anak-anak udah tidur, Andreas telfon. Andrea menceritakan apa yang terjadi hari ini ke Andreas. Nggak lupa memberikan disclaimer kalo Kenang itu tetangga mereka yang punya toko bunga.

“Oh,” Andreas menguap di seberang telfon. Pasti hari ini pun Andreas kerja lembur. “Anak-anak seneng?”

“Seneng lah. Lumpianya enak.”

“Bagus dong. Minta dibikinin lagi gih.”

“Heh. Mulutmu.”

Andreas tertawa pelan, “Habisnya jarang-jarang ada orang baik kayak gitu. Dia yang sering main sama Bulan?”

“Ho oh.”

Andreas mendengung, “Apa kamu minta resepnya. Terus bikin sendiri buat anak-anak? Aku dapet bonus kemarin. Jadi bisa ngirim uang lebih ke panti. Lumayan kan itu. Nanti kalo kamu udah bisa, isian lumpianya bisa kamu ganti-ganti sesuai kemauan kamu. Bagus itu buat maksa anak-anak makan sayur.”

“Boleh sih. Ntar coba aku tanya,” Andrea teringat sesuatu. “Eh Reas. Atau dia ku ajak buka disini ya? Dia tinggal sendirian di sebelah. Buat terimakasih gitu.”

“Boleh. Atau sekalian aja kamu ajak masak bareng. Belajar bikin langsung sama orangnya kan lebih enak ketimbang nyoba-nyoba dari baca resep.”

“Hm... entar deh itu aku pikir-pikir lagi.”

Pada akhirnya, Andrea memilih mengajak Kenang memasak di panti. Itu sebenarnya pilihan yang agak berat. Soalnya Andrea nggak mau merepotkan Kenang. Kalo Kenang menolak pun nggak apa-apa, karena niat awal Andrea pengen mengajak Kenang buka bersama. Diluar dugaannya, Kenang senang waktu diajak masak bareng.

“Mau masak apa?” Tanya Kenang. Matanya berbinar.

“Ah itu... anak-anak suka lumpianya. Jadi aku pikir kayaknya masak lumpia sama sayur lain gak apa-apa deh.”

“Anak-anak suka lumpianya?” Kenang bertanya nggak percaya.

Andrea mengangguk. Kenang menutupi mulut, sebelum membenamkan wajah di telapak tangannya.

“Kenang? Kenang? Kamu gakpapa?”

“Nggak.... aku nggak apa-apa...,” Kenang menurunkan tangan. Kelihatan sangat terharu dan siap menangis kapan saja. “Aku sebenernya takut mereka nggak suka...”

Andrea mengulas senyum. “Nggak kok. Lumpiamu enak malah. Adekku sampe bilang, ‘minta bikinin lagi gih,’gitu.”

Kenang tertawa pelan. 

Setelah ashar, Kenang dan Andrea pergi belanja. Menitipkan anak-anak pada Kulfi dan Kuma. Mereka membeli banyak bahan untuk lumpia. Kenang memberitahu kalau lumpia yang kemarin itu pakai isian daging dan sayur yang dihaluskan. Andrea gatal ingin memasukkan lebih banyak sayuran ke lumpia anak-anak, yang Kenang tanggapi dengan tawa. Selain memasak lumpia, mereka meutuskan untuk memasak sayur sop. Selain mudah, resep sayur sop yang tepat dan enak bisa membuat orang ketagihan makan sayur. 

“Naaaaaang,” Pekik Bulan begitu melihat Kenang di ruang tengah panti. Tangannya terulur berusaha menggapai-gapai Kenang. Minta digendong. Bulan menjerit ketika Kenang mengangkatnya ke udara. Kaki Bulan bergerak-gerak ribut dalam pelukan Kenang.

“Bulan bisa gitu ya sama kamu,” Kata Andrea.

“Gitu gimana?” 

“Ya nempel. Terus berisik. Kalo sama yang lain dia rada kalem.”

“Wah masa? ―bentar ya Bulan. Kenang masak dulu.” Bulan merengek waktu Kenang menurunkannya di kasur yang digelar di ruang tengah. 

Awalnya Cuma Andrea dan Kenang yang memasak di dapur. Tapi lama-lama, anak-anak mulai berkumpul karena penasaran. Luna dan Fauzan terutama. Duo maniak lumpia.

“Kalian mau coba?” Tanya Kenang waktu melihat Luna dan Fauzan menatapi jajaran lumpia panjang tanpa berkedip. 

Luna terperanjat. “Co-coba apa?”

“Bungkus lumpia,” Kenang mendorong papan yang udah ada kulit lumpianya ke depan Luna. “Ayo coba.”

Luna memandang ragu Andrea. Meminta perizinan. Ketika Andrea mengangguk, Luna menerima plastik berisi isian lumpia yang ujungnya digunting supaya lebih mudah dioleskan ke kulit lumpia. 

Cara membungkus lumpia Kenang unik. Kulit lumpia berbentuk persegi dijajarkan semua. Tapi ujungnya saling menindih. Kemudian isiannya di oleskan ke kulit lumpia seperti kalo orang meletakkan icing di kue. Luna meletakkan isian lumpia. Lalu Fauzan membantu menggulung lumpianya. Setelah Fauzan, anak-anak lainnya jadi penasaran ingin mencoba. Dalam waktu singkat, kulit lumpia dan isiannya sudah habis. Terakhir, Kenang dan Andrea memotong lumpia-lumpia panjang itu menjadi lebih kecil sesuai porsi makan. Alhasil sekarang mereka memiliki empat boxtupperware besar berisi lumpia dan masih ada sisa sebaskom lumpia lainnya. Anak-anak memandangi lumpia-lumpia itu dengan mata berbinar. 

“Banyak lumpianyaaaa,” Seru Made sambil mengusap iler. Kulfi merengek. Menggoyang-goyangkan tubuh Kuma. 

“Hus. Belum buka,” Andrea menggeplak tangan Linggar yang hendak mencomot lumpia di baskom. “Masih mentah Nggar. Belum digoreng elah.”

Linggar merengut tapi menurut. “An, lumpianya masih banyak. Mau dimakan kita semua?”

“Kasih ke Koko Lingling aja!” Pekik Gabi. 

“Koko Lingling? Oh... yang punya toko obat herbal deket sini ya?” Gabi mengangguk heboh membenarkan perkataan Kenang. 

“Iyaa! Koko Lingling, Cici Fafa, Pak Sumarsono, ng...,” Gabi berusaha mengingat-ingat. “Ah! Banyak lumpianya. Kasih ke orang-orang aja!”

“Ih jangan! Ojan bisa makan semuanya kok!”

“Kalo Ojan makan semuanya nanti Ojan gendut. Ojan mau gendut?” 

Fauzan mengerang. Kenang tersenyum kecil. Mengusap kepala Gabi.

“Pinter.” Puji Kenang. Senyum cerah terukir di wajah Gabi.

“Oke, kalo mau dikasih ke orang berarti dibungkus plastik aja. Dikasih buat sejajar di jalan panti aja. Cukup ini―yang nganter kalian ya. Jangan kabur Fredo.”

Fredo yang baru mau menyelinap ke kamar berbalik dengan wajah sepet. Sore itu sementara Andrea menggoreng lumpia untuk buka puasa, anak-anak panti keluyuran di jalan. Mengantarkan sebungkus lumpia untuk tetangga-tetangga yang jumlahnya tidak banyak. Tapi sebungkus lumpia itu menerbitkan senyum di wajah para bapak-ibu pemilik toko. Ibu-ibu pedagang camilan kiloan memberi Kuma dan Kulfi tiga plastik jajan sisa. Emak-emak pemilik rumah makan padang memberi Linggar dan Fredo seplastik rendang, ayam goreng dan menu takjil spesial. Yang lain berterimakasih dan memberi anak-anak panti pujian.

Bulan memekik dalam gendongan Kenang. Menyembunyikan wajahnya di tengkuk Kenang saat Cici Fafa berniat menoel-noel wajahnya. Koko Lingling tidak memberi Bulan obat herbal tentunya. Beliau memberi Bulan tiga kotak kue bulan yang baru dibawakan anak Koko Lingling sebagai oleh-oleh dari perantauan.

“Bulan... bilang terimakasih dulu sama Koko Lingling.” Kata Kenang. 

Bulan menjerit horror saat melihat tangan Cici Fafa mendekati wajahnya. Cici Fafa tertawa renyah. Akhirnya menoel-noel pipi Bulan tanpa peduli jeritan Bulan. 

Ketika Bulan dan Kenang pamit pulang, adzan maghrib berkumandang. Kenang mengulas senyum. Mengeratkan pelukannya pada Bulan. Menciumi pipi bocah gembil itu sampai Bulan tertawa kegelian. Di panti, Andrea sudah menyiapkan makanan untuk Kenang dan Bulan. 

“Lumpianya Una yang bungkus!” Seru Luna seraya mengangkat lumpianya tinggi-tinggi.

“Aku! Aku juga ikut bungkus!”

“Aku juga aku juga!” Timpal anak-anak yang lain.

Untuk pertama kalinya sejak Kenang tinggal sendiri, Kenang merasakan buka puasa di kota perantauan tanpa ditemani sepi. Celoteh anak-anak begitu ramai. Sekali dua kali ditimpali teguran dan suara frustasi Andrea yang berusaha menenangkan semuanya. Yang paling menonjol itu ocehan Bulan. Karena Bulan ada di pelukan Kenang. Makan belepotan sambil sesekali mengangkat lumpianya ke Kenang,. Menjerit waktu Kenang betulan memakannya. 

Kenang senang.

Setelah buka puasa, anak-anak pergi terawih. Di masjid tidak jauh dari panti. Sepulan terawih, mereka dikejutkan dengan layar proyektor yang Andrea pasang di ruang tengah. Andrea memutuskan untuk memutar film How To Train Your Dragon 3. Sebagai hadiah karena hari ini anak-anak sudah banyak membantu Andrea dan Kenang. Saat film berakhir, kedelapan anak yatim piatu itu sudah terlelap. Berdempetan di kasur yang digelar di ruang tengah. Fredo menghisap jempol Made. Kaki Linggar bertenger di perut Kuma. Bulan tertidur di soda bersama Kenang yang mengamati mereka semua dengan hati hangat.

....

“Kamu mau pulang sekarang?” Tanya Andrea ketika Kenang sedang memakai sendal di teras depan. Anak-anak sudah tidur. Waktu Kenang tanya Andrea mau dibantu memindahkan mereka ke kamar atau enggak, Andrea menggeleng. Katanya biar pada tidur di ruang tengah aja nggak apa-apa. Nanti Andrea juga mau tidur di sofa. 

“Mm. Terimakasih banyak ya Andrea,” Kenang memeluk Andrea. “Aku seneng banget hari ini.”

Andrea mendengus. Balas memeluk Kenang, “Gitu doang kok terimakasih. Aku malah yang harus terimakasih soalnya kamu udah bantu ngurusin ucrit-ucrit jelmaan dedemit itu.”

Kenang tertawa pelan, “Hus. Kamu nggak boleh gitu.” Kenang menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Hari ini melelahkan. Tapi melelahkan yang tidak sia-sia. Kenang bisa menghabiskan waktu bersama banyak anak kecil. Mengajari mereka membungkus lumpia, dan melihat bagaimana anak-anak itu mengantarkan lumpia buatan mereka ke tetangga. Mereka masih polos dan bersih dari dosa. Menyaksikan tawa jernih mereka benar-benar menyembuhkan kesepian Kenang.

“Kalo gitu aku pulang duluan ya.”

“Mm.”

Kenang berbalik. Dia baru tiga langkah meninggalkan panti saat dari kegelapan malam muncul seorang pria mengenakan jaket tebal, membawa tas besar dan beberapa kardus yang tak kalah besar. Kenang terperangah. Pria itu juga. Dia berhenti nggak jauh dari Kenang. Kenang mendengar Andrea tersedak dibelakangnya, sementara si pria asing nampak nggak tau harus ngapain bahkan ketika Andrea berlari kecil menghampirinya.

“LOH!” Andrea menjerit tertahan. “Kamu kok pulang!?”

“....kejutan?”

Andrea tercengang. Sebelum menendang kaki si pria bersurai ikal yang lantas mengaduh kesakitan.

“An-an. Aduh! Adek sendiri pulang bukannya dikasih selamat datang, dipeluk apa gimana, malah ditendang.”

“Iya soalnya kamu pulang nggak ngabarin! Kamu naik apa kesini? Barang bawaanmu banyak juga. Jangan bilang kamu jalan kaki!”

“Enggak-enggak. Ya Allah An. Ada tamu kamu malah malu-maluin aku....” Andreas meringis. 

Andrea mendengus. Beralih menatap Kenang seraya menuding adiknya. “Nang! Ini adekku yang kubilang nyuruh aku minta kamu bikinin lumpia lagi!”

Andreas gelagapan. “AN! Aduh....,” Andreas menutupi wajahnya. Malu karena omongannya yang dia maksud sebagai candaan malah jadi terkesan nggak sopan. Apalagi Andreas nggak menyangka kalau tetangga baru mereka yang pandai memasak itu ternyata secantik ini. Andreas nggak pernah bisa berkutik kalau udah Andrea yang bicara. Jadi Andreas Cuma bisa menghela nafas pasrah. Udahlah. Hancur sudah imagenya didepan si mbak-mbak bunga cantik yang bahkan belum sempet dibangun. 

Sayangnya, Andreas dikejutkan dengan suara tawa halus dari si perempuan yang sedang memandangi dia dan Andrea.

Kenang tertawa pelan. Mengangguk singkat pada Andreas. Malu-malu menarik senyum ketika Andreas balas menatapnya. Andreas terperangah.

“Adiknya Andrea ya? Salam kenal,” Kayak versi laki-lakinya Andrea, batin Kenang. Kenang mengangguk lagi. “Kalo gitu aku pulang dulu ya An. Udah malam,―permisi.” Kenang melambai singkat. Sebelum menghilang dibalik pintu samping tokonya. 

Andreas terpana. Bahkan ketika Kenang sudah tidak terlihat pun Andreas masih memandangi pintu samping toko Kenang. Keterpanaan Andreas baru buyar waktu Andrea dengan kejam mencubit perutnya. Untung damagecubitannya berkurang karena Andreas memakai jaket.

“Eii. Kawan. Bulan puasa kawan. Bukan muhrim kawan.”

Andreas mencibir, “Gitu amat An. Tolong. Aku bukan kamu yang bahagia jomblo sampe tua. Aku juga pengen nikah.”

“Ga usah bawa-bawa nikah kalo nyuci baju aja harus diingetin lewat telfon.” Andrea menyalak. “Kayak Kenang suka sama kamu aja.” Andrea mengambil salah satu kardus Andreas. Berlalu lebih dulu kedalam panti.

Andreas bergegas menyusulnya. Begitu didalam panti, dia menutup pintu dan bertanya, “Tadi namanya Kenang?”

“Yoi.”

“Kenang siapa?”

“Tanya sendiri.”

“Berarti aku direstui nih?”

“Kan aku udah bilang. Kayak Kenang suka sama kamu aja.”

“Duh An. Kamu nggak lihat tadi dia senyum malu-malu waktu ngeliat aku?”

“Kenang senyum malu-malu sama semua orang adekku sayang. Emang gitu orangnya. Kamunya jangan kegeeran.”

“Kegeeran dulu gak papa. Siapa tau jodoh.”

“Mas....? Mas Reas....?” Kulfi duduk. Mengucek-ngucek lalu mengerjapkan mata. Berusaha melihat siapa yang di pintu berbekal cahaya remang-remang ruang tamu. Saat menyadari itu benar Andreas, Kulfi memekik. “MAS ANDREAS! MAS ANDREAS UDAH PULANG!”

Anak-anak yang lain terbangun karena pekikan Kulfi. Kulfi berlari ke pelukan Andreas. Merangkul leher Andreas erat-erat. Nggak lama kemudian, Andreas dibuat kewalahan lantaran dikerubungi anak-anak yang baru bangun tidur. Andrea menyaksikan mereka dari jauh sambil menggendong Bulan yang hampir menangis karena kaget mendengar suara berisik. Anak-anak mulai bercerita soal mereka hari ini ngapain aja. Kantuk mereka terlupakan. 

Andrea menonton adiknya yang mendengarkan cerita Fauzan dengan sabar. Membatin dalam hati kalau minggu kedua bulan ramadhan tahun ini benar-benar dipenuhi banyak kejutan. 

TAMAT

Catatan:

Andrea dan Andreas dulunya anak yatim piatu di panti yang sama. Nggak lama setelah mereka dewasa dan diminta pergi dari panti, panti wirasena terseret kasus dan bangkrut. Andrea memutuskan untuk berhenti bekerja dan mengurus anak-anak yatim itu dan mengambil alih panti wirasena. Andreas membantu Andrea dengan kerja mencari uang dan donatur. Cerita ini terjadi beberapa tahun setelah peristiwa tersebut. Andreas dan Andrea anak kembar. Mereka diserahkan ke panti sejak bayi.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya hujan, dingin dan hangat.
0
0
“Dingin?”Lahru mengangguk lemah. Semu di pipi gadis itu semakin pekat saat tangan Naksa terulur. Meraih jemari kurus Lahru dan meniupkan udara hangat kesana. Tangan Naksa hangat. Besar melingkupi jemari Lahru. Naksa memang sudah darisananya hangat. Berada didekat Naksa tidak pernah gagal membuat Lahru merasa aman. Sekarang pun Naksa berdiri merapat pada Lahru. Sedikit menghalangi hujan supaya tidak mengenai Lahru. Rendah hati dan menyayangi Lahru. Tidak memikirkan dirinya sendiri, seperti biasa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan