
Kani menyeka remah-remah kue di sudut bibir Bintang, “Orang tuamu pengen kamu sama Lintang punya nama yang mirip. Menurutku nama kalian berdua serasi dan cantik,” Kani berjinjit. Dagu Bintang dicium. “Tapi aku suka bulan. Jadi Somagraha lebih cantik.”
Ucapan Kani sukses membuat senyum tipis Bintang melebar.
Sedikit saja tidak apa-apa
Dengan matahari yang cukup untuk menghentikan gerimis hari ini
Yorushika : Left Right Confusion
Di Indonesia, nggak semua istri mengikuti nama suaminya ketika mereka resmi menikah. Terus di Indonesia, juga nggak ada peraturan khusus soal nama apa yang harusnya mereka pakai. Contohnya ada Aurelie Hermansyah yang alih-alih memakai nama Halilintar, malah menyematkan Atta di belakang marga Hermansyahnya. Kebanyakan wanita memilih untuk mempertahankan nama asli mereka. Toh sebagian besar juga tidak terlahir dengan nama marga yang spektakuler. Kani contohnya. Bintang pernah menyebut nama belakang Kani ―Rahinakala, dari bahasa jawa kuno artinya pagi― sebagai nama yang indah. Makanya Kani memilih mempertahankan nama yang menurut orang tuanya, suaminya dan dirinya sebagai nama yang cantik itu. Toh Bintang juga tidak memaksa.
“Aku nggak menikahi kamu supaya aku bisa mengganti namamu. Aku menikahi kamu karena aku pengen kita barengan sampai tua kemudian jadi abu,” Bintang bersungut-sungut sambil menggenggam erat jemari Kani di pesta pertunangan mereka, waktu Kani bertanya soal nama.
Bintang Somagraha sendiri kurang suka nama belakangnya. Hal itu dikarenakan mitos dan legenda orang Indonesia yang menakutkan soal gerhana. Bintang pernah bercerita, kalau suatu hari di kelas IPA waktu Bintang masih SMP, gurunya yang orang Bali menyinggung sebuah legenda saat mereka sedang belajar soal gerhana. Pokoknya, saat gerhana itu seorang raksasa jahat memakan sosok dewi bulan penghuni kahyangan gara-gara cintanya bertepuk sebelah tangan. Makanya terjadi gerhana, dan karenanya orang-orang di masa lalu sangat takut sama gerhana. Guru itu kemudian berceletuk, kalau nama belakang Bintang itu artinya gerhana bulan. Jadilah Bintang sempat dibercandai teman-temannya kalau kelahirannya mungkin terjadi saat raksasa jahat sedang memakan dewi bulan, makanya dia dikasih nama belakang gerhana bulan. Sebuah logika yang musti dilempar keluar jendela sebab jelas-jelas di sebelah Bintang ada Lintang, saudara kembar Bintang yang nama belakangnya Adityagraha, gerhana matahari. Yang lebih tidak berfaedah itu bukannya membela saudara kembarnya yang sedang teraniaya, Lintang malah ikut tertawa dan malah jadi yang paling keras membercandai Bintang soal raksasa pemakan dewi bulan.
“Kamu masih dendam soal itu?” Tanya Kani waktu Bintang bercerita soal peristiwa memalukannya waktu SMP. Bintang berkisah di bulan ketiga mereka pacaran. Cowok itu sedang berkunjung ke rumah Kani, dimana Kani saat itu sedang membantu Ibunya membikin kue untuk dijual.
Muka Bintang sepet sekali ketika dia melotot dan mengangguk. Kani tertawa kecil. Menyodorkan sepotong kukis hangat berbentuk bulan yang diterima Bintang sambil cemberut. Senyumnya mengembang sedikit begitu menelan kukis berperisa vanila itu.
Kani menyeka remah-remah kue di sudut bibir Bintang, “Orang tuamu pengen kamu sama Lintang punya nama yang mirip. Menurutku nama kalian berdua serasi dan cantik,” Kani berjinjit. Dagu Bintang dicium. “Tapi aku suka bulan. Jadi Somagraha lebih cantik.”
Ucapan Kani sukses membuat senyum tipis Bintang melebar.
Cowok itu tidak punya banyak kenangan soal orang tuanya. Bintang dan Lintang dibesarkan kakek mereka. Seorang pria jangkung bermuka gahar yang memiliki kedai mie legendaris di Sleman. Kedai mie itu terletak di sudut kota Sleman. Agak terpencil dan mendelep di antara rumah-rumah warga. Bangunannya terdiri dari empat lantai ruko. Lantai paling bawah digunakan sebagai kedai, tiga lantai lainnya tempat hunian. Bintang dan Lintang tumbuh disana sejak gempa tahun 2006 yang merenggut nyawa orang tua sekaligus kakak mereka. Kedai itu tidak punya nama resmi. Orang-orang mengenalnya sebagai Kedai Mie Lek Min. Nama singkatnya kemilimin. Lintang berhasil membuat kedai mie kakeknya mencolok dengan mengecat bangunan itu menggunakan warna merah menyala dan menggambar naga di dindingnya yang tidak tertutup bangunan rumah orang lain. Setiap lantainya juga penuh bunga. Kalau itu merupakan hasil kreasi Bintang yang sejak dulu suka merawat tanaman. Bugenvil dan bunga krokot memenuhi balkon. Menyembul keluar membuat tiga lantai atas Kemilimin warna-warni. Lantai dasarnya pun demikian. Kaleng-kaleng berisi bunga krokot yang kuat panas dan tahan banting berjejer. Beragam rupa dan warna membuat tempat itu secara nggak sengaja menjadi lokasi aesthetic yang juga disukai anak muda. Sore-sore di hari kerja begini, Kemilimin ramai penuh manusia-manusia kelaparan yang letih menjalani hari.
Kani menuntun sepedanya menuju Kemilimin. Menimbang apakah keputusannya untuk beli mie biang-biang disana benar atau tidak. Habisnya tempat itu ramai. Tadi Kani diberitahu Bintang kalau dia baru saja dipromosikan menjadi ketua divisi di kantor tempatnya bekerja. Sebuah prestasi yang tidak serta merta Bintang terima. Ketua divisi sebelumnya harus berhenti karena alasan kesehatan dan usia. Pria itu merekomendasikan Bintang yang dianggapnya kompeten dan mampu mengarahkan anggota divisi penelitian dan pengembangan yang lain. Pesan Bintang juga diserta sebuah foto yang menampakkan wajah plonga-plongo Bintang yang terlalu kaget. Foto itu diambil oleh Juni, teman satu divisi Bintang yang kemudian merebut hp Bintang dan mengirimi foto aib itu ke Kani.
Kani... fotonya tolong dihapus ya?
13.00 WIB
(Kani mengirim screenschoot foto Bintang yang udah terkirim di grup keluarga)
13.15 WIB
Read
(Bintang mengirim sticker Tanaka Ryounosuke sedang melakukan pose buddhashvita)
13.15 WIB
Ini hari besar. Jadi Kani langsung mengirim pesan ke Lintang. Memesan dua porsi mie biang-biang kesukaan Bintang dan berkata akan mengambil mie itu sore, sekalian dia habis pulang belanja.
Lintang selalu bilang kalau Kani bisa masuk lewat pintu samping―ada gang mini yang biasa dipakai Lintang menaruh motor disana. Di ujungnya ada pintu yang langsung mengarah ke ruang istirahat yang tembus ke dapur kedai, sekaligus tangga menuju lantai atas―, tapi Kani nggak enak sama pelanggan yang lain. Kecuali kalau dia datang kesana untuk main atau bantu-bantu gitu. Kalau agendanya mau beli sesuatu sih, beda cerita.
“Mbak Kani!”
Begitu Kani masuk ia langsung disapa oleh pelayan kedai, seorang cowok pendek bernama Salam yang punya senyum manis dan gesit ketika bekerja. Salam merupakan mahasiswa tahun ketiga salah satu PTN di Yogyakarta. Cowok itu berlari kecil menghampiri Kani. Tangannya penuh nampan berisi mangkuk kotor.
“Mas Lintang tadi udah bilang kalau Mbak Kani mau dateng. Mas Bintang dipromosiin ya?”
Kani tersenyum dan mengangguk kecil.
Pandangan Salam menyapu sekeliling kedai, “masih ada tempat duduk enggak ya―oh, ada-ada. Disana Mbak, duduk dulu ya. Masih ada pesanan yang harus diladenin dulu. Tapi santai, buat Mbak Kani sama Mas Bintang udah ada yang disiapin.”
Kani menurut. Duduk di meja yang ditunjuk Salam. Mengangguk singkat pada sebuah keluarga kecil yang menempati meja itu. Kani nggak menunggu lama. Mungkin ada sepuluh menit ketika Lintang menghampiri mejanya bersama plastik besar berwarna hitam.
“Ini... banyak,” kata Kani seraya memeriksa isi plastik. Ada empat bungkusan ekstra selain mie, pangsit dan gorengan yang Kani pesan. Lintang nyengir.
“Bonus dari aku sama Mbah. Bilang sama Ubin nanti jangan lupa kirim uang bulanan lebih kalau udah gajian.”
Kani tersenyum. Ia mengangguk pelan. Melambai pada Mbah yang membalas lambaiannya dari balik meja panjang yang menjadi tempat mereka memberikan mie pada pelayan yang bertugas mengantar pesanan.
“Hati-hati di jalan ya. Jangan sampai pecah plastiknya.” Kata Lintang yang mengantar Kani sampai depan.
“Mm. Pulang dulu Lintang. Terimakasih ya.”
“Yoi!”
Mie biang-biang adalah mie besar yang bahan adonannya sederhana. Sama seperti mie lainnya yang terbuat dari tepung kok. Yang membuat mie ini unik adalah bentuknya yang bisa membuat kamu kenyang hanya dengan memakan beberapa lembar. Nama biang-biang sendiri diambil dari cara pembuatannya yang digeplak-geplak ke meja. Dari sesi geplak-menggeplak itu muncul suara yang kemudian menjadi asal nama mie ini. Kemilimin menjual berbagai jenis mie. Mulai dari kwetiau, mie glosor, bihun, sampai mie biasa. Kemilimin sudah cukup terkenal waktu jenis mie yang dijual masih itu-itu saja. Namanya baru melonjak ketika mereka mulai menjual mie biang-biang ini. Bintang yang punya ide. Dia juga yang membuat resep dasarnya. Yang kemudian dibikin varias-variasinya oleh Lintang dan Mbah.
Sewaktu kuliah dulu, Kani punya hubungan yang tidak begitu baik sama makanan. Dia banyak membatasi diri karena masalah kesehatan, dan takut menghabiskan terlalu banyak uang untuk makanan. Kebiasaan dan ketakutan hebat Kani terhadap makanan itu, ajaibnya malah menciptakan resep mie biang-biang legendaris ini, sekaligus dengan tidak terduga membawa Bintang masuk ke dalam hidup Kani.
“Apa kamu suka nggak makan?” Tanya Bintang suatu hari saat mereka sedang beres-beres selepas menuntaskan sebuah acara bertajuk Bedah Buku, di tahun ketiga Kani sebagai mahasiswa. Jatah konsumsi Kani memang sama sekali nggak disentuh. Waktu yang lain makan, dia melipir pergi.
“....Maksudnya?”
“Aku nggak pernah lihat kamu makan di kantin atau di kampus. Kalau kepanitiaan konsumsi mu juga jarang dimakan. Apa kamu yakin kamu nggak sakit? Atau konsumsinya nggak sesuai sama seleramu?”
Bintang membuat kesalahan disitu. Dia bertanya di waktu yang salah dan nggak tahu kalau topik itu sensitif buat Kani yang sejujurnya, kewalahan mengendalikan diri soal makanan pantangan yang nggak boleh dia makan. Bintang juga tipe orang yang pendiam, tapi ketika sekalinya bicara, suaranya lantang. Ribut-ribut kecil disekeliling mereka berhenti. Para panitia yang sedang beberes, dicuri perhatiannya oleh Bintang dan Kani. Terutama para cowok, yang setelah mereka pacaran, Kani baru tahu kalau geng pertemanan Bintang itu udah tahu dari lama kalau Bintang suka sama Kani, Cuma nggak berani menyatakan langsung karena sifatnya yang pemalu, dan Kani yang sama-sama pemalu.
Para cowok itu senggol-senggolan. Udah mulai bersiul-siul gaje menggoda Bintang dan Kani yang mereka kira sedang flirting. Apalagi ini Bintang, jarang-jarang dia sampai seberani itu mendekati Kani biarpun cinta mati.
Kani yang mulai menyadari kalau atensi semua orang tertuju pada dia dan Bintang makin nggak tahu harus menjawab apa. Sayangnya, keterdiaman Kani malah membuat Bintang penasaran sekaligus khawatir.
“Kamu.... kamu nggak sakit kan?”
Kani tersentak mendengar kata sakit terlontar dari bibir Bintang. Gadis itu menengadah dan menatap Bintang dengan mata digenangi air sebelum dia menggeleng seraya menggigit bibir. Lantas kepalanya tertunduk menghindari tatapan Bintang.
“Beneran?”
Kani mengangguk pelan.
“Tapi kenapa kamu nggak makan?”
“....Kenapa kamu tahu?”
Bintang terdiam sebentar. Matanya melirik ke arah lain, “aku... memperhatikan?”
“Kenapa kamu memperhatikan?” Nafas Kani memburu, “kamu memperhatikannya kayak gimana sampai tahu aku makan atau enggak?” Kani tercekat. “....serem.”
Setelah itu Kani berlalu dari hadapan Bintang. Dia bertugas sebagai bendahara. Jobdesknya sudah selesai berhubung semua nota sudah terkumpul. Tinggal bersih-bersih ruangan yang biasa dilakukan seluruh panitia yang terdiri dari anggota divisi Pers dan Historiografi, serta beberapa anggota HIMA dari divisi lain. Hanya saja sore itu Kani nggak tinggal untuk bantu-bantu. Setelah berkata begitu sama Bintang, tiba-tiba dia pergi tanpa menoleh.
Kani nggak tahu apa yang Bintang rasakan waktu itu, dan mungkin teman-temannya berpikir kalau Kani baru saja bersikap terlalu dramatis sama orang yang mengkhawatirkannya.
Di tengah jalan menuju kos, Kani baru menyadari kesalahannya. Sontak Kani memegangi kepala. Merutuki dirinya sendiri yang kelewat drama.
“Ah.... aku udah kelewatan.... tadi itu nggak sopan..... kenapa aku ngomong kayak gitu?” racau Kani pelan.
Selama beberapa hari Kani nggak berani membuka HP. Kani berdalih sama Andini, temannya yang bertugas sebagai sekretaris kalau HPnya sedang error makanya dia nggak bisa dihubungi beberapa hari ini. Bagian LPJ yang menjadi tugasnya Kani serahkan ke Andini lewat flashdisk.
Di hari keempat, Kani menyerah. Dia membuka Hp dan menemukan baik grup divisi, maupun grup besar tidak ada yang membicarakan soal dia dan Bintang. Tidak ada juga pesan pribadi yang menanyai Kani soal peristiwa memalukan pasca pelaksanaan acara bedah buku itu. Meskipun demikian, Kani benar-benar malu dan merasa bersalah sampai dia nggak berani menatap ke arah Bintang yang satu kelas dengannya.
Beberapa minggu kemudian, tiba acara ulang tahun Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah. Ketua HIMA mereka, Hermansyah, mengumumkan di grup besar supaya mereka datang ke Kedai Mie Lek Min, alias Kemilimin. Kani udah sering mendengar tentang kedai mie ini tapi nggak pernah datang kesana karena takut kalap. Soalnya Kemilimin memang cukup terkenal memiliki beberapa resep mie legendaris yang pedas, gurih dan punya cita rasa khas. Harganya memang sesuai di kantong mahasiswa. Sayangnya ketakutan nggak wajar Kani terhadap makanan mengalahkan keinginannya untuk mencicipi makanan baru. Selain itu, Kani juga punya pengalaman nggak enak yang membuat dia sering merasa bersalah kalau kepikiran buat makan makanan enak di kota perantauan. Waktu kecil bibinya yang sekarang juga tinggal di Sleman, suka menghakimi Kani sebagai anak boros yang gemar menghabiskan uang untuk beli jajan. Kritik itu langgeng bahkan ketika Kani SMA dan awal masuk kuliah. Padahal Kani udah berusaha hati-hati sama apa yang dia makan dan mulai belajar memasak sendiri di perkuliahan. Hanya saja, yang namanya keluarga, kadang kritik serupa cemoohan yang belum tentu benar dari mereka tetap saja membuat kita kepikiran. Iya kan?
“Kamu dateng kan Kani?” tanya Andini waktu mereka keluar kelas habis menjalani kelas Pengembangan Lab.
“Ke acara ulang tahun HIMA yang di Kemilimin itu?”
“Heem. Kita punya orang dalem loh. Makanya dikasih diskon lumayan.”
“Orang dalem? Tapi apa nggak kasihan? Padahal harusnya kita bisa bayar full supaya bisa bantu kedainya.”
“Alah santai aja. Orang dalemnya itu cucunya Mbah Min. Mbah Minnya juga kemarin kebetulan lagi good mood makanya dibolehin. Ayolah, kapan lagi makan mie porsi gede pake bonus pangsit setengah harga?” jemari kurus Kani diraih. Andini tersenyum lebar sekali sambil menatap Kani penuh harap, “dateng ya Kani? Masa ulang tahun HIMA kamu nggak dateng? Udah diharap-harapin loh. Apalagi tahu kan Herman pengen HIMA angkatan kita beda sama angkatan yang kemarin? Ulang tahun HIMA angkatan kemarin pada nggak dateng Kan! Yang dateng Cuma PIPH, Herman, kamu, aku, sama Bintang. Masa kita yang seangkatan sama Herman dan udah dua periode bareng dia nggak bisa memberi dukungan paling kenceng buat niat baik Herman?”
Andini nyengir. Mendekatkan bibirnya ke telinga Kani, “sama kalau kamu khawatir soal kita merugikan Mbah Min, Herman sama PIPH udah pada bikin rencana mau meninggalkan hadiah diam-diam. Mahasiswa harus membantu menyejahterakan rakyat, iya kan?” cewek jangkung itu terkekeh-kekeh. “Makanya datengggg.”
Andini benar. Jadi biarpun takut dan khawatir, akhirnya Kani tetap datang.
Kani mematri dirinya di cermin sebentar. Takut terlihat terlalu heboh untuk datang di acara ulang tahun HMIS yang dilaksanakan pukul empat sore. Sekalian makan malam. Kani mengenakan terusan panjang berwarna biru dongker yang dihias bordir boneka beruang kecil di bagian bawahnya. Dipadu jaket lepis, karena musim hujan tahun ini benar-benar membuat Sleman nyaris sedingin Kutub Utara. Karena alasan yang sama juga, Kani membiarkan rambutnya digerai supaya telinganya hangat. Toh nanti ketika makan bisa diikat pakai scrunchie.
Dari kos Kani ke Kemilimin Kani harus berjalan kaki selama tiga puluh menit. Selama itu Kani merenung soal Bintang dan memikirkan bagaimana reaksinya kalau dia melihat Kani makan. Kani nggak paham kenapa urusan Kani makan atau enggak terkesan penting buat Bintang yang mengajak Kani bicara aja nggak pernah. Mereka nggak pernah sekelompok, nggak pernah berurusan waktu tanya jawab di kelas juga karena mereka sama-sama bukan mahasiswa yang aktif.
Kemilimin ramai. Bedanya kali ini ada sebuah meja panjang dan beberapa meja kecil yang udah direservasi. Diatas meja ada karton kecil bertuliskan nama-nama anggota HIMA. Ada sulapan panggung kecil yang disusun dari meja-meja disana. Ketika Kani tiba, anak-anak HIMA baru sedikit yang datang. Tipikal orang Indonesia, telat adalah jalan ninja. Meja itu sedang ditutupi karpet dan dipasangi mic. Andini yang juga udah datang bilang kalau Subur, ketua divisi mereka yang jago nyanyi ―alias anak Minat Bakat yang mentransferkan diri jadi penulis tanpa upah di Sanskerta― nanti mau konser kecil-kecilan bareng Herman dan Salaga, anak PH lainnya yang kalau boleh Kani mengibaratkan, mirip mochi lantaran bertubuh gempal, empuk dan semanis pasta kacang.
Andini dan Kani kebagian duduk di meja kecil untuk dua orang di sudut kedai. Lima belas menit kemudian, tepat pukul setengah lima, anak-anak HIMA sudah mulai ramai. Salaga mengawali konser dengan menyanyikan original soundtracknya sinetron Ikatan Cinta, setelah itu Kemilimin dibuat heboh oleh Subur dan Herman yang duet lagu Surat Cinta Untuk Starla. Para pengunjung yang bukan anak-anak HIMA juga turut terhibur menertawakan kekonyolan dan kelucuan si trio pencair suasana HMIS. Terutama ketika Herman ―yang sering Andini sebut sebagai Kahim tanpa wibawa― melantunkan kata instrumen saat di layar tancap yang mereka pasang dan memuat lirik lagu Surat Cinta Untuk Starla, muncul kata instrumen.
“Dasar cowok-cowok sadboy,” ketus Andini
“Kalau aku bukan sadboy ya?” tanya Hari, pacar Andini yang duduk di meja tepat di belakang cewek itu.
“Kamu sadboynya nanti kalau kita putus.”
“Yeu... bau-bau udah ada niat mau mutusin aku nih.”
“Iya dong kalau kamu berkhianat.”
“Mana ada―Ndin bagi pangsitnya dong. Kamu kok udah dapet pangsit aja.”
“Diet gembul! Badanmu lama-lama jadi paus nek kamu nggak diet-diet,” sembur Andini tapi tetap menyuapkan sebuah pangsit ke Hari.
Kani Cuma mengulas senyum tipis. Dia memandangi pangsit yang tersaji di meja tapi nggak menyentuhnya. Kani meneguk sedikit air dingin yang tadi dibawakan Salaga.
“Kaniii.”
Kani mengangkat kepala.
“Aku mau ke kamar mandi dulu ya?”
Kani mengangguk. Dia baru mau meneguk airnya lagi ketika air dimulutnya nyaris tersembur karena Andini menggandeng lengan Hari.
‘....Mereka mau ke kamar mandi bareng mungkin?’ kerutan di dahi Kani bertambah ketika bukannya berjalan ke pintu belakang, Andini dan Hari malah melangkah ke pintu depan. ‘Kamar mandinya gimana?―terus itu mangkuk pangsitnya dibawa?’
“Kani.”
Kani terlonjak ketika mendengar namanya disebut. Dia menoleh dan hampir jantungan saat menemukan dihadapannya ada cowok jangkung yang hampir sebulan ini dia hindari.
Bintang menatap Kani lamat. Butuh waktu beberapa lama bagi Kani untuk sadar dari keterkejutannya yang dipecahkan oleh tindakan Bintang yang merapikan semangkuk mie yang masih mengepulkan uap, sepiring pangsit, semangkuk kecil nasi dan piring lainnya yang berisi potongan buah. Keterkejutan Kani kembali. Dan dia cengo seperti orang bodoh saat Bintang duduk dihadapannya dengan wajah polos tanpa dosa. Seakan dia nggak baru aja muncul dihadapan Kani seperti hantu, mengenakan celemek, kaos oblong, celana training, dan melayani pesanan Kani.
“....Kani?”
Kani tersentak. Alisnya terangkat. Matanya membola, tubuhnya kaku. Tegang seperti arca batu. Dia masih kehabisan kata-kata makanya bibir Kani terkatup. Takut mengatakan sesuatu yang bodoh dan malah memperburuk keadaan.
Melihat Kani yang tampak seakan dia baru saja melihat hantu, Bintang menghela nafas.
“Aku tinggal dan kerja disini. Mbah Min itu mbahku. Itu... kalau itu yang membuat kamu bingung.”
Oh? Oh... ohhhh. Oh begitu! Kani mangut-mangut cepat.
“Ini... em...,” Bintang menurunkan pandangannya sedikit. “Ini... maaf sebelumnya kalau aku nggak menyajikan pesanan kamu. Ada resep baru yang pengen aku coba. Terus enaknya dimakan selagi hangat. Aku pengen kamu yang nyoba.... nanti kalau nggak enak aku bikinkan mie yang baru,” Bintang mengangkat kepala. “Aku udah membuat kamu tersinggung kemarin. Maafin aku ya? Aku... aku....”
Bintang menunduk dalam. Nggak bisa melanjutkan kalimatnya. Nyanyian Subur yang tengah melantunkan lagu Staynya Justin Bieber ―tapi pake logat jawa― menjadi musik latar yang mengisi keheningan sementara diantara Bintang dan Kani.
Bintang menelan ludah, “aku....”
“Memasak mie ini sambil memikirkan kamu.”
Bintang dan Kani sama-sama tersentak. Kani menoleh ke asal suara dan hampir kena serangan jantung ketika menemukan Bintang yang lain berdiri disebelahnya. Bintang yang ini berkacak pinggang. Menatap nyalang Bintang lainnya yang sekarang pucat pasi.
“―Lilin!”
“Kelamaan Ubin,” cowok yang dipanggil Lilin itu melotot. Matanya yang siap membunuh orang berubah hangat saat jatuh ke Kani yang hampir meloloskan jiwanya dari mulut, “halo Kani. Dimakan aja ya mienya. Nggak diracuni kok. Mie itu paling maksimal sedapnya kalau mereka disajikan panas-panas. Ayo dimakan. Anggep aja si ubin lantai ini nggak ada kalau dia membuat nafsu makanmu hilang.”
Kani bener-bener nggak tau dia ada di situasi yang seperti apa sekarang. Tapi ketika dia menatap Bintang untuk meminta penjelasan, laki-laki itu malah menatap Kani dengan tatapan penuh harap yang tidak pernah Kani lihat sebelumnya. Kani membeku sejenak. Sebelum tatapannya jatuh pada mie yang tadi disebut Bintang dan.... dan Lilin. Kani baru menyadari kalau mie itu aneh dan nggak seperti mie lain yang pernah Kani lihat. Mienya besar-besar, selebar penggaris. Kuah yang mengelilingi mie itu jernih. Ada sedikit lemak yang mengelilingi kuah. Telur rebus setengah matang, tahu bakso, jamur kuping, sawi dan toge berenang, ditata rapi menghiasi kuah jernih itu.
Kani menelan ludah. Mienya kelihatan enak. Mata Kani terangkat untuk menatap Bintang untuk yang terakhir kalinya, sebelum dia meraih sendok dan menyeruput kuah mie itu sedikit.
Mata Kani terbelalak. Sendok diletakkan, dia meraih sumpit dan melahap sedikit mie yang dengan cepat memenuhi mulutnya.
Bintang cemas. Kani makan lambat-lambat. Dan sekarang Kani menunduk. Ekspresinya tidak terlihat. Bintang takut dia udah salah meracuni anak orang. Cowok itu sudah mengulurkan tangan untuk menggoncang bahu Kani kala perlahan, kepala Kani terangkat.
“...Kani?”
“....Enak....,” setetes air mata gemuk mengalir di pipi Kani. “Enak banget...,” Kani terisak lemah, “udah... udah lama banget aku nggak makan makanan seenak ini....”
Bintang terperangah. Kembarannya yang baru mau berjalan menjauh saat Kani mulai makan seketika panik dan bergegas menghampiri mereka. Takut Bintang lepas kendali dan menganiaya anak orang. Sementara bulir-bulir air mata gemuk masih mengalir di pipi Kani.
Kani menyeka air mata di pipinya. Sedikit banyak malu karena lagi-lagi bersikap dramatis. Tapi Kani nggak bisa menahan diri. Cewek itu menyeka air mata di pipinya lagi dan lagi hanya untuk menemukan mereka mengalir tanpa mengenal bosan. Sampai tangan besar seorang pria terulur untuk menyeka bulir-bulir gemuk itu dengan lembut.
“Enak?” tanya Bintang, “mienya enak?”
Kani mengerjap. Ia mengangguk. Berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh lagi.
“Kalau begitu habisin ya,” Bintang meraih tisu di meja dan menyeka hidung Kani. “Dimakan semuanya. Sayurnya udah aku banyakin.”
Kani mengangguk lagi. Memakan lambat mie besar yang rasanya sedap tidak terkira itu. Bintang meletakkan pangsit di mangkuk Kani. Menyuruhnya makan nasi, dan menyingkap rambut Kani saat ia melihat helai rambut panjang Kani agak menghalangi Kani yang sedang makan.
Biarpun enak, Kani bukan orang yang bisa makan banyak. Kani ingin memaksakan diri menghabiskan semua makanan itu tapi Kani tahu dia tidak bisa. Jadi dia minta maaf sama Bintang yang Cuma menggeleng. Berkata supaya makanannya dibungkus aja, biar bisa Kani makan di rumah. Bintang setia menemaninya. Tidak berkomentar atau bertanya soal kenapa Kani menangis. Telinga Kani tuli dari suara-suara bising disekitar mereka. Kani kenyang. Dia sedang menyuruput air putih dingin yang sudah mulai menghangat pelan-pelan saat hujan turun.
“Kamu bawa payung enggak?”
Kani menggeleng tanpa menatap Bintang.
Bintang bergumam. Ia undur diri sejenak, sebelum kembali bersama sebuah payung besar. Celemeknya dilepas. Kani memandang Bintang sebentar. Menunduk lagi dan sama-sama nggak berkomentar. Membiarkan Bintang mengobrol sama cowok-cowok lain yang kadang silih berganti menghampirinya.
Satu persatu, anak-anak HIMA mulai pulang. Ada yang menerobos hujan. Ada yang merengek soal payung ke Bintang dan cowok Lilin yang ternyata punya nama asli, Lintang―Lintang tertawa jahat, “laki-laki sejati itu nggak takut hujan dan becek Subur. Ayo, buktikan kejantananmu”―. Banyak juga yang akhirnya pesen taksi online buat pulang bareng-bareng. Sebagian lainnya dijemput orang tua, kakak atau pacar mereka.
Bintang mengantar Kani pulang. Tidak seperti Kani yang anak rantau, Bintang yang lahir dan dibesarkan di Sleman bergumam pelan seraya mengedarkan pandangan di jalan. Cowok itu memayungi Kani sampai teras kos. Saat Kani menengadah untuk berterimakasih, Kani baru menyadari kalau bahu Bintang basah, sedangkan dia kering. Terlindungi dari hujan.
“Bahumu...”
“Bukan apa-apa. Aku tinggi. Makanya....,” Bintang nggak melanjutkan ucapannya waktu melihat Kani yang merasa bersalah, “nggak usah dipikirin. Aku nggak mau kamu kebasahan sama hujan.”
Kani mengerjap. Ia menundukkan kepala, “terimakasih banyak.”
“Sama-sama. Sama itu... nanti aku boleh ngechat kamu?”
Kenapa mau ngechat perlu minta izin segala?
Seakan membaca isi kepala Kani, Bintang berkata cepat, “soalnya aku suka sama kamu.”
“Hah?”
“Aku suka sama kamu,” wajah Bintang merah padam. Matanya dialihkan. Tidak berani menatap Kani, “buat aku chattingan sama kamu rasanya pasti beda soalnya aku suka sama kamu. Itu sama aja dengan kita mengobrol secara pribadi kan? Kayak bicara dua mata.”
Kani terperangah. Kata terkejut nggak cukup untuk mendeskripsikan apa yang dia rasakan sekarang. Bintang Somagraha itu terkenal pintar dan sengaja ditarik masuk ke PH karena dia rajin menulis artikel di Kompas Muda. Dari Subur, Kani mengetahui kalau Bintang sudah berkali-kali mengirim artikel ke Historia dan Tirto walau belum ada yang lolos hingga dipublikasi. Dia tekun. Kaku dan jarang bicara, tapi tekun. Selain itu,―Kani mencuri pandang sedikit ke Bintang yang masih menatapnya lekat― rasanya Kani ingin menenggelamkan diri di kawah gunung Tambora soalnya Bintang itu tampan.
Disukai oleh Bintang mungkin hal terakhir yang pernah tersemat di benak Kani.
Lama, Kani tidak menanggapi. Kepalanya penuh oleh banyak hal. Perlahan pipinya memanas. Ada merinding tidak masuk akal yang merambati Kani hingga Kani kesulitan merangkai kata-kata di kepalanya.
“....kalau mau chat, chat aja,” Kani berujar pelan. Jemarinya diremas. “Tapi aku jarang buka Hp... terus kata yang lain aku kaku banget kalau dichat.”
“Nggak apa-apa. Aku pengen tahu kabar kamu aja.”
Kani tersentak. Pandangannya diturunkan, “oke...”
“Kalau begitu aku pulang dulu ya?”
Kani mengangguk. Hujan udah mulai reda. Cowok itu baru berjalan langkah ketika Kani memanggil namanya.
“Terimakasih ya,” kata Kani. “Sama maaf soal yang kemarin. Aku udah kelewatan. Aku punya masalah kesehatan yang membuat aku nggak boleh kelebihan berat badan atau kesehatanku bakal memburuk. Makanya aku sensitif soal makanan. Aku nggak mau orang mengasihani atau memandang rendah aku, makanya aku bohong...”
“Kamu nggak salah. Wajar kamu takut. Aku juga udah nggak sopan. Tapi aku nggak bisa nggak memperhatikan kamu. Aku juga minta maaf.”
Bintang berlalu. Meninggalkan Kani yang masih membatu di teras kos. Kaki Kani terasa seperti dipaku. Ada banyak sekali hal yang terjadi malam itu sampai Kani nggak tahu harus melakukan atau memikirkan apa.
“Ah. Dia... nggak minta jawaban aku....,” Kani tercekat panik. “Dia... nggak sedang membercandai aku kan?”
Nggak. Bintang nggak bercanda. Cowok itu perlahan merangsek masuk ke kehidupan Kani. Membawakan Kani makanan setiap hari dalam porsi kecil. Membimbing Kani untuk terbuka sedikit demi sedikit soal penyakitnya yang membuat Kani khawatir dan ketakutan setengah mati. Hubungan mereka tumbuh lambat-lambat. Setengah tahun berlalu semenjak Kani menangis gara-gara mie bikinan Bintang, mie biang-biang itu menjadi resep legendaris Kemilimin yang paling laris manis dicari pembeli. Dalam waktu setengah tahun itu juga hubungan Kani dan Bintang tumbuh.
Bintang sudah menjadi bagian dari hidup Kani. Cowok itu menawarkan diri untuk mengantar Kani ke rumah sakit. Mendampinginya saat Kani berkonsultasi sama dokter. Dan tetap menyisir rambut Kani sambil tersenyum bahkan setelah dia melihat tubuh Kani yang tidak normal saat diperiksa dokter.
“Nggak apa-apa. Pasti ada jalannya,” Bintang menyeka air mata di pipi Kani yang termangu, menangis dalam bisu setelah mendapati hasil rontgen kemiringan tulangnya bertambah. “Jangan nangis ya. Maafin aku karena nggak bisa banyak membantu kamu.”
Kani menggeleng lemah. Air mata mengalir semakin banyak di pipinya. Bintang udah banyak membantu. Selama ini Kani selalu apa-apa sendiri. Pendidikan tak seberapa yang dimiliki orang tuanya membuat mereka tidak memahami kondisi Kani. Semenjak ada Bintang, Kani nggak sendirian lagi menghadapi ketakutan terbesar yang selama ini banyak menyiksa Kani dalam sepi.
Tahun ketiga perkuliahan mereka selesai dengan Kani yang menerima Bintang sepenuhnya sebagai pacar.
“Kani?”
Kani tersentak. Menoleh dan menemukan Bintang di ambang pintu dapur. Bintang sudah bukan pemuda lagi. Dia sudah jadi pria sekarang. Empat tahun berlalu sejak mie biang-biang khas Kemilimin tercipta dan sekarang, si pemahat resep legendaris itu sudah banting stir kerja jadi penulis, editor sekaligus pengawas di Kompas cabang Jogja.
“Bintang...”
“Kamu aku panggil-panggil nggak njawab. Ada apa?” tanya Bintang sambil menghampiri Kani yang tadi melamun ketika merapikan meja makan.
Kani menggeleng seraya mengulas senyum, “nggak kok. Jaket kamu basah―ah, hujan. Kamu hujan-hujan dari halte ke rumah? Padahal kamu bisa telfon aku supaya aku jemput.” Tangannya terulur membantu Bintang melepaskan jaketnya.
“Nggak kok. Hujannya turun di tengah jalan pas aku udah mau sampai rumah. Langsung deres hujannya. Kamu ngelamunin apa sampai nggak sadar di luar hujan?”
Kani mengulum senyum. Jaket Bintang diremas.
“Kamu,” katanya malu-malu.
Bintang terbatuk hebat. Kani tertawa pelan. Pria itu mengamuk sedikit karena sampai sekarang dia nggak terbiasa setiap kali Kani berbalik menggodanya.
Mereka makan besar sore itu. Fase dimana Kani nggak bisa makan apa yang di mau sudah berlalu. Tentu Kani masih harus hati-hati supaya nggak kalap dan makan terlalu banyak, tapi sekarang dia udah bebas. Kani bisa memasak untuk Bintang, membantu Lintang di kedai dan menemani Bintang makan makanan yang Bintang sukai.
“Enak?” tanya Kani saat Bintang melahap mie tebal itu sampai mulutnya penuh. Bintang mengangguk, matanya lebar penuh antusiasme anak kecil. Kani betopang dagu dan mengulas senyum, “pelan-pelan makannya. Nanti kamu keselek.”
“Kamu nggak makan?” Bintang balik bertanya setelah menalan mie gurih bikinan adik dan Mbahnya itu.
“Kamu makan seperti orang tuanya Chihiro di Spirited Away. Nontonin kamu makan bikin aku kenyang.”
“Ngawur kamu. Ayo makan, cepetan. Mie paling enak dimakan selagi panas.”
Kani tergelak pelan. Ia menurut. Meraih sebutir pangsit dan meletakkannya di mangkuk Bintang, sebelum meraih yang lain dan melahapnya sendiri. Kani sedang mengunyah mie ketika jemari Bintang terulur, menyeka rambut yang jatuh disisi wajahnya ke belakang telinga.
Mata mereka bertemu. Bintang tersenyum, Kani juga ikut tersenyum.
fin.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
