anak-anak laut.

0
0
Deskripsi

“Anak-anak laut yang mencintai samudra, Bahari. Berapa banyak dari mereka yang tersisa? Berapa banyak dari mereka yang memahami arti samudra yang sesungguhnya? Berapa banyak dari mereka yang mengetahui siapa sesungguhnya mereka? Jika kita tidak melakukan sesuatu, satu persatu, anak-anak itu akan musnah. Lenyap. Dan samudra itu akan ikut mati karena tidak lagi disayangi.”

Pernah dengar Banda Naira?

Kalau kalian nggak pernah dengar nggak apa-apa kok. Pamor Banda Naira memang sudah tidak seperti dulu. Dan perlu digaris bawahi kalau dulu disini itu, dulu yang dulu sekali. Ratusan tahun yang lalu. Waktu orang-orang kulit putih melakukan penjelajahan samudra. Mencari wilayah-wilayah yang bisa dikeruk kekayaannya. 

Banda Naira itu salah satu kepulauan di Indonesia yang kaya rempah-rempah. Kalau kalian mulai mempelajari sejarah jalur rempah Indonesia, kalian akan langsung tahu Banda Naira. Bagaimana ya menjelaskannya tanpa membuat kalian takut? Sederhananya, Banda Naira menjadi penting dalam sejarah rempah karena di kepulauan itu, orang-orang Belanda mengambil langkah-langkah ekstra untuk berkuasa. Mereka melakukan genosida. Dari sekian ribu penduduk asli kepulauan Banda Naira yang hidup dari melaut dan berkebun, yang tersisa cuma seribu tujuh ratus orang. Mereka disesakkan kedalam satu kapal yang konon katanya mengangkut mereka ke Batavia untuk dijual sebagai budak. Lalu, tidak pernah ada data resmi tentang apakah budak-budak itu tiba di Batavia semua. Pasti ada yang selamat. Cuma kalau jumlahnya dua ratus dari seribu tujuh ratus orang, kita nggak pernah tahu. 

Begitu Banda Naira bersih dari orang-orang asli, orang-orang Jawa mulai dikirim kesana untuk menggarap perkebunan milik Belanda. Dan untuk membuatnya sederhana, tentang kenapa aku mengawali cerita ini dengan membahas Banda Naira, adalah karena aku merupakan keturunan penduduk Banda Naira yang berhasil melarikan diri ke Maluku saat genosida terjadi. Sebelum kemudian kakek buyutku menikah dan pindah ke Sulawesi.

Aku tidak pernah merasa identitas ini istimewa. Sejarah leluhur sepahit itu malah membuatku merasa terbebani. Apalagi orang tuaku terbilang keras. Bapakku yang hidup dan tumbuh sebagai pelaut sudah menyeret aku ke samudra sejak aku tujuh tahun. Mabuk atau pingsan pun tidak masalah asal aku tetap berada di laut.

“Jangan mempermalukan nenek moyangmu Bahari! Lemah sekali kamu ini! Kalau kamu nggak bangun sekarang aku sendiri yang akan melemparmu ke laut agar jadi makanan hiu!” begitu seru Bapakku setiap kali aku terkapar lemah setelah muntah-muntah karena mabuk. Aku tidak tahu ini baik atau buruk karena seiring aku tumbuh, orang-orang mengenal aku sebagai salah satu jagoan penakluk laut yang selalu berhasil membawa pulang banyak sekali ikan, dan nggak mati walaupun sering terhempas ombak. 

Ketika tidak jauh dari rumahku ada kapal feri tenggelam, aku dan bapak yang paling banyak menyelamatkan korban. Usiaku lima belas ketika Bapak menendangku sampai jatuh dari tempat tidur. Berseru menyuruhku cepat-cepat bangun karena ada banyak nyawa yang harus kami selamatkan. Bapak mungkin termasuk gila kalau mengikuti standar kewarasan masa kini. Pria yang masih kekar bahkan setelah rambutnya memutih itu tetap menarik aku ke laut. Bahkan setelah aku menderita karena mimpi buruk berhari-hari sejak menyelamatkan korban-korban kapal tenggelam yang jumlahnya tidak sedikit.

“Jaman dulu lebih banyak orang yang mati di laut. Mati di laut itu hal biasa Bahari,” kata Bapak tanpa menatap aku yang termangu diujung lain kapal. “Tapi apa mereka bermuram durja selamanya? Tidak! Kenapa? Karena kehidupan jaman dulu lebih keras dibanding kehidupan lembek yang kalian anak muda jalani sekarang. Tidak ada gunanya menangisi orang mati lama-lama. Orang-orang harus tetap hidup dan menghadapi kematian itu. Mimpi-mimpi buruk itu. Penderitaan-penderitaan itu. Hapus kemurungan itu dari wajahmu atau aku akan melemparmu ke laut supaya kamu dimakan hiu!”

Bapak orang gila. Tapi mungkin aku juga. Karena setelah banyaknya kematian, pertemuan dengan hiu, tsunami dan gelombang ombak menakutkan, laut tetap menjadi bagian penting bagi hidupku. Aku tidak bisa hidup tanpa laut. Setiap hari aku selalu pergi ke pantai bahkan ketika seharusnya aku menghindari badai yang membuat gelombang laut naik hingga nyaris melahapku hidup-hidup. 

Saat usiaku tujuh belas, ribuan orang mati karena tsunami dan gempa bumi. Bapak dan Ibuku salah duanya. Keluarga-keluargaku yang lain juga. 

Lalu, apakah aku menghindari laut? Tidak. Aku tidak bisa. Bagaimana mungkin aku bisa? Bapak dan Ibuku mencintai laut. Ibuku yang ringkih dan lembut selalu menjemput kami di pelabuhan setiap kali kami beres melaut. Membawakan makanan dan memasak lagi di rumah untuk kami yang bau keringat dan amis ikan. Wanita yang paling tidak tega melihat aku diseret ke laut tapi tidak pernah membantah itu menyukai suara deburan ombak. Saudara-saudara sepupuku juga sudah melompat ke laut sejak mereka masih sangat kecil. 

Laut adalah banyak hal bagiku. Jiwa-jiwa keluargaku, jiwa-jiwa leluhurku, semuanya ada disana. Aku tidak mungkin membenci laut.

Lalu, laut juga yang mempertemukan aku dengan Soma. 

“Siapa dia?” tanyaku pada Lana ketika kapal kami mendekati pesisir. Usiaku sembilan belas. Dua tahun setelah aku sebatang kara, di hari yang terik tanpa sedikit pun awan di atas sana, aku melihat seorang gadis bersurai pirang berdiri dibawah salah satu pohon rindang di tebing karang. Gaun batiknya berkibar. Rambutnya menari diterpa angin. Dia berdiri tinggi diatas kami. Satu tangannya yang putih berpegangan pada batang pohon. Lana membersihkan kacamatanya dan memakainya lagi.

“..... Hantu ga sih bro?”

Bukan... gadis pirang itu bukan hantu. 

Ketika aku tiba di rumah, sudah ada beberapa pria mengenakan pakaian tradisional Jawa dan seorang wanita paruh baya berkebaya. Rambutnya disanggul dan dihias tusuk emas bunga-bunga. Wanita itu yang bicara. Bahasa indonesianya diwarnai logat Jawa.

Mereka berasal dari Keraton Yogyakarta.

“Menikah?” aku tidak mempercayai lidahku sendiri.

Sri Karunia Mawarahisi, salah seorang putri keraton, mengangguk lembut.

“Benar.”

“Apa yang kalian inginkan dariku?” tanyaku tanpa basa-basi. “Aku tahu orang-orang seperti kalian nggak menikahi rakyat biasa secara cuma-cuma.”

Aku resah. Mereka datang jauh-jauh dari Jawa ke Palu. Buat apa? Buat mengabari aku kalau mereka ingin aku menikahi salah seorang gadis keraton? Jika ini mimpi sinting lainnya tolong bangunkan aku. Semua ini terlalu gila untuk menjadi kenyataan.

Sekolahku sampai SMA. Tidak tamat pula. Nilai sekolahku jeblok. Aku cuma tahu laut dan sejarah karena Bapak akan membunuhku kalau aku tidak menguasai keduanya. Aku bukan orang istimewa. Bukan siapa-siapa. Ada banyak orang istimewa di dunia ini, tapi aku bukan salah satunya.

Kalau aku istimewa, pasti aku sudah menyelamatkan keluargaku dari maut.

“Kamu bukan orang biasa Mas,” katanya. Kemudian mengeluarkan sebuah kotak beludru dari dalam tasnya. Dengan hati-hati membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah kertas lusuh. 

Sebuah silsilah tua. 

Ia berkata kalau aku itu keturunan raja yang berkuasa di pulau gunung api. Salah satu pulau penting di Banda Naira yang membawa kesuburan dan bencana bagi penghuninya. Aku menelan ludah. Teringat bagaimana Bapak bangga sekali setiap mengenang leluhur kami yang menguasai pulau gunung api ratusan tahun yang lalu. Aku berusaha menyangkal. Mengatakan kalau mereka pasti salah orang. Tetapi mereka bersikeras. 

Suaraku hilang ketika pintu rumahku diketuk pelan. Tanpa ada yang mempersilakan, pintu itu terbuka perlahan. Soma, gadis pirang yang kulihat di atas tebing muncul sedikit demi sedikit. Bertelanjang kaki mengenakan gaun batik bunga-bunga. Kulitnya seputih awan. Rambutnya seperti gulungan ombak emas. Matanya sehitam arang. Tanpa diberitahu pun aku langsung bisa menyimpulkan kalau dia orangnya. Gadis keraton yang akan jadi istriku jika aku setuju.

Sri Ina Toyadhi Soma Rajawarta-Ricklefs (gusti, menakjubkan sekali aku bisa ingat namanya yang susah setengah mati) nggak banyak bicara. Gerakannya halus dan anggun. Benar-benar seperti putri sungguhan. Sesekali ia bersuara pelan ketika Sri Karunia mengajaknya bicara. Selebihnya, Soma duduk. Menundukkan pandangannya, atau menatap aku sebentar. 

Penolakanku lenyap. Terutama setelah malamnya Soma menemuiku. Menunggu aku yang baru pulang dari masjid didepan rumah dengan tubuh dibungkus selimut. 

“Apa yang kamu lakukan disini?”

“Memberimu sesuatu,” katanya pelan. Soma meraih bungkusan kain batik yang ia letakkan di kursi dan mengulurkannya padaku. Bungkusan itu melindungi sebuah kotak. Didalamnya ada sebuah kain batik berwarna biru lazuardi yang motifnya serupa ombak. 

“Aku membuatnya sendiri,” Soma berujar lirih. “Laut itu penuh harapan dan ketakutan. Dua emosi paling primitif yang dimiliki manusia. Kamu, dari sekian banyak orang seharusnya paling mengetahui itu,” Soma menatapku.

“Apakah kamu masih mencintai laut Bahari?”

“Kenapa kamu menanyakan itu?”

“Karena Mama masih mengunjungi pantai setiap hari. Bahkan setelah laut merenggut Papa dari kami,” tatapan Soma melewatiku. Menerawang mengenang kepahitan.

Anak-anak laut yang Papa banggakan, Papa sering berkata begitu. Bukan sekali dua kali Papa hampir berhadapan dengan maut saat menyelami samudra. Mencari kepingan-kepingan sejarah yang tersembunyi didalamnya. Berpergian di sepanjang pemukiman pesisir. Mengumpulkan tradisi lisan yang masih tumbuh di masyarakat. Menyimpannya. Menulisnya menjadi buku yang sampai sekarang lebih banyak dibaca orang-orang Eropa dibanding bangsa pelaut itu sendiri.

“Aku bukan siapa-siapa. Bukan Papa yang mengabdikan hidupnya pada rahasia samudra. Bukan juga Mama yang kuat. Setia mendampingi Papa dan masih berusaha memenuhi impian-impian terakhir Papa. Bahkan jika seharusnya aku terlahir istimewa, pada akhirnya aku masih bukan siapa-siapa. Keturunan bangsawan itu hanya titel. Perbedaannya hanya ada pada kenyataan kalau bebanku untuk membalas budi pada leluhurku itu lebih berat,” Soma menatapku lamat. “Tapi aku tidak ingin menganggap kewajibanku beban. Jika kamu berpikir dirimu tidak istimewa, maka aku pun sama. Tapi meski begitu, aku ingin percaya pada impian Papa. Bahwa suatu hari, bangsa yang membelakangi laut ini bisa kembali ke pelukan samudra. Menjadi Nusantara yang mencintai laut. Bukan lagi Indonesia yang penghuninya hidup tanpa sejarah.”

Soma menautkan jemarinya yang gemetaran. Dia berusaha menarik senyum yang terlihat letih dan penuh permohonan. Ada ketulusan di matanya yang juga diselimuti kepahitan. 

“Keluarga, Bahari. Segala sesuatu yang orang tua kita ajarkan. Kepahitan laut beserta harapan yang menyertainya. Para leluhur yang mengawasi kita diatas sana. Tradisi yang sudah ada bersama kita sejak lama. Semua itu akan hilang jika kita tidak meneruskannya,” ada keberanian menyakitkan di mata Soma. 

“Anak-anak laut yang mencintai samudra, Bahari. Berapa banyak dari mereka yang tersisa? Berapa banyak dari mereka yang memahami arti samudra yang sesungguhnya? Berapa banyak dari mereka yang mengetahui siapa sesungguhnya mereka? Jika kita tidak melakukan sesuatu, satu persatu, anak-anak itu akan musnah. Lenyap. Dan samudra itu akan ikut mati karena tidak lagi disayangi.”

Aku kehilangan suara untuk kesekian kalinya hari itu. 

Semua ini lebih rumit dari yang kalian kira. Ada surat-surat dari Papa Soma berisi keadaan masyarakat pesisir beserta sejarah yang mereka simpan. Yang selain menghangatkan hati juga menyakiti karena orang-orang ini tidak semestinya menderita. Para pelaut hebat yang mengetahui banyak rahasia. Yang banyak diantara mereka sudah renta tetapi masih bangga pada para penakluk samudera yang telah mendahului kami semua.

Ada banyak orang-orang mengagumkan di negeri ini yang tidak memiliki tempat di dunia atas karena sengaja disingkirkan. Apa gunanya identitas di dunia baru yang hanya membutuhkan pekerja dan upah? Apa gunanya identitas dan sejarah ketika itu tidak bisa membantumu bertahan hidup?

Soma yang kusayangi menulis buku seperti Papanya. Laut yang Soma cintai ada di novel-novel, dongeng-dongeng dan cerita-cerita yang ia tulis. Soma tahu dia harus meneruskan impian Papanya untuk turut mendorong bangsa ini agar tidak lagi memunggungi laut. Tidak lagi membelakangi para leluhur kami yang pasti sudah berguling-guling di kuburan mereka, dimanapun jasad mereka bersemayam. 

Aku menemukan diriku sendiri mengiyakan pernikahan itu. Sebuah pilihan riskan? Memang. Aku tahu. Tapi aku percaya pada Soma yang uluran tangannya aku terima dan balas aku genggam. 

Sayap Soma patah satu. Sayapku patah dua. Orang tua kami. Aku tahu ini yang diinginkan Bapak. Bapak dan Ibu mengajari aku untuk menderita. Untuk hidup bersama penderitaan itu karena tanpanya, kami bukan manusia. Orang tua Soma mengajari putrinya agar menjadi Ibu yang baik. Dengan tegas dan penuh kasih mengingatkan lagi dan lagi, bahwa keluarga yang kuat adalah segalanya.

“Itu bukan hal yang mudah,” kata Soma suatu malam. Terdengar takut dan tidak tahan.

“Bukan berarti mustahil,” aku menyingkap helai rambut pirangnya ke belakang telinga. Gadis yang semula menunduk itu perlahan mengangkat kepalanya. Menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca.

Bukan hal yang mudah. Soma benar. Beban Soma lebih berat karena Ibu adalah bahtera tempat kami berlayar. Ada banyak hal yang harus kami lakukan. Pada putri sulung yang aku bawa ke laut setiap hari. Pada putra kami, anak kedua yang suka mengumpulkan kerang-kerang mati. Pada dunia yang tidak berbaik hati pada orang-orang yang berusaha melawan arus globalisasi.

“Suatu hari, kita harus mengunjungi pulau gunung api,” kataku pada Soma yang berbaring di dadaku. “Anak-anak harus melihatnya sendiri. Benteng segi lima, kuburan pahlawan orang kaya,” aku menjeda. “Banda Naira.”

Aku merasakan Soma mengangguk. Pasti dia letih setelah seharian mengurus anak ketiga kami (perempuan, lincah sekali dan suka melipir ke pantai tanpa permisi). Aku juga sama letihnya. Laut hari ini ganas. Aku dan putraku sampai harus pulang lebih cepat. Itupun kami sampai rumah terlambat karena sempat kehilangan arah.

Mataku berat. Telingaku dipenuhi suara ombak yang selalu ada disana sejak aku bocah.

Ketika aku memejamkan mata. Aku melihat Bapak sedang menyeret putraku ke laut seperti yang beliau lakukan padaku puluhan tahun yang lalu. 

Pemandangan itu lucu. Makanya aku tersenyum dan menghampiri mereka. Sambil tertawa ikut menyeret putraku yang meronta-ronta. Mengulurkan tangan pada Soma yang bersama kedua putri dan ibuku, melambai pada kami dari dermaga.

Anak-anak laut yang aku banggakan. Putra dan putri-putriku yang tumbuh bersama ikan-ikan. Laut tidak sepenuhnya menyakitkan, iya kan?

fin.

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya aljernon.
0
0
Tiba-tiba Kalbu merasa marah sekali. Di memorinya terputar banyak momen dimana Dara mengatakan sesuatu seakan dia mengucapkan sesuatu yang bijak padahal biasa saja. Dia membuat perkataannya terdengar bijak karena Dara itu polos. Karena dunia belum pernah menyakiti dara sebagaimana mereka menyakiti kalbu sampai segila ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan