Virus #NeoJKTFicContest

0
0
Deskripsi

Neo Jakarta digemparkan dengan ditemukannya tas mencurigakan di tengah kerumunan orang saat jam pulang kerja di stasiun Blok M. Selama ini kehidupan di Neo Jakarta terbilang damai dan harmonis karena pergerakan semua orang bisa diketahui, diawasi dan dikendalikan oleh sistim yang canggih. Tetapi kali ini seseorang berhasil meninggalkan tas yang isinya menggemparkan banyak orang itu tanpa diketahui. Hal ini mencoreng wibawa wajah pemerintahan. Ternyata tas itu bukanlah tindak iseng biasa tetapi awal...

NEO JAKARTA, Tahun 2030.

Langkah-langkah kaki bersepatu lars itu bergerak dengan cepat dan sistimatis. Menaikki tangga-tangga darurat di sebuah apartemen tanpa menimbulkan suara yang berisik. Naik dari lantai satu hingga sampai di lantai tiga. Seorang satpam yang baru selesai menghabiskan sebatang rokoknya terkejut ketika melihat segerombolan polisi anti teroris tengah bergerak dalam senyap. Wajah satpam itu seketika berubah pucat. Seorang polisi menempelkan telunjuknya di bibir memberi tanda pada satpam itu untuk tidak berteriak. Satpam itu mengangguk-ngangguk mengerti. Polisi itu menyuruh satpam tersebut untuk turun maka satpam itu pun bergegas turun dengan cepat ke lantai bawah.

  “Kapten, kami sudah di lantai tiga, lift dimatikan, parameter sudah aktif,” bisik polisi itu pada komandannya dari alat komunikasi yang diletakkan di telinganya. “Lakukan penangkapan tanpa gaduh, berdasarkan sinyal teleponnya, tersangka masih ada di kamarnya,” balas sang kapten. “Siap Kapt, lakukan.” Setelah itu alat komunikasi dimatikan. Kelompok polisi itu membagi kelompok. Tiga orang mendatangi kamar dan satu orang ditinggalkan di tangga darurat untuk berjaga.

Sementara itu, di sebuah kamar apartemen.

Seseorang yang menggunakan topi baseball berwarna biru, bermasker wajah dan dalam balutan jaket hitam berhoodie tengah mondar-mandir gelisah di dalam apartemen yang gelap. Berkali-kali ia berdecak lalu mengumpat kesal. Berkali-kali juga ia mengecek telepon genggamnya yang merupakan versi MIX 3, telepon keluaran terbaru dari Mu sebuah brand telepon genggam terkenal di kota Neo Jakarta, tetapi itu pun membuatnya mengumpat kesal sepertinya ada sesuatu yang membuatnya menunggu tapi tak kunjung datang. Nada dering telepon genggamnya akhirnya berbunyi, orang itu segera mengangkat teleponnya, sepertinya itulah yang ditunggunya sedari tadi. Ia tak bicara hanya mendengarkan suara dari ujung telepon sana yang berbicara gugup dan cepat. 

“Bang! Lo harus keluar sekarang! Matiin hape lo, hape lo disadap!”

Belum lagi telepon dimatikan terdengar pintu apartemennya digedor keras. Orang berjaket hitm itu mematikan dan mengantongi teleponnya lalu bergegas mengintip dari lubang pintu apartemen. Dilihatnya tiga orang polisi anti teroris tengah berdiri di depan pintunya. Fak! Umpat hatinya. Pintu digedor kembali tapi tak ada tanggapan. Tak kunjung dibuka pintunya maka seorang polisi mengeluarkan sebuah alat yang terbuat dari logam berukuran kecil dan memasukkannya ke dalam lubang kunci. 

Melihat hal itu, orang berjaket hitam itu bergegas keluar balkon, melongok ke bawah. Tampak beberapa polisi berjaga di bawah. Ia kemudian mendongak ke atas dan dengan cepat ia menaikki pagar balkon untuk meraih lantai balkon di atasnya. Dengan hari telah malam serta pakaian serba hitamnya dan pergerakannya yang lincah tanpa suara, membuat tak satu pun polisi di bawah menyadari ada orang sedang merayapi satu persatu balkon menuju lantai paling atas apartemen untuk melarikan diri. 

Di dalam lubang kunci, setelah ditekan tombol on maka logam kecil tadi bergerak berputar menyesuaikan ukuran kunci pintunya dengan otomatis lalu menjadi pengait dan pembuka kunci pintu unutk membuka kunci tanpa merusak pintunya. Sebuah teknologi canggih dalam dunia perkuncian. Setelah terdengar suara ‘clek’ maka pintu pun bisa dibuka. Ketiga polisi itu menyeruak masuk ke dalam kamar apartemen untuk mencari orang yang diburunya tetapi kamar apartemen sudah kosong.

Seorang polisi melangkah cepat ke balkon melihat ke bawah lalu mendongak ke atas. Ia mengeluarkan senternya dan terlihatlah sebuah bayangan hitam sedang merayapi satu balkon terakhir di lantai tujuh. “Sial! Dia di lantai tujuh!” teriaknya. Dengan cepat para polisi itu berlari keluar untuk mengejar. Orang berjaket hitam itu sudah sampai di rooftop. Ia mengatur nafas sebentar dan melirik pada ujung gedung ketika mendengar suara mesin. Sebuah drone terlihat melayang mendekatinya.

Tak berpikir dua kali, ia segera berlari bersamaan dengan pintu rooftop yang terbuka dan muncullah ketiga orang polisi yang tadi mengejarnya dengan nafas terengah-engah. “Itu dia!” teriak seorang polisi. Ketiga polisi itu pun mengejarnya. Drone itu pun mengikuti lari orang berjaket hitam tadi. Langkah-langkah kaki orang itu sangat gesit dan terlatih. Ia melompati semua rintangan yang ada di rooftop gedung dengan mudah.

Seorang polisi mengeluarkan senjatanya dan membidiknya tetapi seorang polisi mencegahnya. “Bukan itu perintah kita Bro,” ucapnya. Maka senjatanya disarungkan lagi dan mereka kembali mengejar orang berjaket hitam itu. “Dia akan terjebak di depan sana, dia ga akan berani melompat ke gedung sebelah,” kata seorang polisi dalam larinya. 

Orang berjaket hitam itu menghentikan larinya saat sudah berada di sisi gedung. Ia melihat ada jarak sekitar tiga meter yang memisahkan antara gedung di mana ia berdiri dengan gedung di seberangnya yang lebih rendah, sedang di belakangnya terlihat tiga orang polisi itu yang mendekat. “Lihat benar ‘kan kata gue?” kata polisi tadi senang karena dugaannya tepat. “Berhenti! Serahkan diri Anda kami tidak akan menyakitimu!” teriak seorang polisi pada orang berjaket hitam yang sedang berdiri di sisi gedung itu. 

Orang itu berdiri tenang meski angin bertiup cukup kencang hingga menggoyangkan kabel-kabel listrik di sekitarnya. Orang berjaket hitam itu melirik pada ketiga polisi yang sudah dekat dengannya juga pada drone yang terus terbang di sekitarnya. 

Ia mengacungkan jari tengahnya pada drone itu lalu kakinya menapak mundur beberapa langkah dengan cepat. “Apa yang dilakukannya?” kaget seorang polisi. Lalu tanpa aba-aba pria berjaket hitam itu berlari dan melompat dalam ancang-ancang yang pendek. “Udah gila dia!” teriak seorang polisi. Orang berjaket hitam itu melayang di udara melewati jarak tiga meter itu dan di bawahnya terlihat orang-orang sedang berlalu-lalang. 

“Dia ga akan sampe di seberang ancang-ancangnya terlalu pendek!” cetus seorang polisi yang tak percaya melihat perbuatan nekat itu. Dan benar saja, tubuh orang berjaket hitam itu menghantam sisi gedung karena kakinya tak berhasil mencapai tepiannya tetapi beruntung kedua tangannya sempat mencengkeram tepi gedung itu membuatnya tak terjatuh dan hanya bergelantungan di ujung gedung. 

“Dia beruntung!” geleng-geleng seorang polisi. Orang berjaket hitam itu dengan cepat mengangkat tubuhnya dengan mudah lalu menaiki tepi gedung dan menghilang di kegelapan rooftop gedung seberang. Drone pun hanya berputar-putar di atas rooftop gedung yang gelap dan sedang direnovasi itu kehilangan jejaknya. “Lincah, berani dan nekat, siapa dia?” gumam seorang polisi bertolak pinggang.

***

KILAS BALIK.

Seminggu sebelumnya.

Sore hari saat itu di stasiun Blok M. Seorang pria dengan codet di dekat alisnya telah memakai masker wajahnya. Ia berpakaian rapi dengan kemeja dan dasi lalu berjalan santai di antara kerumunan orang-orang yang baru saja pulang bekerja. Ia membawa sebuah tas ransel berwarna hitam yang digantungkan di bahunya. Matanya memerhatikan kamera-kamera CCTV dan petugas-petugas keamanan stasiun saat menempelkan kartu masuk stasiun pada mesin pembaca. Ia mengendurkan sedikit dasinya agar bisa bernafas lepas dan membuatnya tak terlalu tegang. Setelah pintu masuk terbuka, ia berjalan memasuki stasiun lalu membuang kartu masuk tadi ke tong sampah. 

Di dalam stasiun ia disambut keramaian orang saat pulang kerja. Semua orang hilir mudik kesana kemari. Pria itu melewati banner-banner berlampu yang menempel di dinding-dinding stasiun bertuliskan “Orpo Inno Day 202”. Banner-banner promosi sebuah acara inovasi teknologi yang diadakan oleh sebuah merk teknologi terkenal di Neo Jakarta, bernama Orpo. Pria itu berhenti sebentar di depan sebuah banner untuk memantau sekitarnya. Dengan tenang, tangannya menyelipkan sesuatu di belakang banner setelah itu ia melanjutkan langkahnya lagi di antara keramaian orang.

Tak jauh dari situ seorang pria muda bertubuh tinggi ramping berusia sekitar 25 tahun, bercelana jeans biru gelap, memakai sepatu kets dengan kemeja kotak-kotak berbahan flannel bercorak hijau merah yang kancingnya dibiarkan terbuka sehingga menampakkan kaos dalamnya yang berwarna hitam bertuliskan “The Doors” tengah berjalan. Ia melintasi pria berkemeja dan berdasi tadi.

Pria itu mengangkat teleponnya seraya mengusap rambut ikalnya yang dibiarkan tergerai panjang dan sedikit kusut bak Jim Morrison, wajahnya pun sepintas mirip vokalis The Doors tersebut. “Iya gue udah di stasiun Blok M,” ucapnya pada seseorang di ujung telepon sana sembari menaikkan kembali tas ranselnya ke atas bahu yang sebelumnya merosot itu. Ia diam sebentar mendengarkan suara di sana lalu berkata lagi sambil terus berjalan. 

“Nungguin di mana? Di Café Techno? Ga … gue mau ngopi di sini aja, di Fast Coffee … iya langganan gue … males gue di café sono … baristanya mesin dan robot … mending di coffee shop ini ajalah Dot, gue bisa ngobrol-ngobrol sama baristanya yang masih manusia,” kata pria itu, “ok gue tungguin kalau lo mau kesini.” Setelah itu telepon dimatikan, pria berambut ikal itu melanjutkan langkahnya menuju Fast Coffee, salah satu dari sedikit coffee shop yang masih memiliki barista manusia di Neo Jakarta ini.

Pria dengan codet di alis tadi naik ke lantai dua lalu mengangguk-ngangguk sendiri seakan mengatakan pada dirinya kalau di sinilah tempat yang tepat. Ia berdiri tak kemana-mana di antara orang yang berlalu lalang, seakan menunggu sesuatu.

Di Fast Coffee, pria berambut ikal yang sedang duduk mensesap kopinya itu terkejut ketika seorang teman mengagetkannya. “Dor!” Pria berambut ikal itu nyaris menumpahkan kopinya. “Bangke lo Dot! Kaget gue!” kesalnya pada temannya yang baru datang. Dodot tertawa, berkata, “Heh Jagat Satria, makanya jangan ngelamun jorok lo.” Pria berambut ikal yang bernama Jagat Satria itu mendengus kesal. Dodot pria yang memiliki perawakan tubuh tak jauh berbeda dengan Jagat itu meletakkan tas ransel yang dibawanya di atas meja kemudian memesan secangkir kopi tubruk Bajawa Flores pada seorang pelayan lalu duduk di sebelah Jagat. “Gimana, lolos?” tanyanya. Jagat meneguk kopi Java Preanger-nya terlebih dulu lalu menggeleng.

“Mereka menolak karya-karya gue. Susah Dot kalau semua sudah menggunakan AI, karya seni yang mengekspresikan perasaan indvidu seperti yang gue buat jadi ga dihargai. Sekarang dengan mudahnya orang membuat sesuatu dengan AI, sentuhan personalnya ga ada, keterlibatan perasaannya jadi hilang … tapi di kota ini malah itu yang dihargai …” keluh Jagat.

“Creators?” 

“Ya seperti mereka-mereka itu … bermodal ketenaran lalu membuat karya dengan bantuan AI, melemparnya ke pasar, membuat pasar sulit membedakan karya mana yang bisa dinikmati karena dibuatnya pake hati, atau sekadar hasil dari proses yang cpat, mudah dan generik!”

“Apa lo ga mau nyoba menggunakan tekhnologi itu juga untuk membuat karya seni musik lo? Mungkin akan menjadi lebih modern dan futuristik gitu,” saran Dodot. “Engga dulu Dot, untuk beberapa hal lain mungkin kemajuan teknologi di kota ini gue suka, tapi ga untuk yang satu ini,” tolak Jagat. Dodot manggut-manggut. “Kadang gue setuju sama Ultra, di stream-nya dia banyak mengkritik hal ini,” sambung Jagat. “Lo masih dengerin stream-nya dia?” tanya Dodot seraya menyerahkan kartu pembayaran cashless pada pelayan untuk membayar kopinya. 

Di Neo Jakarta, hampir semua pembayaran dilakukan dengan cashless. Pelayan itu pun meletakkan kopi pesanan lalu men-debit kartu pada alat pembayaran yang dibawanya. Dalam hitungan detik, pembayaran itu selesai dan kartu dikembalikan lagi pada Dodot. Dodot meneguk Kopi Bajawanya yang kental dan sedikit asam itu. 

“Ultra itu suara keberpihakan pada kita yang tergerus kemajuan teknologi, dia pengkritik keras kebijakan-kebijakan pemerintahan Neo Jakarta bahkan dia berani speak up soal NI yang memegang data warga Neo Jakarta ini, sehingga kehidupan kita mudah dideteksi dan nyaris tanpa privasi!”

“Sebagian orang mendukung dia tapi sebagian orang tidak menyukainya.”

“Udah ketebaklah, orang-orang kelas atas yang tidak menyukainya, bukan orang-orang kelas bawah yang mengerjakan pekerjaan clerical macam kita Dot, pekerjaan receh yang dianggap ga penting sama orang-orang kelas atas itu.”

“Terus apa yang akan lo lakukan dengan semua ceramah dan doktrin yang udah lo dapetin dari Ultra?” tanya Dodot. “Membuat robot-robot dan AI itu pensiun!” jawab Jagat. Dodot tertawa. “Gat, ini Jakarta tahun dua ribu tiga puluh, di mana semua sudah berbasis teknologi … lo ga akan bisa melawan gelombang kemajuan teknologi, lo ga bisa mengalahkan teknologi Jagaaaat.”

“Yang bilang mau mengalahkan teknologi siapa?” balas Jagat santai. “Trus lo mau ngapain?” bingung Dodot. “Teknologi ga bisa dikalahkan tapi bisa dimatikan … di-shutdown!” jelas Jagat mengangkat-ngangkat kedua alisnya dengan tawa yang lebar. “Udah gila lo ya, kebanyakan dengerin stream-nya Ultra jadi ngehayal, lo pikir gampang nge-shutdown teknologi di kota ini?” geleng-geleng Dodot. Jagat tersenyum yakin. “Lo ‘kan kerja di pusat data NI, lo pasti tahu letak server-nya, pasti ada di gedung lo itu bukan? … Nah kalau itu bisa di-shutdown maka … bam! Robot-robot dan teknologi AI itu jadi kayak gini,” lalu kepala Jagat menunduk dan tangannya terjulur kaku. “System down, system down,” ucap Jagat seperti suara robot. Dodot tertawa.

Sementara itu di ruang kendali CCTV stasiun Blok M.

Seorang pengawas CCTV di ruang kendali memerhatikan seorang pria yang berdiri diam tak bergerak. Ia menghubungi petugas keamanan stasiun yang berada di lapangan. “Pada petugas lapangan, coba tolong dicek di lantai dua jalur satu, ada seorang pria memakai masker, memakai kemeja berdasi dan membawa tas ransel … sejak tadi dia hanya berdiri di situ sementara orang-orang lainnya bergerak, mencurigakan sekali, apalagi tas ranselnya … coba dicek, sekali lagi coba dicek …” ucapnya.

Petugas keamanan stasiun yang menerima informasi itu dengan mudah menemukan pria yang dimaksud. Pria itu melirik pada kedua petugas keamanan stasiun yang mendekatinya. “Maaf Pak, apa yang sedang Bapak lakukan dari tadi berdiri di situ?” tanya seorang petugas. Pria itu menoleh pada kedua petugas keamanan itu, menjawab, “Ga ngapa-ngapain, memangnya ga boleh saya berdiri di sini? Adakah hukum di Neo Jakarta ini yang melarang orang untuk berdiri?”

Seorang petugas keamanan melangkah mendekat sedang rekannya berjaga-jaga di tempat. “Bisa lihat kartu identitas Anda dan tas ransel itu?” kata petugas yang mendekat. “Bukankah kalian sudah memegang seluruh data identitas warga? Ngapain nanyain kartu identitas lagi?” heran pria itu dengan nada mengejek seraya melangkah pergi.

“Diam di tempat Pak! Saya ulangi sekali lagi, mana kartu identitas Anda dan serahkan tas ransel Anda itu!” kali ini suara petugas terdengar tegas. Pria itu tertawa. “Mau ngapain? Ini ransel isinya cuma pakaian kotor Pak.” Petugas itu terlihat tak sabar, ia menarik pistol kejut listrik dari pinggang dan menodongkannya pada pria itu. “Cepat Pak, taro tas ransel itu di lantai lalu dorong kesini!” perintahnya. “Wah, hey lihat semuanya, ada petugas menodongkan senjata pada sipil yang ga bersenjata nih, ayo viralkan!” teriak pria itu memancing orang-orang dan berhasil.

Kini orang-orang jadi memerhatikan, beberapa merekam dengan telepon pintar mereka. “Cepat Pak patuhi perintah kami!” teriak petugas satunya yang sejak tadi berdiri di tempat. Ia pun bersiap mengeluarkan pistol dari pinggangnya. “Ok, ok … jangan tembak,” kata pria itu mengangkat tangannya lalu mengambil tas ransel dari bahunya. Pria itu meletakkan tas ransel dengan perlahan-lahan membuat kedua petugas stasiun itu menjadi tegang, karena hanya tas yang berisikan benda-benda sensitif mudah meledak yang diletakkan selembut itu.

Setelah tas itu berada di lantai, pria itu menatap kedua petugas. “Yakin Pak, tasnya mau ditendang kesitu?” Kedua petugas itu saling pandang meragu. Semua orang yang menonton beringsut menjauh, takut akan terjadi sesuatu. “Gimana Pak? Kalau terjadi sesuatu, Bapak berdua yang bertanggung jawab ya,” kata pria itu sambil mengangkat kakinya akan menendang tas tersebut. 

“Jangan! Tunggu----”

Kalimat petugas itu terpotong dengan suara ledakan dari belakang salah satu banner. Ledakan itu memecahkan banner yang terbuat dari akrilik membuat pecahannya berhamburan diiringi jeritan orang-orang. “Ada bom!” teriak orang-orang. Tak menunggu lama semua orang menjadi panik berlarian menyelamatkan diri setelah mendengar adanya bom. Gelombang orang-orang yang berlari menyapu kedua petugas dan pria bermasker itu. Membuat jarak mereka menjadi jauh, hal itu dimanfaatkan oleh pria bermasker untuk melarikan diri tenggelam di antara gelombang manusia. Kedua petugas berdecak kesal karena kehilangan jejaknya. 

Di Fast Coffee pun terjadi kepanikan, semua orang berhambur lari keluar coffee shop setelah mendengar ledakan. Jagat dan Dodot pun berada dalam suasana kepanikan itu. “Apa yang terjadi?” bingung Dodot yang terdorong kesana kemari oleh orang-orang yang panik. Jagat tak menjawab ia sedang melihat seseorang dengan ransel hitam yang berlari. Kedua petugas keamanan tadi tiba di asal suara ledakan. Mereka tidak menemukan kerusakan yang berarti, hanya sebuah banner lampu yang pecah berantakan. 

“Pak, ada tas ransel yang ditinggalin di deket pintu Fast Coffee! Takutnya itu bom sebenarnya!” lapor seorang pengunjung stasiun. Kedua petugas itu bergegas mendatangi Fast Coffee seraya meminta bantuan petugas lainnya untuk mengevakuasi orang-orang dan mendatangkan tim penjinak bom. Akhirnya semua orang berhasil dikeluarkan dari stasiun. 

“Ada bom katanya,” celetuk Dodot berdesakan di antara orang-orang yang keluar stasiun. “Selama bertahun-tahun pemerintah kota bangga dengan sistim canggih keamanan kota ini yang bisa mengawasi dan mengontrol tindak-tanduk warganya … tapi kali ini mereka kecolongan … dalam hati gue kok seneng ya,” tawa Jagat.

“Apa ini perbuatan Ultra?” tebak-tebak Dodot.

“Gue ga yakin ini perbuatan dia, Ultra itu ga anarkis, dia hanya pengkritik,” sanggah Jagat. Dodot manggut-manggut. Tak lama kemudian mobil satuan penjinak bom dari kepolisian telah datang. Mereka semua turun dari mobil dan dengan cepat masuk ke dalam stasiun.

Di dalam stasiun yang sudah sepi pengunjung, hanya tampak para petugas yang bersiaga. Seorang polisi muda berbadan tegap tak berperut buncit dengan wajah tampan terlihat berjalan lalu bergabung dengan tim penjinak bom yang bersiap untuk memeriksa sebuah tas ransel yang diletakkan tak jauh dari pintu keluar masuk Fast Coffee itu.

“Selamat siang Kapten Adjie,” sapa seorang petugas penjinak bom yang sedang memakai rompi anti bom pada pria yang baru bergabung itu. “Siang Pak Bambang,” balas Adjie lalu memerhatikan tas ransel tersebut. “Saya tebak, karena kekacauan tadi, maka CCTV tidak bisa menemukan orang yang meletakkan tas itu,” kata Adjie. Bambang mengangguk seraya memakai helm anti bomnya. Adjie menepuk-nepuk bahu Bambang memberi semangat ketika Bambang dan timnya berjalan menuju tas ransel tersebut. 

Semua petugas tampak tegang. Bambang dan timnya telah berdiri di hadapan tas ransel tersebut dalam jarak dekat. Ia memerhatikan sekeliling tas itu, mengecek kalau-kalau ada kabel yang menyambung atau mengait tasnya, tapi ternyata tidak ada. Bambang pun berjongkok di depan tas ransel tersebut, meraba-raba tas itu seraya mengecek retsletingnya. Setelah dipastikan tidak ada kabel yang terikat pada retlestingnya, Bambang membuka retsleting tas ransel tersebut perlahan. Setelah terbuka ia melongok ke dalam tasnya dan geleng-geleng.

Adjie melihat Bambang menenteng tas ransel itu, berjalan ke arahnya dan setelah dekat Bambang melemparkan tas ransel tersebut pada Adjie membuat semua petugas terkejut dan menahan nafas. Adjie terpekik kaget tak menyangka, untng saja ia bisa menangkap tas ransel tersebut. Setelah ditangkap dan tak terjadi apa-apa Adjie menghela nafas lega begitu juga petugas lainnya. “Tenang ga akan meledak, isinya bukan bom,” kata Bambang sambil membuka helm dan rompi anti bomnya. 

Adjie melihat isi tas itu yang berisikan pakaian-pakaian bekas tak terpakai beserta sebuah kertas bertuliskan “BOM”. Adjie bertolak pinggang. “What the fak …” ucapnya tak habis pikir. Bambang menghampirinya, “Kerjaan anak iseng Kapten.” Setelah mengatakan itu Bambang melangkah pergi bersama satuan penjinak bomnya. “Anak iseng yang bisa mengelabui CCTV berteknologi canggih dan petugas keamanannya, bukan anak iseng biasa,” gumam Adjie.

***

Adjie memberi sikap hormat dengan membungkukkan sedikit badannya ketika seorang perempuan berkarisma melangkah masuk ke dalam ruangan berbentuk oval itu. Di dalam ruangan hanya ada dirinya dan perempuan itu. “Apa yang terjadi Kapten Adjie? Seorang anak iseng mempermalukan sistim keamanan stasiun kita?” ucapnya seraya menggerakkan tangannya di atas sebuah meja putih. Tak lama muncullah sebuah layar monitor virtual yang melayang di udara di atas meja putih yang berfungsi sebagai proyektor tiga dimensi itu. Sebuah monitor yang menampakkan hasil rekaman CCTV di stasiun Blok M. Tangan perempuan itu bergerak lincah menggeser satu persatu layar monitor yang muncul.

“Sebanyak ini CCTV di stasiun tapi tidak satu pun menangkap gambaran pelakunya,” ucap perempuan itu tenang tapi terdengar geram. “Padahal petugas keamanan stasiun itu sudah memergoki pelakunya, tetapi tidak langsung dilumpuhkan … saya tidak suka cara kerja yag tidak efektif begitu,” lanjut perempuan itu berdecak kesal. 

“Menurut saya, pertama-tama, itu bukan pekerjaan anak iseng Bu dan kedua, orang yang dipergoki petugas stasiun bukan orang yang sama dengan yang meletakkan tas, saya telah menonton berkali-kali semua rekaman CCTV itu …” ucap Adjie. Perempuan itu menatap Adjie. “Oya? Kalau begitu coba jelaskan teorimu Kapten.” Adjie mengangguk. Ia kemudian menggeser-geser lagi layar monitor virtual yang melayang di udara itu mencari sesuatu hingga yang dicarinya ditemukan.

“Nah lihat Bu, di CCTV pintu timur ini, pria yang dipergoki petugas itu lari keluar stasiun sesaat setelah banner meledak dan masih membawa ranselnya lalu dia menghilang di tengah-tengah keramaian orang … di waktu yang bersamaan CCTV di depan pintu Fast Coffee merekam keramaian orang yang panik berlarian, dengan tas ransel yang tiba-tiba ada, padahal beberapa menit sebelumnya belum ada … berarti orang yang meletakkan tas ransel itu ada di antara orang-orang yang panik dari Fast Coffee dan dugaan saya … ledakan banner itu disengaja untuk menimbulkan kekacauan, sehingga seseorang bisa leluasa meletakkan tas tersebut.”

‘Menarik … itu berarti dilakukan oleh kelompok bukan seorang anak iseng.”

Adjie mengangguk. “Tapi siapa yang berani-beraninya mengganggu kedamaian Neo Jakarta ini?” kesal perempuan itu. “Kalau dibikin list itu akan panjang Bu,” kata Adjie. Perempuan itu hanya melirik pada Adjie, ia tidak membutuhkan jawaban untuk kalimat kekesalannya itu. Tiba-tiba telepon Adjie berbunyi, ia mendapatkan sebuah pesan video. “Maaf Bu, boleh saya cek pesan ini?” Adjie meminta ijin terlebih dulu. Perempuan itu mengangguk. Setelah dibuka pesannya Adjie menggelengkan kepala.

“Sepertinya sesuatu yang serius Kapten?” tanya perempuan itu.

Adjie menyambungkan telepon genggamnya itu pada sistim bluetooth di meja putih yang membuat layar telepon genggamnya muncul sebagai layar virtual di atas meja putih itu. “Ini pesan dari mereka Bu,” ucap Adjie menekan tombol buka. Di layar virtual terlihat sebuah video yang memunculkan tulisan bergerak, “Surprise! Bom kemarin masih main-main tapi nanti kami akan kirim bom yang sebenarnya maka Neo Jakarta akan chaos melebihi saat pandemi 2020 dulu! Ha ha ha ha.” Lalu tulisan itu meledak dan menghilang. 

“Ya Tuhan,” gumam itu perempuan itu yang kemudian berdiri mematung memandang tajam ke depan dengan tangan mengepal. Wajahnya masih tampak tenang tapi Adjie bisa merasakan kegeraman yang luar biasa dari gesturnya. “Apa yang mereka inginkan Kapten?” Adjie menggeleng, “Mereka belum mengatakannya Bu … tapi kadang, motif dan tuntutan itu tidak ada … ada orang-orang yang senangnya bikin kacau saja … orang-orang seperti ini yang berbahaya.”

Perempuan mengangguk menyetujui. “Dan orang-orang ini sudah mematikan dan membuang kartu identitas mereka sehingga sistem tidak bisa melacak mereka, mereka hidup di luar sistem,” lanjut Adjie. 

“Tapi mereka masih menggunakan telepon genggam bukan?” perempuan itu tersenyum sinis, rasanya seperti sebuah senyum kemenangan. Adjie tahu kemana arah pembicaraan ini. Ia tak bisa mengatakan soal penyadapan karena itu artinya ilegal. “Baik Bu, saya akan menghubungi pimpinan kantor Mu untuk membicarakan bagaimana produk telepon mereka yang versi MIX 3 bisa dikaitkan dengan sistim proteksi pemerintah kota,” ucap Adjie. 

“Bagus … Kapten, saya mengundang hanya Anda untuk membicarakan gangguan kecil ini, saya tahu Anda bisa membereskan gangguan kecil ini Kapten … saya menyebutnya gangguan kecil, karena saya tak ingin mereka menjadi besar kepala … jadi saya harap Anda tahu apa yang harus dilakukan Kapten ….”

“Baik Bu, tapi bagaimana dengan media?”

“Saya akan handle media … Anda no comment saja. Ingat Kapten saya ingin ini menjadi senyap, tak ada kekerasan, tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat dan Neo Jakarta tetap damai,” tegas perempuan itu. Adjie membungkukkan setengah badannya, “Baik Bu.” Kemudian perempuan itu melangkah keluar melalui pintu berbeda dari pintu di awal kedatangannya tadi. Ketika pintu itu dibuka, dua ajudannya dengan sigap menjaganya lalu para wartawan yang telah menunggunya di ruangan itu dengan gencar memberondongkan pertanyaan seputar kejadian di stasiun Blok M tempo hari.

“Jadi, apakah ada yang ingin disampaikan bagi warga Neo Jakarta, Bu Irma? Sebagai gubernur pernyataan Anda sangat dinantikan masyarakat,” ucap seorang wartawan dari media Komfas. Gubernur Neo Jakarta itu tersenyum lalu berkata, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, apa yang terjadi di stasiun Blok M hanyalah pekerjaan anak-anak berandal yang iseng, ledakan di papan banner juga karena adanya konsleting listrik, bukan karena apa-apa … jadi untuk warga Neo Jakarta tercinta, tetaplah menjalankan aktivitas dengan biasa, tetap tenang … Neo Jakarta kita tetap aman dan terkendali.”

Adjie menatap wawancara itu sebelum pintu ruangan ditutup. Dalam hatinya, ia bertekad untuk bergerak cepat menyelesaikan hal ini demi kota yang dicintainya.

***

KEMBALI KE HARI INI.

Adjie sedang memerhatikan hasil rekaman yang diambil dari kamera drone saat penggrebekan di apartemen kemarin. “Gerakannya lincah, dia tidak nekat tapi malah penuh perhitungan,” ucapnya melihat bagaimana orang berjaket hitam berhoodie itu melarikan diri dari kejaran anak buahnya di rooftop gedung. Setelah melihat rekaman itu Adjie mendatangi sebuah taman yang dipenuhi anak-anak muda yang sedang berlatih parkour. Ia duduk di sebuah kursi taman, memerhatikan anak-anak muda itu sambil mengunyah Burger Lord, burger terenak di Neo Jakarta. Burger Lord adalah sebuah resto burger dengan pelayan-pelayan robotnya yang lucu-lucu. 

Dalam hatinya, Adjie takjub melihat kecakapan para anak-anak muda yang terdiri dari pria dan wanita itu dalam berlari, melompati rintangan, bergantungan, berputar salto hingga melakukan gerakan akrobatik lainnya. Gerakan mereka begitu efektif, efisien, cepat dan tetap indah untuk dilihat. Mereka tak boleh salah perhitungan atau nyawa taruhannya, minimal keseleo. 

“Memata-matai kami Pak Polisi?” celetuk seseorang dari belakang Adjie. Adjie memutar badannya dan melihat dihadapannya berdiri Jagat bersama kelima teman parkour-nya. Adjie tersenyum, “Ga … hanya membawakan kalian burger.” Ia melemparkan satu plastik besar berisikan banyak Burger Lord kepada teman-teman Jagat itu. Teman-teman Jagat tertawa senang. “Beneran nih Bang?” tanya seorang parkourer (arti; orang yang melakukan parkour, bukan istilah resmi). “Udah bawa sana, bagi-bagi ‘tu burger sama temen-temen kalian yang lain, mudah-mudahan cukup,” senyum Adjie. Maka teman-teman Jagat itu pun membawa plastik besar tersebut. 

“Trus mau dibarter dengan informasi apa Pak Polisi?” sindir Jagat. Adjie mengeluarkan telepon genggamnya, menunjukkan rekaman sebuah video. “Lihat ini gerakannya sangat cepat,” kata Adjie. “Ya karena pada dasarnya parkour adalah seni untuk melarikan diri dengan cepat,” sahut Jagat acuh tak acuh. “Coba tolong dilihat dulu video ini” pinta Adjie pada Jagat. Di video itu Jagat melihat seorang yang memakai jaket hitam, dengan wajah tertutup masker, topi dan hoodie itu sedang berlari di atas rooftop dengan cepat lalu melompat ke gedung sebelah. 

“The Ghost,” ucap Jagat mengenali. Adjie menatap Jagat, “The Ghost?”

 “Dia dijuluki ‘The Ghost’ sama anak-anak parkour … karena gerakannya cepat dan dia bisa menghilang dengan sekejap … dia legenda di seni gerak ini … tapi ga ada yang tahu siapa dia sebenarnya, dia juga hidup di luar sistem dan kalau muncul dia selalu memakai pakaian seperti di video itu dan tidak pernah bicara, jadi kita ga tahu apakah dia pria atau wanita,” lanjut Jagat, “memang kenapa dia dikejar-kejar polisi?”

“Dia dan kelompoknya dicurigai terlibat kejadian di stasiun Blok M, selain itu mereka melarikan diri ketika kami datangi di apartemen, itu menguatkan dugaan kami dan mereka juga disinyalir yang mengirim pesan ancaman … apakah dia dan kelompoknya berafiliasi dengan Ultra?” tanya Adjie.

“Saya tidak tahu … kalau sudah ga ada yang dicari, Anda silakan pergi, kami tidak suka dimata-matai polisi.” Setelah mengatakan itu Jagat melangkah pergi. “Jagat Satria,” panggil Adjie membuat Jagat menghentikan langkahnya. “Ga bisakah kamu menganggap saya sebagai kakakmu? Tanpa harus memanggil ‘Anda’ atau ‘Pak Polisi’? Jadi kita bisa ngobrol enak dan akrab,” sambung Adjie. Jagat terdiam. Adjie berdiri dari duduknya, mendekati Jagat, berkata, “Saya tahu kita berseberangan dan berbeda pendapat tapi saya hanya menjalankan tugas untuk melindungi kota ini.”

“Melindungi kota atau melindungi kepentingan para penguasa?” sinis Jagat. Adjie tak menanggapi kalimat Jagat itu. “Mau bagaimanapun kamu tetap adik saya, sejak bapak dan ibu wafat kamu jadi tanggung jawab saya … dan sebagai kakak, saya akan selalu mengingatkanmu untuk jangan terlibat dengan aktivitas terlarang di kota ini, apalagi bergabung dengan The Ghost ini … karena pemerintah kota tidak main-main untuk menangkap siapa pun yang akan mengacaukan kota,” tegas Adjie.

“Saya juga tahu, sejak lama kamu aktif di komunitas yang menjadikan Ultra sebagai panutan … berhati-hatilah, karena komunitas itu sekarang makin diawasi, apalagi kalau kalian berafiliasi dengan The Ghost maka penangkapan akan dilakukan,” lanjut Adjie. “Terima kasih sudah mengingatkan tapi saya bisa menjaga diri saya sendiri dan sebagai informasi, Ultra berbeda dengan The Ghost ... kami tidak menyukai anarkisme.”

“Gat, lagi pula kenapa sih kamu ga kayak Dodot saja? Cari kerja. Lihat Dodot, meski dia hanya bekerja di pekerjaan klerikal, tapi hidup dia tenang dan punya gaji setiap bulan … cari yang aman-aman saja, saya tahu apa yang ada dalam benakmu, kamu ingin melawan sistem ini. Tapi ingat, kamu ga akan bisa melawan sistem dengan sumber daya yang besar Gat … maka kalau kamu ga bisa melawan yang besar maka yang bisa kamu lakukan adalah, beradaptasi dan bekerja sama.” 

Jagat geleng-geleng. “Anda ga ingat ya kenapa bapak kita wafat? Dia juga korban dari sistem yang besar itu! Beliau depresi akibat dipecat karena AI mengambil pekerjaannya! Depresi itu menggerogoti kesehatannya sampai akhirnya beliau wafat! Anda sudah lupa itu hah?!” sentak Jagat. Setelah itu ia berjalan kembali pada teman-temannya yang tengah berlatih parkour. Sedang Adjie tampak terdiam

***

Pria dengan codet di alis itu melingkarkan sebuah tanggal dan menunjukkanya pada seseorang yang memakai topi baseball, masker wajah serta jaket dengan hoodie yang menutupi kepala, The Ghost. “Tanggal tujuh belas Agustus ini adalah waktu yang tepat untuk menunjukkan pada Neo Jakarta kalau kita ga main-main!” kata pria bercodet. The Ghost menatap pria itu. Tatapannya begitu tajam dan menyala. “Gue yakin rencana kita pasti berhasil Bang,” kata pria bercodet meyakinkan, “gerakan kita memang belum didukung oleh banyak orang, macam Ultra itu, tapi lihat saja … setelah tanggal itu, gue yakin mereka akan duk---”

The Ghost mengangkat telunjuknya membuat pria bercodet itu diam. Ia lalu menggelengkan kepala memberi tanda kalau ia tak perlu mendapat dukungan banyak orang. “Lo bener Bang … kita ga butuh banyak orang untuk bergabung … karena pergerakan yang kecil akan lebih sulit untuk dideteksi,” kata pria bercodet. The Ghost mengangguk pada pria bercodet itu lalu mengeluarkan telepon genggamnya dan melemparkannya ke dinding hingga pecah berantakan diikuti pria bercodet yang juga menghancurkan telepon buatan Mu itu.

“Tidak disangka ternyata mereka tidak hanya menguasai data kita tetapi juga menyadap telepon genggam kita!” kesal pria bercodet. Setelah telepon itu hancur, The Ghost menepuk-nepuk bahu pria bercodet mengucapkan terima kasih karena saat penggerebekan di apartemen, pria bercodet inilah yang memberitahunya untuk lari dari apartemen. 

Kemudian pria bercodet itu mengambil sebuah tas berisikan tabung berwarna gelap berbentuk silinder berukuran 30x30 cm yang terbuat dari kaca dan telah disambungkan pada sebuah timer. Ia meletakkan tas tersebut di atas meja. “Seperti rencana kita Bang, isi tabung itu akan mengejutkan Neo Jakarta!” tawa pria bercodet. 

The Ghost mengangguk-ngangguk senang seraya bertepuk tangan.

***

Sepulang kerja Dodot melihat Jagat yang sedang mendengarkan streaming dari Ultra. Di video yang hanya terdengar suaranya saja itu, terdengar jelas bagaimana Ultra mengkritisi pemerintah Neo Jakarta yang sejak kejadian di stasiun Blok M, menangkapi kelompok-kelompok yang berseberangan dan mengawasi ketat komunitas-komunitas anak muda. “Gat, apa lo ga berpikir kalau Ultra itu sebetulnya AI yang sengaja dibuat untuk mendiskredit pemerintah?” celetuk Dodot sambil meletakkan tas ranselnya kemudian duduk di sofa melepas lelah.

“Tapi Ultra sendiri bersikeras kalau dia adalah orang asli,” sahut Jagat. “Ya kita ga tahu kebenarannya bukan? Tapi kalau dia AI siapa yang buatnya ya?” cengir Dodot bingung sendiri. “Gimana kantor lo? Ada cerita apa?” tanya Jagat. “Hari ini ada lagi yang diberhentikan karena pekerjaanya sudah bisa diambil alih AI, padahal dia satu-satunya orang yang bekerja di keluarganya, kasihan sekali,” geleng Dodot sedih. Jagat berdecak. “Karena itu kondisi ini harus dirubah, di kota ini semakin banyak pengangguran dan orang miskin, kota terlihat megah dengan teknologi majunya tapi di baliknya banyak orang miskin yang kelaparan. Kita harus merubah sistem ini!” kata Jagat berapi-api.

“Lo ngomong kayak pejabat lagi kampanye, berapi-api tapi setelah diplih, jadi adem ayem kayak kodok lagi berendem, lupa sama janji,” cengir Dodot. “Maksud gue Dot, kita harus bergerak bukan diam aja melihat ketimpangan ini,” terang Jagat. “Kalau menurut supreme leader lo gimana? Si Ultra itu?” ledek Dodot. “Sayangnya, Ultra belum pernah menyuruh kita untuk bergerak, dia hanya mengkritisi lewat stream, padahal kalau dia mau melakukan gerakan, dukungan buat dia pasti banyak banget,” jawab Jagat.

“Kan Ultra tidak suka anarkisme.”

“Iya … tapi terkadang, kalau kritik tidak didengar, dan tidak terjadi perubahan juga, maka kita harus turun ke jalan untuk merubah kondisi dengan kedua tangan!” geram Jagat.

Dodot menatap Jagat dalam-dalam. “Kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu?” Jagat mengerutkan keningnya. “Gue salut sama idealisme lo itu … tapi apakah itu juga akan berlaku kalau misalnya bapak lo ga menjadi korban sistem?” tanya Dodot. Jagat mengangguk. “Gue akan tetap bersuara untuk orang banyak … ini bukan masalah pribadi Dot.” Dodot mengangkat jempolnya lalu berdiri dari sofa mengambil handuk. “Mau kemana lo?” tanya Jagat. “Ya mandilah, gue abis pulang kerja bau keringet,” jawab Dodot. “Eh Dot, lo mau beli makan ga? Gue nitip ya,” cengir Jagat.

Dodot tertawa. “Halah pake basa basi busuk. Bukan nitip, tapi lo minta beliin kali,” ledek Dodot menyerahkan uang pada Jagat. Jagat nyengir. “Tuh beli makan sana. Makanya, ngapain idealis kalau miskin?” sindir Dodot. “Asuuu!” balas Jagat.

***

Adjie menatap foto bapak dan ibunya serta dirinya dan Jagat yang selalu dibawanya di dalam dompet. Kalau saja ia bisa menghentikan waktu, ia akan menghentikannya di saat mereka masih lengkap dan bahagia. Di saat ia dan Jagat masih anak-anak. Sayang waktu membuat orang menjadi tumbuh besar bersamaan dengan tumbuhnya masalah. Adjie menghela nafas. Setelah dilihatnya beberapa saat ia menyimpan kembali foto itu bertepatan dengan telepon genggamnya yang berdering. Adjie mengangkat teleponnya dan mendengarkan laporan anak buahnya. Setelah selesai, ia menutup teleponnya lalu bergegas pergi.

Beberapa saat kemudian Adjie sampai di kantor dan menuju ruang interogasi. Sebelum masuk, seorang anak buahnya memberikan berkas. Adjie membaca isi berkas itu sambil mendengarkan perkataan anak buahnya. “Kami mencurigai dia bagian dari kelompok The Ghost. Dari data teleponnya terakhir dia berhubungan dengan Syafri dan kami tangkap dia sedang berada di pinggiran Jakarta, sepertinya baru melakukan transaksi ilegal dengan Syafri itu.” 

Adjie melihat foto dari orang yang dibicarakan anak buahnya itu. Pria yang bernama Syafri itu memiliki codet di atas alisnya. “Ini orang yang di stasiun … cari orang ini, dia pasti tahu siapa yang meletakkan tas di stasiun dan dia bisa menuntun kita pada The Ghost ….” 

“Siap Kapt!” hormat anak buahnya.

Pintu ruang interogasi dibuka Adjie. Di dalam, tampak seorang dokter yang tengah duduk di depan sebuah meja kosong. Umurnya sudah tak muda lagi, sepintas Adjie teringat pada bapaknya. Dokter itu menatap Adjie yang melangkah masuk, menarik kursi dan duduk di hadapannya. Adjie menatap dokter itu. “Anda baik-baik saja Pak Dokter?” Dokter itu mengangguk. “Saya sudah dibawa kesini dari semalam, saya lelah dan ingin pulang … apa yang ingin kalian tahu dari saya semua sudah saya katakan … kalian mau tahu apa lagi?” keluh dokter.

“Apa saja yang sudah Anda katakan pada rekan-rekan saya Dok? Coba katakan pada saya lagi, sehingga saya tidak perlu repot-repot bertanya untuk menghemat waktu, Anda ingin cepat pulang bukan?”

Dokter mengangguk, lalu mengambil gelas yang berisikan air mineral di depannya, ia meminumnya perlahan baru setelahnya berkata. “Saya sudah menjelaskan kalau saya tidak ada keterkaitan dengan The Ghost … saya juga tidak tahu kalau Syafri ternyata kaki tangan The Ghost … saya hanya seorang dokter yang mencari uang tambahan … itu saja.”

“Bukankah penghasilan dokter itu besar? Buat apa cari uang tambahan lagi?” heran Adjie.

“Seperti yang tidak tahu saja … beberapa tugas dokter sudah digantikan dengan AI, sekarang kami hanya diberikan tugas-tugas yang minimal … dan itu memotong penghasilan kami ….” Dokter menghentikan kalimatnya untuk membaca dulu tanda pengenal di dada Adjie lalu menyebut namanya, “Kapten Adjie.” 

Adjie tersenyum, “Saya lupa mengenalkan nama saya tadi, ya saya Adjie … dan Anda Dokter Karim … baik Dokter Karim, buat apa Anda menghubungi Syafri? Dan apa yang Anda lakukan di pinggiran kota Jakarta? Saya duga di sana Anda janji bertemu dengan Syafri untuk melakukan sebuah transaksi … saya bertanya-tanya, transaksi apa yang dilakukan di pinggiran Jakarta? Karena hanya di pinggiran Jakarta jual beli bisa dilakukan dengan uang kertas dan tidak terdeteksi … tapi ingat Dok, itu illegal, Anda bisa ditangkap untuk itu. Jadi katakan pada saya transaksi apa yang Anda lakukan dengan Syafri hingga Anda tak mau pemerintah mendeteksinya?” 

Dokter Karim diam.

“Nah sepertinya, ini yang belum Anda katakan pada rekan-rekan saya sehingga Anda belum boleh pulang,” senyum Adjie. Dokter Karim masih diam tapi tampak gelisah. “Anda mau diam berapa lama? Saya punya banyak waktu luang untuk menunggu Anda bicara … tapi bukankah Anda ingin cepat pulang? Makanya ceritakan Dok, supaya cepat selesai.” Adjie mencoba melakukan persuasi.

Dokter Karim mengusap-ngusap wajah dan rambutnya. Gesturnya sangat menunjukkan kalau ia sudah melakukan sebuah tindakan yang salah. Waktu berlalu dan Adjie masih duduk tenang di kursinya. Keringat mulai membasahi dahi Dokter Karim, begitu juga di punggungnya. “Anda berkeringat Dok? Padahal AC di ruangan ini cukup dingin loh … apakah Anda kepanasan atau ada sesuatu yang buruk yang telah Anda lakukan dan Anda menyesalinya? … Anda mau cerita tapi takut, ga cerita tapi juga takut … itu membuat Anda dilema … setelah ini, Anda akan merasakan perut Anda mulas karena gugup, lalu jantung Anda akan berdetak cepat, nafas Anda sesak, Anda akan kena serangan jantu----”

“Ok, ok Kapten Adjie saya akan cerita!” 

Tiba-tiba Dokter Karim bersimpuh di depan Adjie. “Saya … saya menjual virus pada Syafri,” ucap Dokter Karim gemetar. Adjie terkejut, “Virus?!”

Mata Dokter Karim berkaca-kaca, “Saya menyesal Kapten … saya tidak tahu kalau virus itu akan digunakan untuk hal yang tidak benar … dia … dia bilang ke saya kalau dia mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan penelitian virus, ya Tuhan Kapten, apa yang sudah saya lakukan?” Dokter Karim menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya penuh penyesalan.

Berarti maksud dari ancaman itu kalau Neo Jakarta akan chaos melebihi pandemi tahun 2020 adalah mereka akan mengirimkan bom virus! Gila! Ini gila! Batin Adjie. Adjie berdiri dari duduknya, melangkah keluar tapi sebelum keluar ia menatap pada Dokter Karim.

“Jelaskan pada saya soal virus ini!” 

“Bila tabung itu pecah, virus akan menyebar di udara dan akan bertahan sampai delapan jam. Dan bila terhisap, dia akan diam di paru-paru untuk berkembang biak dalam hitungan menit, lalu dia akan membuat inangnya pelan-pelan mati tapi sebelum inangnya mati, dia akan keluar menyebar lewat pernafasan mencari inang baru, begitu seterusnya, virus ini tidak memberi kesempatan inangnya untuk diobati.”

“Ya Tuhan … virus apa sih ini? Korona?”

Dokter Karim mengangguk, “Tapi dalam versi yang kejamnya.”

“Anda gila ya! Jual beli itu kambing atau ayam gitu … ini virus!” geleng-geleng Adjie, “saya tebak vaksinnya juga belum ditemukan bukan?” Dokter Karim mengangguk dan menunduk. “Maaf sekali Dokter, saya tidak bisa melepaskan Anda hari ini … tindakan Anda sudah sangat keterlaluan! Saya harap Anda bisa membantu kami untuk mencegah agar virus ini tidak menyebar dan menyiapkan tindakan preventif lainnya bila tabung itu pecah, jadi selama itu Anda tinggal di sini!” kesal Adjie. Dokter Karim mengangguk pasrah, Adjie lalu bergegas keluar dari ruang interogasi.

***

Dodot sedang menunjukkan kantor tempatnya bekerja pada Jagat. “Nah di sini kerja gue Gat,” tunjuk Dodot pada meja kerjanya yang bergabung dengan puluhan meja kerja  lainnya yang berbaris-baris itu. “Tugas lo ngapain?” tanya Jagat. “Ini divisi telemarketing dan sales, gue di bagian terima komplenan,” cengir Dodot. Jagat melihat sekelilingnya. Di dalam ruangan itu hanya ada sepuluh orang manusia, sisanya adalah robot dan AI teknologi. 

Jagat melihat, kantor di mana Dodot bekerja bernama Virtual City Techno Corp. sebuah perusahaan yang berada di bawah payung manajemen Nusantara Innovations. Lokasinya berada di sebuah gedung yang memiliki lima lantai.

“Gue ga nyangka sih, lo akhirnya mau kerja … sepertinya lo dengerin nasehat Bang Adjie ya,” senyum Dodot. “Manusia harus berubah bukan? Beradaptasi dan bekerja sama,” sahut Jagat. Dodot mengangguk. “Lamaran kerja lo titip di gue aja, ntar gue kasihin sama supervisor gue,” kata Dodot. “Yang mana supervisor lo?” tanya Jagat mencari-cari di dalam ruangan itu. “Itu, yang berdiri di pojokan dan mengawasi,” tunjuk Dodot pada sebuah robot berwarna silver yang berdiri di pojok ruangan dan sesekali bergerak mengelilingi ruangan.

“Sudah gue duga,” gumam Jagat, “supervisor lo kayak manusia silver tingal kasih kardus buat cari sumbangan bagus tuh.” Dodot nyengir. “Ayo gue ajak lo tour di kantor gue,” ajak Dodot. “Supervisor lo ga marah lo ga kerja?” tanya Jagat. “Gue udah minta ijin tadi, Mister X2 ga segalak Mister X5 … kalau X5, gue pasti ga diijinin,” cengir Dodot. “Hah? X2? X5? Itu nama panggilan mereka?” Jagat terlihat kaget. “Mereka ga punya nama, kita memang disuruh memanggil sesuai nomor versi robot mereka,” terang Dodot. “Dan kalian panggil mereka juga pake ‘mister’? Udah gila kalian,” geleng-geleng Jagat. “Aturan perusahaan, mau gimana lagi … udah yuk ah.” Dodot menarik Jagat untuk berkeliling kantor.

Setelah berkeliling Jagat bertanya, “Kalau di lantai lima itu apa? Kok lo belum ngajak gue lihat lantai itu?” Dodot menggeleng, “Ga boleh … itu area terlarang … di lantai lima itu khusus buat naro server-server segede Titan, itu pusat data server NI yang menjalankan seluruh teknologi di Neo Jakarta ini …” jawab Dodot. Jagat manggut-manggut. “Gue tahu apa yang ada dalam pikiran lo Gat … jangan lo pikir lo bisa shutdown server-server itu,” kata Dodot. “Kenapa ga bisa?” heran Jagat. “Sistim keamanannya berlapis, bukan manusia yang jaga tapi teknologi, sekali lo menginjakkan kaki di lantai itu, sistim shield akan mendeteksi dan dalam persekian detik tubuh lo akan jadi abu ditembak laser!” bisik Dodot.

“Wah canggih banget,” seru Jagat. “Iya memang canggih, kantor gue gitu loh,” bangga Dodot. “Halah jadi pegawai rendahan aja bangga,” ledek Jagat. “Biar peawai rendahan tapi bisa nraktir lo,” balas Dodot. “Asuuu,” cibir Jagat. Dodot tertawa diikuti Jagat. “Trus kalau ruang pengendali shield dan laser itu di sini juga? Di lantai berapa?” tanya Jagat setelah tertawa. Dodot menggeleng. “Ga lah … ruang pengendalinya ada di kantor polisi, ga ada di sini.” Jagat terkejut, “Oh … ruang pengendalinya terpisah, di kantor polisi … cerdas!” 

“Sebetulnya ini gedung lama Gat, tapi beberapa bulan ke depan kita akan pindah ke gedung baru yang lebih canggih dari ini, namanya Menara Futuristik, terdiri dari seratus lantai, itu akan menjadi gedung tertinggi di Jakarta mengalahkan Autograph Tower di Thamrin … nanti semua yang berada di bawah payung manajemen NI akan jadi satu di sana termasuk ruang pengendali itu, ga akan terpisah-pisah lagi tapi di sana keamanannya akan sangat super duper aman,” ungkap Dodot. 

“Itu berarti harus dilakukan secepatnya,” gumam Jagat. “Maksud lo?” tanya Dodot setelah mendengar gumaman Jagat tadi. “Maksud gue … gue harus buru-buru masukkin lamaran kerja di sini, sebelum kantornya pindah, kalau keburu pindahan pasti sibuk bisa-bisa lamaran kerja gue terlupakan,” jelas Jagat. “Nah betul itu,” kata Dodot. Setelah itu mereka melanjutkan berkeliling lagi. Sebelum pergi, Jagat melirik pada lantai lima itu.

***

Adjie terlihat gelisah di ruang kerjanya. Ia sungguh tak menyangka, kalau ancaman yang diterimanya saat berada di kantor gubernur tidak main-main. Kejadian di stasiun Blok M ternyata hanya awal bagi sesuatu yang lebih besar dan berbahaya karena melibatkan virus di sini. Tapi sampai hari ini, timnya belum mengetahui di mana keberadaan Syafri, ia menghilang seperti halnya The Ghost, pun belum diketahui di mana virus itu disimpan dan kapan virus itu akan dikirim serta diledakkan, semua masih tanda tanya besar buat Adjie. 

“Maaf Kapten,” ucap anak buahnya di pintu. “Ya Ada apa?” Adjie menatap anak buahnya itu. “Kapten harus lihat apa yang kami temukan,” ucapnya. “Apa yang kalian temukan? Ayo tunjukkan pada saya!” seru Adjie bersemangat. Mereka melangkah cepat dan masuk ke dalam ruang meeting investigasi internal di mana di dalam ruangan itu sudah berkumpul anak buah Adjie lainnya.

“Ada apa, apa yang kalian temukan?” Adjie tak sabar. “Kami menemukan siapa yang meletakkan tas ransel di stasiun Blok M tempo hari Kapten!” jawab anak buahnya sembari menyalakan monitor komputer virtual-nya. “Saat kami memeriksa ulang dan ulang rekaman CCTV, kami akhirnya menemukan seorang pria yang membawa tas ransel yang sama dengan tas ransel berisikan bom prank itu. Kami duga, pria itu masih satu komplot dengan mereka … sehingga di saat perhatian semua orang teralihkan, pria itu meletakkan tasnya di depan pintu Fast Coffee,” beber anak buahnya.

“Tunjukkan yang mana orangnya!” Adjie makin tak sabar.

Anak buah Adjie menghentikan gambar CCTV tepat di gambar pria itu saat sedang meneguk kopinya. “Dia orangnya Kapten, dan itu tasnya di atas meja,” tunjuk anak buahnya. Adjie menatap orang di gambar rekaman CCTV yang berhenti itu, ia menajamkan matanya dan terkejut. “Ya Tuhan … saya kenal dia! Dia Dodot! Teman satu kosan adik saya!”

“Dan ada yang lebih menarik Kapt,” lanjut anak buahnya, “lihat.” Adjie melihat rekaman CCTV saat pria bercodet alias Syafri menyelipkan sesuatu di belakang sebuah banner lampu dan beberapa saat kemudian banner itu meledak. Adjie berpikir dan menyadari sesuatu lalu berkata, “Dia meledakkan banner itu tidak sembarang tapi untuk menandakan sebuah hari H! Mengirim ancaman tersirat!”

 “Tepat Kapt! Kami sudah cek, kalau banner itu untuk mempromosikan acara Orpo Innovation Day 202 … sebuah acara teknologi besar yang akan didatangi banyak orang, dibuka oleh gubernur dan diadakan di ruangan tertutup! Sebuah tempat yang tepat untuk melepaskan virus.”

Mendengar itu membuat wajah Adjie memucat, “Ya Tuhan … kapan acara itu diadakan?” Anak buahnya mengecek lalu menjawab, “Lusa Kapt, tanggal tujuh belas Agustus.” Adjie dengan cepat memerintahkan anak buahnya untuk berkordinasi dengan pihak penyelenggara acara untuk melipatgandakan penjagaan. Kemudian ia menghubungi gubernur, menjelaskan semuanya.

 “Kapten … ini kabar bagus, setidaknya kita tahu di mana kita bisa menangkap mereka … siapkan semuanya, perketat keamanan, kita tidak akan menunda acara, kita tidak boleh kalah dengan segelintir pengacau, mereka hanya gangguan kecil … show must go on,” ucap gubernur dengan tenang. 

“Baik Bu,” balas Adjie.

***

Dodot terkejut ketika mendapati para polisi telah menunggunya di tempat kerja. “Ada apa ini Bang?” bingung Dodot pada Adjie. “Kamu ditangkap karena telah mengganggu ketertiban umum, berafiliasi pada kelompok terlarang yang akan makar pada pemerintah …” terang Adjie. “A … apa? Sa … saya ga pernah ikut hal seperti itu Bang! Abang tahu itu!” Dodot menolak untuk ditangkap tapi dengan gerakan cepat, anak buah Adjie meringkus Dodot lalu membantingnya ke lantai. “Diam! Jangan melawan!” sentak anak buah Adjie. “Bang, ini fitnah Bang!” seru Dodot. Adjie memberi kode pada anak buahnya untuk membawa Dodot. Mereka pun membawa Dodot pergi.

Mister X2 yang melihat penangkapan itu mengeluarkan data kepegawaiannya lalu mencoret nama Dodot Librawan dari perusahaan dengan catatan, “Dipecat secara tidak terhormat karena terkait dengan organisasi terlarang.”

***

“Kalau saya dituduh bergabung dengan komplotan terlarang apa buktinya Bang?” tanya Dodot di ruang interogasi. Adjie meletakkan tas ransel hitam itu di atas meja di hadapan Dodot. “Itu tasmu bukan?” tanya Adjie. “Tas saya memang seperti ini … tapi ini tas ransel sejuta umat Bang … bukan saya doang yang pake!” kelit Dodot. “Dot, sudahlah jangan bertele-tele … sekarang kasih tahu saya, di mana Syafri? Kalian bekerja sama bukan?” tanya Adjie. Dodot mengerutkan kening, “Syafri?”

Adjie berdecak tak sabar. “Dot, ini berkaitan dengan nyawa ribuan orang! Syafri dan The Ghost akan meledakkan virus di acara Orpo Innovation Day besok!” Dodot terkejut, “Apa?!” Adjie mencengkeram bahu Dodot. “Saya tahu kamu sahabat baik adik saya Dot … tapi kalau untuk membela nyawa banyak orang, saya ga peduli siapa kamu, jadi katakan di mana Syafri!” Dodot menjerit karena Adjie mencengkeram bahunya dengan kuat.

“Bang … sungguh saya ga tahu … kalau Abang ga percaya … Abang bisa cek ke kamar kosan saya … tas ransel saya masih ada di sana!” seru Dodot seraya kesakitan. Adjie melepas cengkeramannya. “Ok saya akan buktikan!” cetus Adjie dan bergegas pergi diikuti anak buahnya.

Ternyata yang dikatakan Dodot benar adanya. Adjie menemukan tas ransel itu di sebelah lemari di kamar kosnya. Adjie berteriak kesal membanting tas itu, “Bangsat! Sekarang kita tidak tahu kemana harus mencari Syafri!” Adjie bertolak pingang dengan dada bergemuruh marah lalu berkata pada anak buahnya. “Lakukan parameter ketat dengan screening wajah di lokasi acara, mulai dari hari ini, periksa setiap orang, cek setiap identitas, dari pekerja, pengisi acara, pokoknya semua! Semua orang harus dikontrol! Kalau perlu lalat masuk pun kalian harus tahu!”

“Siap Kapten!” jawab anak buahnya serempak.

***

Adjie melemparkan tas ransel itu ke hadapan Dodot di ruang tahanan di kantor polisi. “Nah betul ‘kan Bang? Ransel saya masih ada … berarti ransel yang ada di Abang bukan punya saya,” kata Dodot senang. Adjie mengangguk mengakui. “Apakah itu artinya saya bisa dibebaskan Bang?” harap Dodot. “Sayang sekali Dot, saya ga mau ambil resiko … kamu menginap dulu di sini sampai acara pameran itu selesai,” sesal Adjie.

Dodot menunduk lalu duduk di lantai ruang tahanan yang dingin. “Ini ga adil Bang, kenapa cuma saya yang ditangkap? Seharusnya semua orang yang punya tas ransel seperti ini juga ditangkap dong … si Jagat juga punya Bang … ga adil ini, ga adil,” gerutu Dodot.

Adjie menatap Dodot. “Si Jagat punya tas ransel kayak kamu juga?”

Dodot mengangguk, “Iya, waktu belinya ‘kan kita barengan Bang.”

Adjie terdiam beberapa saat, otaknya berputar lalu mengumpat, “Sialan!” Ia segera berlari. Dodot melihat itu. “Waduh, jangan-jangan si Jagat yang naro tas di stasiun waktu itu!” kaget Dodot.

***

Adjie mencari-cari Jagat. Ia mendatangi kamar kosnya tetapi kosong. Ia juga mendatangi taman tempat biasanya Jagat dan kelompok parkour-nya berlatih tapi taman tampak sunyi. “Tumben mereka ga latihan malam ini, pada kemana mereka?” Adjie bertanya-tanya. Ia pun tak bisa menghubungi Jagat karena Jagat tak memiliki telepon. Tangannya mengepal kesal, hatinya menjadi was-was dan khawatir. Otaknya berpikir pada hal yang tak disukainya yaitu Jagat adalah satu kelompok dengan orang-orang yang akan ditangkapnya. “Kamu bilang kamu hanya mengagumi Ultra yang tidak menyukai anarki tapi ternyata kamu bergabung dengan The Ghost! Brengsek Gat!” umpat Adjie di tengah taman. Ia lalu menghubungi anak buahnya.

“Sebarkan foto Jagat Satria, dan kalau dia muncul tangkap!” perintah Adjie. “Tapi Kapt …” ragu anak buahnya. “Ini perintah! Siapa pun yang coba-coba mengacaukan Neo Jakarta harus ditangkap!” Kalimat Adjie yang tegas ini membuat anak buahnya tak berani membantah lagi. “Siap Kapten!” ucap anak buahnya

***

Jakarta Convention Center hari itu tampak ramai. Semua orang tampak bersuka ria menyambut acara teknologi terbesar di kota Neo Jakarta. Umbul-umbul di pasang sepanjang jalan. Layar-layar besar monitor virtual yang menyiarkan produk-produk teknologi Orpo bertebaran dari tempat parkir sampai di sekitaran gedung pameran. Sedang di dalam gedung, telah di siapkan pameran dengan booth-booth berisikan robot-robot versi terbaru dari Orpo berikut mobil-mobil berteknologi cerdas bikinan mereka, juga pameran produk-produk dari teknologi AI beserta para Creators. Di antara Creators yang hadir, tampak Melinda, seorang creator papan atas, yang karyanya selalu ditunggu-tunggu tengah bersiap memamerkan hasil karyanya.

Di belakang panggung, juga telah bersiap para pengisi acara. Dari pembawa acara, pengisi pertunjukkan musik sampai peragaan busana. Sebagian besar pengisi acara itu adalah para model dan musisi 3D dan kepribadian AI, hanya sedikit manusia sebagai pengisi acara. Dari sedikit model manusia yang ada, tampak Layla seorang model pemula berusia 23 tahun yang ingin membuktikkan bahwa ia bisa menjadi model kelas atas meskipun harus bersaing dengan model 3D. Layla mendengus sebal ketika melihat para model 3D itu melewatinya dengan wajah angkuh.

Sementara itu, di dalam ruang kendali tak jauh dari gedung JCC, Adjie terlihat kusut, ia tak tidur semalaman, begitu juga anak buahnya, semuanya berjaga di setiap titik parameter yang telah ditentukan, menggunakan screening wajah untuk setiap orang yang berada dalam parameter area acara. Screening itu bisa memberi tahu apakah orang tersebut Syafri atau orang-orang dengan catatan kriminal di kepolisian sehingga bisa ditindak sebelum masuk gedung acara.

“Gubernur sudah datang Kapt,” ucap anak buahnya melihat kedatangan sebuah mobil yang diiringi penjagaan ketat pada layar monitor pengawasnya. Adjie meneguk kopinya hingga habis lalu keluar dari ruang kendali sembari memakai topi dan rompi polisinya. Ia berjalan mendekati gubernur yang tengah menyapa para wartawan dan para pendukungnya itu. “Apa kabar Kapten? Tampaknya Anda tak tidur semalam,” senyum gubernur seraya melangkah menuju gedung diiringi para pengawalnya. “Semua masih aman dan terkendali,” balas Adjie. “Bagus. Teruslah jaga seperti itu, saya harus menyapa para petinggi Orpo dulu,” kata gubernur yang kemudian menyapa para petinggi perusaahan tersebut yang telah menyambutnya di pintu gedung.

Adjie pun memisahkan diri dari rombongan gubernur, lalu menyalakan alat screening wajahnya. Ia mengarahkan kamera di alat itu pada semua orang yang berlalu lalang tapi hasilnya nihil, tidak ada satu pun wajah yang dicarinya. Ayolah Jagat, menyerahlah, jangan melakukan hal yang bodoh, batin Adjie. “Apakah semua aman?” tanya Adjie pada anak buahnya melalui alat komunikasi di telinganya. “Aman Kapt,” jawab semua anak buahnya. “Tetap waspada, saya menduga, Syafri, The Ghost dan … Jagat … akan datang hari ini.” Saat mengucapkan nama adiknya itu suara Adjie terdengar tercekat. Anak buahnya tahu pasti, apa yang dirasakan Kapten Adjie saat itu yang harus menangkap adiknya sendiri. “Siap Kapten!” balas anak buahnya.

Pembukaan pameran telah dilakukan. Acara di dalam gedung berjalan meriah. Di luar gedung tak kalah meriah, semakin siang semakin banyak orang-orang yang berdatangan. Ini membuat jantung Adjie berdegup tegang. Dengan orang sebanyak ini bila virus itu meledak dan terhirup maka ….

“Hey minggir! Anda menghalangi jalan” seru seseorang pada Adjie. Adjie yang melamun terkejut melihat seorang pria tengah membawa dua robot dengan mobil buggy, semacam mobil golf. “Sori Pak,” ucap Adjie. Pria itu mengangguk lalu menjalankan mobil buggynya lagi melewati Adjie tapi dengan cepat Adjie memegang bahu pria itu menahannya. Pria itu pun menginjak rem mobilnya. “Ada apa sih Pak Polisi? Saya sudah terlambat mengantarkan robot-robot ini untuk pameran di dalam! Adna malah menahan saya!” kesal pria itu. 

Adjie menatap wajah pria itu lalu mengarahkan kamera screeningnya ke wajah pria itu. Alat screening itu menampilkan data orang tersebut dengan tanda “Tak Berbahaya”. Adjie mematikan alatnya lalu berkata, “Kamu mau mengantar robor-robot ini ke dalam gedung untuk dipamerkan bukan? Maka saya harus cek. Sekarang mana dokumen ijin masukmu ke dalam?” Pria itu terlihat kesal dan menyerahkan apa yang diminta Adjie. Adjie memeriksanya sembari melihat-lihat dua robot yang dibawa dan diletakkan di kursi penumpang. Dua robot itu bertubuh besar, gagah dan bertopeng, hampir mirip dengan Iron Man. 

“Apa fungsi robot ini?” tanya Adjie ingin tahu. “Buat menggantikan kerja polisi yang buruk,” jawab pria itu santai. Adjie menatap robot-robot itu, kalimat pria tadi menohoknya. Adjie menyerahkan kembali dokumen itu. “Bawa pergi segera robot-robot jelek ini!” cetus Adjie. Pria itu tertawa lalu pergi.  

Tiba-tiba anak buah Adjie menghubunginya. “Kapten, Jagat terlihat di antara pengunjung di area timur JCC!” Adjie terkejut. “Ikuti, jangan ambil tindakan dulu, saya tidak ingin ada keramaian!” tegasnya setelah itu Adjie berlari menuju area timur.

***

Pria itu menghentikan mobil buggy-nya tepat di belakang pintu masuk gedung khsusus bagi pengisi acara. Dibantu dua orang rekannya, mereka menurunkan dua robot bagaikan Iron Man itu dari mobil lalu membawanya masuk. “Bawa robot yang itu ke booth, yang ini biar di sini saja,” ucap pria itu. Dua rekannya mengangguk dan membawa satu robot. Pria itu melihat ke kana dan ke kiri, setelah dianggapnya aman, ia mengambil alat pembuka baut. Dengan cepat dan cekatan ia membongkar baut-baut pada robot itu. Setelah semua baut itu lepas, ia membongkar satu persatu tubuh robot itu dari helm hingga kaki. Ternyata robot yang ini bukanlah robot sebenarnya, robot ini hanya sebuah kostum dan di dalam kostum itu terdapat seorang pria. Pria dengan wajah bercodet di atas alisnya.

Syafri tersenyum pada pria yang membongkar kostumnya. “Terima kasih sudah membantu.” Pria itu mengangguk, mengepalkan tangan dan berkata pelan, “Hidup The Ghost!” Syafri mengepalkan tangannya juga, lalu mengambil tas ransel hitamnya, memakai masker dan berjalan masuk ke dalam ruang pameran.

***

Jagat terlihat berjalan santai di antara keramaian orang. “Sepertinya dia belum tahu kalau dia sedang dicari-cari Kapt,” ucap anak buah Adjie. “Bagus kalau begitu, biar saya yang urus dia dan kalian tetap waspada,” kata Adjie. Jagat melirik ke sekitarnya, ia tahu kalau dirinya sedang dipantau, ia tersenyum geli sendiri. Ia menghentikan langkahnya ketika melihat Adjie berdiri di hadapannya.

“Apa pun yang sedang kamu rencanakan hari ini, tolong hentikan,” tegas Adjie. “Memang apa yang saya rencanakan? Saya datang kesini mau menonton pameran,” kilah Jagat. “Kami sudah tahu semuanya.” Adjie mendekati Jagat. “Kami sudah tahu kalau kamu yang meletakkan ransel hitam di stasiun, kami sudah tahu kalau kamu dan Syafri adalah kaki tangan The Ghost … sekarang katakan di mana Syafri, dan di mana tas berisikan virus itu?” lanjut Adjie. “Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan,” geleng Jagat.

Adjie menatap tajam bola mata Jagat. “Ada ribuan nyawa yang dipertaruhkan di sini dan mereka orang-orang tak berdosa … jadi katakan di mana Syafri!”

Jagat menatap balik bola mata Adjie tanpa takut. “Kalau Anda terlalu takut untuk melawan sistem, biarkan saya dan teman-teman yang melakukannya.”

Adjie menggeleng lalu dengan cepat meringkus Jagat dengan memiting lengannya ke belakang punggungnya. Jagat meringis sakit. “Siapkan mobil, kita interogasi anak ini di kantor saja,” perintah Adji pada anak buahnya melalui alat komunikasinya.

***

Syafri menundukkan kepala atau menghindari untuk berpapasan bila melihat satuan polisi yang berjaga di dalam gedung. Ia tak ingin kehadirannya diketahui sebelum menyelesaikan tugasnya. Di depan panggung, di bagian VVIP terlihat gubernur, petinggi Orpo dan jajaran pejabat lainnya tengah menikmati sajian musik yang dimainkan oleh teknologi AI. Musisi-musisi rekayasa sistem intelegensi tingkat tinggi itu tampil memukau. Para Creator yang menciptakannya terlihat bangga tapi tidak bagi Syafri. Ia mencibir lalu berjalan mendekati sisi panggung.

Pertunjukkan musik dengan suara keras dan permainan ratusan cahaya berwarna-warni itu membuat semua yang hadir tak menyadari ada seorang pria tengah meletakkan sebuah tas ransel berwarna hitam dengan sangat hati-hati di kolong panggung.

***

Adjie mendorong Jagat masuk ke dalam ruang interogasi di kantor polisi. “Tinggalkan ruangan ini, biar saya yang handle dia,” kata Adjie pada anak buahnya. Anak buahnya pun melangkah keluar. Adjie lalu mengunci pintunya. Anak buah Adjie terkejut dan menggedor-gedor pintunya. “Kapten! Buka pintunya Kapten!” Tidak digubris, maka anak buahnya pun bergegas ke ruangan sebelah untuk melihat apa yang terjadi dari kaca satu arah.

“Duduk!” sentak Adjie pada Jagat. Jagat menghempaskan pantatnya di kursi lalu Adjie mengikat tangan Jagat dengan cable ties yang terbuat dari plastik. “Harus ya saya diikat seperti ini?” geleng Jagat lalu menatap sekelilingnya. “Oh kayak gini ruang interogasi itu toh? Kayak di film-film ya? Itu pasti kaca satu arah, cuma yang di ruang sebelah yang bisa lihat kemari ya? Halo?” Jagat tertawa sambil melambai-lambaikan tangannya pada kaca besar di ruang interogasi tersebut. “Ga kreatif, semua ruang interogasi kok sama, jadi mudah ditebak,” lanjut Jagat. Adjie melipat tangannya di dada.

“Sudah main-mainnya? Sekarang yang serius, di mana Syafri?”

“Syafri itu siapa sih? Dari tadi nanyain dia terus!” dengus Jagat.

Adjie tampaknya sudah kehabisan kesabaran, ia menghampiri Jagat, mencengkeram kerah bajunya lalu mendorong Jagat hingga punggungnya menghantam dinding. Jagat memekik lalu tertawa. “Nah gitu dong, jadi polisi yang berani,” kekeh Jagat. Kalimatnya terdengar meledek. Adjie mendekatkan wajahnya pada wajah Jagat berkata, “Saya ga rela kalau kamu digebukki oleh rekan-rekan saya, lebih baik tangan saya sendiri yang melakukannya … jadi sekali lagi saya tanya sama kamu Gat … di mana Syafri!?” 

“Di hatimuuu,” tawa Jagat.

“Bangsat!” umpat Adjie lalu menarik tubuh Jagat membantingnya ke atas meja hingga mejanya patah. Jagat geleng-geleng seraya meringis kesakitan di lantai. Anak buah Adjie tampak terkejut. “Ribuan orang akan mati kalau virus itu tak ditemukan Jagat!” bentak Adjie lalu menghampiri Jagat, menarik tubuhnya dan meninju pipinya. Jagat menjerit tapi setelahnya tertawa di pojokan. 

“Saya sudah bilang jangan bergabung dengan kelompok mereka! Sekarang lihat! Kamu ikut-ikutan gila dengan rencana mereka itu!” Adjie menghampiri Jagat lagi tapi Jagat berdiri dan berteriak. “Berhenti!” kali ini Jagat tampak serius tak lagi tertawa. Adjie pun menghentikan langkahnya. “Anda tahu apa yang lucu? Anda semua fokus pada saya di sini tapi lupa dengan hal yang besar di JCC,” kata Jagat. 

“Apa maksud kamu?” tanya Adjie.

“Virus sudah masuk ke dalam gedung dibantu Iron Man,” jawab Jagat lalu tertawa. Adjie terkejut, begitu juga anak buahnya yang dengan cepat berlarian menuju JCC seraya menghubungi rekan mereka yang berada di sana. 

“Kamu tahu semua itu, berarti kamu memang bagian dari mereka, ya Tuhan Gat, apa yang sudah kamu lakukan?” geleng Adjie. Jagat tersenyum sinis. Adjie membuka pintu dan melangkah keluar diiringi teriakan Jagat di belakangnya, “Ayo lindungi kota ini! Tapi ga bisa melindungi bapak sendiri!” 

Jagat kembali duduk di kursi di dalam ruang interogasi hanya dijaga oleh seorang polisi tua yang berdiri dekat pintu. Ia menatap polisi itu. “Hey Paman, bisakah saya minta minum?” tanya Jagat. Polisi itu menggeleng. “Saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu Gat. Saya keluar trus kamu kabur.” Jagat nyengir. “Ga mungkin saya kabur, di pos ini banyak polisi bukan?” 

“Tnggal saya dan yang jaga di pos depan saja, sisanya ke JCC semua, jadi saya tidak mau ambil resiko untuk mengambilkanmu minum,” jelas polisi tua itu.

Jagat manggut-manggut dan tersenyum.

***

Polisi di dalam gedung JCC sedang mencari Syafri. Syafri menyadari kalau keberadaannya sudah diketahui maka ia bergegas menuju pintu keluar. Adjie yang baru sampai di gedung menemukan kostum robot “Iron Man” yang telah terbongkar di dekat pintu belakang itu. “Sialan!” geramnya. Ia merasa kesal karena mereka menyusup di depan hidungnya tadi.

Sebuah alat screening wajah di CCTV berhasil mendeteksi wajah Syafri. “Target di pintu keluar barat.” Suara polisi dari ruang kendali itu terdengar di alat komunikasi semua polisi. Adjie yang berjarak dekat dengan pintu keluar barat menjadi orang pertama yang melihatnya. Tidak ingin menimbulkan kegaduhan, Adjie merangkul bahu Syafri tanpa suara. “Diam dan ikuti saya, kalau kamu macam-macam saya tidak segan-segan,” bisik Adjie mengancam. Syafri tersenyum tak terlihat wajahnya yang ketakutan. Ia menuruti dibawa Adjie ke ruang kendali.

Setelah di dalam ruang kendali, anak buah Adjie memiting lengan Syafri dan mengikat tangannya di belakang punggungnya. “Akhirnya muncul juga kau Syafri! Sekarang cepat katakan, di mana virus itu dan di mana The Ghost?!” bentak Adjie.

“Terlambat … waktunya tidak akan cukup,” kata Syafri. Anak buah Adjie memukul perutnya. Syafri mengaduh dengan tubuh membungkuk karena perutnya terasa perih dan panas. Adjie menjambak rambut Syafri hingga kepalanya mendongak. “Katakan di mana … apa kamu tega melihat orang-orang itu tewas karena virus?” Adjie menunjuk pada layar-layar monitor virtual pengawas yang menampilkan keramaian orang sedang melihat pameran di dalam gedung. Syafri menyeringai senyum. “Setiap perjuangan harus ada pengorbanan,” ucapnya. Adjie menampar keras pipi Syafri. 

“Mereka tidak bersalah!” sentak Adjie. 

“Saya juga tidak bersalah saat AI mengambil pekerjaan saya, membuat hidup saya dan keluarga saya berantakan!” balas Syafri tak mau kalah.

“Kapten! Tas virusnya sudah ditemukan!” seru suara anak buahnya di alat komunikasi. Adjie tersenyum menang, “Lihat kamu kalah, tasnya sudah ditemukan.” Syafri meludah membuang darah dari luka di bibir bekas tamparan Adjie tadi lalu berkata, “Jangan senang dulu, coba lihat isinya.” Adjie menjadi tegang saat Syafri mengatakan itu. “Lihat isinya,” perintah Adjie pada anak buahnya. “Siap Kapt,” jawab anak buahnya. 

Mereka semua menunggu. Syafri terlihat mesam-mesem. Adjie tampak gelisah. Kemudian terdengar suara di alat komunikasinya. “Kapten … di dalam tasnya ada sebuah tabung gelap dan tabungnya menyambung dengan kabel pada sebuah timer … ini … ini bom virus Kapten.” Suara anak buahnya terdengar gugup. Syafri tertawa-tawa. “Bajingan,” geram Adjie mengangkat tangannya. “Tunggu, tunggu jangan pukul dulu coba tanyakan waktunya sama anak buahmu itu,” tukas Syafri. 

“Berapa banyak waktu yang kita punya?” tanya Adjie tegang. “Kita hanya punya waktu lima menit Kapt,” jawab anak buahnya. Adjie menunduk, pikirannya gelap. “Hey Kapt, jangan bengong, lima menit sebelum bum! Hahaha,” ledek Syafri. Adjie lepas kendali, ia meninju Syafri disusul tendangan dan sebuah tinju lagi tapi Syafri menerima pukulan dan tendangan itu dengan tertawa. Anak buah Adjie seketika memeganginya. “Tenang Kapt! Tenang!” Adjie pun meronta melepaskan diri. “Ok ok saya sudah tenang!” teriaknya. Anak buahnya pun melepaskannya. 

“Hubungi Pak Bambang cepat, dan atur evakuasi secepat dan setenang mungkin, jangan sampai terjadi kepanikan,” kata Adjie pada anak buahnya lalu ia kembali menghampiri Syafri. “Sekarang katakan di mana The Ghost! Saya akan cari dia!” geram Adjie. Syafri menatap Adjie. “Dia tidak usah dicari, dia yang akan mencari Anda, Kapten.” 

***

Polisi tua itu menyalakan rokoknya. 

“Ya kalau ngasih minum ga mau, setidaknya saya dibagi rokoknya dong Paman,” sahut Jagat. Polisi tua itu mengeluarkan sebatang rokoknya lalu menyelipkan di bibir Jagat. Ia juga menyalakan koreknya untuk menyalakan rokok itu tapi belum lagi rokok itu menyala, Jagat dengan keras menyundul wajah polisi tua itu sekuat mungkin. Polisi tua itu terhuyung-huyung memegangi kepalanya, ia jatuh dengan kepala lebih dulu menghantam lantai lalu pingsan. Jagat mencabut pisau dari pinggang polisi itu untuk memotong cable ties di tangannya lalu melangkah keluar. 

Ruangan demi ruangan begitu sepi. Hanya ada beberapa polisi yang bersiaga di pos depan. Jagat berjalan pelan tak bersuara, ia tersenyum setelah melihat pada denah kantor polisi dan menemukan letak ruangan yang dicarinya. Tanpa kesulitan berarti Jagat pun bisa masuk ke ruangan itu karena para penjaga ruangan itu semua sedang berkumpul di pos depan tadi. Ia mengeluarkan sebuah flashdisk dari kantong celananya dan mencolokkannya pada sebuah komputer yang terus menyala selama 24 jam. 

Jagat tersenyum lebar melihat isi dari flashdisk itu mulai merusak sistem pengamanan tapi tiba-tiba alarm peringatan berbunyi keras. Jagat terkejut, ia tak menduganya. “Sialan! Double firewall!” cetusnya seraya berlari meninggalkan ruangan itu. Suara keras dari alarm itu membuat polisi di pos depan berlarian masuk ke dalam melewati Jagat yang menempel di langit-langit kantor seperti cicak. Tak ada yang menyadari itu. Setelah aman, Jagat melompat turun, kemudian berlari keluar melalui pintu depan.

 Para polisi itu hanya bisa menatap nanar melihat apa yang terjadi di ruangan pengendali. Virus dari flashdisk itu telah menyebar dan merusak sistem

***

Sementara itu.

Di atap-atap gedung sekitar gedung Virtual City Techno Corp tampak lima anak muda parkour yang terdiri dari dua wanita dan tiga pria, berdiri dengan gagah. Mereka menunggu. Beberapa saat kemudian muncullah The Ghost di hadapan mereka untuk memberi aba-aba dengan mengangkat tangannya. Kelima anak muda itu tampak bersemangat dan siap. Setelah The Ghost menurunkan tangannya dengan menunjuk pada gedung Virtual City Techno Corp, maka kelima anak muda itu bergerak dengan lincah dan indah. Mereka berlarian, melompat atau bersalto dari satu atap gedung ke atap gedung lainnya. 

The Ghost pun tak ketinggalan, ia merayap pada dinding di sebelahnya ke gedung yang lebih tinggi. Setelah sampai di atapnya ia berlari kencang lalu melompati sebuah jarak antar gedung, tubuhnya melayang bagaikan elang kemudian mendarat di atap gedung dengan mantap lalu berlari lagi seperti seekor Cheetah. Ia pun sempat melompat menghindari rintangan sambil memutar tubuhnya dengan indah lalu mendarat lagi dengan kedua kakinya dan melanjutkan lagi larinya.

Mereka terus bergerak, hingga kelima anak muda dan The Ghost itu sampai di atap gedung yang bersebelahan dengan gedung Virtual City Techno Corp. Pada lantai lima gedung itu terlihat shield yang berpendar melindungi. Mereka menunggu beberapa saat lalu perlahan shield itu meredup dan mati. Melihat itu mereka mengambil ancang-ancang lalu melompat berbarengan dengan indah ke gedung Virtual City Techno Corp itu lalu mendarat di atapnya.

Mereka saling tersenyum berhasil mendarat di atap lantai lima dengan selamat karena kalau shield tadi masih menyala maka tubuh mereka akan disambut oleh sinar laser yang bisa menghanguskan. The Ghost kemudian memimpin di depan masuk ke dalam ruangan melalui sebuah pintu yang bisa dibuka karena sistem keamanannya sudah dilumpuhkan itu. Mereka masuk dan menyebar di antara mesin-mesin server yang besar. Membongkar kabel inputnya dan menyambungkannya dengan laptop yang mereka bawa di tas mereka. The Ghost mengangguk-ngangguk senang melihat itu. 

Setelah itu mereka bergegas pergi melalui jalan mereka masuk tadi.

***

Bambang menatap isi tas itu. 

“Apa tasnya ga bisa dibawa keluar saja Pak?” tanya Adjie. “Terlalu beresiko, karena detonatornya sudah dinyalakan, goyang sedikit saja itu akan membuat timer langsung melompat ke nol dan memicu ledakan,” jawab Bambang. “Lalu apa saran Bapak?” tanya Adjie lagi. Bambang melihat sekelilingnya di mana acara pameran masih berlangsung meriah. Belum ada yang menyadari akan adanya bom virus yang akan meledak dalam dua menit lagi itu, bahkan gubernur dan yang lainnya masih terlihat menikmati hiburan di atas panggung.

“Evakuasi sudah dilakukan?” Bambang ingin memastikan. “Sudah Pak, tapi kita lakukan sedikit demi sedikit … secara pelan-pelan, supaya tidak ada kepanikan,” kata Adjie. “Itu ruangan apa?” tunjuk Bambang pada sebuah ruangan tertutup berukuran kecil berjarak 10 meter dari tempatnya berdiri. “Itu booth ganti baju yang tak terpakai Pak,” jawab Adjie. “Baiklah Kapten, saya duga kita ga akan sempat mengevakuasi orang sebanyak ini dalam waktu dua menit … jadi kita pindahkan bom ini ke ruangan itu, jaraknya ga terlalu jauh, saya akan coba jinakkan di situ dan kalau meledak virusnya tidak akan menyebar kemana-mana, virus itu rasanya juga ga akan menembus helm dan pakaian ini,” kata Pak Bambang yang telah memakai pakaian dan helm lengkap anti bom.

“Tapi tadi Bapak bilang kalau dibawa terlalu beresiko, gimana kalau goyang?” cemas Adjie. “Ya usahakan jangan goyang,” sahut Pak Bambang. “Yakin Pak?” ragu Adjie. “Punya ide yang lebih baik? Silakan Kapt, mumpung waktunya tinggal satu menit tiga puluh detik lagi loh,” sindir Bambang. Adjie menggeleng cepat. Maka tak menunggu lagi, Bambang secara hati-hati mengambil tas ransel itu. “Clear area!” perintah Adjie pada anak buahnya untuk mengamankan jalan. Anak buahnya dengan cepat melakukan itu, memberikan jalan untuk Bambang yang bergegas membawa tas ransel itu.

Waktu tersisa hanya hitungan detik saja. Adjie menelan ludahnya. Semua menjadi sangat tegang. Bambang mempercepat langkahnya hingga berjarak beberapa meter lagi dengan ruangan tertutup itu. Nahas kaki Bambang tersandung kabel. Tubuhnya terhuyung ke depan kehilangan keseimbangan dan membuat tas ransel itu terlepas dari pegangannya. Bambang hanya bisa menatap tas yang lepas dari tangannya itu. Sedang Adjie dan semua orang menahan nafas. 

Tas ransel itu melayang lalu jatuh membuat tabung yang di dalamnya pecah.

“Tidak! Evakuasi semua orang cepat!” teriak Adjie panik. Anak buah Adjie berlarian untuk mengevakuasi semua orang. Bambang yang tersungkur di lantai hanya menatap tas ransel itu. Orang-orang menjadi bingung saat mereka diarahkan untuk keluar ruangan. Adjie bergegas naik ke atas panggung merebut microphone dari tangan robot MC lalu mengumumkan evakuasi segera dan menjelaskan kondisinya maka riuhlah semua orang. Gubernur pun terkejut mendengar itu. Semua orang menutup hidung dan mulut mereka dengan tangan atau dengan apa pun yang bisa mereka pakai sebagai masker.

Di tengah keriuhan itu tiba-tiba semua komputer mati disusul dengan matinya semua robot, AI dan semua hal yang berhubungan dengan komputerisasi. Layar-layar monitor virtual padam. Robot-robot diam tak bergerak. Baik yang di dalam gedung maupun yang di luar gedung. Suasana yang ramai tiba-tiba menjadi sunyi. Adjie tampak kebingungan melihat kondisi itu begitu juga gubernur dan yang lainnya. Bambang mengambil tas ransel untuk melihat isi tabungnya. Ternyata tabung itu kosong, tidak ada virus atau apa pun. Bambang menyerahkan tas itu pada Adjie. Adjie melihat isi tas itu tak percaya. Apa yang terjadi sebenarnya? Batin Adjie.

Tiba-tiba sebuah televisi layar datar berukuran besar yang dianggap kuno di pameran itu menyala. Tampaklah The Ghost di layar televisi itu. Ia tetap memakai atributnya. Jaket hitam berhoodie dengan topi baseball biru dan masker wajah. Ia tak bicara hanya ada teks yang tampil di layar. Semua orang membacanya.

“Hahaha, surprise! This is cyber attack! Kami bisa men-shutdown sistem! Virus sudah dikirimkan! Kami tahu tak lama lagi tenaga cadangan akan menyalakan lagi sistem ini tapi kami telah membuktikkan pada kalian kalau kami ada dan berbahaya! Kami membayangi kalian! Berdiri untuk mereka yang tersingkirkan! Kami ada dan akan terus berlipat ganda!” 

Setelah itu layar televisi pun padam. 

Dan Adjie baru sadar kalau semua ini adalah jebakan yang sudah direncanakan dengan matang oleh The Ghost.

***

Gubernur Irma menatap tajam Adjie.

“Jadi semua itu jebakan?” tanyanya. Adjie mengangguk. “Jelaskan pada saya! Apa yang terjadi kemarin memalukan buat kota kita,” kesal gubernur. “Virus di dalam tas itu ternyata hanya pengalih perhatian, virus itu tidak pernah ada, yang sebenarnya adalah, The Ghost dan kelompoknya mengirimkan virus untuk server-server kita, itulah tujuan mereka dari awal,” jelas Adjie.

“Dan adikmu Jagat terlibat bukan?”

Adjie menunduk sesaat lalu mengangguk, “Iya Bu … dia sengaja membiarkan dirinya ditangkap untuk bisa masuk ke ruang kendali di kantor polisi untuk mematikan sistem shield,  melumpuhkan sistim keamanan di gedung Virtual City Techno Corp dengan virus, sehingga The Ghost dan kelompok parkournya bisa masuk ke server di gedung tersebut.”

“Jadi semua sudah direncanakan sejak kejadian di stasiun Blok M? Mereka menggiring kita ke skenario mereka … pintar,” angguk-angguk gubernur dengan tangan mengepal. Memuji sekaligus membenci. “Sudah kamu ketahui siapa saja yang terlibat, tapi kenapa mereka belum ditangkap?” tanya gubernur. 

“Syafri masih di tahanan, dokter sudah kami bebaskan karena tidak ada bukti dia menjual virus berbahaya, dia hanya dikenakan hukum denda karena berkata palsu  … yang lainnya kami masih mencari … karena mereka semua hidup di luar sistem Bu,” jawab Adjie.

Gubernur berdecak kesal. Decakannya hingga bergema di ruangan oval yang besar itu. Adjie tahu itu tandanya ia harus bekerja lebih keras lagi untuk menangkap mereka. “The Ghost … apakah kamu sudah menemukan jati dirinya? Saya ingin tahu siapa dia,” kata gubernur. Adjie menggeleng. “Belum Bu kami masih mencarinya.”

“Baiklah Kapten … kamu tahu saya tidak ingin hal kemarin terulang lagi, jadi lakukan pekerjaanmu dengan benar, tangkap mereka semua atau …” gubernur tak melanjutkan kalimatnya. “Atau apa Bu?” Adjie penasaran meski ia sudah menduga kemana arah kalimatnya. “Tidak apa-apa … pokoknya bekerja saja dengan benar dan cepat, saya ingin dapat kabar baik!” tegas gubernur lalu berjalan pergi meninggalkan Adjie yang berdiri sendiri di ruangan oval yang besar itu.

Adjie teringat akan robot-robot seperti Iron Man itu. Sepertinya ia tahu kelanjutan dari kalimat gubernur tadi. Adjie menghela nafas dan pergi meninggalkan gedung pemerintahan. Di dalam mobilnya yang menggunakan sistem self driving car yaitu mobil tanpa pengemudi, Adjie melihat sebuah gambar graffiti besar di tembok sebuah apartemen bertingkat, gambar dari The Ghost. 

Sementara itu.

Dodot duduk termenung di pinggiran kota Jakarta setelah mengetahui dirinya dipecat. Ia tak tahu harus kemana dan mau bekerja apa. Ia sudah diusir dari kosannya karena tak punya uang untuk membayarnya. Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depannya. Dodot terkejut. Ia tahu tidak semua orang berani mengendarai motor karena polisi akan mengejar pengendara motor. Di Neo Jakarta pengendara motor dianggap mengganggu ketertiban kecuai motor mereka didaftarkan ke pemerintah untuk bisa dikontrol dan dikendalikan dari jarak jauh. Sejak itu motor menjadi kendaraan populer di pasar gelap. 

Dan Dodot semakin terkejut lagi ketika orang yang turun dari motor itu ternyata Jagat Satria. “Anjir! Kemana aja lo?!” seru Dodot tak percaya melihat Jagat dan motornya. Jagat tertawa lalu memeluk Dodot. “Gue ada di mana-mana … ayo Dot ikut gue, kita pergi dari sini.”

“Bentar-bentar, lo ga punya duit, ga kerja tapi bisa punya motor? Gimana ceritanya?” heran Dodot. “Di pasar gelap, ga cuma motor yang laku, tapi robot-robot bekas juga, gue jadi pemulung, tapi pemulung robot,” tawa Jagat. “Lo mulung robot yang bekas atau robot baru lo pentung juga?” selidik Dodot, “karena gue tahu, hubungan lo sama robot ga akrab.” Jagat tertawa, “Bawel … ayo ikut gue.”

“Kemana? Sekarang gue ga punya tujuan dan tempat tinggal, gue udah dipecat Gat,” keluh Dodot. “Gue sama temen-temen punya tempat … ntar gue ajarin soal mulung robot tapi lo harus mau hidup diluar sistem, dan harus siap karena kita akan jadi orang yang dicari-cari, gimana?” Jagat memberikan penawaran. Dodot terlihat ragu tapi karena ia sudah tak memiliki pilihan maka Dodot mengangguk. Ia membuang kartu identitas dan kartu pembayaran cashless-nya agar tak bisa dideteksi keberadaannya. Kemudian duduk di boncengan motor. 

“Dan menurut gue nama lo juga baiknya diganti … jangan Dodot … gimana kalau gue panggil Libra? Terdengar lebih keren dan pejuang banget,” saran Jagat. “Libra,” ulang Dodot, “ok, panggil gue sekarang Libra dan gue akan hidup di luar sistem!” Jagat tertawa. Ia merapatkan retsleting jaket hitamnya yang ber-hoodie, mengeluarkan topi baseball berwarna biru dari kantong jaketnya dan dipakainya tak lupa memakai masker lalu melompat ke atas motor.

Motor pun menggerum-gerum lalu melesat di pinggiran kota Jakarta meninggalkan bayang-bayang gambar The Ghost yang mulai bermunculan di mana-mana di tembok-tembok kota.

TAMAT

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lebaran Bersama Ibu - Bab 1. PULANG
0
0
Ketiga kakak beradik pulang ke rumah untuk berlebaran bersama ibu, tetapi ibu sudah berbeda. Ibu sudah tidak mengingat mereka lagi. Ketiga kakak beradik itu mencoba mengembalikan ingatan ibu agar mereka bisa berlebaran seperti dulu lagi. Apakah bisa? Karena di balik itu semua ada alasan kenapa ibu seperti itu. Apa yang terjadi?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan