Lebaran Bersama Ibu - Bab. 2. IBU SUDAH TIDAK MENERIMA KITA LAGI

0
0
Deskripsi

Ketiga kakak beradik pulang ke rumah untuk berlebaran bersama ibu, tetapi ibu sudah berbeda. Ibu sudah tidak mengingat mereka lagi. Ketiga kakak beradik itu mencoba mengembalikan ingatan ibu agar mereka bisa berlebaran seperti dulu lagi. Apakah bisa? Karena di balik itu semua ada alasan kenapa ibu seperti itu. Apa yang terjadi? 

Bab 2. IBU SUDAH TIDAK MENERIMA KITA LAGI

“Kenapa?” tanyanya.

“Ga apa-apa … cuma aku heran Kak, kenapa kita harus ngumpul di sini sih? Kenapa ga ketemuan langsung di rumah aja?”

Hanandoko mengangkat bahunya, “Ga tau, Kak Hanin nyuruhnya begitu.”

“Kak Hanin itu suka aneh,” gumam Dira.

“Hey, bukan aneh, mungkin dia ingin kita bareng-bareng ke rumahnya.”

Dira diam tak menanggapi ucapan kakaknya itu. Tak lama terdengar sebuah informasi melalui pengeras suara mengenai kedatangan kereta api dari Semarang yang telah masuk di stasiun Gambir. Beberapa saat kemudian tampak Hanindya berjalan keluar dari pintu kedatangan. Ia tersenyum melihat kedua adiknya yang telah berdiri menunggunya. Kedua adiknya itu menghampiri Hanindya lalu mencium punggung tangannya dan mereka saling berpelukan. Hanindya menatap wajah kedua adiknya itu. “Lama ya kita ga ketemu langsung,” ujar Hanindya, “bahkan untuk vidcall aja susah.”

 Hanandoko nyengir, “Daerahku deket pantai, susah sinyalnya Kak, sinyal kadang ada kadang engga, jadi mau vidcall ya susah.” Hanindya mengangguk mengerti, “Oya gimana sama toko cendera matamu di sana Nan?"

“Alhamdulillah, di Pangandaran masa liburan ini cukup ramai Kak ….”

“Syukurlah Kak seneng dengernya,” ucap Hanindya lalu mengalihkan tatapannya pada adik bungsunya, “kalau kamu gimana Dira, dengan kuliah dan kerja paruh waktumu?” Dira menjawab pendek, “Lancar.” Hanindya menatap serius adiknya itu, “Ada apa Dira, kok jawabnya males-males gitu … sepertinya ada sesuatu yang membuatmu kesal?” Hanandoko menatap Dira. Dira tidak memberikan respon atas pertanyaan Hanindya. Hanindya menunggu si bungsu itu untuk bersuara tapi Dira tetap diam. Suasana menjadi kaku.

 “Mmm … gimana kalau kita cari tempat kayak resto gitu untuk berbuka puasa dulu aja? Sejam lagi beduk dan sambil nunggu buka puasa, kita bisa sambil istirahat … kita semua capek ‘kan? Kak Hanin baru sampe dari Semarang, aku baru datang dari Pangandaran dan Dira baru muncul dari Bandung, ok?” lontar Hanandoko memecah kekakuan. Hanindya mengangguk diikuti Dira. Maka mereka bertiga mencari tempat untuk berbuka. Setelah menemukan tempat makan yang tak terlalu ramai, mereka pun masuk, duduk memesan makanan ringan dan minuman untuk berbuka yang tinggal setengah jam lagi. Hanin duduk berhadapan dengan Dira. Ia memerhatikan Dira dan bisa merasakan kegelisahan adik bungsunya itu.  

“Katakan apa yang harus kamu katakan Dira,” ucap Hanindya.

Dira menatap kakak sulungnya, agak ragu untuk berkata tapi kakak sulungnya meyakinkan Dira dengan tatapan matanya untuk berkata, tapi sebelum Dira membuka mulutnya, Hanandoko telah mendahuluinya, “Eits bentar, bentar … apa kita ga nunggu buka puasa dulu? Sekarang kita ngobrol yang ringan-ringan aja dulu, setelah buka baru kita ngobrol yang serius … aku takut kalian emosi, hehehe.”

Dira melirik jam di dinding restoran, “Masih setengah jam lagi Kak Nan.” Hanindya tersenyum, “Nan, tenang aja deh, Dira itu cuma mau ngomong aja kok, ga pake emosi, betul ga Dir?” Dira mengangguk. Hanandoko menghela nafas pasrah seraya menyandarkan tubuhnya. “Baiklah … silakan,” ujarnya mempersilakan Dira untuk berkata.

“Kenapa sih Kak Hanin nyuruh-nyuruh aku untuk pulang Lebaran tahun ini? Aku ga suka tau!” cetus Dira tanpa kalimat pembuka atau basa-basi, ia mengucapkannya langsung begitu saja. Hanandoko terkejut mendengar adik bungsunya mengatakan itu sedang tidak bagi Hanindya, ia sudah hapal karakter adik bungsunya yang berani ini.

“Memang kenapa kamu ga suka?” tanya Hanindya.

“Kakak ‘kan tau aku ga cocok sama ibu!”

Hanandoko terdiam.

“Iya Kakak tau, itulah kenapa Kakak meminta kamu untuk pulang.”

“Buat apa Kak? Supaya aku ribut lagi sama ibu? Kak tahu dua tahun kemarin saat Lebaran aku ga pulang karena kesibukanku? Padahal aku tak sesibuk itu, aku hanya cari alasan untuk ga pulang dan bertemu ibu ….”

“Seburuk itukah ibu buatmu?” sela Hanandoko pelan.

“Bukan buruk Kak Nan, aku hanya ga ingin ribut … ibu selalu mengomentari semua yang aku lakukan dengan sinis … ibu selalu memaksakan kehendaknya … ibu pasti akan mengomentari rambutku yang berwarna ini, ibu juga pasti akan mendesak-desak aku supaya memakai jilbab lagi seperti Kak Hanin … dan kalau aku menolak, ibu akan marah, lalu akhirnya kita bertengkar … aku ga bisa dipaksa seperti itu …” urai Dira, “dan sejak ayah meninggal, aku ga punya lagi orang yang ngertiin aku di rumah, aku jadi malas pulang ….”

Mata Dira mulai berkaca-kaca ingat ayahnya.

“Heh, jangan nangis, ‘ntar batal puasamu loh,” ucap Hanandoko mencolek bahu adiknya. Dira mengucek-ngucek matanya untuk menghilangkan air matanya yang hampir jatuh. “Aku yakin, Kak Hanin dan Kak Hanan tau kalau aku dan ibu sering ga sependapat … trus kenapa aku disuruh pulang?” pungkas Dira.

“Trus kenapa sekarang kamu ada di sini?” tanya balik Hanindya pada Dira.

Dira terdiam.

Hanindya tersenyum, “Adikku Sayang … akui saja di dalam hatimu itu sebetulnya kamu juga rindu ibu … kalau kamu ga rindu dan ga mau pulang … kamu pasti ga akan ada di sini sekarang, kamu pasti ga akan nurutin Kakak tuh … tapi buktinya kamu kesini juga bukan?”

Dira sedikit menundukkan kepalanya dan perlahan mengangguk.

“Iya Kak … Kak Hanin betul … aku juga rindu ibu …” ucap Dira mengakui, “tapi aku takut, kalau aku bertemu ibu, akan ada perkataan ibu yang tidak bisa aku terima, lalu kita bertengkar lagi ….”

“Gampang aja kalau gitu Dir … terima aja apa yang ibu katakan,” sela Hanandoko.

Dira menghela nafas. Hanindya tahu betul karakter adiknya yang keras dan pendebat. Ia tidak akan bisa menerima begitu saja sebuah pendapat yang dianggapnya memojokkan dirinya. Ia akan mendebat itu meski sebetulnya pendapat itu belum tentu memojokkan. Karakter yang sebetulnya juga dimilki oleh Hanindya, karakter yang berasal dari ibu mereka juga yang keras dan pintar beragumentasi, berbeda dengan Hanandoko yang banyak mewarisi sifat ayahnya yang bisa merunduk untuk mengalah. Hanya saja Dira dua kali lebih keras dari Hanindya.

“Intinya sih, Kakak, mengajak kalian pulang Lebaran tahun ini karena kemarin sebelum puasa, Kakak sempat vidcall sama ibu yang ditemani Bi Asih, Kak melihat ibu yang ga banyak bicara saat itu … banyak Bi Asih yang mewakili ibu untuk bicara … melihat itu Kak berpikir, kita harus pulang, ada yang berbeda dari ibu, ibu seperti yang sakit karena ibu yang kita kenal biasanya bawel bukan? Dan saat itu … ibu duduk di kursi roda …” jelas Hanindya dengan kalimat terakhir yang bergetar.

Hanandoko dan Dira terkejut.

“Kalian ga tau itu ‘kan? Kapan kalian terakhir vidcall sama ibu?”

Hanandoko dan Dira menunduk tidak bisa menjawab.

“Kalian ga bisa jawab, berarti lama kalian ga vidcall ibu ya … jangan begitu Nan, Dira … kasian ibu yang sudah semakin tua … di rumah juga hanya ditemani Bi Asih … beliau pasti rindu kita … sekali-sekali teleponlah kalau ga sempat vidcall …” nasehat Hanindya.

“Jadi, sekarang ga ada salahnya kalau Kak meminta kamu dan Hanan untuk pulang bukan? Mau gimana kesalnya kita sama ibu, lupakan itu semua, lupakan ego kita dulu … ini hari Lebaran, hari di mana saatnya kita berkumpul lagi seperti dulu, berbagi kasih lagi, berbagi kehangatan lagi …” lanjut Hanindya, “apalagi kita sudah dua tahun ga pulang ….”

Kedua adiknya mengangguk memahami kalimat kakak sulungnya bertepatan dengan azan Magrib yang terdengar. “Alhamdulillah, sudah waktunya berbuka … ayo kita buka puasa dulu … setelah itu kita pulang dan kita kasih kejutan buat ibu kalau tahun ini kita pulang untuk berlebaran bersama beliau, setuju?” ucap Hanindya. Hanandoko tertawa setuju begitu juga dengan Dira. Setelah membaca doa berbuka puasa bersama maka ketiga kakak beradik itu mulai menikmati makanan dan minuman yang telah dipesan.

 

***

 

Sebuah taksi berhenti di depan sebuah rumah.

Turunlah ketiga kakak beradik itu dari dalam taksi dan berdiri di hadapan rumah di mana mereka dilahirkan dan menghabiskan masa-masa remaja mereka di situ. Hanandoko membuka pintu gerbangnya melangkah masuk dan berjalan di atas batu-batu bundar pipih yang sengaja diletakkan di atas rumput sebagai tanda untuk menjejakkan kaki diikuti dua saudara perempuannya. Mereka melihat sekeliling halaman yang dipenuhi bunga yang terawat dan teras rumah yang bersih tak berdebu. “Bi Asih melakukan tugasnya dengan baik, syukurlah,” lega Hanindya. Mereka berdiri di depan pintu rumah. Hanindya mengeluarkan kunci pintu dari tasnya, memasukkannya ke lubang pintu, bergumam, “Semoga ibu belum mengganti kuncinya,” lalu memutar kuncinya serta membuka gagang pintunya perlahan.

Menyeruak harum kembang sedap malam dari dalam rumah ketika pintu dibuka. Harum khas di rumah ibu selama bulan suci Ramadan hingga hari Lebaran adalah harum kembang sedap malam yang menyerbak dari vas-vas bunga. Mereka pelan-pelan masuk ke dalam rumah setelah membuka sepatu mereka tadi. Hanindya menempelkan telunjuk di bibir agar mereka tidak berbisik karena mereka akan memberi kejutan pada ibu. Mereka melangkah melewati ruang tamu yang kosong, melewati ruang keluarga yang juga sepi. Pelan-pelan Hanindya melongok ke kamar ibu yang pintunya terbuka sedikit, tapi di dalam tidak ada siapa-siapa.

“Kayaknya ibu ada di teras belakang,” bisik Hanandoko. Maka mereka menuju teras belakang. Dugaan Hanandoko tidak salah, setelah mereka melewati dapur dan ruang makan, mereka melihat ibu sedang duduk di kursi roda di teras belakang menghadap pada halaman yang terbuka. Tampaknya ibu sedang memandangi langit malam. Mereka berjingkat-jingkat lalu berdiri di belakang ibu tanpa ibu sadari.

  Hanindya memberi isyarat pada adik-adiknya untuk mengikuti aba-abanya. Jarinya menunjukkan hitungan mundur, 3, 2, 1. “Assalamualaikum!” seru mereka berbarengan. Ibu terkejut dan segera memutar kursi rodanya hingga berhadapan dengan ketiga kakak beradik itu.

Senyum Hanindya terbuka lebar, begitu juga senyum Hanandoko dan Dira, mereka membuka tangan mereka tak sabar ingin memeluk ibu. Perempuan lanjut usia dengan rambut sebagian sudah mulai memutih itu menatap mereka untuk beberapa saat kemudian memundurkan kursi rodanya sembari berteriak panik, “Siapa kalian? Mau apa kalian?!”

Ketiga kakak beradik itu terkejut dan mengerutkan kening tak mengerti.

“Pergi! Pergi kalian semua!” hardik ibu sembari menggerakkan tangannya mengusir.

Dira tiba-tiba menangis dan berkata pelan, “Ibu sudah tidak menerima kita lagi.”


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lebaran Bersama Ibu - Bab 3. DEMENSIA
0
0
Ketiga kakak beradik pulang ke rumah untuk berlebaran bersama ibu, tetapi ibu sudah berbeda. Ibu sudah tidak mengingat mereka lagi. Ketiga kakak beradik itu mencoba mengembalikan ingatan ibu agar mereka bisa berlebaran seperti dulu lagi. Apakah bisa? Karena di balik itu semua ada alasan kenapa ibu seperti itu. Apa yang terjadi? Baca ceritanya dan temukan jawabannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan