
Ketiga kakak beradik pulang ke rumah untuk berlebaran bersama ibu, tetapi ibu sudah berbeda. Ibu sudah tidak mengingat mereka lagi. Ketiga kakak beradik itu mencoba mengembalikan ingatan ibu agar mereka bisa berlebaran seperti dulu lagi. Apakah bisa? Karena di balik itu semua ada alasan kenapa ibu seperti itu. Apa yang terjadi? Baca ceritanya dan temukan jawabannya.
Bab 7. ALASAN PERGI DARI RUMAH
Hanindya masih diam memerhatikan kedua adiknya itu.
“Aku bukan nuduh Kak, tapi itu kenyataannya!” tukas Dira, “ayolah Kak, jangan bohongi diri sendiri, apa Kakak pikir aku ga tau kenapa Kakak memilih ke Pangandaran dibanding kuliah di Jakarta ini?”
Wajah Hanandoko terlihat merah, “Diam kamu!”
“Itu karena Kakak ga mau ngikutin keinginan ibu yang ingin Kakak kuliah di teknik sipil dan Kakak lebih memilih buka toko souvenir di Pangandaran karena Kakak lebih senang berdagang dan hidup bebas dekat pantai bukan?” cecar Dira.
“Aku bilang diam!” sentak Hanandoko berdiri dari duduknya seraya bertolak pinggang, matanya menatap tajam pada Dira. “Hey, hey … sudah … sudah … ini malam Ramadan … orang-orang sedang tadarusan untuk ngejar malam Lailatul Qadar kalian malah berantem … sudah tenang Nan, duduk! Dan kamu Dira juga sudah, kalau mau ngomong silakan tapi jangan pake emosi,” Hanindya mengingatkan.
“Aku ga emosi Kak Hanin … aku hanya menunjukkan pada Kak Hanan kalau bukan aku doang yang pergi dari rumah karena bentrok dengan ibu,” kilah Dira. Hanandoko kembali duduk setelah diingatkan oleh kakak sulungnya itu. “Iya, kamu memang betul Dir, aku memang ke Pangandaran karena ingin memilih jalan hidupku sendiri … aku bukan anak kecilnya ibu lagi yang segala sesuatunya harus dipilihkan oleh ibu,” akhirnya Hanandoko mengungkap alasan kepergiannya dari rumah.
Dira terdiam atas pengakuan kakak laki-lakinya itu. Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara. Hanandoko menurunkan emosinya, ia mengatur nafasnya perlahan. Teras di belakang rumah itu menjadi hening.
“Sepertinya hanya Kak Hanin yang ga pernah beda pendapat sama ibu,” celetuk Dira memecah keheningan. Hanandoko menoleh pada Hanindya. “Ibu sepertinya selalu menyetujui segala sesuatu yang dilakukan oleh Kak Hanin,” lanjut Dira. Hanindya tertawa mendengar ucapan adik bungsunya itu. “Iya betul … sampai Kak Hanin kerja di Semarang yang jauh diijinin sama ibu … giliran aku, mau ke Pangandaran yang deket aja pake ribut dulu sama ibu … kayaknya ibu ga pernah ngatur dan nyampurin hidup Kak Hanin deh,” tambah Hanandoko.
“Kata siapa?” senyum Hanindya seraya menyeruput teh manis melatinya.
Dira dan Hanandoko saling memandang lalu berdua bersamaan menatap Hanindya. “Kak pernah selisih paham sama ibu gitu?” tanya Dira seakan tak percaya. “Kok aku sama Dira ga pernah denger sih Kak?” timpal Hanandoko. Hanindya meletakkan cangkir tehnya lalu berkata, “Setiap anak di bumi ini pasti pernah yang namanya selisih paham sama ibu atau ayahnya … ga ada yang ga pernah … hanya saja ada yang berakhir sampai parah dan kurang ajar … ada juga yang diam saja tidak mau memperpanjang tapi biasanya akan sakit di hati … atau ada yang pergi dari rumah dengan berbagai alasannya.”
“Tunggu, tunggu,” sela Dira, “maksud Kak Hanin, Kakak kerja di Semarang itu juga dengan alasan yang sama seperti kami? Bukankah Kak bilang, ke Semarang itu karena Kak dipindah tugas sama kantor pusat di Jakarta?”
“Pindah tugas betul, alasan yang sama dengan kalian juga betul,” ungkap Hanindya.
“Tapi kita ga pernah denger Kak Hanin bertengkar sama ibu loh,” heran Dira. “Kalian ‘kan ga selalu ada di rumah,” kilah Hanindya. “Memang berselisih paham soal apa sih Kak Hanin sama Ibu?” tanya Hanandoko penasaran.
“Kamu kepo Nan,” senyum Hanindya.
“Bukan kepo Kak, tapi karena ibu selalu menjadikan Kak Hanin itu contoh buat kita berdua … dari kalemnya, dari pakaiannya yang tertutup, dari karir Kakak yang bagus di kantor, bahkan kiriman uang bulanan dari Kakak yang ga pernah telat pun sampai diceritain ibu ke kita … ibu sepertinya bangga sama Kak Hanin, tapi ga sama kita,” sela Dira diikuti anggukkan kepala Hanandoko.
“Kalian salah … jangan berasumsi sendiri dulu, Kak sih yakin ibu bangga sama kita bertiga bukan sama Kak aja …” sanggah Hanindya.
“Memang apa yang bisa diributin soal Kak Hanin sama ibu? Kakak itu semuanya sudah bagus, ga ada cacatnya,” sahut Hanandoko.
“Ga ada manusia yang sempurna Nan … apalagi Kakak … kesempurnaan itu hanya milik Allah,” balas Hanindya.
“Tapi beban anak bungsu itu memang lebih berat … dia dituntut untuk selalu mengikuti Kakaknya yang sukses, kakaknya yang baik, kakaknya yang agamis … kalau kakaknya ga sukses, maka dia yang dituntut orang tuanya supaya sukses, bebannya pindah ke anak bungsu,” keluh Dira.
“Lebih berat beban anak kedua dong …” cetus Hanandoko tak mau kalah.
“Apa? Perasaan beban anak tengah ga terlalu berat deh,” sanggah Dira.
“Bebannya? Anak kedua itu ga diharapin, karena anak yang diharap-harap itu anak pertama hahaha,” tawa pahit Hanandoko.
Hanindya geleng-geleng, “Hush … udah ah sekarang bukan saatnya kita ngadu nasib soal anak kesatu, kedua dan ketiga … kita semua sama … yaitu menjadi harapan buat orang tua kita. Anak pertama selalu diharapkan menjadi contoh untuk adik-adiknya, baik contoh tingkah lakunya maupun kesuksesannya, dia juga diharapkan menjadi tumpuan bagi orang tua dan adik-adiknya, kalian pikir itu ga berat? Kak harus memikirkan kelangsungan hidup keluarga apalagi setelah ayah ga ada … ya intinya sama seperti anak kedua, ketiga, kita semua harus bertanggung jawab pada keluarga terutama pada orang tua … tapi bagusnya sih itu jangan dijadikan beban … karena mengurus orang tua itu ganjaran pahalanya dari Allah sangatlah besar.”
Hanandoko manggut-manggut, lalu berkata, “Kak Hanin betul … tapi penjelasan Kak Hanin itu belum menjawab pertanyaanku tadi, soal apa yang sering diributin Kak Hanin dan ibu.” Hanindya tertawa, “Jangan dipikirin … itu biar Kak dan ibu aja yang tau.” Hanandoko mendengus sebal karena kakaknya tidak mau bercerita.
Dira menghela nafas, “Jadi, sebetulnya kita semua keluar dari rumah itu karena ga cocok sama ibu ya ….”
"Mungkin bukan ga cocok, tapi tidak dikomunikasikan dengan baik, banyak orang tua suka lupa, masanya dengan masa kita sekarang sudah berbeda. Kita harus mengakui kalau orang tua memiliki banyak pengalaman penting dan sejujurnya kita butuh tahu pengalaman mereka itu agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama atau sebagai pembelajaran buat kita ke depannya, sayangnya terkadang kita sok tahu, merasa lebih banyak tahu dari mereka. Akhirnya jadi ribut ..." kata Hanindya.
"Tapi kalau Kak Hanin sudah memahami itu, kenapa pergi juga dari rumah?" tanya Hanandoko. Hanindya menghela nafas dan menjawab, "Karena Kak tidak ingin terus-terusan menyakiti hati Ibu dan menyakiti hati Kak sendiri, ada yang bilang, "Lebih baik jauh tapi akur, dari pada deket tapi ribut terus" gitu Han."
Ketiga kakak beradik itu pun terdiam. Tanpa sepengetahuan mereka dari balik pintu yang terbuka, ibu sedang menguping sedari tadi lalu perlahan memutar kursi rodanya dengan kedua tangannya dan mengayuh rodanya menuju kamar.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
