Nisan Kapal: Sebuah Hipotesis

0
0
Deskripsi

Dalam khasanah pernisanan kuna di Yogyakarta, nisan kapal atau nisan dhuwur masih belum banyak dibahas. Padahal, nisan jenis ini adalah salah satu bentuk kebudayaan yang menarik terutama bagi sebagian daerah Bantul dan Kulon Progo.

Catatan saya kali ini akan mencoba menarik hipotesis tentang keberadaan nisan ini. Selamat membaca.

Sebagai sebuah produk kebudayaan umat manusia, nisan menyimpan aneka makna. Nisan tidak hadir sekadar sebagai tanda atas kematian. Ia bukan hanya benda mati tanpa arti. Berbagai budaya, hingga masa kiwari, masih terus menghormati benda satu ini. Bukankah kita sering melihat nisan-nisan ditutup kain dan dipegang-disentuh dengan sedemikian khidmat oleh para peziarah?

Budaya umat manusia juga kemudian berkelindan dengan aneka faktor seperti kepercayaan dan kondisi geografis. Kebetulan, Jawa dan Indonesia pada umumnya terpengaruh kebudayaan Islam dan memiliki kontur tanah datar. Akibatnya, budaya pemakaman di sini adalah dengan penguburan jenazah di tanah. Coba bandingkan dengan daerah Tibet dengan budaya pemakaman langit atau sky burial.

Karena hal itu pula, berbagai daerah dan budaya di Indonesia memiliki ragam hias nisan masing-masing. Di daerah sekecil provinsi DIY pun bisa ditemukan beraneka macam nisan dari berbagai era. Bukan sekadar berbeda ragam hias namun juga berbeda bahan baku pembuatannya.

Salah satu bentuk nisan di DIY adalah nisan kapal. Nisan satu ini sebenarnya belum memiliki sebutan pasti. Beberapa orang menyebutnya nisan kapal, nisan dhuwur, atau nisan tumpuk.

 

***

 

Perjumpaan saya pertama dengan nisan model ini terjadi pada 2022 silam ketika saya menziarahi komplek Makam Sewu di Bantul, Yogyakarta. Saya datang ke sana pada malam hari sehingga tidak terlalu memperhatikan detailnya. Hanya saja, saya ingat bahwa ada banyak sekali kijing setinggi pinggul, sesuatu yang jarang saya temukan di daerah lain.

Sebagai perbandingan, jika saya berjalan di tengah-tengah komplek makam, biasanya tinggi badan makam tidak akan lebih tinggi dari lutut. Sedangkan ketika di Makam Sewu, badan makam bisa mencapai setinggi pinggul. Jika dengan nisannya, bisa lebih dari setinggi perut. 

Saya pulang dari Makam Sewu tanpa memikirkan apapun. Lalu, seiring perjalanan, saya semakin sering melihat nisan ini baik ketika menyusuri makam-makam di Yogyakarta ataupun dari unggahan para senior pecinta nisan kuna. Istilah nisan kapal juga pertama kali saya temukan dari unggahan Facebook. Belakangan, saya diberi tahu seseorang bahwa di daerah Magelang nisan ini disebut sebagai nisan klayaran.

Saya masih ingat, unggahan itu menulis jika nisan ini identik dengan pesisir selatan Yogyakarta di Bantul dan Kulon Progo. Padahal, saya sendiri pertama kali bertemu nisan model ini jauh sekali dari pesisir manapun. Makam Sewu memang berada di Bantul, tapi tidak dekat dengan pantai manapun.

Berbeda dengan jenis nisan mataraman lain seperti pajang dan hanyakrakusuman, jenis nisan ini masih menghuni wilayah abu-abu dalam diskursus kesejarahan pernisanan. Setidaknya, para penggemar nisan belum memiliki kesepakatan bersama tentang jenis, nama, dan asal era nisan satu ini. Perjumpaan lebih sering dengan jenis nisan ini terjadi ketika saya melewati beberapa daerah di Bantul sisi selatan dan Kulon Progo. Di makam-makam dusun, nisan model ini sangat jamak ditemukan.

Sebagaimana judulnya, catatan ini adalah hipotesis, hasil analisa sederhana dan dugaan sejauh saya tahu tentang sebuah model nisan yang masih jarang dibahas dalam khazanah pernisanan Yogyakarta.

 

Analisa Bentuk

Saya sangat memahami sebutan nisan kapal untuk menyebut nisan satu ini. Setidaknya, dengan sedikit imajinasi saja dan memandang nisan ini dari samping, kita bisa memahami bahwa bentuknya memang mirip kapal. Kedua sisinya serong ke arah luar serta bagian alas yang lebih sempit memang mengingatkan kita pada bentuk kapal.

Sebenarnya, jika menilik pada bentuk, nisan model ini bukanlah hal yang benar-benar unik dalam khasanah pernisanan di Yogyakarta. Bentuk nisan ini mirip dengan beberapa nisan berbahan kayu di beberapa tempat di Yogyakarta misalnya di Makam Kyai Dalmudal, Kulon Progo. Di luar Yogyakarta, ada Situs Mbah Kuwu di Kebumen dengan koleksi nisan demikian.

post-image-6799a46f16078.jpeg

Perbedaan paling kentara antara nisan model kapal dengan nisan kayu di 2 lokasi tadi adalah pola susunannya. Jika nisan kapal bagian alasnya lebih sempit, makam nisan kayu di 2 lokasi tersebut tetap mempertahankan proporsionalitas dengan bagian atas lebih sempit.

Berbagai sumber menyamakan konsep nisan seperti di Makam Dalmudal dan Situs Mbah Kuwu dengan punden berundak ala peradaban kuna di Nusantara. Katakanlah ini benar adanya, apakah lantas konsep nisan kapal menjadi antitesa dari punden berundak?

Jawaban atas pertanyaan ini saya temukan secara tidak langsung dengan obrolan bersama juru kunci salah satu makam kuna di Kulon Progo, Mbah Dwi. “Itu menandakan undakan, Mas. Tingginya beda-beda, ada yang 5, ada yang 7 tingkatan,” terang beliau kala itu. Tingkatan di model nisan ini ditandai dengan lekukan atau perbedaan ukuran dari alas makam ke bagian atas. Artinya, secara sederhana, nisan kapal merupakan perwujudan dari konsep tingkatan ataupun undakan. Barangkali mirip dengan maksud dan arti pada konsep punden berundak.

Jika kita merasa bahwa proporsionalitas bentuk nisan kapal – dengan bagian bawah lebih kecil – adalah hal aneh, kita harus melihat juga bentuk bangunan purbakala lainnya. Beberapa bentuk lingga yoni misalnya, memiliki bentuk alas lebih kecil dibandingkan bagian atasnya. Toh, agaknya, filosofi unden berundak dan lingga yoni bukan pada bentuk alas-atap namun pada soal simbolisasi tingkatan.

Kebudayaan pada akhirnya adalah hasil dari olah pikiran dan akal budi manusia. Ada banyak faktor dalam penciptaan sebuah produk budaya, termasuk produk-produk kebudayaan dan kearifan dari masa lebih lama. Pada akhirnya pula, nisan dhuwur khas Kulon Progo dan Bantul tidak muncul begitu saja tanpa alasan.

Saya membayangkan, nisan dhuwur dibuat dengan titipan doa-doa agar arwah orang tersebut dipermudah menjalani setiap tingkatan setelah hidup di dunia. Barangkali pula, dengan model nisan tinggi, ada harapan dan keyakinan bahwa orang tersebut akan memiliki mendapatkan derajat tinggi di sisi Tuhan.

Selalu ada sifat cair dalam sebuah kebudayaan, termasuk dalam dunia pernisanan. Hal ini membuat nisan dhuwur memiliki beraneka ukuran. Dengan perbandingan tinggi badan saya 170 cm, nisan ini memiliki tinggi setara lutut hingga pinggul. Jika termasuk kepala nisan (maesan), nisan paling tinggi setara dengan perut. Terkait hal ini, saya meyakini, perbedaan tinggi nisan bertautan dengan kemampuan ekonomi ahli waris keluarga. Sederhananya, semakin tinggi nisan membutuhkan biaya makin tinggi.

Keunikan nisan dhuwur juga terletak pada bahan pembuatannya. Di kebanyakan daerah Yogyakarta, nisan dibuat dari batu andesit dengan warna hitam. Sementara, nisan dhuwur terbuat dari batuan putih. Jika melihat komplek makam di daerah pesisir Bantul dan sebagian Kulon Progo, nuansanya akan tampak berbeda dengan nisan-nisan berbahan batu putih – yang karena proses alam akan lebih tampak abu-abu. 

post-image-6799a48469b80.jpeg

Tentang bahan baku ini, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang karakteristik batuan di daerah tersebut. Apakah memang tidak banyak batu andesit atau ada alasan lain di balik pemilihan bahan ini. Misalnya, siapa tahu harga batuan putih lebih murah dibanding batu andesit.

Sekalipun terdengar sebagai sebuah hal baru, nisan dhuwur tidaklah benar-benar membawa konsep baru. Kepala nisan (maesan) model ini identik dengan nisan hanyakrakusuman dengan 2 templat bentuk: lancip dan membulat. Bedanya, ukiran di maesan ini lebih sederhana dengan garis-garis lurus, bukan ukiran bunga-bunga khas nisan jawa lainnya. Masih dari segi bentuk, jika saja undakan-undakan di bagian bawah dihilangkan, nisan dhuwur akan tampak seperti nisan-nisan kuna sebelum era hamengkubuwanan dengan badan makam (kijing) yang relatif tipis.

 

 

Perkiraan Masa

Dugaan masa selalu menjadi obrolan menarik bagi para pengkaji nisan-nisan kuna. Salah satu cara penarikan kesimpulan untuk membuka kemungkinan masa pembuatan suatu nisan adalah dengan melihat bentuknya. Dari sini, diskusi bisa melebar ke berbagai hal misalnya tentang kondisi sosial budaya di suatu tempat hingga kedekatan antar tokoh di masa lalu.

Bicara tentang model nisan-nisan di Yogyakarta, kebanyakan pengkaji nisan sudah menyepakati secara arbitrer banyak model nisan. Misalnya nisan hanyakrakusuman dan nisan hamengkubuwanan yang sudah dikaji mendalam oleh M. Yaser Arafat, akademisi UIN Sunan Kalijaga. Sementara itu, di aneka grup sejarah, banyak orang mencari praduga tentang asal masa suatu nisan – beberapa bahkan memberi namanya sendiri.

post-image-6799a4f221e24.jpeg

Saya cukup lama dibingungkan dengan perkiraan masa nisan dhuwur khas Kulon Progo. Apalagi, tidak ada keterangan jelas tentang nisan jenis ini. Belum banyak pula penelitian khusus tentangnya. Jawaban dari pertanyaan ini baru jelas ketika saya merunut satu demi satu jenis-jenis nisan kuna di Yogyakarta.

Untuk itu, saya akan menjelaskan jenis-jenis nisan kuna di Yogyakarta terlebih dahulu. Pertama, ada nisan pajang yang menandai masa awal peradaban Alas Mentaok pada awal tahun 1600. Setelah itu muncul model nisan hanyakrakusuman (1500-1700). Ada pula nisan diponegaran yang diduga berkaitan erat dengan laskar Perang Jawa. Di masa setelahnya, ada sebutan nisan hamengkubuwanan sebelum kini nisan-nisan berbahan semen dan keramik populer. 

Nisan hamengkubuwanan secara umum disepakati oleh para pegiat sejarah sebagai gaya nisan setelah Keraton Yogyakarta berdiri atau setelah hadeging negari. Keberadaannya bisa ditemukan di berbagai makam para tokoh keraton ataupun makam-makam dusun di sekitar Yogyakarta. Secara fisik, ukuran nisan dan badan makam (kijing) gaya hamengkubuwanan cenderung lebih besar dan lebih tinggi dibandingkan nisan gaya pajang ataupun gaya hanyakrakusuman. 

Jika bingung, nisan hamengkubuwunan adalah nisan batu paling umum di kebanyakan komplek-komplek makam di sekitar Yogyakarta (kecuali daerah pesisir selatan Bantul dan Kulon Progo). Hampir bisa dipastikan, nisan jenis ini ada di makam-makam dusun dan memiliki berbagai variasi bentuk.

Menariknya, nisan hamengkubuwunan sangat sulit ditemukan di makam-makam dusun wilayah pesisir Bantul dan Kulon Progo. Kebanyakan, nisan di daerah tersebut didominasi 2 model yakni model nisan dhuwur dan nisan modern dengan semen atau keramik. Hipotesis terkait nisan dhuwur akan saya tarik dari fenomena ini.

Saya akan mencoba merunutnya satu per satu.

Ketiadaan nisan pajang dengan perkiraan era 1600-an bisa diartikan sebagai ketiadaan peradaban di masa itu. Begitupun dengan nisan hanyakrakusuman dan dipanegaran. Hal ini tidak terlalu aneh karena di banyak tempat pun demikian adanya. Tidak semua makam dusun memiliki koleksi nisan hanyakrakusuman dan dipanegaran. Namun, ketiadaan nisan hamengkubuwan di sebuah wilayah di Yogyakarta bagi saya menjadi ganjil.

Alasan pertama, nisan hamengkubuwanan berasal dari era lebih muda dibandingkan hanyakrakusuman dan dipanegaran. Katakanlah bahwa nisan ini berasal dari era 1800-1900an. Padahal, di era 1900-an, peradaban di dusun-dusun Yogyakarta sudah mulai muncul. Jika tidak percaya, bagi kalian generasi 90-an, silakan runut sendiri kemungkinan tahun lahir simbah buyut kalian.

Ketika di dusun-dusun lain peradaban era 1800-1900-an ditandai dengan nisan hamengkubuwanan, area pesisir Bantul dan sebagian Kulon Progo menandai masa ini dengan nisan khas daerah mereka sendiri.

 

***

 

Apapun sebutannya, entah nisan kapal, nisan dhuwur, nisan klayaran, nisan jenis ini adalah sebuah fenomena menarik dalam dunia pernisanan di Yogyakarta. Benda ini memang berasal dari masa kuna, namun dengan sedikit analisa dan penelitian lebih mendalam, masyarakat akan mendapatkan informasi penting terkait masa asal nisan ini beserta arti filosofisnya.

“Ah, cuma nisan, apa juga pentingnya tahu masa pembuatannya,” mungkin begitu anggapan sebagian orang. Iya, hanya nisan, penanda kubur orang-orang biasa. Namun, dari sebuah nisan masyarakat bisa tahu jati diri dan asal usulnya secara lebih utuh. Lagi pula, kiwari ini banyak sekali cerita pemalsuan makam.

Sungguh tidak lucu jika seorang tokoh tiba-tiba mengkeramatkan nisan dhuwur di suatu dusun. Lalu ia mengatakan bahwa itu merupakan makam seorang ulama zaman kuna dan orang-orang mempercayainya. Padahal, itu hanya nisan seorang warga dusun biasa yang hidup pada tahun 1800-an akhir.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Menyingkap Kain Penutup Nisan
0
0
Di beberapa daerah, jamak ditemukan nisan-nisan bertutup kain. Sekilas, ini membuat sebuah makam atau nisan tampak lebih terlihat mistis dan angker. Di sisi lain, praktik menutup nisan dengan kain memiliki banyak arti dan tujuan, termasuk tujuan ekonomi.Baca catatan Kelana Pusara selengkapnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan