(1) Beri Judulmu Sendiri, Walau Cerita Cengeng Ini Tidak Seperti Kisahmu

0
0
Deskripsi

Rahasia. Lanjut baca aja.

                                                                        1

                                              LAKI – LAKI YANG MENANGIS

Kalau memang semua warna memang ada

Bisakah meminta lagi?

Sebab aku lelah hanya melihat hitam dan merah

Membuatku takut pada pandanganku sendiri

Aku masih mencari kokoh batu karang

Untuk sembunyi dan bersandar 

Melindungi hati dari ombak gelisah jiwa

Aku perlu menggenggam sejumput kenangan manis

Yang barangkali mampu menguatkanku

Untuk terus melangkah di keruh dunia

Tak ada yang kembali, seperti angin kemarin

Tapi embun masih tiba setiap pagi

Meminta jangan lelah berharap

Tak perlu menyerah

Sebab gerimis punya janji: ada lagi pelangi nanti.

     Aku pikir aku memang sendirian di dunia ini.

     Suatu senja, petir yang keras itu membangunkanku dari lelap tidur. Terlihat hujan deras berjatuhan di luar jendela. Tiba-tiba saja datang rasa sepi yang asing menyergap hati meski suara rintik hujan terdengar berirama dan merdu, membuat aku ingin berlari dan segera memeluk hujan. Tapi, tentu itu hanya bisa nyata dipikiran. Aku hanya bisa diam di sudut jendela, setia memandangi hujan dan langit yang begitu mendung.

Hatiku memilih memaksa

Aku mencari dan tak menemukan

Musim jiwa masih kemarau

            

Kulihat hujan patah-patah

Merah lalu membeku

Mungkin ia dilukai lagi

Aku dan hujan sama

Masih meraba rasa

Nyata, tak sempurna...

     Dan tak disangka tetes hujan ternyata sampai di lenganku. Basah. Aku teliti kamar kecilku, apa ada yang bocor? Semua terlihat rapat dan tak ada lubang, baik dinding maupun langit-langit kamar. Sampai akhirnya aku tersadar, itu bukan tetes air hujan. Itu adalah tetes air dari mataku sendiri. Aku laki-laki, yang ternyata baru saja menangis.

     Aku marah. Benci pada diriku sendiri karena aku menangis. Padahal semua bilang laki-laki tidak boleh menangis. Menangis itu cuma dilakukan perempuan. Dan aku adalah laki-laki, tidak seharusnya menangis.

     Aku ini laki-laki. Aku ini bernama Toba. Toba adalah danau. Dan danau juga mungkin tidak menangis.

     Ini sudah satu bulan. Sejak ibu berpisah dengan ayah, sejak ibu meninggalkan aku dan adikku, Bagas. Membawa serta adik kecil perempuanku, malaikat kecil kami semua, Jihan. Setelah banyak pertarungan batin di hatiku, di hati ibu, dan mungkin di hati ayah juga, sepertinya berpisah adalah jalan yang paling benar. Bagas tidak begitu peduli dan Jihan masih belum mengerti. Kami berharap perpisahan ini akan membuat hati kami tidak lagi sesakit kemarin saat bersama, tapi ternyata tidak begitu. Luka di hati kami semua sepertinya masih terus berdarah-darah karena perpisahan ini.

                                                                         *    *    *

            Hari–hari setelah ibu pergi dari rumah begitu berbeda.  Hanya ada tiga orang laki-laki di rumah. Ayah, Bagas, dan aku sendiri. Rumah tidak begitu terurus. Kami mengurus diri masing-masing. Ayah jarang pulang ke rumah kami. Ia lebih sering pulang ke rumah ibunya, rumah nenek yang tak jauh dari daerah rumah kami juga. Bagas sering menginap di rumah temannya. Kami hanya bertemu sesekali di rumah dan interaksi semakin berkurang. Kami makin jauh. Aku kini hanya punya rumah sekarang sebab penghuni lainnya sekarang ‘hilang’. 

         Aku kadang merasa sebatang kara. Aku merasa yang paling tertinggalkan akhirnya, dengan semua kenangan yang terus saja berkelebatan selalu ketika aku ada di rumah. Dan kamarlah yang jadi duniaku selanjutnya. Sepenuhnya.

       “Toba, nenek mau bicara,” kata ayah yang baru pulang dari rumah ibunya.

       “Iya. Nanti.” Jawabku seadanya.

       “Terserah,” Ayah menutup pembicaraan dan langsung menikmati acara berita di televisi. 

        Dan aku cuma bisa menatap diam orang yang aku panggil ayah selama 18 tahun ini. Orang yang tak pernah lagi bertanya keadaan hatiku. Orang yang tak pernah lagi membujukku untuk menuruti perintahnya. Orang paling dekat secara fisik tapi jauh secara batin. Orang yang tidak seharusnya mengabaikanku. Orang yang hatinya mulai tak kukenali lagi. Mengapa sering sekali ada jarak antara orangtua dengan kami yang mulai beranjak dewasa? Kesalahan siapa? Tiba-tiba aku sangat ingin kembali ke masa kecil dulu. Di mana aku pernah tertawa bahagia bersama orang ini. Bersama ayahku.

       Sebelum tidur karena insomnia dan banyak pikiran di dalam kepala, aku menulis puisi. Ini memang sebuah kebiasaan. Aku orang yang tidak banyak bicara dan biasa mencurahkan perasaan lewat menulis puisi.

       Kali ini judulnya kuberi nama Memori

Hari yang kini ku jalani

Tiada lagi seperti dulu

Saat semua terasa indah

Karena selalu bersama

Suka duka bersama

Melewati hari demi hari

Namun semua hanya tinggal kenangan

Yang takkan bisa terulangi

Detik demi detik

Hari demi hari

Dan waktu yang terus bergulir

Kulalui dengan kesendirian

Perpisahan telah merenggut hidupku

Merampas semua yang kumiliki

Mengambil mereka yang ku sayangi

Hingga luka yang tersisa

Kenangan di masa lampau 

Terus membayangi hari-hariku

Membuat senyum kembali merekah

Membuat tangis semakin menjadi

Tiada lagi canda tawa riang

Hanya terwakili oleh memori

Tak satu pun dapat memahami

Kesedihan yang kini ku rasakan

     Aku selalu suka menulis puisi. Hatiku lega setelah bisa menuliskan ini. Setelah menuliskan sakit ini.

Aku akhirnya bisa tertidur nyenyak.

                                                              *    *    *

            Di sekolah sebelum aku masuk kelas, pasti selalu kusempatkan menunggu seseorang. Aku selalu mengamatinya dari jauh. Mataku selalu mengawal langkahnya dari gerbang, melewati koridor, sampai tiba di depan kelasnya. Aku selalu ingin melihat langkah tergesanya yang anggun itu. Dan karena kebiasaanku ini, bahkan aku hapal tasnya yang ransel warna coklat muda itu, yang bergantungan kunci huruf N yang ukurannya agak besar. Normal, ini hasrat masa muda. 

          Aku memang selalu tiba sebelum dia. Aku percaya dia tahu kebiasaanku ini. Sepertinya ini tidak mengganggunya, ia tidak marah dan tidak malu. Dan aku akan kembali ke kelas, kembali ke teman-temanku setelah mendapat senyum manisnya dari jauh. Perasaan paling indah rasanya. Sejenak bisa membuatku melupakan kehidupan rumahku.

        Orang yang senyumnya selalu menggangguku itu adalah kakak kelasku. Satu tingkat di atasku. Namanya adalah Nika. Sebelumnya ia memang terlihat sulit didekati dan terlihat jutek. Ia terkenal cerdas dan aktif di organisasi sekolah. Berbeda denganku. Tapi ternyata ia cukup ramah, setelah di beberapa kesempatan bisa mengenalnya lebih dekat. Setiap kali berpapasan di sekolah, dia selalu memberikan senyumannya padaku. Dan aku berani bilang dia adalah pemilik senyum termanis.

      Tapi sekarang sudah berbeda. Sudah setahun sejak aku naik ke kelas dua belas, dan berarti Nika lulus sekolah. Tidak ada lagi Nika yang biasanya kujumpai di kantin, di bawah tangga, di dekat masjid sekolah. Aku juga rindu senyumnya. Di sekolah tak ada pengganti yang bisa menggantikannya. Ah, mengingat seorang Nika, berarti mengingat seorang wanita, memaksa kembali aku merindukan dua wanita tersayangku.

      Aku rindu ibu. Aku rindu Jihan.

                                                                        *    *    *

            Aku ke rumah nenek. Aku dan Bagas. Sejak ayah menyuruhku waktu itu, baru hari ini aku siap bertemu dengan nenek. Ini bukan karena aku tidak menghormati orang yang lebih tua. Aku memang selalu butuh kekuatan untuk bertemu dan bicara dengan nenek. Ibu dari ayahku ini orangnya memang keras. Dan sangat melindungi anak kesayangannya, ayahku. Aku sedikit kurang nyaman bicara dan berdekatan dengan nenek.

          “Kirain lupa sama Nenek,” kata nenek seusai aku dan Bagas mencium tangannya.

          “Maaf Nek, baru sempat. Kan Toba sibuk belajar karena mau ujian sebentar lagi,” ujarku.

           Bagas diam saja. Ia malah langsung pamit bermain dengan temannya yang rumahnya di sebelah rumah nenek.

          “Sekarang kamu senang, Toba ? ” tanya nenek. 

          Ini pasti tentang Ibu. Tentang perpisahan mereka. Dan aku pasti sekarang sangat dibenci nenek. Karena aku memang yang mengusulkan hal itu. Aku yang sebenarnya mengusulkan perceraian itu.

         “Iya, Nek.” Jawabku singkat. Hanya dalam hati.

         “Sekarang enggak akan ada lagi yang urus kalian. Ayah biar nenek yang urus karena memang anak nenek. Tapi kamu harus bisa urus diri kamu sendiri, urusin Bagas,” nenek bicara begitu. Ditambahkannya lagi ,”Ibu kamu juga sudah pergi ke Bandung kan? Mana sempat urus kamu?”

         Aku tidak perlu kaget. Aku amat paham dengan watak nenek. Tapi mendengarnya bicara begitu, aku merasa sedih. Nenek bilang hanya akan mengurus ayah, sedangkan aku harus mengurus diriku sendiri dan Bagas. Apa dia lupa aku masih punya ibu? Aku tahu dan sangat percaya ibuku. Memang ibu tidak akan lagi mengurusku secara langsung seperti dulu. Tapi kami anaknya, akan selalu ada di setiap doanya. Dan dari doa itu kami akan punya kekuatan untuk bertahan. 

        Dan apakah nenek tak menganggap aku dan Bagas sebagai cucunya? Mengapa nenek selalu lebih sayang pada ayah? Padahal yang sering aku dengar, cucu lebih disayang dari anak. Sayang ini ternyata tak berlaku padaku. Tidak berlaku untukku dan Bagas. Kami hidup dengan nenek yang lebih sayang pada anak dan bukan cucunya, dan telah membuat anak satu-satunya, ayah kami, sangat bergantung padanya. Sehingga kami harus terpaksa hidup dengan seorang pria dewasa yang kurang tahu apa tanggung jawabnya sebagai suami dan seorang ayah.

       Rasanya aku ingin berteriak. Aku dan Bagas, kami butuh juga kasih sayang nenek. Tidak bisakah ia bicara yang menyejukkan hati kami ? Kami sedang tumbuh dan masih ingin diliputi kasih sayang keluarga.

        Tidakkah dia berpikir bagaimana mungkin seorang anak merasa senang karena perceraian orang tuanya? Meskipun sang anak yang mengusulkannya? Bukankah ini keberanian? Keberanian yang sebenarnya sangat melukai hati sendiri. Agar tidak lagi melihat kedua orang tua yang disayanginya terus menerus saling menyakiti jika terus bersama. 

        Biasanya ada bekal kasih sayang yang menjelma kekuatan, dari dalam untuk menghadapi dunia luar. Tapi kalau begini, harus bekal dari mana untuk menghadapi dunia dalam yang kacau dan dunia luar yang keras? 

        Aku sudahi dulu kegelisahan pikiran dan jiwaku yang makin keruh saja.

        Aku dan Bagas lalu pamit pulang. Dan hatiku bertambah pedih sepulang dari rumah nenek.

                                                                  *    *    *

       Aku dan Bagas duduk di teras sesampainya di rumah. Tidak ada ayah.

      “Kalau kamu mau ketemu ibu dan Jihan, dateng aja ke Bandung,” kataku memulai pembicaraan.

      “Atau kamu mau tinggal sama mereka. Silakan. Biar aku di sini aja temenin ayah,” lanjutku.

      “Ya, nanti gua pikirin lagi. Cabut dulu ya. Mau ngumpul sama temen-temen.” Timpal Bagas sambil langsung berlalu saja.

       Waktu itu aku pernah melarang Bagas pergi bersama ibu. Biar ibu dan Jihan saja yang pergi. Bagas dan aku laki-laki yang beranjak dewasa, bisa berdiri sendiri walaupun ibu akan pergi. Aku dan Bagas di sini saja agar tak membebani ibu. Tapi masalahnya Bagas sangat dekat dengan ibu. Ibu cukup memanjakannya. Posisi sekarang pasti memberatkan Bagas. Makanya kemudian aku berpikir yang sebaliknya. Bagas akan bisa menjaga ibu dan Jihan. Dan aku akan bisa merawat diriku.

        Malam sudah datang dari tadi dan insomnia datang lagi. Aku membaca  buku biar mata segera lelah dan mau tertidur. Aku menoleh ke sebelahku. Bagas terlihat sudah tidur sedari tadi. Tidurnya sedikit meracau. Aku mendekat pada wajahnya, kuhadapkan ke arahku. 

        Dia menangis. Bagas menangis dalam tidurnya. Adikku yang berselisih umur hanya satu tahun dariku ini ternyata bisa juga menangis. Bukankah ia selalu ceria? Bukankah selalu tertawa? Sejak kecil hidup bersamanya, baru hari ini aku melihat air matanya. Dan aku merasa langsung paham tanpa perlu banyak berpikir tentang alasannya menangis. Akan terlalu jahat bila aku masih bertanya padanya hal yang sudah jelas kuketahui.

        “Nangis aja, Gas. Kamu mungkin benar-benar rindu Ibu dan Jihan ya,” ujarku. Aku cuma ingin bilang begitu walau tahu pasti ia tak akan mendengar.   

        “Lagian tinggal di sini kamu pasti selalu berantem sama ayah. Mungkin emang lebih baik kamu pergi aja ke ibu, biar berhenti berselisih dan nyakitin satu sama lain. Ingin tinggal dengan seorang ibu juga adalah hak setiap anak,” aku masih bicara sendiri.

         Aku tak bicara lagi. Sesak. Satu orang lagi sepertinya akan pergi meninggalkanku. 

         Sebelum berlari ke alam mimpi, aku mencoba mencari bintang-bintang di langit malam yang makin banyak polusi. Dan sia-sia saja.

                                                                       *    *    *

           Aku mendapat pesan singkat. Dari nomor yang tak kukenal. Ternyata dari Kamea. Seseorang yang kukenal dari turnamen futsal yang kuikuti karena ajakan Dimas, yang masih terhitung sebagai tetanggaku karena rumah kami masih berada di satu lingkungan yang sama. Pada waktu itu, aku menjadi kiper dadakan yang menggantikan temannya yang cedera. Dan Kamea adalah teman dari kekasih kapten tim futsal. Kami semua sempat makan bersama saat merayakan kemenangan. Sempat bicara dan tertawa bersama.

         Kamea menanyakan apa aku ikut bertanding di pertandingan berikutnya. Aku bilang tidak karena kemarin aku hanya membantu. Kami tidak banyak bicara hari itu.

                                                                      *   *     *

        Di Gelora Bung Karno, beberapa minggu kemudian kami nonton bareng Timnas Indonesia. Aku, Dimas, Bagas, beberapa teman dan kenalan dari tim futsal waktu itu. Kami sangat menikmati jalannya pertandingan. Dan secara tidak sengaja, sepertinya beberapa kali mataku bertemu dengan mata Kamea. Ia tersenyum dan aku dengan segera mengalihkan pandangan ke pertandingan yang sedang berlangsung.

        Pulang. Sayangnya timnas kalah, padahal kami sudah teriak habis-habisan tadi. Tapi tadi sangat seru. Kami sangat kompak sekali. Aku ingat tiba-tiba tadi Kamea kudapati menoleh cukup lama ke arahku yang tampaknya terlalu fokus mengikuti jalannya pertandingan . Ia memang ada di sebelahku. Aku gugup, ia tersenyum santai. 

        Aku tak mengerti arti gugupku dan senyumnya itu.  

                                                                     *     *      *

        Komunikasi dengan Kamea ternyata berlanjut. Kami sering SMS, kadang telpon, saling like dan komentar di Facebook dan Instagram satu sama lain. Juga sering saling retweet di Twitter. Aku tidak pernah begini sebelumnya. Ini cuma dengan seorang Kamea. Dan mungkin karena memang hanya Kamea yang tertarik sangat berteman denganku.

        Kami sering bertemu saat kumpul dengan teman-teman. Mungkin sebulan sekali. Tapi aku dan dia tak selalu duduk berdekatan. Aku tak selalu bicara dengannya, Kamea pun sering tertawa bukan denganku. Aku pasif, dia yang aktif. 

        Suatu kali, ia menghampiriku yang sedang duduk saja sendirian.

       “Ngapain sendiri aja? Gabung dong sama yang lain,” kata Kamea.

       “Iya, nanti deh,” jawabku santai.

       “Kita itu beda banget ya. Aku sama kamu,” kata Kamea tiba–tiba.

       “ Iya.” Aku jawab sekenanya sambil tersenyum canggung.

       Kamea dan aku terus saja bicara tentang perbedaan di antara kami. Tersenyum, tertawa kecil. Biasanya orang-orang menjadi dekat karena banyak persamaannya. Tapi tidak dengan aku dan Kamea. Perbedaanlah yang membuat kami tarik menarik satu sama lain.

                                                                       *    *    *

         Ujian Nasional tiba. Aku coba menghadapinya dengan tenang. Aku tidak ingin merasa terlalu gugup dan malah merusak konsentrasiku sendiri. Kamea menyemangatiku setiap paginya. Dia mengirim SMS setiap hari. Dia tak ingin aku gugup dan bisa menyelesaikan soal dengan baik. Mengingatkanku juga jangan lupa berdoa sebab usaha tanpa doa sering jadi tidak berkah.

                                                                        *    *     *

            Memasuki bulan Agustus, tepatnya tanggal 9, Kamea berulang tahun. Aku membuat puisi untuknya. Sepertinya dia senang. Aku mendengarnya tersenyum di telepon.

          “Makasih. Baru kali ini ada yang kasih aku kado puisi. So sweet,” jelas suara bahagianya begitu terdengar.

Adalah salah satu warna milik surga 

Diturunkan ke bumi

menambah indah pelangi 

aku percaya itu kamu

         Cuma puisi pendek sederhana, kado dariku yang tak bisa memberinya apa-apa. Tapi dia bilang ini hadiah terindah yang tidak akan ada di toko mana pun.

                                                                       *    *    *

         Aku adalah orang yang tertutup. 

         Aku jarang nongkrong yang sering masuk agenda wajib teman-teman sebayaku. Kalau tidak terlalu penting, aku tidak akan ikut. Tak peduli dicap kuper. Apalagi uang jajanku memang pas-pasan.

            Aku tidak merokok. Di antara teman–teman rasanya cuma aku yang tidak merokok. Beberapa dari mereka sering bilang aku tidak keren dan kurang seru, meski tidak semua karena banyak juga yang tidak mempermasalahkan. Tapi aku teguh pada prinsipku, keren tidak harus merokok menurutku. Aku juga akan membuang uang banyak untuk membelinya apalagi bila sudah masuk tahap ketergantungan. Aku masih perlu menggunakan uang untuk keperluanku yang lain.

            Aku juga tidak minum kopi. Tanpa minum kopi aku sudah langganan insomnia. Aku suka air bening yang sering disebut air putih itu, si sehat dan murah meriah serta ada di mana pun.

            Terakhir, aku tidak punya pacar. 

            Teman-temanku bilang aku terlalu pemilih, tidak gaul. 

            Mereka bilang aku sok alim. 

            Mungkin mereka masih belum memahami bahwa setiap orang punya dunianya sendiri, punya aturannya sendiri, punya masalahnya sendiri, punya pilihannya sendiri. Bahwa orang berperilaku berbeda dan tak sama dengan kebanyakan orang itu sebenarnya hal yang biasa. Setiap orang punya latar belakang kehidupan dan pengalaman yang berbeda-beda. Kita hanya perlu saling menghormati pilihan dan alasan masing-masing individu.

            Aku tidak peduli, aku adalah aku yang melakukan apa yang aku mau. Aku akan selalu menjadi diriku sendiri. Menjadi berbeda karena punya prinsip aku rasa bukan hal yang negatif.

                                                                     *    *    *

            Kamea sepertinya tahu cerita keluargaku. Jelas dia tidak tahu dariku. Dia pasti tahu dari Bagas. Aku sedikit marah pada Bagas, apa gunanya memberitahu orang lain tentang kesakitan keluarga sendiri? Banggakah dia jadi anak broken home

            Aku akhirnya merasa reaksiku berlebihan. Aku hanya tidak suka orang lain terlalu tahu tentang kami. Aku tidak suka orang asing mengetahui kelemahanku.

            Kamea nyatanya tidak pernah bertanya padaku tentang keluargaku di pertemuan-pertemuan kami. Ia tak menyinggung itu. Aku merasa lega.

                                                                 *     *       * 

             Suatu hari, Kamea mengajak bertemu. Berdua. Hanya aku dan dia, karena teman–teman yang lain sedang tak ingin ikut. 

             Kami nonton film di bioskop dan kemudian mendiskusikan film yang kami tonton. Dan tiba-tiba Kamea berkata tentang hal yang kuanggap aneh. 

             Dia meminta satu buah puisi setiap kali kami bertemu. Aku memang pernah bilang aku suka menulis puisi. 

              Temanya bebas. Puisi apa pun yang aku tulis, katanya.

             “Aneh,” ujarku tapi senangnya dalam hati.

             “Biarin. Udah ikutin aja aturan main. Aku tuh mau cek kamu beneran jago bikin puisi atau enggak. Kata temen-temen dan Bagas, kamu kan suka banget nulis puisi,” Kamea bicara santai.

               Sebenarnya aku tidak ingin meladeni permintaannya itu, tapi aku malah menyanggupinya. Sebab baru kali ini, ada teman yang tertarik pada hobi menulisku, apalagi teman baru. Keluarga dan teman yang sudah lama kenal saja tak pernah ada yang tertarik.

              “Emang kita harus ketemu terus gitu?” tanyaku usil.

              “Ya iyalah. Masa temen musuhan terus jalan sendiri–sendiri aja,” jawab Kamea.

              “Tapi sekarang udah zaman teknologi canggih, Toba. Kirim email bisa, blog bisa, Facebook juga bisa,” sarannya lebih lanjut.

              “Tapi kayaknya lebih seru tulisan tangan deh kalo kita bisa ketemu langsung pas jalan bareng yang lain juga. Kalo kita lagi gak ketemu baru lewat media yang lain deh.” Ujarnya antusias.

               Harus tulisan tangan juga katanya, ini yang paling aneh. Permintaan yang aneh tapi menarik. Cara yang konvensional. Tapi boleh juga.

              “Tulisan tangan itu lebih khas, lebih berkarakter. Coba kalo diketik di komputer, jenis huruf seragam aja. Kalo tulisan tangan itu lebih gimana gitu dan setiap orang punya tulisan yang beda-beda. Aku mau lihat tulisan tanganmu.” Jelas Kamea.

               Aku mengangguk. Pernyataannya yang barusan itu benar juga rasanya. 

               Kamea memang teman yang baik. Sangat perhatian pada potensi dan kesukaan teman-temannya. Kepada yang laki-laki, apalagi perempuan. Dan ini sering disalahartikan oleh banyak teman laki-lakinya. Tapi sekali lagi seorang Kamea akan mampu menunjukkan bahwa cintanya sama rata untuk semua teman tersayangnya. Ia terlihat belum memberikan cinta khususnya pada seseorang.

                Dia memang berbeda. Gadis manis dan sederhana ini punya kemampuan untuk membuat orang-orang cepat merasa dekat dan nyaman. Ditambah sikap ceria yang bisa menyenangkan siapa saja. Aku sampai sering tidak percaya bisa dekat dengannya. Dia mau dekat denganku. Mengingat kami yang memang terlalu berbeda dari sifat, kepribadian, latar belakang keluarga, dan mungkin masih banyak lainnya.

                                                                         *    *    *

                Di pertemuan berikutnya, kutunjukkan pada Kamea puisiku yang berjudul Tak Sempurna dan Memori . Dia baca serius, lantas menatapku lembut.

               “Kamu harus terus nulis, Toba. Tulis apa aja yang kamu rasa. Aku tahu kamu enggak bisa banyak bicara orangnya. Kamu itu tertutup. Kamu harus menulis biar kamu merasa baikan,” kata Kamea bijak.

                 Aku sedikit terharu. Ada orang yang bisa bicara sepeduli ini padaku.

                 “Dan puisi kamu lumayan. Aku suka kata-katanya. Kamu bakal bisa menulis lebih bagus deh pasti,” ujar Kamea.

                 “Makasih ya, Kamea,” timpalku tulus.

                  Tak pernah sebelumnya senyaman ini rasanya dengan orang lain. Dan dia sangat menghargai tulisanku.

                   Ternyata begini rasa indahnya jika tulisan kita diapresiasi orang lain.

                   Dan ia mengatakan akan membalas setiap puisi yang kusetor padanya dengan masakannya. Bagaimana mungkin aku bisa menolak?

                                                                            *    *    *

            Kami kembali ke dunia masing-masing. Kamea sibuk bekerja. Dia memang sudah bekerja dan lebih tua dariku, usia kami selisih dua tahun. Dia tidak kuliah dulu meski ia pintar, meski keluarganya mampu. Katanya ia ingin belajar mandiri. Dia ingin kuliah sambil kerja mulai tahun depan. Untungnya keluarganya sangat demokratis, selalu mendukung pilihan Kamea. Kamea beruntung. Ia mengagumkan dan juga banyak dicintai orang. Ia pun punya keluarga yang harmonis.

                                                                              *    *    *

            Ayah jatuh sakit. Aku kasihan melihatnya. Mungkin ia kelelahan dan banyak pikiran. Biasanya setiap dari kami sakit, ibu tentunya yang merawat sampai sembuh. Tapi keadaan sekarang sudah berbeda. Aku ingin memberitahu nenek. Tapi ayah melarang. Aku dan Bagaslah yang sekarang harus merawatnya. Dan perawatan ala kami tidak pernah sebaik ibu. 

            Dan ibu tidak mungkin ada di sini lagi. Lebih baik tidak di sini.

            “Kalo aja ibu masih di sini,” kata Bagas pelan.

            “Udahlah, Gas,” sahutku kemudian.

             Saat ayah tidur, tak sengaja aku melihat ada bekas air mata. Belum begitu kering. Masih basah. Tapi ayah sudah terpejam. Mengapa ayah menangis? Aku takut jawabannya adalah bisikan yang ada di dalam hatiku. Mungkin ibu dan Jihan sebabnya. 

              Bagas sudah pergi dari tadi. Untung dia tidak melihat ini.

              Ternyata bukan cuma aku yang menangis. Bagas pernah dan ayah pun begitu, kami menangis karena berpisah dari dua wanita yang sangat kami cintai. Menyadari betapa laki-laki memang membutuhkan perempuan dalam hidup ini. Menyadari pula bahwa menangis bagi laki-laki pun bukan hal yang tabu. Jika perempuan menangis, laki-laki pun bisa menangis. Boleh. Hanya saja kebanyakan memang munafik. Menahan tangis dengan berpura-pura tegar. Padahal sebenarnya menangis sangat baik untuk kita. Seperti sebuah kutipan yang pernah aku baca.

             “Izinkan diri Anda untuk merasakan penderitaan dan menangis sepuasnya. Anda akan merasa lebih baik. Studi-studi ilmiah telah menunjukkan bahwa air mata sesungguhnya mengeluarkan hormon-hormon tertentu yang mengusir depresi sehingga secara fisik dan emosi Anda mulai merasa lebih baik setelah Anda menangis sepuasnya. Menangis benar-benar membersihkan jiwa. Jadi ekspresikan kesedihan Anda dan jangan memendamnya maka kesembuhan itu akan segera dimulai. Izinkan diri Anda untuk berteriak atau menangis seperti seorang bayi.” ( Les And Leslie Parrot).

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya (2) PERJALANAN
0
0
“Makasih. Akhirnya ada juga yang suka puisi aku, walaupun cuma satu sih. Kamu.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan