Likey-Likey Knock (Anak Kabupaten)

21
44
Deskripsi

"Oh, gue dari SMP Pelita Raya, sekolah paling terkenal di daerah sini. Kok gue baru denger nama SMP lo, emangnya di daerah mana?" jawab gadis itu dengan nada angkuh. Dia sama sekali tidak tahu sekolah tercinta Faraya. Benar-benar sekolah limited edition, jarang diketahui secara luas.

"Gue dari daerah kabupaten!" Jawab  Faraya singkat, padat, dan juga memuaskan.

- Stop Dreaming and Start Do it -
 

🐝🐝🐝
 


Lelah rasanya jiwa dan raga Faraya. Setelah selesai memakai rok putih-biru, sekarang harus berganti lagi menjadi seragam putih-abu, naik tingkat namanya bagi para siswa SMP yang baru lulus. Faraya menjadi gugup untuk menghadapi hari esok, salah satu hari yang masuk daftar hari tertegang dalam hidupnya.

Besok adalah hari dimana semua siswa yang baru lulus sekolah tingkat pertama (SMP) akan mengikuti seleksi untuk masuk sekolah yang berada di kawasan kota maupun kabupaten dalam waktu serentak.

Jika kita berbicara mengenai asal siswa di kalangan siswa baru terutama untuk sekolah yang berada di daerah perkotaan, di sana ada dua kubu.

Pertama, mereka yang berasal dari kubu kawasan kota. Kubu yang masyarakatnya didominasi kelas atas atau high class.

Kedua, kubunya Faraya, yaitu kubu kawasan kabupaten. Walaupun, makanan sehari-hari mereka adalah gorengan and the gengs, tapi otak mereka cair seperti minyak gorengan tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat kelas menengah atau middle class.

"Jadi, kita besok mau berangkat jam berapa?" Alma bersuara di tengah kegundahan hati melanda dan kesunyian pada malam itu.

"Seleksi, kan mulai jam 10, berarti kita berangkat jam 8," seru Faraya menimpali pertanyaan Alma.

"Nggak kepagian?" Alma berkicau lagi dan Faraya menggeleng tanda pendapatnya sudah tepat untuk dilakukan oleh mereka besok.

"Kita sebagai anak kabupaten yang harus sadar betapa jauhnya jarak lokasi sekolah tujuan kita, tidak boleh malas berangkat pagi," lanjut Faraya dengan semangat juang yang menggelora menghadapi hari esok. Ya, semangat ketika akan lomba di Hari Kemerdekaan.

"Lo mau kita yang kesiangan pas seleksi, terus akhirnya nggak keterima juga?" kata pedas dan berkualitas terlontar dari mulut Dini. Si pendiam bermulut tajam, setajam silet.

"Lo doain gue nggak diterima, Din?" Seketika gertakan muncul dari mulut Alma karena ucapan tajam Dini.

"Udah, Ma! Dini itu cuma antisipasi aja. Bayangin kalo lo telat pas hari ujian masuk? Syukur- syukur kalo keterima, kalo nggak gimana?" ujar Faraya menengahi, bisa jadi mereka batal mengikuti seleksi gara-gara tawuran antar teman.

"Dih, jijik gue denger kata-kata lo. Lo sama aja kayak Dini. JAHAT!" Alma bergidik pada Faraya, si wanita bijak tapi bermulut jahat.

Acara belajar pada malam itu telah selesai dan mereka pulang ke rumah masing-masing. Karena, ada prinsip yang berbunyi 'logika tanpa logistik itu tidak akan pernah berjalan'.

Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk istirahat lebih awal untuk menyiapkan tubuh mereka menghadapi besok. Diawali dengan pulangnya Dini dan Alma ke rumah mereka masing-masing.

-0-0-0-

Seperti yang telah disepakati semalam oleh Alma, Faraya, dan Dini, mereka telah bersiap untuk berangkat ke tempat tujuannya, yaitu tempat yang menjadi sekolah favorit bagi hampir semua anak di kawasan tersebut. Mereka berangkat dengan naik angkutan umum (Angkot).

Perlu kalian ketahui, kendaraan tersebut adalah transportasi yang paling bersahaja bagi anak sekolah agar hemat uang jajan. Ramah kantong.

Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan, tepatnya di SMA Tunas Harapan Bangsa. Sekolah menengah atas yang paling banyak dijadikan sasaran anak lulusan putih-biru, SMP. Karena, selain letaknya yang strategis, arsitektur bangunannya pun sangat cocok untuk dijadikan sebagai sekolah favorit.

SMA TUNAS HARAPAN BANGSA


"Kok jadi deg-degan gini, sih," seru Alma sambil memegang dadanya yang berdetak tidak karuan, tepat setelah mereka memasuki gerbang masuk sekolah tersebut.

"Kalo lo nggak deg-degan berarti lo nggak hidup dong, Oneng!" celetuk Dini dengan kalimat yang bukannya menenangkan, tapi malah membuat perasaan Alma semakin meradang karena jantungnya yang berdetak tidak karuan.

"Gue tahu! Udah ah, bikin tambah frustasi aja ngomong sama lo, Din!" seru Alma dengan kesal.

Mereka tiba disana 30 menit sebelum seleksi masuk dimulai. Antisipasi sangat diperlukan, karena kesempatan itu tidak akan datang dua kali.

Kaget? Tentu saja, setelah melihat banyaknya siswa yang sudah hadir di sana. Dimulai dari penampilan para anak kota yang high quality, tentu menjadi sorotan untuk Alma yang mempunyai sifat terlewat ajaib. Tidak tertebak.

"Ya Allah! Mereka itu penampilannya uwow binggo!" decak Alma terkagum-kagum ketika melihat segerombolan anak hits di sana. Dilihat dari penampilan dalam mengenakan pakaian dan juga barang bermerk.

"Yang uwow itu bukan mereka, Ma! Tapi kita sama mereka yang berhijab, walaupun hidup di jaman now mereka tetap memenuhi kewajiban untuk menutup aurat," sangkal Faraya menanggapi ucapan kekaguman Alma yang menurutnya tidaklah benar.

Ya, walaupun di sana sepertinya ada yang berkeyakinan berbeda juga dengan mereka.

Alma, Faraya, dan juga Dini memang sudah membiasakan diri untuk berhijab sejak awal masuk SMP. Awalnya, karena dipaksa oleh orang tua mereka, tetapi pada akhirnya mereka sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban. Bukan keterpaksaan.

"Pasti mereka juga pinter-pinter," seru Alma lagi. Masih melihat kepada gerombolan anak yang sepertinya berasal dari kota, terlihat dari penampilan mereka. Fantastis.

"Yang mana?" Akhirnya Dini ikut penasaran akan sumber kekaguman sahabatnya itu. Pasalnya, sedari tadi Alma terus-terusan berdecak kagum tanpa memalingkan arah pandangnya.

"Tuh! Yang dandanannya modis banget. Liat, deh!" Alma menunjuk dengan arahan dagunya kepada letak sorot matanya selama beberapa menit ini kepada Dini.

"Gue sih lebih mikir kalo yang kacamatanya tebal yang pasti pinter. Secara mereka tuh pasti rajin baca buku," sanggah Dini menanggapi objek pandangnya.

"Bener, Din. Yang kacamatanya tebal yang harus diwaspadai jadi saingan masuk ke sini." Faraya mendukung opini Dini. Opini yang tidak harus dipercaya seratus persen juga sebenarnya.

"Apaan sih lo berdua! Siapa tau aja mereka pakai kacamata karena kebanyakan lihat berita rumpi. Suka husnudzon aja lo berdua!" ketus Alma tidak ingin kalah.

Faraya dan Dini hanya melongo tidak percaya dihadiahi seorang sahabat ajaib semacam Alma.

-0-0-0-

Kring... Kring... Kring

Suara nyaring tersebut menyadarkan Alma, Dini, dan Faraya. Sebentar lagi pertarungan antara mereka, si kacamata tebal, dan gerombolan cewek modis, serta siswa lainnya akan bersaing masuk ke SMA tersebut sudah dimulai. Karena, setiap sekolah telah menetapkan kuota maksimum, jadi hanya orang yang lolos seleksi ini yang akan diterima.

Alma, Faraya, dan juga Dini berada di ruangan yang berbeda untuk tes seleksi masuk. Untuk itu, terpaksa mereka mendekam di ruangan masing-masing tanpa seorang pun yang mereka kenali.

Walaupun hal itu sangat disyukuri oleh Faraya dan Dini, karena jika mereka berada di ruangan yang sama dengan Alma, sudah dipastikan konsentrasi akan terpecah oleh ocehan anak ajaib itu, bahkan sebelum tes dimulai.

Ruangan 17

Di dalam ruangan inilah Faraya sekarang, ruangan yang terbilang cukup luas bila dibandingkan dengan kelasnya sewaktu duduk di bangku SMP maupun SD apalagi sekolah TK-nya.

RUANG 17


"36-008-247..."

"Ketemu!" seru Faraya senang, setelah mengitari meja dari ujung kelas sampai akhirnya tiba di sini. Di meja tersebut tertera urutan nomor yang sama seperti dalam selembar kertas ujiannya.

Faraya kembali membuka buku biologinya, sekedar recall pemahamannya. Faraya sudah mempersiapkan semuanya dari sejak lama dan hari ini pembuktian untuk kerja kerasnya selama ini.

"Nomor urut lo 247, kan?"

Seseorang menyadarkan Faraya yang sedang konsentrasi mengingat materi mengenai bab peredaran darah manusia dan langsung memeriksa sumber suara tersebut yang tepat di hadapannya.

"Iya, kenapa, ya?" tanya Faraya. Awalnya, dia mengira itu adalah suara pengawas yang menyuruhnya untuk menutup buku. Namun, ternyata seseorang sudah ada tepat di samping mejanya.

"Nggak kenapa-kenapa, cuma nanya aja. Siapa tahu salah duduk, kan?" ketus gadis yang berpakaian rok biru dengan atasan seragam batik dari sekolah asalnya.

Seragam yang asing di penglihatan Faraya tentunya, tidak pernah dilihat sebelumnya. Dia adalah salah satu gadis modis tadi kalau Faraya tidak salah ingat. Alma memang benar, pakaian mereka terlihat sangat modis, mulai dari tas sampai sepatu, sepertinya brand terkenal.

Right, girl jaman now.

"Oh, gitu. Ya udah kalo nggak ada apa-apa. Saya nggak salah juga duduknya," acuh Faraya tidak ambil pusing, walaupun sepertinya dirinya diragukan keliru menempati tempat duduk.

Apa gadis itu pikir Faraya sebodoh itu sampai tidak bisa mencari tempat duduknya sendiri atau Faraya rabun dekat sampai salah melihat nomor urutnya untuk ujian? Hah, menyebalkan!

"Eh, lo dari SMP mana? Kok gue nggak pernah liat batik lo di sekitar sekolah gue?" terang gadis itu penasaran dengan nada suaranya sedikit mengejek. Gadis itu ternyata duduk di belakang bangku yang ditempati Faraya.

Mana tau lo batik sekolah gue, lo tahu daerah tempat tinggal gue aja kayaknya nggak! Batin Faraya.

"Gue dari SMP Suka Makmur, kalo lo?" tanya Faraya balik untuk memastikan pasti gadis di belakangnya itu memang berasal dari kota. Walaupun, keyakinannya sudah mencapai 99,7%.

"Oh, gue dari SMP Pelita Raya, sekolah paling terkenal di daerah sini. Kok gue baru denger nama SMP lo, emangnya di daerah mana?" jawab gadis itu dengan nada angkuh. Dia sama sekali tidak tahu sekolah tercinta Faraya. Benar-benar sekolah limited edition, jarang diketahui secara luas.

"Gue dari daerah kabupaten!" Jawab  Faraya singkat, padat, dan juga memuaskan.

Namun, jawaban itu membuat orang di depannya malah semakin tersenyum mengejek. "Pantes. Ternyata lo dari kabupaten, ya," serunya dengan sebelah bibir terangkat ke atas.

Mata gadis itu memperhatikan penampilan Faraya dari mulai pakaian sampai aksesoris sekolah lainnya yang sangat jauh dari gaya dirinya. Gaya girl jaman old.

"Iya gue anak kabupaten!" jawab Faraya percaya diri dan memutuskan untuk berhenti menanggapi arah pembicaraan gadis tersebut.

Buang-buang waktu. Rutuk Faraya dalam hati, setelah mengetahui bahwa obrolan tadi hanya bertujuan untuk mengejeknya saja.

-0-0-0-

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Likey-Likey Knock - Bab 2. Diterima
22
23
Lo masih ngeliat matahari di atas lo, kan? Dan, tentunya lo masih liat bidadari yang di samping lo ini, berarti lo nggak mimpi! Alma sudah tidak sekosong Dini, dia tampak sudah menetralkan segala buncahan dalam dirinya.Sepertinya, hasil seleksi mereka sesuai dengan harapan. Suatu keajaiban bahwa Alma tetap stay calm, bahkan Faraya dan Dini sudah mempersiapkan masker, jika saja Alma akan melakukan lompat jauh ketika dinyatakan diterima.Akhirnya usaha kita nggak sia-sia, bangga Faraya yang masih tersenyum menatap layar ponselnya, seperti pasien rumah sakit jiwa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan