Para Remaja Penantang Arus

0
0
Deskripsi

21-23 Maret 2018, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) datang ke Kabupaten Blitar untuk memberikan pelatihan kepada kelompok remaja dan anak muda usia di bawah 22 tahun.

Tim YKP menyebar undangan ke sekolah dan organisasi remaja seperti Forum Anak, Insan Genre, Pramuka dan PMI untuk mengirimkan delegasi menjadi peserta pelatihan. 

Aktivis RP3A Blitar mengajak masyarakat untuk Stop Perkawinan Anak

Cerita Perjuangan Mencegah Perkawinan Usia Anak di Blitar

Oleh: Ahmad Fahrizal Aziz

Mronjo, 17 Desember 2020

Sosialisasi bersama Aparatur Desa

Suasana menjadi tegang ketika seorang bapak berkata: kalian kan belum menikah, mudah saja bilang seperti itu.

Hadirin pun tertawa. Waktu sudah menjelang dhuhur, terik matahari makin membara. Di ruang terbuka dekat area persawahan itu, tak kurang 50 orang dari perwakilan masyarakat dan aparatur desa hadir. Di antaranya adalah tokoh masyarakat setempat.

Irna selaku fasilitator pertemuan, tersenyum kecut, raut mukanya kesal, meski ia berusaha untuk tetap ramah. Panitia lain yang sebagian besar masih remaja, juga menunjukkan ekspresi yang sama. Aulya sang notulen berulang kali merangsek dari tempat duduknya, ia geregetan ingin turut berkomentar, namun ia harus fokus di mejanya untuk mencatat diskusi hari itu.

Bu Lilik, Koordinator bidang KB Kecamatan Selopuro pun langsung berdiri, meminta microphone dan merespon.

"Mereka memang masih remaja pak, tapi mereka punya kepedulian," sahutnya.

-00-

Bapak paruh baya itu mengenakan batik coklat, serasi dengan peci hitam bersimbol ormas di kepalanya. Beliau mewakili tokoh masyarakat. 

Beliau juga menceritakan pengalamannya membantu penanganan kasus Kehamilan yang Tak Diinginkan (KTD) di desanya, terutama membantu pencarian dispensasi nikah untuk mereka yang masih di bawah umur.

Sebelumnya, Irna menjelaskan jika kasus perkawinan usia anak karena minimnya pemahaman terkait kesehatan reproduksi. Mereka belum paham hak mereka sebagai anak, termasuk Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) sehingga terjadilah KTD.

“Namun faktanya tidak sesederhana itu mbak,” sanggah si bapak.

Lahirnya kelompok remaja

21-23 Maret 2018, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) datang ke Kabupaten Blitar untuk memberikan pelatihan kepada kelompok remaja dan anak muda usia di bawah 22 tahun.

Tim YKP menyebar undangan ke sekolah dan organisasi remaja seperti Forum Anak, Insan Genre, Pramuka dan PMI untuk mengirimkan delegasi menjadi peserta pelatihan. Di antara yang didelegasikan itu adalah Irnandini Putri, ketua OSIS SMPN 1 Kesamben.

Mereka berkumpul di Local Education Center (LEC) Blitar, Kecamatan Garum. Selama 3 hari mendapatkan materi, diskusi, bermain games dan diajak lebih peka pada isu kekerasan terhadap perempuan dan perkawinan usia anak.

Bagi Irnandini itu menjadi pengalaman menarik di usianya yang masih belia, mengenal tentang seks, gender, seksualitas, hingga ekspresi seksual yang aman dan tidak aman di kalangan remaja. Ia juga menyadari betapa pentingnya para remaja memahami tubuhnya sendiri agar terhindar dari perilaku beresiko.

Tidak hanya berhenti di pelatihan, YKP pun membuka ruang aktualisasi bagi mereka untuk menyampaikan informasi ini ke teman-teman sebaya, sehingga dibentuklah sebuah komunitas relawan yang kemudian dinamakan Relawan Pemuda Peduli Perempuan dan Anak (RP3A) Pada 23 Maret 2018.

“Saat itu koordinatornya mbak Rezki Liana Putri, namun karena Mbak Rezki jadi staf YKP, saya menggantikannya pada akhir 2019. Saat itu dari 24 peserta, sudah banyak yang tidak aktif,” kenang Irna.

Berjuang hingga ke desa

Sembari menikmati wisata di desa

Setelah terbentuk, RP3A banyak melakukan sosialisasi ke teman sebaya. Sebagian besar anggotanya pun juga sudah masuk jenjang sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Lewat dukungan YKP dan project Creating Space dari Oxfam, mereka menggelar banyak agenda diantaranya diskusi gender, sosialisasi ke sekolah-sekolah, bakti sosial ke desa terpencil, dan youth camp.

Hingga akhirnya, dibuatlah sebuah agenda di tingkat desa. Dipilihlah Kecamatan Selopuro, sebagai kecamatan termuda di Kabupaten Blitar yang memiliki 8 desa: Desa Selopuro, Desa Popoh, Desa Jatitengah, Desa Jambewangi, Desa Ploso, Desa Mandesan, Desa Tegalrejo dan Desa Mronjo.

Irnandini sendiri bertempat tinggal di desa Popoh, salah satu desa yang tingkat perkawinan anaknya cukup tinggi.

"Saya sedih karena di desa saya sendiri angka perkawinan anaknya tinggi, namun ketika saya berpendapat selalu dianggap anak kecil tau apa?" ungkap Irna.

Namun Irna tidak sendiri, ia dibantu teman sebayanya antara lain Sabrina Salsabila, Aulya Nuramadani, Agasta Dicky, Karisma Okta, dan Haniv Avivu yang juga aktivis RP3A.

Ia dan teman-temannya berharap desa-desa di Kecamatan Selopuro punya program berkesinambungan terutama dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan dan perkawinan anak.

Saya dan Rezki Liana Putri pun membantu melakukan komunikasi dengan pihak kecamatan untuk menjalankan program tersebut. Kebetulan ada Mukhamad Muiz salah satu staf PKB Kecamatan Selopuro yang juga aktivis HKSR.

Pihak Kecamatan begitu mendukung rencana tersebut, terlebih semua kebutuhan selama 4 kali pertemuan itu disupport oleh project Creating Space Oxfam melalui Yayasan Kesehatan Perempuan.

Pada pertemuan perdana, Camat Selopuro hadir mendampingi Kepala Dinas PPKBPPPA membuka acara.

Tantangan yang tak mudah

Aksi di depan kantor DPRD Kabupaten Blitar

Rata-rata peserta sepakat jika perempuan yang hamil di luar nikah harus segera dinikahkah, bahkan jika prosesnya sulit nikah siri menjadi alternatifnya.

Mereka mempertimbangkan aspek sosial, ketika nanti seorang perempuan melahirkan tanpa suami, itu adalah aib bagi keluarga.

Ketika membahas perkawinan anak, sebagian besar peserta juga berorientasi pada respon apa yang dilakukan ketika terjadi KTD, bukan pada pencegahan bagaimana agar anak-anak muda di desa punya ruang aktualisasi, sehingga terhindar dari perilaku seksual beresiko.

"Ada anak sudah hamil, tapi sulit mendapatkan dispensasi karena di bawah umur, bagaimana biar dapat (dispensasi)?" tanya salah seorang peserta, yang membuat kening kami berkerut.

Di sisi lain, banyak yang menganggap kasus kekerasan terjadi karena masalah akhlak dan perilaku.

"Anak-anak perempuan kita juga harus diajarkan berpenampilan yang sopan agar tidak mengundang syahwat," sambung peserta lain.

Respon paling menyakitkan tentu saja, seperti yang ditakutkan Irnandini dan kawan-kawannya, mereka dianggap masih kecil dan ingusan untuk membahas soal perkawinan.

Hal itu membuat mereka down, selepas agenda pertemuan itu kami membahas betapa beratnya "beban mental" dalam menjalankan program ini. Dalam rapat evaluasi tak jarang mereka menumpahkan air mata. Di usia remaja tentu kondisi itu tidak mudah bagi mereka.

"Tapi tak usah khawatir, goal kita pada pencegahan, bagaimana desa membuat program untuk mencegah terjadinya perkawinan anak, bukan?" ucap saya menguatkan.

Secuil harapan

Namun ternyata cukup banyak yang mendukung kami. Anak-anak muda dari Karang Taruna misalnya, atau dari Organisasi kepemudaan.

Di antara anak muda tersebut adalah Niken, Galuh dan Fauzi. Pada pertemuan kedua, Niken dan Fauzi mewakili kelompok masyarakat untuk menyampaikan rekomendasi program pencegahan perkawinan anak di hadapan para kepala desa.

Pada pertemuan tersebut juga hadir perwakilan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Bu Ulfa dari BPD Tegalrejo memberikan apresiasi, sekaligus menjelaskan jika program itu sudah dianggarkan namun tidak ada yang menjalankan.

Begitupun dengan kepala desa Mandesan, yang sudah menganggarkan lima juta rupiah untuk kegiatan Karang Taruna namun tidak terserap karena tidak ada penggeraknya.

"Nanti bisa digunakan untuk itu, namun tidak ada yang jalan," keluh Kades Mandesan.

Melihat informasi tersebut seperti ada secuil harapan, bahwa ada celah jika program pencegahan perkawinan anak tersebut bisa direalisasika di tiap-tiap desa.

Kami pun kemudian menggelar Youth Camp selama 3 hari di Kota Batu, yang sebagian besar pesertanya adalah pemuda Selopuro. Mereka mendapatkan bekal lebih yang nantinya dipersiapkan menjadi pioner di tingkat Kecamatan.

Perdes hingga pelatihan

Tim relawan pun berembuk, apakah akan mengusulkan peraturan desa atau pembentukan tim relawan di setiap desa? Muiz yang juga bekerja di Kecamatan dan tahu kondisi riil di lapangan, menyampaikan pendapat jika pembuatan peraturan desa bukan hal yang mudah, terlebih belum ada penggeraknya di setiap desa.

Ternyata benar, diskusi berjalan alot. Penerbitan Perdes batas usia perkawinan masih dipertanyakan efektifitasnya, belum lagi terkait prosedur hukumnya.

Peraturan desa tentang batas usia perkawinan sebenarnya adalah salah satu goal kami dalam pertemuan tersebut, karena itu menegaskan UU No.16 tahun 2019 tentang Perkawinan. Namun kami menyadari bahwa pencegahan juga tak kalah penting.

Akhirnya tim relawan memutuskan untuk membuat pelatihan di tingkat kecamatan dan desa untuk membentuk kelompok remaja tersebut, harapannya agar ada yang menjalankan program desa.

“Kita bentuk cabang-cabang RP3A di setiap desa,” tegas Irna yang sangat bersemangat dengan ide tersebut.

Pertemuan keempat pun membahas soal itu. Saya mewakili panitia memberikan sambutan, menyampaikan hasil rembuk dengan tim relawan.

Komitmen dari masyarakat dan aparatur desa

"Diajak pinter kok nggak gelem," celetuk Kades Selopuro.

Irna dan Muiz selaku fasilitator menanyakan ke peserta apakah bersedia mendukung program pembentukan kelompok pemuda peduli perempuan dan anak di desanya?

Kades Selopuro lah yang paling pertama merespon, memberi dukungan dan menandatangani komitmen tersebut. Menurutnya suatu hal positif jika desa mengeluarkan anggaran untuk mencerdaskan masyarakatnya sendiri.

Kepala desa yang lain belum mengambil sikap, meski sudah diwakili oleh BPD. Namun sejak pertama program ini bergulir, kelompok pemuda lah yang paling cepat memberikan respon. Mereka bahkan siap menjadi bagian dari RP3A tingkat kecamatan.

Kepala dinas PPKBPPPA, Eka Purwanta, berharap program ini bisa terus dikawal sampai  terwujud.

"Saya juga berharap YKP memperpanjang programnya dengan kami, karena perjuangan menurunkan angka perkawinan anak butuh peran bersama termasuk dengan bapak/ibu di desa," harap Eka Purwanta.

Perubahan kecil

RP3A mendapatkan undangan untuk menjadi narasumber di kegiatan IPNU/IPPNU tingkat desa. Kepekaan terhadap pentingnya Kesehatan Reproduksi mulai muncul di masyarakat.

Bu Lilik, koordinator KB Kecamatan, juga mulai masif untuk menghidupkan Forum Anak Desa, agar kegiatan yang melibatkan anak dan remaja makin terakomodir. Pembahasan terkait Forum Anak tingkat Desa menjadi salah satu bagian penting selama 4 kali pertemuan di desa.

Kebetulan selama 2 periode, aktivis RP3A juga lah yang menjadi ketua Forum Anak tingkat Kabupaten. Pada periode ini Forum Anak Kabupaten Blitar diketuai oleh Sabrina Salsabila Wahab.

RP3A sendiri bersiap-siap menggelar pelatihan tingkat desa. Kepala desa dan BPD sudah merespon positif untuk mendukung agenda tersebut. Ini adalah momentum berharga karena perhatian pada kelompok anak muda mulai muncul, khususnya perhatian pada peningkatan kapasitas dan wawasan terkait Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR).

"Kami berharap Kecamatan Selopuro nantinya menjadi teladan bagi kecamatan lain di Kabupaten Blitar untuk lebih peduli pada isu perkawinan usia anak," harap Irnandini.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 7 Langkah Membuat Konten Listicle untuk Media Digital
0
0
Belakangan artikel list atau yang disebut listicle banyak ditulis oleh para konten kreator, terutama di media digital.Listicle dianggap memberi kemudahan bagi para pembaca untuk memahami sebuah informasi karena lebih sistematis.Listicle biasanya menulis seputar 7 tempat ..., 5 hal unik ..., 4 manfaat ... dan lain sebagainya.Listicle menjadi alternatif untuk menyajikan konten yang lebih disukai pembaca dan berdampak pada peningkatan jumlah pengunjung.Listicle bahkan menjadi gaya menulis baru yang sesuai dengan media digital. Para mahasiswa atau pekerja paruh waktu banyak membuat listicle untuk dikirim ke beberapa platform digital.Meski begitu, membuat listicle juga tidak mudah, terutama dalam pemadatan paragraf agar tak terlalu panjang.Mereka yang baru pertama membuat listicle biasanya kesulitan dalam pemadatan paragraf sehingga artikelnya terurai panjang.Membuat listicle memberikan manfaat antara lain, melatih kita memperkaya referensi sehingga wawasan kita semakin luas.Selain itu, ketika menguasahi teknik listicle, kita bisa menjadi konten kreator baru, baik di media digital jejaring atau sebagai blogger, yang berdampak pada keuntungan secara ekonomi.Seperti apa membuat listicle yang efektif? Mari kita ulas dan anda bisa langsung mempraktekkannya. Hasilnya bisa dikonsultasikan dengan admin.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan