Membaca, Menulis, dan Depresi

0
0
Deskripsi

Menulis jadi sarana untuk mengurai persoalan hidup, bahkan James Whiting Pennebaker, psikolog dari University of Texas at Austin menjadikannya cara untuk terapi (writing therapy).

Hidup tak lepas dari masalah. Beberapa orang perlu bercerita kepada orang lain sekadar untuk mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan.

Namun bercerita pun juga tidak mudah, akhirnya banyak yang memilih diam, memendam dalam luka dan rasa cemasnya sendiri.

Di antaranya adalah saya, yang tak terlalu mau bercerita soal masalah pribadi atau keluarga, apalagi ketika harus mengungkapkannya di sosial media yang random friends alias bisa dibaca oleh siapapun yang sebagian dari mereka sebenarnya tidak perlu tahu.

Pelampiasan saya pun dengan mencari tempat yang memberikan ruang untuk menyendiri, untungnya tempat itu adalah Perpustakaan.

Di Perpustakaan, bukan hal aneh ketika kita duduk sendiri, diam sambil membaca buku. Itu sah dan seharusnya memang begitu.

Sembari membaca buku atau majalah, saya berhasil mengalihkan segenap pikiran dari masalah yang mendera, meskipun pada akhirnya itu bukan pengalihan atau pelampiasan, namun sebuah upaya penyehatan mental.

Saya merasa jatuh dan putus asa setiap kali masalah keluarga mendera, namun tak sengaja membaca buku atau artikel di majalah yang seperti memberi pandangan lain soal hidup.

Sejak saat itu, bagi saya, membaca bukan sekadar melihat barisan kata di atas kertas yang dicetak, namun seperti terapi.

Beberapa buku sastra, filsafat dan psikologi yang saya temui seperti memberikan energi baru. Bagaimana menghadapi masalah, bagaimana melihat dunia ini, bagaimana merenungi kembali relasi kita dengan Tuhan dan manusia sekitar.

-00-

Sampai akhirnya saya ingin menulis. Menulis punya dimensi yang berbeda dengan berbicara, meski sama-sama menggunakan bahasa untuk mengungkapkan sesuatu.

Menulis melatih kita menata kalimat dan mengontrol isinya. Kita semua merasakan kadang-kadang saat membicarakan tentang perasaan, kita sulit mengontrol emosi untuk memilah mana yang perlu atau tidak perlu disampaikan.

Menulis jadi sarana untuk mengurai persoalan hidup, bahkan James Whiting Pennebaker, psikolog dari University of Texas at Austin menjadikannya cara untuk terapi (writing therapy).

Ia meneliti kaitan antara bahasa dengan pemulihan trauma, dan menulis adalah salah satu cara mengungkapkan perasaan, menuangkan emosi dalam kontrol nalar logika.

Menulis yang baik

Menulis yang baik tidak sebatas dari aspek ejaan, namun juga pemilihan diksi yang elegan.

Tak jarang orang mencurahkan emosi liarnya di sosial media yang alih-alih menjadi trauma healing, namun justru memicu masalah semakin kompleks.

Karena itu, kalimat perlu ditata. Menata gaya bahasa tidak sekadar merapikan kata per kata, namun juga memperbaiki cara kita berpikir.

Tak jarang kita dibuat tersentak atau tersadar hanya karena membaca satu atau dua kalimat (quote), karena pemilihan diksinya yang tepat mengenai logika kita.

Kemampuan berbahasa tersebut hanya bisa dilatih dengan membaca dan merenungi bacaan, apapun jenis bacaannya.

Jiwa kita seperti memiliki beberapa tombol saklar yang harus ditekan agar suasana redup menjadi lebih terang, salah satu cara menekannya yaitu dengan diksi yang tepat.

Bahasa dan kontrol jiwa

Bahasa kita gunakan untuk berkomunikasi, menjelaskan, dan mendefinisikan banyak hal.

Pelajaran bahasa seharusnya tidak sebatas ejaan dan tanda baca, atau hafalan majas dan jenis-jenis karya tulis.

Pelajaran bahasa adalah pelajaran hidup, membaca adalah proses menata pikiran, dan menulis adalah upaya memahami kehidupan.

Seperti kata Cecil Day Lewis, penyair dari Inggris, bahwa kita menulis bukan untuk dipahami, tapi untuk memahami.

Jumat, 4 Maret 2022
Ahmad Fahrizal Aziz

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Cara Membuat blog di blogger.com
1
0
Membuat blog itu mudah, simak langkah-langkah berikut
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan