Kenapa Mahasiswa Sekarang Jarang Bisa Menulis Opini?

0
0
Deskripsi

Oleh M. Rizal Dahlan

Kegiatan menulis, terutama menulis opini, sangat lekat dengan dunia mahasiswa.

Sebagai kaum akademik, yang berada pada tingkat strata pendidikan tinggi, mahasiswa dielu-elukan sebagai agen perubahan di masa mendatang.

Namun faktanya, mahasiswa sekarang serupa status biasa yang ketika lulus masuk dalam antrian kerja, nyaris tak menunjukkan keistimewaan lebih.

Apakah kuliah sekadar menjadi tren, tanpa kesadaran penuh, bahwa dirinya adalah mahasiswa yang diharapkan mampu berbuat lebih...

Hernowo, penulis buku Mengikat Makna menjelaskan jika seorang penulis adalah pembaca yang baik.

Kegiatan membaca adalah bagian dari budaya akademik yang jadi santapan sehari-hari bagi mahasiswa.

Mahasiswa belajar pada bidang yang lebih spesifik, itu bisa menjadi "pisau analisis" untuk membedah permasalahan sosial.

Di samping itu, beberapa perguruan tinggi juga menjadikan mata kuliah teori perubahan sosial menjadi mata kuliah umum yang diajarkan ke semua jurusan.

Teori perubahan sosial memberikan pandangan bagi mahasiswa bagaimana kehidupan bisa berubah, apakah dimulai dari masyarakat, kebijakan negara atau pemerintahnya.

Soe Hok Gie, dikenal karena tulisan-tulisannya di Harian Kompas

Teori-teori "langit" yang diajarkan di ruang-ruang kelas itu harus dibumikan oleh mahasiswa, membenturkannya dengan realitas yang ada sehingga lahirlah sebuah opini baru.

Sebab jika bukan mahasiswa, siapa lagi yang bisa berpikir mendalam seperti itu? Masyarakat umum mungkin sebatas berkeluh kesah, namun mahasiswa mampu mengurai persoalan dengan rapi, bahkan sampai pada solusi.

Apa masih belajar filsafat?

Apakah mahasiswa sekarang masih belajar filsafat? Baik secara formal di ruang kelas, atau di forum-forum diskusi?

Filsafat membantu membentuk cara berpikir agar lebih kritis, mendalam, dan sistematis.

Filsafat memberikan landasan berpikir mulai dari antologi (apa), epistemologi (bagaimana) dan aksiologi (untuk apa).

Sederhananya, filsafat yang disebut sebagai mother of sains adalah "ilmu alat berpikir" yang perlu dipelajari mahasiswa.

Ketika cara berpikirnya sudah tertata dan mendalam, maka langkah untuk membangun ide dan opini menjadi lebih mudah.

Mahbub Djunaidi, aktif menulis sejak mahasiswa dan dikenal sebagai pendekar pena

Kenapa harus menulis opini?

Mahasiswa sebagai kaum akademik, atau kaum intelektual harus punya ide dan gagasan yang ditulis dalam sebuah opini.

Menulis menjadi penting dibandingkan sekadar diucap. Lewat karya tulis, sebuah opini bisa lebih hidup, ruang untuk menyajikan data dan referensi pun juga lebih terbuka.

Sebelum dipublikasikan, sebuah opini telah melalui proses self editing atau cek dan ricek internal, sehingga opininya sudah menjadi hidangan yang siap disantap oleh publik.

Menyajikan opini lewat karya tulis pun juga khas kaum akademik, yang bisa menulis dengan runtut, kritis dan penuh referensi hanyalah mahasiswa.

Dengan membuat karya tulis, statusnya sebagai mahasiswa semakin diakui. Kebiasaan menulis tersebut juga memudahkan dalam berpikir, mengurai persoalan dan berkomunikasi.

Menulis sebagai habit para pendiri bangsa

Mayoritas para pendiri bangsa adalah penulis opini atau opinion maker pada eranya.

Contohnya adalah Soekarno dan Hatta, dwitunggal yang sampai sekarang karya-karyanya masih terus dibaca.

Sutan Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, Agus Salim, M. Natsir, dll juga banyak menulis di berbagai media massa.

Padahal kalau kita bayangkan, siapa sih pembacanya saat itu? Rakyat masih banyak yang belum bisa membaca, akses media juga terbatas, tapi tulisan-tulisan itu adalah sebentuk pikiran yang bisa dibaca tidak saja generasi saat itu, tapi juga generasi setelahnya.

Sosok legendaris seperti Soe Hok Gie, Mahbub Djunaidi, Djazman Al Kindi, Lafran Pane, dll juga dikenal karena menulis.

Seorang yang mampu menulis, mengindikasikan jika dia seorang pembaca, seorang yang merenungi realitas, punya gagasan.

Buya Syafii Maarif, biasa menulis sejak mahasiswa, hingga sekarang masih menjadi kolomnis di media massa

Itu adalah dasar bergerak, dasar pijakan terjadinya perubahan ke arah yang lebih ideal.

Kita bisa cek para aktivis mahasiswa dari era Malari hingga 1998, rata-rata punya kemampuan menulis, punya pendapat soal kebangsaan, figur prolifik yang membaca banyak literatur.

Tak hanya menulis opini pendek di koran-koran, bahkan menuliskan gagasannya secara utuh dalam sebuah buku.

Pasca reformasi, tradisi-tradisi itu masih terus digaungkan di lingkar Ciputat, Jogja, Malang, Surabaya atau simpul intelektual lain di Indonesia.

Namun sepertinya, produktifitasnya terus menurun, terutama di era generasi mahasiswa yang serba digital.

Membuat makalah bisa dikebut semalam dengan mengkompilasikan beberapa sumber dari internet, sebatas lolos melewati mesin plagiator.

Budaya diskusi kritis di organisasi mahasiswa juga tak banyak terlihat. Padahal diskusi merangsang orang untuk berpikir, berdebat dan merumuskan gagasan.

Maka tak heran jika mahasiswa sekarang terlihat kesulitan untuk mengungkapkan ide dan gagasannya, apalagi menulis sebuah opini.

Karena otaknya didesain sebagai mesin akademik, bukan sebagai intelektual yang mengkaji permasalahan sosial dan mencari pemecahan masalahnya.

Mahasiswa lebih berorientasi lulus dengan nilai bagus, ketimbang harus memerdulikan kondisi rakyat yang tertindas.

Pada aspek akademis mereka tak terlalu lagi menyuarakan opini, pada aspek pergerakan pun juga demikian, tak terlalu ada kerja-kerja advokasi untuk meringankan beban masyarakat.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Membaca, Menulis, dan Depresi
0
0
Menulis jadi sarana untuk mengurai persoalan hidup, bahkan James Whiting Pennebaker, psikolog dari University of Texas at Austin menjadikannya cara untuk terapi (writing therapy).
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan