
Seandainya Doyoung tidak meninggal, apa yang akan terjadi antara dia, Jaehyun, dan Taeyong?
Alternate universe of “With You”
warning : fanfiction, gs
____________________________________
Chapter 2
Doyoung menghela napas sambil memandangi tampilan excel di layar laptopnya. Tangannya bergerak cepat begitu saja memasukkan kode-kode shortcut. Secepat itu juga tampilan layar berubah. Matanya memandangi deretan angka dari balik kaca mata minusnya. Kepalanya berputar, berpikir kenapa transaksi itu...
Hidup sebagai single parent membuat Doyoung mau tak mau bekerja untuk menghidupi keluarga kecilnya. Keluarganya mungkin hanya terdiri dari dia dan Jeno, tapi bagi Doyoung itu semua sudah sempurna. Ia hanya butuh putranya untuk merasa lebih baik.
Jeno lahir di akhir bulan April, ketika bunga sakura berguguran. Dia datang seperti angin musim semi yang membawa kehidupan setelah musim dingin yang mematikan. Jeno hadir membawa harapan bagi Doyoung yang putus asa dengan vonis dokter yang mengatakan ia tidak dapat hamil. Nyatanya Jeno ada, meski berasal dari sebuah kesalahan. Bagi Doyoung, Jeno adalah permata hidupnya yang akan ia jaga dengan seluruh daya yang ia miliki.
“Halo, Jeno-ya…” panggil Doyoung dari sambungan telefon. “Sedang apa?”
“Aku sedang membuat PR.”
“Sudah makan?”
“Sudah. Tadi Paman membuat pajeon dan kimchi jjigae,” lapor Jeno.
“Jeno suka?”
“Suka. Tapi lebih suka masakan Ibu.”
Hati Doyoung menghangat. Ia mengulum senyum.
Orang tua mana yang tega meninggalkan anaknya pergi bekerja? Doyoung pun tidak tega meninggalkan anaknya yang dulu masih berupa bayi merah. Tapi demi anaknya juga, ia harus pergi bekerja.
Kim Jeno, anak tersayangnya, tumbuh jadi anak baik dan pengertian. Ia tumbuh dengan sehat, tidak nakal, rajin belajar, dan hormat pada orang tua. Doyoung bisa tenang meninggalkan Jeno bekerja meski sampai larut malam.
Setiap hari, Doyoung pasti menyempatkan diri untuk menelfon Jeno. Mendengarkan cerita anaknya tentang keseharian dia di sekolah. Menanyakan tentang menu makan sang anak. Atau untuk mendengarkan keluhan anak-anaknya tentang anak-anak nakal di sekolah yang sering meledek Jeno karena tidak punya ayah.
“Ibu,” panggil Jeno.
“Ya?” Jeno hanya diam. “Kenapa, Jeno?”
Tak ada jawaban untuk beberapa lama. “Minggu depan ada perayaan hari anak di sekolah. Ibu bisa datang?”
Doyoung melirik kalender. Hari Selasa. Doyoung mengigit bibirnya. Ia tidak yakin apakah ia bisa mengajukan ijin cuti pada atasannya. “Kalau Jeno pergi dengan Paman Gongmyung, bagaimana?”
“Aku sudah tanya Paman. Katanya Paman ada pelatihan di rumah sakit, jadi tidak bisa menemani. Ibu tidak bisa, ya?”
Sedih perlahan menyebar di dada Doyoung. Ia ingin sekali menemani anaknya. Tapi tumpukan pekerjaan ini membelenggu kakinya seperti rantai. “Ibu tanyakan dulu, ya.”
“Baiklah,” jawab Jeno tanpa menaruh banyak harapan.
“Ya sudah, Jeno lagi mengerjakan PR, kan? Kerjakan dengan baik, ya. Ibu lanjut bekerja dulu,” kata Doyoung mengakhiri panggilan.
Doyoung bangkit dari kursinya, pergi ke lobby gedung untuk mengambil pesanan makan malamnya yang baru sampai. Aroma jajangmyeon yang gurih dan manis rasanya tidak bisa menaikkan selera makan Doyoung malam itu. Asam lambungnya naik dengan rasa sedih yang membuat air mata membasahi kedua matanya.
Jauh dalam hatinya, Doyoung ini memberi keluarga seperti keluarga lain pada Jeno. Yang bisa menemani anak itu setiap saat. Yang bisa mengantarnya setiap pagi ke sekolah, yang memasak untuknya setiap hari, yang bisa menemani Jeno menghadari fesitval di sekolahnya.
.
.
.
“Papa,” panggil Mark pada Jaehyun yang sedang bekutat dengan laptopnya di ruang kerja. Kepala Mark mengintip dari pintu, tidak berani mengganggu lebih jauh.
“Ya? Ada apa, Mark?" panggil Jaehyun sambil menyingkirkan laptop ke samping. Ia memberi tanda pada anaknya untuk mendekat.
Anak berumur tujuh tahun itu menyerahkan selembar surat edaran dari sekolah. “Ada festival anak minggu depan. Papa bisa datang?” tanyanya.
Tumben sekali Mark memintanya datang ke sekolah. Biasa, urusan sekolah ditangani oleh Taeyong sendiri. Istrinya yang dengan rajin menghadari pertemuan orang tua di sekolah. Bahkan Taeyong juga terlibat bersama ibu-ibu teman Mark di sekolah membuat kelompok amal mengatasnamakan anak-anak mereka untuk mengajarkan anak-anak berbagi dengan sesama mereka yang kurang mampu. Jaehyun jarang terlibat. Ia hanya diberi laporan oleh Taeyong tentang kegiatannya atau menyumbang dana diam-diam.
Anak berumur tujuh tahun itu menunduk, memainkan ujung piyama katunnya yang lembut. “Aku perform minggu depan. Papa bisa lihat, kan?”
Senyum lembut mengembang di wajah Jaehyun. Tangannya mengusak pucuk kepala Mark. “Tentu. Nanti Papa datang dengan Mama, ya.”
Cengiran lebar langsung muncul dari wajah bulat Mark. Seketika ia jadi semangat. “Aku perform lagu klasik! Aku sudah belajar dengan Pelatihan Song selama dua bulan ini.”
“Oh ya, Mark sudah jago, dong?”
“Ugh… aku bisa. Tapi ada nada yang sering salah.” Mark menunjukkan kelima jarinya yang direntangkan lebar-lebar. “Jariku belum sampai. Jarak ibu jari dan kelingkingku tidak sampai untuk memencet tutsnya. Jadi aku harus menggerakan tanganku cepat-cepat supaya temponya tidak kacau.”
Jaehyun tertawa. Selalu menyenangkan mendengarkam Mark berceloteh tentang ini dan itu. Kadang ia akan berceloteh tentang teman sekelasnya yang selalu mengganggu anak lain. Kadang ia bercerita tentang kegiatannya di tempat les yang sering membuatnya lapar di sore hari. Kadang juga ia akan bercerita tentang Jaemin, anak teman Jaehyun, yang sering datang ke rumah untuk bermain.
Sesibuk-sibuknya Jaehyun, ia akan selalu meluangkan waktu untuk Mark. Pekerjaan bisa menunggunya jika Mark menginginkannya. Bagi Jaehyun, Mark, buah hatinya, adalah prioritas utama, alasan kenapa Jaehyun bekerja hari ini. Maka jika pekerjaan lebih penting daripada Mark, apa gunanya ia memprioritaskan Mark?
Pernikahannya dan Taeyong berasal dari sebuah bisnis berkedok pertunangan.
Jaehyun mencintai Taeyong, bahkan sejak awal pertemuan mereka ketika Jaehyun melihat Taeyong mengasuh anak-anak di panti asuhan milik Yayasan Taeyang. Taeyong yang terlihat bagai ibu peri di tengah anak-anak yang mengajaknya bermain berhasil memenangkan hati Jaehyun seketika itu juga. Parasnya yang cantik, kedua mata bulatnya yang cemerlang, dan senyum lembutnya berhasil membuat Jaehyun jatuh hati.
Namun, lain halnya Taeyong. Untuk Taeyong, dia hanyalah alat tukar. Sebuah mata uang yang digunakan ayahnya untuk mengikat kerjasama antara Daehan dan Taeyang, dua grup konglomerasi besar. Sebuah kenyataan yang merendahkan harga diri Taeyong sebagai manusia utuh.
Perlu waktu dan usaha ekstra sabar bagi Jaehyun untuk meyakinkan Taeyong bahwa terlepas dari apapun rencana orang tua mereka dalam menjodohkan, Jaehyun sungguh-sungguh mencintai Taeyong. Ia memberikan seluruh hatinya untuk perempuan itu di saat Taeyong sendiri ragu untuk percaya.
Dan usaha itu membuahkan hasil manis berwujud buah cinta mereka, Mark Jung. Jaehyun rela melakukan apa saja demi keluarganya. Apapun, asalkan Taeyong dan Mark bahagia.
.
.
.
“Serius, tidak apa-apa?” tanya Taeyong meyakinkan dirinya sendiri kita melihat Jaehyun memakai kaos polo hitam, bukan setelan kemeja, dasi, dan jas seperti biasanya. “Ini hanya festival biasa. Tahun depan juga pasti ada."
“Aku sudah janji pada Mark. Janji harus ditepati. Aku sengaja mengosongkan hari ini untuk Mark,” kata Jaehyun santai. Ia menarik laci lemari jam tangannya, mengambil satu Rolex GMT Master warna biru-hitam dari antara koleksi jamnya yang lain. Dengan cepat ia memakainya di pergelangan tangan kiri.
Taeyong masih yang dalam balutan bathrobe menggeleng. “Kamu harus tahu prioritas.”
“Prioritasku keluarga.” Jaehyun menoleh padanya dengan senyum di wajah. “Lagipula, aku jarang ikut festival begini. Sekali-sekali tidak masalah.”
Jaehyun mengecup kecil sudut bibir Taeyong. “Cepatlah berdandan. Aku sarapan duluan dengan Mark,” katanya lalu meninggalkan Taeyong seorang diri di walk-in-closet mereka yang luas.
Perempuan itu berbalik pada deretan pintu lemari di belakangnya, mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk disejajarkan dengan polo hitam Jaehyun. Tangannya kemudian mengambil terusan sederhana warna putih yang ia padankan dengan outer biru dongker. Ia menggantung bajunya di pintu lemari lalu beralih ke meja riasnya. Lampu di sekeliling cermin sudah menyala, dengan cepat Taeyong membubuhkan skincare dan make up ke wajahnya dengan riasan sederhana. Tangannya dengan telaten membuat rambut coklatnya yang lemas jadi berombak pada bagian ujungnya. Dalam setengah jam, Taeyong sudah kelihatan pulas dengan tampilan dirinya. Ia segera memakai baju dan parfum lalu pergi turun ke ruang makan.
Ia tersenyum hangat melihat Mark makan dengan lahap pagi ini. Ia bahkan menghabiskan pancake dengan sirup mapple yang biasa ia sisakan. Pasti gara-gara Jaehyun. Mark memang paling mengidolakan Jaehyun. Masih kuat dalam ingatan Taeyong akan jawaban Mark di waktu TK ketika ia bertanya, “Kalau besar, Mark mau jadi apa?”
“Jadi seperti Papa!” jawab Mark semangat. Binar matanya tampak begitu kagum ketika melihat Jaehyun. Bagi Mark, Papa itu contoh nomor satu. Bahkan anak itu kini mengikuti kaya berpakaian Jaehyun. Dia merengek minta jam tangan hanya supaya terlihat mirip Jaehyun. Makanya, sekarang smartwatch itu melingkari tangan kiri Mark meski dia sendiri tidak begitu memahami fungsinya.
“Pagi,” sapa Taeyong lalu mengecup pipi kanan Mark gemas.
“Pagi, Mama,” jawab Mark sekilas. Ia kembali memandang Jaehyun yang setia menunggu cerita Mark. “Terus, Pa…"
Keberadaan Taeyong segera terabaikan. Anak itu sibuk berceloteh pada Jaehyun tentang film superhero yang minggu lalu dia tonton.
“Mark, ayo cepat habiskan jusnya. Kalau kamu mengobrol terus nanti kita terlambat,” kata Taeyong menyadarkan Mark.
Mark buru-buru menenggak jus pir di gelasnya. Ia bergegas memakai kaos kaki dan sepatu lalu mengambil tasnya di ruang keluarga. Jaehyun pergi ke car port depan rumah, menerima kunci mobil yang sudah dipanaskan oleh supir keluarga. Khusus hari ini, Jaehyun ingin jadi hari untuk keluarganya. Hanya mereka bertiga.
Taeyong masuk ke kursi sebelah kemudi, dan Mark naik ke kursi belakang. “Ayo jalan, Pa!” katanya penuh semangat.
.
.
.
Jeno duduk di kursi tribun seorang diri. Matanya memperhatikan lapangan yang hari ini ramai bukan hanya karena anak-anak yang berseliweran di tengah festival tapi juga para orang tua yang datang menemani dan ijut terlibat dalam perlombaan yang diselenggarakan guru-guru. Teman-temannya datang entah dengan ibu, ayah, atau keduanya.
Sesaat, Jeno iri. Tapi apa daya, ibu dan pamannya bekerja hari ini.
“Sendirian?” tanya sebuah suara diiringi tepukan di bahunya.
Jeno menoleh. Felix tahu-tahu sudah duduk di sebelahnya sambil memegangi segelas bubble tea warna ungu.
“Iya. Kau?”
“Sama. Orang tuaku kerja hari ini, tidak ada yang bisa datang,” ucap Felix.
Jeno menenggak air minum dari botol plastik di tangannya lalu kembali menatap lomba estafet ayah dan anak di lapangan. Ia bisa melihat tawa dari berbagai sudut dengan para orang tua yang bangga dengan anak mereka.
Seumur hidup, Jeno hanya kenal Ibu dan Paman sebagai keluarganya. Kalau Paman itu kakak dari ibu. Kakek dan neneknya sudah meninggal jauh sebelum Jeno ada. Hanya ada mereka bertiga, tanpa ayah. Kadang Jeno bertanya-tanya, apakah dia sungguh-sungguh tidak punya ayah. Atau bagaimana rasanya punya ayah.
“Ya… biasa saja,” jawab Felix waktu Jeno bertanya. Sama sekali tidak menjawab rasa penasarannya. “Ayahku agak konyol. Dia suka melempar lelucon aneh yang bikin aku malu.”
“Jeno bisa menganggap Paman sebagai ayah Jeno,” kata Gongmyung waktu itu.
Tapi tetap, Jeno penasaran. Bagaimana ayahnya? Apa dia orang yang konyol seperti ayah Felix? Apa dia kaku seperti laki-laki di drama yang kadang ia tonton? Pernah sekali Jeno pergi ke depan cermin sambil bertanya dalam hati bagaimana rupa ayahnya.
Jadi ia bertanya pada ibunya pada suatu waktu ketika Doyoung memasak di akhir pekan. “Ibu," panggilnya.
“Ya, sayang. Ada apa?” tanya Doyoung sambil menoleh. Tangan kanannya memegang sendok, mencicipi kuah sup ayam yang baru ia bumbui.
Jeno menunduk. “Aku tidak punya ayah, ya?”
“Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?” Doyoung merendahkan tubuhnya menjadi sejajar dengan Jeno. Tangannya mengusap pipi Jeno.
“Teman-temanku punya ayah. Aku hanya punya Ibu dan Paman. Ayah ke mana?" tanya Jeno.
Remuk sudah hati Doyoung. Ia berusaha tersenyum meski matanya tidak bisa berbohong. Jeno melihat kalau air mata Doyoung hampir tumpah. Tapi anak itu tetap diam menunggu jawaban ibunya.
“Jeno, tidak semua anak punya Ayah. Ibu juga tidak punya Ayah dan Ibu sekarang.” Tangannya meraih tangan Jeno, mengusapnya lembut. Berharap kalau anaknya mengerti tanpa harus Doyoung banyak berbohong. “Tapi Jeno masih punya Ibu. Sayangnya Ibu sudah cukup untuk Jeno.” Ia berusaha tersenyum lalu buru-buru membuang wajah untuk menyeka air mata yang mendadak turun.
Hal itu tidak lepas dari pengamatan Jeno. Anak itu bungkam. Tapi melihat Ibu menitikkan air mata, dalam hati ia tahu bahwa topik tentang Ayah bukanlah hal yang harus ia utarakan.
.
.
.
Bersambung…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
